Yudistira terkapar, raja jin di hutan wanamarta ini berusaha bangkit, ia kemudian berlutut di hadapan Pandhawa. Ia kalah dalam perang tanding melawan mereka, Mahkota kerajaan Jin miliknya tergeletak begitu saja, dengan sedikit mendengus kesal, ia memungut Mahkota dan menyerahkan kepada Puntadewa. Ia sendiri yang menaruh di kepada Puntadewa.
Puntadewa kini seorang raja, ia
duduk di singgasana amarta, yang sebelumya menjadi kerajaan Jin Prabu Yudistira.
Kerajaan Amarta megah tiada banding indahnya, Zamrud dan permata menggantung di
setiap jendela dan pintu, dayang dengan wajah bersih nan elok berkecipak cipik
di kolam istana. Lantai marmer tembus pandang dengan aliran air dibawahnya. Berdiri
di atasnya, semacam berdiri di atas air saja.
Setelah
diusir oleh Kurawa, Pandawa memiliih membuka lahan di hutan angker yang jarang
terjamah, yaitu Hutan Wanamarta. Hutan Wanamarta pada asalnya pemberian dari
Prabu Matsawati yang iba terhadap nasib cucu cucunya. Pandawa melakukan babat
alas agar bisa ditempati. Mereka harus berhadapan dengan Raja Jin, Prabu
Yudistira yang memiliki kerajaan Amarta, Istana itu dibangun oleh Arsitek
terkenal Mayasura.
Setelah menaklukan Prabu Yudistira,
Pandawa langusng melakukan babat alas. Dalam babat alas itu, Gada Rujakpolo
milik bima dengan mudahnya menumbangkan sepuluh pohon sekali tebas, Pedang
tajam milik kembar Nakula Sadewa dengan membersihkan belukar dan ilalang.
Gandiwa sakti pemberian Agni si Dewi Api, menyempurnakan babat alas pandawa
dengan membakar alas wanamarta.
Api
yang membumbung tinggi, diikuti oleh teriakan hewan yang berlarian. Ada yang
terbirit birit menyelamatkan dirinya sendiri, ada yang tertatih membawa anak anaknya,
dan tidak sedikit teriakan hewan malang yang ikut terpanggang. Turunya hujan sementara
mengehntikan api, asap tipis masih mengepul, beberapa bangkai hewan dibuang
begitu saja. Tidak sedikit phon tumbang berserakan, wanamarta yang dulu hijau,
kini hitam pekat diselimuti asap.
“cukup
untuk membuat sebuah perkampungan kakang” ungkap Arjuna kepada Puntadewa
“benar
adimas, kita bahkan bisa membuat kerajaan” Ujar Puntadewa.
Adik
adik mereka hanya mengangguk tersenyum mendengar usulan Puntadewa.
Keindahan
kerajaan Amarta membuat beberapa pengembara mampir, sadar empunya istana adalah
Pandawa lima yang masyhur itu, banyak dari mereka menetap di sekitar Istana dan
enggan melanjutkan perjalanan. Hal ini kemudian diikuti oleh banyak pengembara,
maupun pendatang dari banyak negara. Mereka rela membuka lahan di dekat
Kerajaan meski harus menebang hutan.
Kini
wanamarta tak lagi berisik burung burung bertengkar, tak lagi rimbun, hijau nan
sejuk, tak ada pacuan harimau mengeroyok kijang kerempeng. ia kini ramai akan langkah derap perdagangan.
Keangkeran dan seperangkat keriuhan hutan telah diusir para Pandawa. Tak ada lagi kicauan pipit di pagi hari, tak
ada matahari yang mengintip dalam rimbunan pohon kala pagi dan senja.
Amarta
hari ini agak mencekam, tepat beberapa purnama mendatang. Mereka akan
melaksanakan perang baratayuda, Duryudana, saudara pandawa dari Kurawa kukuh
untuk berperang tanding melawan pandawa untuk mempertahanakan Astina, yang
merupakan hak pandawa. Perang menjadi jalan terkahir untuk menentukan siapa
pewaris istana yang sah.
