Selasa, 26 November 2013

Sepakbola, tidak hanya Messi dan Ronaldo

Tidak hanya Ronaldo dan Messi

... Wer Fremde sprachen nicht kennt,
welss nichts von seiner eigenn,
Johan Wolfgang Von Gothe
Dengan tubuh setinggi 169 cm, pria argentina ini meliuk dihadapan raksasa raksasa. Dengan bola lengket di kakinya, ia terus melatih para raksasa raksasa sebesar arnold mencuri bola di kakinya. Lionel Andress Messi, pria berumur 26 tahun yang lalu. Tak ada yang menduga, 15 tahun yang lalu, harapanya hampir direnggut virus ganas, seandainya Jorge Messi, ayahnya tak bersedia menjadi buruh Baja dI barcelona dengan gaji pas pasan. Tak ada yang menduga, satu dasawarsa kemudian ia menjadi Zeus di taman Sepakbola Eropa.
Satu kisah menarik lagi, seorang pria kekar, sekuat Terminator, dan secepat Ferrari, turun dalam gelanggang sepakbola eropa. Cristiano Ronaldo, pria 28 tahun. Hampir sama dengan Messi, dulu ia hanyalah kaum papa yang terisolir dibukit Funcal, Portugal. Ferguson, manager MU waktu itu, melihat jiwa petarung Ronaldo ketika ia terbang menyisir sisi lapangan Lisboa dengan kecepatnya. Jadilah sekarang ia salah satu Gladiator terkuat di Eropa.
                Kisah Ronaldo dan Messi memang sebuah dongeng, tapi dongeng yang aktual dan terus berkembang. Dua nama ini selalu menjadi perbincangan panas dunia Sepakbola, tidak lain karena persaingan keduanya, antara kaki kiri dan kanan, antara Barcelona dan Real Madrid, antara Eropa dan Amerika Latin, antara Tinggi dan Pendek, atau antara dewa dan manusia. Semuanya adalah oposisi binner dalam dunia sepakbola.
                Namun terkadang, kultus terhadap dua makhluk sepakbola itu malah memberi pemahaman tentang sepakbola yang degradatif. Pemahaman degradatif ini dimotori oleh bumbu persaingan dari media yang mencoba memanasi keadaan, sehingga taqlid dalam dunia sepakbola malah mengahadirkan iklim sepakbola yang degradatif dan rawan konflik.
                Taqlid ini sebenarnya tidak hanya seputar Ronaldo dan Messi saja, jauh dari hari ini, sebelum terkudetanya Mursi, mesir menjadi sorotan karena kerusuhan sepakbolanya yang membuat 74 orang tewas, jauh sebelumnya di negara sepak bola, Inggris, tragedi Heysel masih membayangi  benak pecinta bola ketika suporter Liverpool beradu dengan  Suporter Juventus yang membuat 39 orang meregang nyawa.
                Terlebih Indonesia, bumbu persaingan dan kuatnya ikatan primordial masih membuat taqlid tersimpan dalam dada pecinta sepakbola Indonesia. Tidak sedikit kasus yang membuat pecinta sepakbola menjadi bertemu tuhanya, kasus Bonek kontra Aremania, kasus Pasoepati vis a vis Slemania, rivalitas Jack Mania dengan Bobotoh menjadi contoh masih adanya semangat Taqlid baik bermotif ikatan primordial maupun konflik historis.
Melihat kejadian demikian tiap waktunya, membuat siapapun jenuh. Karena sejatinya Sepakbola tidak hanya tentang pertarungan Messi dan Ronaldo, lebih dari itu, sepakbola tidak hanya berbicara aroma kompetisi dan pertarungan sengit. Konsep taqlid dan rigid dalam ajang saling sikut menambah keruh suasana, akibatnya nihilisme moral membuat desakralisasi nilai nilai luhur sepakbola.
Yang parah lagi adalah sekarang sepakbola menjadi ajang pamer kekuatan syahwat dan kekuasaan. Tidak mafhum di era ini kaum bourjois dan Parlente siap gelontorkan jutaan dolar demi meraih ambisi prestise dan tentu tidak sekedar bep.Instrumen Sepakbola menjadi senjata baru persaingan di era global ini.
Humanisme Sepakbola
Meski demikian, Sepakbola adalah transfer nilai nilai keluhuran humanisme, sepakbola mengajarkan egaliter, persaudaraan, perdamaian, non rasisme dan sikap dan ekspresi nilai luhur lainya. Hal ini tentu jauh berbeda dengan konsep Taqlid dan kultus dalam dunia sepakbola, entah dasar primordial, historis, ataupun syahwati.
Diatas lapangan tidak ada pemain yang diistimewakan, semua punya status yang sama, ialah pemain sepakbola, tidak ada kultus maupun taqlid yang sering dielukan diluar lapangan. Baik Messi maupun Ronaldo, tidak pernah berharap para penyembahnya bertempur maupun balas hina dan caci maki. Mereka berharap Sepakbola berkontribusi dalam era pembangunan dengan menanamkan nilai nilai humanis tadi.  
                Dengan demikian benar apa yang diungkapkan Goethe, seorang pujangga jerman, bahwa mereka yang tidak mengetahui bahasa asing, berarti tidak mengetahui bahasa sendiri diri sendiri. Goethe mengajak kita tidak parsial, sektoral, dan primordial dalam memandang entitas kelokalan maupu keakuan diri. Lebih dari itu ia mengajak kita mendalami keragaman dan pluralisme kehidupan.

                Dari situ kita bisa mengambil sikap, bahwa dalam pentas sosial yang diisi kultus yang berefek Taqlid malah berpotensi konflik dan melukai substansi entitas kelokalan itu sendiri. Termasuk dalam Sepakbola, bahwa ternyata tidak hanya ekspresi kita saja yang mampu ditangkap indahnya sepakbola, ekspresi dari individu lain pun mampu diwadahi sepakbola. Sehingga Messi dan Ronaldo bukanlah Legenda yang harus dikultuskan sosoknya, mereka adalah instrumen sepakbola yang membawa nilai nilai humanisme luhur Sepakbola.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar