Dunia maya,
memang memesona. Apalagi gratis, tempat satu satunya hanya di LPM Pabelan.
Kebetulan siang itu aktivitas kantor libur, aku mengorbankan kesendirian di kos
dengan bersimulacra di dunia maya
siang itu. Sampai sampai derunya tangis langit di siang hari yang
mentrnasformasikan dalam bentuk gerimis luput dari indra. Indraku tak
menggubris rintik jarum jarum langit yang mencoba menyejukkan siang itu.
Aku teringat motorku masih belum aman terguyur
gerimis yang mengundangku untuk keluar, segera setelah mengamankan aku menghampiri
Wahyudi, wakil presiden terpilih UMS tahun ini. Tubuhnya yang bisa kukatakan
cungkring ini sedang asyiknya memeluk bantal didepan kantor DPM yang hanya
digelari karpet. Didepanya setumpuk buku dari berbagai genre tertata rapi,
agaknya ia habis selesai membacanya. Wasis, Menteri PIK sedang asyik memandang
layar kaca, tak kalah wasis yang dulunya Ketua KPUM juga dikelilingi buku buku.
Aku membuka
pembicaraan dengan menanyakan tentang buku Alvin Toefler dengan The Third Wave nya pada Wahyudi. Tak alpa,
kutanya darimana pula Dunia Sophie karya Jostein Gaarder yang terganjal dibawah
Laptop Wasis. Obrolan berlanjut kehal yang lain, Wahyudi yang semakin jompo
menjanjikan sebuah script untuk
kelulusanya, Wasis malah akan menulis tentang nalar ajar Tan Malaka sebagai sumber karyanya.
Tak mau kalah, aku sempat berjanji akan menjadi tongkat estafet wacana
Transformasi Syariat Islam dalam Indonesia yang dibawa M. Natsir, dan berlanjut
ke Yusril. Selanjutnya kami berbicara
tentang Paradigma Profetik “mbah” Kuntowijoyo, Gaya Periferal Jokowi beserta
Surveynya, Partai Islam dan peluangnya di 2014, Solo dengan tradisi kleniknya,
salah satunya kami sempat membahas pawang hujan.
Seperti biasa,
sebagai eksponen gerakan, pembicaraan tentang kaderisasi dan politik kampus
menjadi tabu untuk tidak dibicarakan. Sempat beberapa mengupas gerakan gerakan
sosialis dan kekirian, dan beberapa tokoh gerakan beserta pemikiranya. Tibalah
sampai pertanyaan ringan wahyudi padaku,”Sal, KAMMI sekarang gimana, dulu di
kampus hebat lho, sekarang kayak ngak terasa”. Ada dua pilihan jawaban untukku,
berbohong atau diam kemudian mengalihkan perhatian.
Aku yakin
pilihan kedua lebih tepat untuk berbicara wacana wacana selanjutnya. mungkin
karena “kendablegan” ku, sampai sampai perkembangan KAMMI di kampus aku sendiri
tak tahu. Ada istilah “Kader luput” yang sempat disematkan Dika HMI kepada
kader gerakan yang setengah setengah dalam menekuni dunia pergerakan. Mungkin
saja stereotip “kader Luput” telah tertanam padaku, entahlah.
Tantangan Wacana Dan Kepemimpinan
Adalah Non
Bijaksana, ketika menghadirkan dan menelaah problem tanpa ada tawaran Solutif.
Dibawah sebenarnya adalah sexuel dari
tulisan saya sebelumnya, yang berjudul,” KAMMI dan Kampus pergerakan (Refleksi
kritis Pemilwa 2013) Part 1”, masalah yang dihadapi kiranya sama. Yaitu
kurangnya progress dalam kampus itu sendiri, namun dibawah adalah semacam jalan
alternatif ketika buntu itu mengahadang.
Melihat fakta
KAMMI yang lalu sempat berbicara di tingkat parlemen saja, pilihan duduk
sebagai anggota parlemen bukanlah tujuan utama. Karena jika ada tawaran yang
lebih baik kenapa tidak. Seperti dikatakan di awal, di eksektutif lebih
menjanjikan untuk merealisasikan program dan kepentingan. Meski sistem kontrol
di tangan DPM, namun sejauh ini sistem kontrol yang terjadi tidaklah begitu
ketat. Meskipun dalam posisi kedua lembaga sama sama kuat, kritik dan kontrol
lebih pada formal atau pelaksanaan kebijakan. Bukan pada substansi dan materi
kebijakan.
Sebagai
pembuat kebijakan yang merupakan implementasi dari Undang Undang, tentu ranah
gerak kerja lebih interpretatif dan luas daripada duduk di parlemen, yang
kadang terlalu Zakelijk (baca:
saklek) dan monoton. Nah, sebenarnya
dari situlah langkah besar itu dimulai. Kompetisi selanjutnya adalah bertarung
wacana kebijakan dalam lingkup eksekutif. Sehingga pertarungan kepentingan
tidak hanya ada dalam ranah legislasi saja, tapi di ruang eksekutif hal ini
bisa dikompetisikan.
Saya
hanya menyesalkan, Kabinet terbaru ini hanya satu warna dan satu bendera. Saya
heran pula, tidak ada gerakan lain yang ikut dalam proses perekrutan staff di
Bem. Padahal jabatan di Bem potensial sekali untuk bermain pencitraan, apalagi
media (Pabelan) setia mengikuti di tiap langkahnya.
Sebenarnya,
tantangan dan dialektika politik tidak hanya terjadi di tataran lingkaran
kepemimpinan Bem dan DPM. Dalam hal lain, sebenarnya ada alternatif kompetisi
lain meski gaungnya tidak terlalu besar dibanding dengan pemilihan mahasiswa.
yaitu lewat jalur UKM dan HMP HMP yang ada di Masing masing Fakultas dan
Progdi. Kompetisi itu terjadi utamanya dalam musyker (Musyawarah Kerja) yang
salah satu programnya adalah memilih Nakhkoda baru.
Memang
prestise sebagai ketua HMP atau UKM masih kalah jauh dibanding BEM atau DPM
sekalipun. Namun cukup positif untuk ditanggapi, selain sebagai pengemban
program dan penanggung jawab utama dalam kegiatan UKM atau HMP itu, hak politik
berupa suara dan bicara dari UKM tidak dikebiri begitu saja. Dalam sidang ataupun
pemilihan gubernur di tingkat fakultas, pencalonan tidak hanya dimonopoli
lembaga Eksekutif maupun Legislatif, namun UKM yang punya basic massa juga
dilibatkan, ini penting untuk meningkatkan Bergaining
Position diantara gerakan lain.
Kesempatan
lain yang cukup menggembirakan, UKM ternyata punya suara dalam sidang Parlemen,
meski hanya UKM tingkat Universitas, namun kesempatan cukup langka. Ketika Para
utusan UKM bisa menjadi satu Faksi dalam satu suara. Utusan utusan UKM ini bisa
menambal cacat suara dalam kekuatan fraksi di Parlemen. Secara sederhana,
kekuatan UKM ini efektif selain menselaraskan kebijakan dengan idea juga untuk
menambal kecacatan dalam Parlemen yang kadang tidak menentu jumlah dan
suaranya.
Menulis atau Mati
Publish or Perish, adalah sebuah
pewacanaan di era dunia kesarjanaan. Mahasiswa khususnya sarjana ditekankan
membuat karya berupa tulisan untuk dipublikasikan. Apabila tidak, maka
selayakanya gelar kesarjaan patut dipertanyakan, karena pula tidak membuat
tulisan bagai sebuah kematian, maka dalam potret kesarjaan untuk dianggap
eksist maka selayaknya menulis menjadi jalan terbaik.
Menulis
menjadi senjata para revolusioner ketika mereka sudah dipasun kebebasanya.
Muhammad Natsir, Hasan AL Bana, Tan Malaka, Che Guevara, semuanya menciptakan
buku ketika kebebasan yang dirasakan
adalah Utopis dan tak mungkin terjadi. Dan hebatnya buku buku yang mereka tulis
menginspirasi banyak orang. Dari tulisan itulah bisa diketahui pewacanaan yang
sangat luar biasa dari tokoh tokoh itu.
Misalnya
dari komulasi tulisan Tan Malaka bisa dikatakan ia penganut Marxis revisionis
atau penganut paham Tolstoy. Atau Muhammad Natsir yang berbicara tentang agama
dan negara menitikbertakan pada pemahaman syariat islam bisa hidup di tengah
tengah masyarakat Indonesia. Beda dengan Bung Karno yang mengkomulasi Komunis,
Nasionalis, dan agama dalam satu wadah. Intinya dari sebuah tulisan pewacanaan
seseorang bisa dibaca, ia akan apa dan akan kemana.
Dari
prolog ini saya hanya bisa menyampaikan gagasan, kritik, saran dan pendapat
untuk KAMMI sendiri. Pertama, ketika
kita harus sadar kita ada dalam kungkungan “moncong oligarki” (meminjam istilah
Irfan Anshori). Tekanan politis dan hal lainya menjadi barang yang lumrah,
apalagi secara logistik politik kurang menjamin dan mendukung. Menulis menjadi
kartu truf ketika hal hal itu terjadi, bisa menjadi sebuah refleksi, daya
kritis, lontar penalaran, atau somasi secara eksplisit.
Kedua, dengan menulis pencitraan yang
bisa dilakukan akan lebih maksimal. Utamanya lewat media massa, baik dalam
jangkaun kampus maupun regional. Hal ini tidak mungkin dilarang oleh siapapun
di era reformasi kini. Cara pencitraan lewat karya tentu tidak begitu beresiko
dibanding Iklan diri di mading kampus yang kadang hanya seumuran jagung.
Ketiga, pencitraan yang dilakukan selain
menguatkan citra secara formal (bentuk) juga menjadi tanda (sign) bahwa pewacanaan yang kita
tanamkan telah sampai mana. Alhasil bergaining
position yang dilakukan lewat karya ini bisa membuktikan, Ini Lho Wacana KAMMI,
ini Lho tujuan KAMMI. Sehingga orang awam mengenal KAMMI tidak hanya lewat aksi
di jalanan, lihatlah kader KAMMI bisa menulis dan berkarya.
Terakhir
dari pesan ini semoga, tulisan tulisan anda semua dalam waktu dekat bisa
menelurkan sebuah karya dalam berbagai media massa. Saya kira ini era
reformasi, mirislah kita kalau hanya menggunakan sarana sarana (mis. FB,
Twitter, Blog, dll) hanya untuk meratap dan melemahkan diri. Ada banyak hal
yang belum digali dari proses Simulacra didalam
pemanfaatn sarana tersebut.
***
Dalam
akar Filsafat Barat, Paham Kosmologi adalah ajaran yang berkembang sebelum
manusia mengenal Teologi dan Anthropologi. Filsafat ini mendasarkan pada
pendekatan empiris terhadap alam alam disekitarnya. Hingga pola interaksi antar
alam dan manusia terbentuk. Gerimis sebagai bagian dari fenomena alam, siang
itu yang telah memberi kabar dan cerita. Entah sebenarnya apa yang terjadi. C.G
Jung, Seorang Psikoanalisa dari Swiis mengaitkan interaksi dan sinkronisasi
antar manusia dengan yang lainya terstruktur atas suatu “Kebetulan”. Mungkin
spekulan, kebetulan saja, gerimis siang itu memberi sebuah kabar dan cerita.
Ditulis 5 November 2013.
sudah ada lampu hijau mas:)
BalasHapushahaha... ternyta ada yang komnetar ya??
BalasHapusberarti tulisanya dibaca???
hehehe.. lampu hijaunya apa ya akh??