***
Syahdan, suatu hari warga amarta
geger, sekelompok raksasa mengacaukan perkampungan mereka. Tubuh mereka dua
kali manusia biasa, berwarna hijau dan hanya memakai cawat. Wajah mereka
berbentuk menyeramkan, dua tanduk tajam menghiasi kepala, gigi bertaring tajam
seraya mengeluarkan nafas busuk, mata mereka merah menyala, seolah hendak
menerkam. Tangan mereka merengkuh gada besar.
Tak
ada yang mengetahui kedatangan mereka, beberapa penduduk amarta yang sedang
menggembala di tepi hutan tiba tiba dikejutkan dengan serangan makhluk makhluk
tadi. Diduga mereka adalah bekas
prajurit Prabu Yudistira yang telah dikalahkan oleh Pandawa beberapa warsa yang
lalu. Mereka berbuat onar dengan melukai, bahkan tak segan membunuh warga
Amarta.
Para Tentara Amarta langsung bertindak
menyerang, sebagian mengamankan penduduk. Berbekal olah kanuragan yang tinggi,
bukan perkara sulit bagi prajurit amarta untuk menaklukan Para Raksasa. Namun jumlah
raksasa itu semakin banyak saja setiap waktunya, mereka datang dari banyak
penjuru. Mnegepung prajurit prajurit terbaik Amarta.
“segera mintakan bantuan kepada Prabu
Yudistira” ujar seorang komandan
Beberapa
prajurit yang melapor bertemu Arjuna, Bima, dan kresna di Pendapa. Kebetulan
Puntadewa sedang tiada di Istana, ia sibuk mencari dukungan kerajaan lain,
sebagai sekutu mereka dalam Perang Baratayuda. Arjuna dan Bima sedang diajari
strategi perang oleh Prabu Kresna. Kresna adalah titisan Batara Wisnu, dalam
perang kali ini, ia hanya tampil sebagai arsitek strategi bagi Pandawa. Ia
hanya menjadi kusir bagi Arjuna.
“Berangkatlah
kalian, Aku akan menjaga Istana” kresna berkata kepada Arjuna dan Bima
Arjuna
saling pandang dengan Bima, mereka bersiap untuk terjun memberangus para
raksasa. “hitung hitung pemanasan kakang” Ujar Arjuna pada Bima. Bima hanya
menyambut dengan senyum simpul.
Para prajurit semakin kewalahan
menghadapi amuk para raksasa, jumlah mereka semakin bertambah tiap waktunya. Seorang
prajurit terkapar, senjatanya terlempar jauh karena hantaman gada, tangan
kananya juga remuk, darah mengucur pada pelipis. Beberapa kali ia berusaha
bangun, namun tiada tenaga. Dihadapanya seekor raksasa siap menghantamkan
gadanya. Prajurit kemudian terpejam sembari berdoa, mulutnya terus berkomat
kamit menbaca doa.
Dan… Sleeep, sebuah panah tertancap
di dada raksasa itu, ia terjatuh dan menimbulkan bunyi yang berdebam. Ia
bingung siapa yang mengarahkan panah kepada raksasa itu. Dari kejauhan, dua
sosok berjalan santai dan serasi, keduanya berpakaian satria. Satunya membawa
Gandiwa besar, dan sekumpulan anak panah di punggung, wajahnya tampan tiada
tara.
Disampingnya
pria tinggi besar dengan gada di tangan. Ukuran tubuhnya melebihi manusia pada
umumnya, kadang mereka malah beranggapa ia adalah bangsa raksasa. Mereka adalah
Arjuna dan Bima yang diutus oleh Kresna. Arjuna berhasil menyelamatkan nyawa
prajurit tadi.
“Kalian
mundur saja, pertahankan benteng kerajaan dan amankan penduduk, segera perintahkan
Nakula dan Sadewa untuk menjaga Ibu Kunthi dan para dayang” Terdengar suara
arjuna, diikuti Bima yang mendengus bersiap menyerang. Beberapa prajurit
langsung lari mundur kebelakangan Arjuna dan Bima, beberapa terseret dengan
luka di banyak tempat, beberapa menggotong teman mereka yang terkena serangan
para raksasa
“Siapa
Kalian ?” teriak Bima kepada para raksasa.
“grrrrh… raaaaah”
“hwehh.. haaaah” hanya suara itu
yang keluar dari para raksasa. Bima tak paham apa yang diungkapkan oleh mereka,
ia hanya memandang arjuna.
“langsung kita perangi saja adimas”
Arjuna mengangguk, Blesssh…. Panah arjuna
langsung membunuh lima raksasa, arjuna Nampak tenang dengan berjalan sembari
melesatkan panah dari Gandiwanya. Dalam beberapa kedipan, puluhan raksasa
tersungkur, beberapa mengerang kesakitan menjemput mati terkena panah raden
Janaka.
Bima tak mau kalah dengan kesaktian
adiknya, putra batara bayu ini berdiri
di tengah puluhan raksasa. Ia segera membuat pusaran dengan gadanya. Langsung
saja, puluhan raksasa terpental jauh sebelum menyentuh bima. Para perwira
amarta hanya terbengong dari jarak kejauhan, kesaktian putra pandu memang tiada
tara.
Semakin lama, keduanya bertambah
sibuk. Jumlah raksasa bertambah banyak , mereka datang dari banyak penjuru Arjuna bahkan sudah mengeluarkan hujan panah
untuk memberangus para raksasa. Bima tampak terengah setelah berulang kali
membuat pusarang angin, hingga hutan lebat disamping Amarta menjadi gundul
akibat amukan bima.
Mereka juga bertambah kuat dan sakti,
beberapa panah arjuna tidak mempan di kulit mereka, hempasan gada bima hanya
membuat mereka terhempas beberapa tombak saja, luka mereka pun tidak separah
sebelumnya. Bahkan bima sempat terpental, ketika gada mereka menyabet perut
Bima.
“firasatku
aneh kakang.” Ujar Arjuna yang terngah
Nampak
Arjuna berbincang dengan Bima, di tengah kesibukanya menghempaskan satu persatu
panah. Bima hanya mengangguk pelan mendengar ocehan Arjuna, ia masih sibuk
mengibaskan gadanya menghantam para raksasa. Beberapa Senapati sakti Amarta
tampak terluka, bahkan beberapa ada yang mati.
Arjuna,
Bima dan beberapa Senopati semakin terpukul mundur kedepan Istana. Disaat
kondisi semakin parah, Arjuna tambah bingung karena kedua adik kembarnya, Nakula
dan Sadewa justru ada di tengah pertempuran melawan para raksasa. Kedunya memang
membuat para raksasa mundur, Arjuna dan Bima bisa bernafas sejenak.
“Bagaimana dengan keadaan Ibu dan
para dayang, adimas”
“ada Kakang Karna kang mas”
Arjuna tampak terkejut mendengar
nama Karna. Ia adalah senapati Kurawa dengan kemampuan panah yang sama hebatnya
dengan Arjuna. keduanya sama sama berguru pada Durna, sang ahli panah terhebat
di dunia wayang. Namun Durna tidak mengakui Karna, karena ia hanya putra
seorang kusir, bukan keturunan Satria. Belakangan diketahui ia adalah Putra
Batara Surya.
“jangan sangka kedatanganku kesini
untuk membantu kalian”
“aku hanya ingin menyembahkan
baktiku kepada Ibu Kunthi” Ujar Karna sembari menembakkan panah saktinya dari
kejauhan.
Ternyata
Karna yang sudah mengerti jatidirinya sebagai anak kunti, ia ingin menyembahkan
bakti dan restu kepada Ibunya sebelum perang besar berlangsung. Arjuna sempat
memandang sinis kepada kedatangan Karna, tatapan Karna tak kalah sengitnya.
“ternyata kemampuanmu hanya sebatas
itu, Dananjaya”Karna tersenyum sinis.
Arjuna panas mendengar ejekan karna.
Memang kedatangan Karna membuat pasukan raksasa banyak menjumpai kematian. Dengan
Hujan Panahnya, banyak dari mereka langsung lebur menjadi debu. Pertempuran
mendekati senja, namun para raksasa kian bertambah banyaknya, meski tidak
sampai memasuki istana. Gatotkaca, Putra Bima sempat muncul. Ia berperan
menjauhkan puluhan raksasa dari Istana dengan mendorong puluhan raksasa sekali
pukul. Namun ia tetap kewalahan karena saking banyaknya.
Menjelang matahari terbenam, dari
arah Istana sebuah benda mirip roda muncul, ia mempunyai gerigi di bagian
pinggirnya. Ia berputar semakin cepat
diantara para raksasa. Para raksasa, hanya melongo meliahat roda itu berputar
semakin cepat. Tak lama terbentuk pusaran angin di tengahnya, dan menarik semua
rakasa ke pusaran. Tidak lama, bammm..pusaran meledak dan melemparkan para raksasa dengan kondisi yang
mengerikan.
Rupanya itu adalah Cakra Sudarsana
milik Prabu Kresa, sebuah senjata sakti milik batara Wisnu. Senjata Sakti ini
amat jarang digunakan Kresna kecuali dalam keadaan yang terdesak. Berkatnya,
seluruh raksasa hancur tak berbentuk. Potongan tubuh para raksasa mengotori
lantai dan dinding istana. Bau amis pun segera menyeruak kedalam istana, darah
berwarna hitam mengalir dari ceceran tubuh raksasa hijau itu.
Kresna hanya terdiam tanpa ekspresi,
ia menengok kepada Karna yang melongo melihat kesaktian titisan wisnu ini.
“Tugasmu
sudah selesai Suryaputra, aku sudah memenuhi janjimu untuk bisa membaktikan
diri kepada kunthi sebelum Baratayuda”
“aku pun senang, kau mau bertarung
dengan adik adikmu, meskipun hanya sebentar”
“te… te… rima kasih ka.. ka.. ka..
kakang, te.. telah membantu dharmaku kepada ibu” Karna tergagap, ia masih tak
percaya dengan kemampuan luar biasa kresna. Dalam sekejap karna lenyap dalam
pandangan.
Rupanya
Kresnalah yang memanggil Karna ke amarta, tempo hari mereka bertemu. Kresna
membujuk karna agar ada di pihak Pandawa, namun Karna menolak dengan alasan
membalas budi kepada kebaikan Duryudana pada tempo hari. Karna bersikukuh
membela Astina pada baratayuda nanti. Ia minta kepada Kresna untuk membantu ia
melaksanakan dharma kepada ibunya, sebelum Baratyuda.
Di
tengah keharuan, keanehan terjadi, busuk dan anyir darah tiba tiba menghilang.
Potongan tubuh yang tertempel di pohon dan tembok istana, lenyap tak berbekas.
Di kegelapan, tertangkap sebuah bayangan besar, dengan langkah berdebam ia
semakin mendekati Istana Amarta. Semakin tertangkap dalam cahaya rembulan,
bentuknya adalah raksasa yang telah dibantai kresna sore tadi, namun dengan
wujud lebih besar. Rupanya potongan tadi bersatu menjadi raksasa yang amat besar.
“biar
saya akhiri semua ini kakang” Arjuna marah ditengah lelahnya, ia merapalkan
mantra memanggil Brahmastra, sebuah panah super sakti dengan kekuatan nuklir.
Target dari anak panah tidak akan pernah meleset, dan dipastikan hancur
berkeping keeping. Semua benda pastilah hancur terkena panah brahmastra.
“kau
bisa membuat kita semua mati nger, biar aku yang menangani” Kresna mencegat
Arjuna pun mundur. Kresna juga tampak lelah semacam dipermainkan raksasa yang
tak jelas asalnya ini. Kresna member isyarat semuanya untuk menyingkir darinya.
Ia mengeluarkan Aji Tiwikrama, membuat dirinya sebesar gunung, dengan wujud
mengerikan. Tanganya berjumlah seribu dan setiap tangan memegang senjata dari
seluruh dunia, kepalanya berjumlah seratus dengan bentuk yang mengerikan. Ajian
ini hanya bisa dilakukan oleh para dewa. Dalam wujud mengerikan ini, Kresna
sering disebut Bhrahala Sewu
Namun tak disangka, raksasa tanpa nama ini
berubah wujud sebesar kresna. wubuhnya menjadi sama besarnya dengan kresna,
dalam Tiwikramanya Kresna bingung, sebab hanya ia yang mampu membuat dirinya
sebesar ini dalam dunia wayang. Kresna tambah besar menjadi sebesar dua gunung.
Raksasa itu menjadi sebesar dua gunung.
Keduanya
menjadi sosok paling mnegerikan, bahkan sampai astina bayangan keduanya nampak
jelas. Duryudana sempat bingung, dengan wujud Kresna dalam bentuk mengerikan
itu. Sebelumnya ia melihat Kresna dalam tiwikrama di lapangan astina. Namun ini
lebih besar dari yang dulu. Ia juga bingung karena ada bayangan besar lainya
selain dari Tiwikrama Kresna.
“aku
bersukur engkau tak turun dalam Baratayuda, Prabu” Duryudana menggumam pelan
Kresna
menajdi sebesar empat gunung, si rakasa tidak mau kalah dengan menjadikan
dirinya sebesar kresna. terus menerus keduanya hanya membesarkan diri tanpa mau
bertarung. Namun dari jongringsaloka, Istana para Dewa gaduhnya minta mapun,
mereka mengerti kemarahan kresna tidak bisa dilawan dengan apapun dan oleh
siapaun. Batara Guru pucat, anaknya bisa bisa mengahancurkan dunia dalam sekejap,
apalagi Brahalasewu sudah siap mengayunkan senjata. Terlebih raksasa itu sedari
tadi mengayunkan gadanya, sehingga membuat pusaran angin disekitarnya.
Namun
sebelum senjata itu berterbangan, Segumpal awan mendekat kepada dua raksasa
itu. Dan seketika keduanya berhenti berperang. Awan itu, bentuknya bulat namun
membentuk sesosok manusia, ia berbadan pendek, dengan pantat membesar. Perutnya
buncit bergelambir, dan memiliki susu besar seperti sosok sapi. Tak lain, ia
adalah sosok Semar.
“Nger
Kresna, segera kembali ke bentuk awalmu, kamu bisa menambah bencana saja”
terdengar suara menggema dari awan yang merupakan suara semar. Kresna hanya
terdiam dalam bentuk raksasanya.
Awan
yang berbentuk semar itu, menyelimuti tubuh raksasa. Dan kemudian tubuh raksasa
itu bisa hilang setelah ditutupi asap.Tak lama tiwikrama kresna menyusut dan
kembali dalam wujud Prabu Kresna. Semar begitu disegani diantara para dewa,
jangankan satu wisnu, seribu wisnu pun ia tak gentar. Sosok awan itupun
mendarat di Bumi, ia memadat dan membentuk sosok semar.
Semar
berjalan mendekati Kresna dan para Pandawa. Tidak lama, anak didiknya yaitu
anggota punakawan lain, yaitu Petruk, Gareng, dan Bagong berjalan dibelakang
semar. Antara Punakawan dan Pandawa plus Kresna sempat terdiam beberapa saat.
Terutama Kresna yang menyadari kesalahanya.
“siapa
mereka kakang semar” Pertanyaan Arjuna memecah keheningan.
“mereka
itu alam semesta, nger” semar menjawab singkat. Pandawa dan Kresna saling
bertatap bingung. Mereka saling bertanya satu sama lain, mengapa alam semesta,
dan mengapa alam semesta berwujud dalam bentuk mengerikan. Arjuna hendak angkat
bicara bertanya kepada semar.
“bentuk
mereka adalah wujud keserakahan kalian” Semar mendahului Arjuna. Pandawa dan
Kresna bertambah bingung
“
Maksutnya seperti apa kakang semar?” Kresna memberanikan bertanya kepada Semar
“apakah
kalian ingat ketika kalian membakar alas wanamarta, berapa dedaunan yang
terbakar, berapa batang pohon yang hangus, berapa hewan yang terpangang, yang
kehilangan tempat berteduhnya. Yang kehilangan sanak saudaranya. Apakah kalian
merasakan kalian sedang menghancurkan alam”
Semua
terdiam dengan wujud muka masam. Bima dengan gadanya menumbangkan sekian hektar
tampak meneteskan air mata.
“Mereka
adalah wujud kuasa alam, yang kapan saja muncul, ingat nger, Tugas kita adalah
memelihara alam, dan berfikir sadar. Yaitu sadar mengenal diri sendiri, sebab semakin
kita mengenal diri sendiri,kita semakin sadar merasakan ciptaaNya. Selanjutnya
kita akan Sadar bahwa kita tak seberapa besar dari alam, tak seberapa kuat dari
alam, dan tak seberapa kuasa dari alam. Kalian sendiri adalah bagian dari Alam,
ia akan muncul dihadapan kalian dengan wujud mengerikan jika kedunguan dan
ketamakanmu muncul, begitupun sebaliknya”
“Mereka
yang gagal mengenal diri, akibat tertutup nafsu cinta dunia dan kerakusan
kepada harta. Mereka hanya dipenuhi nafsu berkuasa semata, perlawanan Alam bagi
mereka adalah peristiwa biasa. Mereka hanya berfikir bagaimana cara
menyelesaikan kemurkaan alam dengan kekuataan, bukan memperbaiki moral dan
sikap diri sendiri. Seperti yang ditunjukan Kresna tadi.
“Sampai
kapanpun, kita tidak bisa melawan alam, kita hanya bisa mencegah marahnya Alam,
yaitu dengan jalan mencintai Alam, karena hanya Cinta yang dapat menghapus
kemurkaan. Alam adalah ciptaan Tuhan
yang mulia, ia hidup nger, ia memiliki kehendak, ia adalah wujud kuasaNya, ia
tidak hanya menjadi perkakas kehidupanmu semata.”
Akan
tibu suatu masa, sekelompok manusia yang tinggi ilmunya, namun rendah moralnya.
Mereka mendaku mengendalikan alam, dengan peralatan yang amat mutakhir, dan
yang terjadi mereka malah merusak Alam. Ketika Alam murka, mereka teringat
berdoa, teringat kepada Tuhan yang menciptakan Alam,.
“Berjanjilah
kalian untuk tidak merusak satu tumbuhan pun dalam Baratayuda, kalian pasti
akan menang. Alam akan memberikan kekuatan kepada Kita”
Semar
berlalu, diikuti para Punakawan. Pandawa dan Kresna sadar akan kesalahanya.
Bima bahkan daritadi sesenggukan menahan tangisnya. Mereka membisu dengan
kesalahan masing masing.
“mulai
besok, kita akan menanam pohon adimas, hutan yang sudah kita babat kita segera
hijaukan kembali” Kresna memecah keheningan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar