Hari
ini pemimpin dipersepsikan secara tidak utuh, ekletis, maupun secara parsial.
Makna kepemimpinan hari ini, dibangun tidak lebih dari runtuhan bangunan citra
pemimpin yang idealnya. Pemimpin hari ini lebih banyak ditampilkan sebagai
orator ulung, maupun sebatas simbolis, semisal pemakaian kostum milik pemimpin
terdahulu.
Sekedar
contoh, Pemilu Presiden bulan lalu menjadi kontes “adu mirip” Soekarno. Ada
yang mengikuti Jejak rekam Soekarno yang gemar menyapa sudut kecil bangsa ini,
yang penuh cerita dan tangis pilu. Ada yang berias diri tampak semacam
Soekarno. Berpeci, berbaju lapangan dan siap berbaur dengan kalangan pinggiran.
Di kompetisi lain, semacam pemilu gubernur maupun bupati kemampuan Soekarno
menghipnotis massa mulai banyak dilirik sebagai syarat kemenangan. Janji dan
Orasi yang menggebu khas Soekarno mulai banyak dilirik, adrenalin massa lebih
banyak tersentuh lewat cara demikian, hal ditambahkan dengan goyangan seronok
yang memancing syahwat, efek psikologis ini cukup tepat untuk memancing banyak
massa, mengingat demokrasi kita hari ini butuh suara yang gemuk.
Kehebatan
Soekarno yang kemudian menjadi “Mata Air Keteladanan”, nyatanya tidak
diterapkan secara Holistik. Bangsa kita mengenal Soekarno hanya dari ketenaran
orasi dan sembilan istrinya. Sementara, kehidupan Intelektual Soekarno adalah
cerita yang ganjil. Tidak banyak yang tahu Soekarno pernah menyamar menjadi
nama “Bima” agar tidak diendus pemerintah Kolonial ketika menerbitkan tulisan. Soekarno
yang gemar menulis ini, tak sungkan mengutip pemikir pemikir Dunia, Semacam
Karl Marx, Voltaire, Ilmuwan Politik Ernest Renan, maupun pendiri Tiongkok Sun
Yat Sen.
Soekarno
mengintegrasikan kehidupan Intelektual dalam kepemimpinan. Dalam beberapa hal,
ia tampak semacam seorang filsuf. Filsuf
adalah jabatan yang hanya didapat dengan bertemu, menyapa, dialog dengan segala
bentuk manusia, kemudian kontemplasi yang panjang dan renungan yang mendalam,
hingga terlahir sebuah gagasan. Gagasan itu adalah sebuah spirit menuju sebuah
cita cita luhur. Kemerdekaan menjadi satu gagasan agung Soekarno, disamping itu
ia sempat mewariskan Marhaenisme bagi
bangsa ini.
Kehidupan
langka Soekarno ini, tidak banyak dilirik. Kehidupan yang semakin hedonism
memacu mereka membunuh waktu untuk berkejar materi. Hakikat Intelektual Sejati
tentunya sulit bersanding dengan materi. Bangsa kita rindu akan Soekarno,
orasi, dan kepemimpinanya. Pemimpin kita hari ini memberi orasi dan citra
seolah dirinya adalah titisan Soekarno di era kini. Para “titisan” ini masih
lantang menerikan Jasmerah, tetapi mereka terlalu berjarak dengan literasi,
berfikir materialis, maupun memusuhi rakyat.
Mahasiswa dan
Pamflet
Tumbangnya
raksasa kekuasaan orde baru, tidak bisa dilupakan dari riak riak menentang
gemuruh gerakan mahasiswa. Orasi tak kenal henti, membuat sang diraja Soeahrto lengser keprabon, rupanya keberhasilan
inilah yang membuat silau mahasiswa saat ini dalam upaya yang sama, menjatuhkan
otokrasi dan melawan kedzaliman. Orasi menjadi bekal mahasiswa untuk menusuk
kekuasaan, hingga akhirnya latihan kepemimpinan hanya dipusatkan bagaimana
mahasiswa disiapkan adu mulut di jalalanan.
Tesis
ini dimulai dari latihan kepemimpinan yang terepresentasi dalam secarik
pamflet. Dalam setiap pamflet latihan kepemimpinan, mayoritas bergambar siluet
orang yang berorasi. Dengan menggenggam Megaphone di tangan kanan, dan telunjuk
tangan kiri menenteng ke atas atau bisa sebaliknya.
Tangan kiri adalah simbol ketidaksopanan
dan ketabuan dalam keseharian. Terlebih dalam spektrum ideologi, kiri adalah
simbol pertentangan. Penggunaan Megaphone dan telunjuk dengan tangan kiri,
melukiskan sebuah potret perlawanan dan pertentangan. Nalar kita akan membaca
situasi ini persis sebuah demonstrasi di jalanan yang kini menjadi ajang
popular (dan eksis) bagi mahasiswa.
Pamflet
semakin menunjukan mahasiswa menerjemahkan kepemimpinan adalah orasi semata.
Dalam setiap pamflet nihil kemudian ditemukan buku maupun pena, sebagai simbol
dari membaca dan menulis. Siluet manusia merenung dengan ditopang tangan kanan
didagu sebagai simbol kontemplasi, juga tidak tampak dalam pamflet yang
ditempel di setiap sudut kampus. Kutipan Kutipan kepemimpinan dari tokoh
ternama lebih banyak menghiasi tampilan pamflet, daripada motivasi untuk bergiat
membaca dan menulis.
Gambaran
dalam Pamflet ternyata seturut dengan Latihan Kepemimpinan yang diadakan.
Semisal dalam sebuah latihan kepemimpinan gerakan mahasiswa. Kader baru lebih
banyak diarahkan kepada teknis memobilisasi massa, menyebarkan agitasi, maupun
negoisasi dengan pihak kemananan. Sementara kegiatan diskusi yang potensi
melahirkan gagasan tidak banyak dilirik, lebih lebih kontemplasi dan refleksi.
Penugasan pembuatan artikel dengan cara Copas, tidak banyak mendapat kecaman,
meskipun disaat yang sama, sebuah tuduhan zhalim tertuju pada seorang
intelktual mengcopas sebuah tulisan.
Jika
mahasiswa hari ini adalah pemimpin masa depan, maka kita harus akui. Pemimpin
masa depan kita adalah orator ulung yang nihil akan gagasan gagasan spektakuler.
Meskipun mereka mengutip kata kata Soekarno, orasi Soekarno, maupun kostum
Soekarno. Mereka tak jauh beda dengan pemimpin pemimpin zaman ini, yang
terampil berbicara namun sangat telat dalam berfikir dan memotong kehidupan
Intelektual Soekarno.
Padahal,
mengutip Asep Salahudin (Kompas; 2014) kepemimpinan dengan daya imajinasi
tinggi dan pijakan ideologi yang jelas adalah sebuah kebutuhan bangsa ini.
Imajinasi yang menjulang, lebih dari spirit mewujudkan sebuah cita cita di masa
depan. Hal ini bisa didapat dengan bergelut dengan literasi, bercengkrama
dengan rakyat, dan refleksi yang mendalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar