Kamis, 23 Mei 2013

Zona Ekonomi eklusif



Kumpulanistilah.com
Zona Ekonomi Eklusif adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang mendesak. Sedang Menurut Konvensi Hukum Laut yang baru, yang dimaksud  dengan ZEE adalah: “The exlusive Economic Zone is a are a beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific legal  rezim established in this part under which the rights and jurisdiction of the coastal State and the rights and freedom of other States are governed by the relevant provisions of this Convention”.
Maksudnya adalah ZEE adalah jalur diluar dan dengan laut wilayah, yang tunduk kepada rezim hukum khusus sebagaimana yang ditetapkan pada bagian ini yang meliputi hak-hak dan yurisdiksi  negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan dari pada Negara-negara lain yang ditentukan sesuai dengan konvensi ini.
Kemudian dalam Pasal 2 UU No. 5 tahun 1983, yang menetapkan bahwa. “ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undangundang yang berlaku tentang perairan iNdonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air diatasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.”
A.      Sejarah Dari ZEE
Sejarah dari Zona ekonomi Eklusif tidak lepas dari kebebasan negara berkembang yang berpantai tidak berpihak terhadap mereka, malah kebebasan yang digemborkan oleh negara negara maritim besar hanyalah semata-mata untuk mempertahankan kepentingan mereka sendiri. Dan masalah kebebasan mengeksplorasi laut hanyalah bisa dinikmati negara negara maju yang memiliki kepentingan yang didukung armada laut dan teknologi yang hebat. Dan ketidakadilan inilah yang mendorong negara negara berkembang yang berpantai melakukan tuntutan tuntutan dan merombak ketentuan-ketentuan hukum laut yang lama[1].
Terlebih dengan kebebasan yang telah digemborkan oleh negara negara maritim besar tersebut, mereka bisa mengakses sumber sumber alam yang berdekatan dengan wilayah yang berdekatan dengan pantai yang menjadi wilayah kedaulatan negara negara berkembang tersebut. Hal ini menimbulkan keirian dari negara negara maritim besar yang merasa lebih berhak mengakses sumber alam yang ada di sekitar laut milik mereka yang digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran negara mereka.
Demikianlah latar belakang timbulnya Zona Ekonomi Eklusif yang merupakan manifestasi kepentingan dari negara negara berkembang yang merasa sumber alam yang berada di dekat wilayah perairan mereka diusik oleh negara negara maritim besar, karena bagaimanapun hal ini merupakan pola penguasaan dan pengawasan terhadap aset aset yang ada di dekat zona perairanya[2].
Dan pada perkembanganya bermunculanlah deklarasi dan konferensi, Mulai dari Deklrasi Montevidio tanggal 8 Mei 1970 lalu muncul konferensi lima tanggal 8 agustus 1970, disusul Deklrasi san domingo tertanggal 7 Juni 1972, ketiganya perkembangan prinsip tentang laut yang berada di dekat kawasan perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara.
Selanjutnya dalam konferensi Yaoende dari tanggal 20 s/d 30 Juni 1972 menghasilkan keputusan tentang adanya tung dari garis suatu wilayah khusus di luar yurisdiksi perairan suatu negara yang bertujuan untuk eksplorasi sumber sumber biologis. Namun hal ini masih cacat dalam bentuk lebarnya zona eklusif tersebut, baru pada Konferensi OAU tingkat menteri di Addis Abeda dari tanggal 17 s/d 24 mei 1973 antara negara negara di afrika mengakui suatu zona ekonomi eklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil yang dihitung dari garis garis pangkal dari mana diukur lebar laut wilayah.
Setelah mengalami penyempurnaan, dalam sidang konferensi hukum laut sendiri, masyarakat internasional tidak mengalami kesulitan dalam menerima ketentuan ketentuan yang telah ada dalam konferensi OAU tingkat menteri di Addis Abeba ini.

B.      Ketentuan Lebar ZEE
Angka yang dikemukakan mengenai lebarnya zona ekonomi eklusif adalah 200 mil atau 370,4 km.  Dan ini diatur dalam pasal 57 KHL (Konvensi Hukum Laut) 1982. Kelihatanya angka ini tidak menimbulkan kesukaran dan dapat diterima oleh negara negara berkembang maupun negara maju. Semenjak dikemukakanya gagasan ekonomi, angka 200 mil dari garis pangkal tetap dijadikan pegangan. Sekiranya lebar laut wilayah 12 mil sudah diterima, seperti kenyataanya sekarang ini, sebenarnya lebar zona ekonomi tersebut 200 mil-12 mi= 188 mil[3].
Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200 mil menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya adalah berdasarkan sejarah dan politik: 200 mil tidak memiliki geografis umum, ekologis, dan biologis nyata.
C.      Prinsip Prinsip dari ZEE
Dalam pasal 56 Konvensi hukum laut tahun 1982 menyatakan memberi daulat pada negara pantai untuk keperluan ekspolarasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber kekayaan alam baik hayati maupun nonhayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut seperti produksi energi dari air, arus, dan angin[4].
Namun bukan berarti negara pantai dapat berbuat semaunya terhadap zona ekonomi tersebut atau melakukan zona laut itu dibawah kedaulatanya seperti kedaulatan di atas laut wilayah. Bahkan sebaliknya, semua negara apakah berpantai atau tidak (pasal 58 Konvensi) tetap dapat mempergunakan bagian laut tersebut sebagai laut lepas dengan kebebasan kebebasanya.
Siapa saja yang berhak memanfaatkan sumber sumber kekayaan yang terdapat di zona ekonomi eklusif? Apakah sumber-sumber kekayaan alam di zona laut tersebut dicadangkan untuk negara-negara pantai saja? Ataukah negara-negara lain berhak dan kalau demikian bagaimana caranya?
Berdasarkan prinsip keadilan yang sama-sama diterima baik oleh negara-negara berkembang maupun oleh negara-negara berkembang maupun oleh negara-negara maju, negara negara tak berpantai juga diberi hak untuk mengambil kekayaan-kekayaan alam yang terdapat di zona ekonomi, namun untuk bisa berpartisipasi tidak bisa dilakukan begitu saja, tetapi diatur oleh ketentuan oleh negara negara berpantai dan negara negara yang tak berpantai yang dirumuskan dengan persetujuan bilateral maupun dalam bentuk multilateral atas dasar yang adil. Terlebih eksporasi yang diperbolehkan hanyalah sebatas sumber sumber biologis saja, mineral dan semacamnya digunakan untuk dimanfaatkan oleh negara pantai yang bersangkutan untuk dimanfaatkan kekayaanya demi kemajuan dan perkembangan bangsanya[5].
D.      Beberapa pendapat tentang ZEE
a.       ZEE sebagai bagian dari laut lepas
Pendapat ini mengetengahkan bahwa walaupun kepada negara pantai diberikan hak hak dan yurisdiksinya yang meliputi hal-hal tertentu di dalam zona maritim seluas 200 mil dari garis pangkal untuk mengukur laut teritorial, keadaan ini tidak mengubah status hukum dari zona maritim yang disebut laut lepas. Hal ini yang sama dijumpai pada zona tambahan sebagai laut lepas.
Menurut pendapat ini bahwa pemegang berbagai hak pada laut lepas termasuk zona ekonomi eklusif adalah masyarakat internasional yang kemudian atas dasar kekuasaan mereka melakukan penyerahan hak kepada negara pantai. Teori ini dibahas pada permulaan persiapan UNCLOS III bersandarkan kepada konsep international mandate yang kemudian negara pantai memperoleh mandat sebagai pemegang kuasa dari masyarakat internasional. Dalam kaitan ini negara pantai di dalam melaksanakan mandat tersebut akan diawasi oleh negara negara lain[6].

b.      ZEE sebagai zona yurisdiksi nasional
Pendapat ini menyatakan bahwa Zona ekonomi Eklusif adalah bagian dari wilayah yurisdiksi atau kedaulatan sebuah negara. Dalam KHL 1982 Francisco Orrego Vicuna mengatakan kawasan laut yang dimungkinkan dimasukan dalam Zona Yurisdiksi Nasional :
i.                     Perairan pedalaman dan laut teritorial sampai sejauh dua belas mil
ii.                   Perairan kepulauan (archipelagic watersI) yang terdiri dari perairan di dalam garis pangkal yang menghubungkan titik-titik paling luar dari pulau pulau paling luar dan batu-batu karang dari suatu kepulauan, yang pada perairan tersebut kepulauan melaksanakan kedaulatanya secara penuh.
iii.                  Zona Ekonomi Eklusif sampai sejauh 200 mil, yang pada zona tersebut negara pantai melaksanakan hak berdaulat atas sumber daya alam serta aktivitas ekonomi lainya dan yurisdiksi yang berkaitan dengan berbagai instalasi, riset ilmiah dan pemeliharaan lingkungan kelautan. Zona tambahan adalah termasuk di dalam ZEE sampai sejauh 24 mil [7].

c.       ZEE sebagai zona sui generis
Sebagian besar pendapat mengatakan ZEE adalah tertium genus dengan rezim hukum tersendiri, yang berbeda dari konsep tradisional laut yang dualistik dalam membagi laut di dalam laut teritorial dan laut lepas[8].
Pendapat ini tidak lepas dari faktual bahwa elemen elemen dari laut lepas bisa dijumpau pada ZEE, yaitu kebebasan kebebasan laut lepas (freedom of the high seas) disamping itu ZEE memuat elemen-elemen dari laut teritorial, serta hak hak tentang sumber daya alam hayati berbagai aktivitas ekonomi lainya, berbagai instalasi, riset ilmiah, dan pemeliharaan lingkungan kelautan.
Terlebih, secara normatif status sui generis juga dapat ditemukan pengaturanya dalam KHL (Konvensi Hukum Laut) 1982 sebagai berikut :
a)      Pasal 55, yang menyatakan bahwa ZEE adalah kawasan laut di luar dan bersambung dengan laut teritorial yang berada di bawah rezim khusus yang diatur oleh Part V KHL 1982.
b)      Pasal 59, mengenai penyelasain konflik tentang hak-hak dan yurisdiksi di dalam ZEE, yang menyatakan setiap konflik harus diselesaikan atas dasar keadilan, dengan mempertimbangkan seluruh keadaan yang penting dan berkaitan dengan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan.

