Tidak
hanya Ronaldo dan Messi
...
Wer Fremde sprachen nicht kennt,
welss
nichts von seiner eigenn,
Johan
Wolfgang Von Gothe
Dengan tubuh
setinggi 169 cm, pria argentina ini meliuk dihadapan raksasa raksasa. Dengan
bola lengket di kakinya, ia terus melatih para raksasa raksasa sebesar arnold
mencuri bola di kakinya. Lionel Andress Messi, pria berumur 26 tahun yang lalu.
Tak ada yang menduga, 15 tahun yang lalu, harapanya hampir direnggut virus
ganas, seandainya Jorge Messi, ayahnya tak bersedia menjadi buruh Baja dI
barcelona dengan gaji pas pasan. Tak ada yang menduga, satu dasawarsa kemudian
ia menjadi Zeus di taman Sepakbola Eropa.
Satu kisah
menarik lagi, seorang pria kekar, sekuat Terminator, dan secepat Ferrari, turun
dalam gelanggang sepakbola eropa. Cristiano Ronaldo, pria 28 tahun. Hampir sama
dengan Messi, dulu ia hanyalah kaum papa yang terisolir dibukit Funcal,
Portugal. Ferguson, manager MU waktu itu, melihat jiwa petarung Ronaldo ketika
ia terbang menyisir sisi lapangan Lisboa dengan kecepatnya. Jadilah sekarang ia
salah satu Gladiator terkuat di Eropa.
Kisah
Ronaldo dan Messi memang sebuah dongeng, tapi dongeng yang aktual dan terus
berkembang. Dua nama ini selalu menjadi perbincangan panas dunia Sepakbola, tidak
lain karena persaingan keduanya, antara kaki kiri dan kanan, antara Barcelona
dan Real Madrid, antara Eropa dan Amerika Latin, antara Tinggi dan Pendek, atau
antara dewa dan manusia. Semuanya adalah oposisi binner dalam dunia sepakbola.
Namun
terkadang, kultus terhadap dua makhluk sepakbola itu malah memberi pemahaman
tentang sepakbola yang degradatif. Pemahaman degradatif ini dimotori oleh bumbu
persaingan dari media yang mencoba memanasi keadaan, sehingga taqlid dalam dunia sepakbola malah
mengahadirkan iklim sepakbola yang degradatif dan rawan konflik.
Taqlid
ini sebenarnya tidak hanya seputar Ronaldo dan Messi saja, jauh dari hari ini,
sebelum terkudetanya Mursi, mesir menjadi sorotan karena kerusuhan sepakbolanya
yang membuat 74 orang tewas, jauh sebelumnya di negara sepak bola, Inggris, tragedi
Heysel masih membayangi benak pecinta
bola ketika suporter Liverpool beradu dengan
Suporter Juventus yang membuat 39 orang meregang nyawa.
Terlebih
Indonesia, bumbu persaingan dan kuatnya ikatan primordial masih membuat taqlid
tersimpan dalam dada pecinta sepakbola Indonesia. Tidak sedikit kasus yang
membuat pecinta sepakbola menjadi bertemu tuhanya, kasus Bonek kontra Aremania,
kasus Pasoepati vis a vis Slemania,
rivalitas Jack Mania dengan Bobotoh menjadi
contoh masih adanya semangat Taqlid baik bermotif ikatan primordial maupun
konflik historis.
Melihat
kejadian demikian tiap waktunya, membuat siapapun jenuh. Karena sejatinya Sepakbola
tidak hanya tentang pertarungan Messi dan Ronaldo, lebih dari itu, sepakbola
tidak hanya berbicara aroma kompetisi dan pertarungan sengit. Konsep taqlid dan
rigid dalam ajang saling sikut menambah keruh suasana, akibatnya nihilisme
moral membuat desakralisasi nilai nilai luhur sepakbola.
Yang parah
lagi adalah sekarang sepakbola menjadi ajang pamer kekuatan syahwat dan
kekuasaan. Tidak mafhum di era ini kaum bourjois dan Parlente siap gelontorkan
jutaan dolar demi meraih ambisi prestise dan tentu tidak sekedar bep.Instrumen Sepakbola menjadi senjata
baru persaingan di era global ini.
Humanisme Sepakbola
Meski demikian,
Sepakbola adalah transfer nilai nilai keluhuran humanisme, sepakbola
mengajarkan egaliter, persaudaraan, perdamaian, non rasisme dan sikap dan
ekspresi nilai luhur lainya. Hal ini tentu jauh berbeda dengan konsep Taqlid
dan kultus dalam dunia sepakbola, entah dasar primordial, historis, ataupun
syahwati.
Diatas
lapangan tidak ada pemain yang diistimewakan, semua punya status yang sama,
ialah pemain sepakbola, tidak ada kultus maupun taqlid yang sering dielukan
diluar lapangan. Baik Messi maupun Ronaldo, tidak pernah berharap para
penyembahnya bertempur maupun balas hina dan caci maki. Mereka berharap
Sepakbola berkontribusi dalam era pembangunan dengan menanamkan nilai nilai
humanis tadi.
Dengan
demikian benar apa yang diungkapkan Goethe, seorang pujangga jerman, bahwa
mereka yang tidak mengetahui bahasa asing, berarti tidak mengetahui bahasa
sendiri diri sendiri. Goethe mengajak kita tidak parsial, sektoral, dan
primordial dalam memandang entitas kelokalan maupu keakuan diri. Lebih dari itu
ia mengajak kita mendalami keragaman dan pluralisme kehidupan.
Dari
situ kita bisa mengambil sikap, bahwa dalam pentas sosial yang diisi kultus
yang berefek Taqlid malah berpotensi konflik dan melukai substansi entitas
kelokalan itu sendiri. Termasuk dalam Sepakbola, bahwa ternyata tidak hanya
ekspresi kita saja yang mampu ditangkap indahnya sepakbola, ekspresi dari
individu lain pun mampu diwadahi sepakbola. Sehingga Messi dan Ronaldo bukanlah
Legenda yang harus dikultuskan sosoknya, mereka adalah instrumen sepakbola yang
membawa nilai nilai humanisme luhur Sepakbola.