E.       ZEEI (Zona Ekonomi Eklusif Indonesia)
Zona ekonomi Eklusif Indonesia merupakan perluasan Yurisdiksi Republik atas kawasan laut 200 mil yang diukur dari garis pangkal. Zona ekonomi eklusif Indonesia diatur oleh undang-undang No. 5 Tahun 1983 yang diundangkan tanggal 18 oktober 1983. ZEEI adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sesuai dengan ketentuan undang undang yang berlaku tentang perairan Indonesia, yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis laut wilayah Indonesia.
a.       Hak berdaulat dan Yurisdiksi Republik Indonesia
ZEEI, Indonesia mempunyai dan melaksanakan hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan ekspolitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan nonhayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan kegiatan lainya untuk eksplorasi dan ekspolitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin. Adapun yang dimaksudkan dengan hak berdaulat Indonesia tidak sama atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan oleh Indonesia atas laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia. Kesimpulanya, sanksi yang diancamkan berbeda antara pelanggaran dalam lingkup ZEEI dan sanksi yang diancamkan di perairan yang berada dalam kedaulatan penuh Indonesia.
Dalam penjelasan UU No. 5 Tahun 1983 dinyatakan bahwa konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut memberikan kepada Indonesia sebagai negara pantai hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terdapat di ZEEI dan yurisdiksi yang berkaitan dengan pelaksanaan hak tersebut.

b.      Hak-hak dan kewajiban lain Republik Indonesia
Di ZEEI, Indonesia mempunyai hak hak dan kewajiban lainya. Menurut KHL (Konvensi Hukum Laut) 1982 di dalam melaksanakan hak-hak dan kewajibanya di ZEE, negara pantai harus meperhatikan hak-hak dan kewajiban negara lain serta bertindak sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi.
Di dalam kaitan ini menurut pasal 73 KHL 1982 negara pantai memiliki hak pnegakan hukum, yaitu untuk[9]:
a.       Menaiki, melakukan Inspeksi, menahan dan mengajukan ke pangadilan kapal-kapal beserta awaknya.
b.      Membebaskan kapal dan awaknya yang ditahan dibayar uang jaminan.
c.       Negara pantai dalam melakukan penahan kapal-kapal asing harus segera memberitahukan perwakilan negara bendera atas tindakan tindakan yang diambil dan denda yang dikenakan.
d.      Dalam hal tidak terdapat perjanjian internasional atas pelanggaran hukum dan perundangan-undangan negara pantai tidak diperkenankan melakukan hukuman penjara.
c.       Konservasi Sumber daya alam Hayati dan Ekosistemnya
Dalam pengumuman pemerintah RI tentang ZEEI tanggal 21 Maret 1980, Indonesia telah menambah daerah yurisdiksi sumber kekayaan alam sebesar 2,7 Juta km2 di luar 2,8 juta km2 yang tercakup di dalam perairan nusantara. Ketentuan dalam konvensi yang mengatur perlindungan lingkungan laut dan penelitian cukup memberikan wewenang dan manfaat pada negara pantai.[10]
Dalam kaitan dengan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, Pasal 12 dari UUHL (Undang-Undang No. 4 Tahun 1982) menyatakan bahwa ketentuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditentukan oleh Undang Undang.
Dalam penjelasan UULH tersebut dinyatakan bahwa pengertian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya mengandung tiga aspek yaitu:
1.       Perlindungan sistem penyangga kehidupan.
2.       Pengawetan dan pemelihraan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
3.       Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.[11]

SUMBER PUSTAKA
Buku
Anwar, Chairil, Zona Ekonomi Eklusif di dalam Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Mauna, Boer, Hukum Internasional, Pengertian peranan dan fungsi dalam era dinamika Global, Alumni, Bandung, 2001.
INTERNET



[1]Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian peranan dan fungsi dalam era dinamika Global, Alumni, Bandung, 2001, hlm 318
[2] Lihat Boer Mauna, ibid, hlm 319
[3] Ibid, hlm 321
[4] Ibid,hlm 322
[5] Ibid,hlm 323
[6] Chairul Anwar,  ZEE di dalam Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm 21
[7] Ibid, hlm 23
[8] Ibid,hlm 24
[9] Ibid, hlm 163
[10] Hardjasoemantri, Koesnadi  dalam Chairil Anwar, ibid, hlm 164
[11] Loc Cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar