Selasa, 12 November 2013

CERITA DARI GERIMIS


Dunia maya, memang memesona. Apalagi gratis, tempat satu satunya hanya di LPM Pabelan. Kebetulan siang itu aktivitas kantor libur, aku mengorbankan kesendirian di kos dengan bersimulacra di dunia maya siang itu. Sampai sampai derunya tangis langit di siang hari yang mentrnasformasikan dalam bentuk gerimis luput dari indra. Indraku tak menggubris rintik jarum jarum langit yang mencoba menyejukkan siang itu.
 Aku teringat motorku masih belum aman terguyur gerimis yang mengundangku untuk keluar, segera setelah mengamankan aku menghampiri Wahyudi, wakil presiden terpilih UMS tahun ini. Tubuhnya yang bisa kukatakan cungkring ini sedang asyiknya memeluk bantal didepan kantor DPM yang hanya digelari karpet. Didepanya setumpuk buku dari berbagai genre tertata rapi, agaknya ia habis selesai membacanya. Wasis, Menteri PIK sedang asyik memandang layar kaca, tak kalah wasis yang dulunya Ketua KPUM juga dikelilingi buku buku.
Aku membuka pembicaraan dengan menanyakan tentang buku Alvin Toefler dengan The Third Wave nya pada Wahyudi. Tak alpa, kutanya darimana pula Dunia Sophie karya Jostein Gaarder yang terganjal dibawah Laptop Wasis. Obrolan berlanjut kehal yang lain, Wahyudi yang semakin jompo menjanjikan sebuah script untuk kelulusanya, Wasis malah akan menulis tentang  nalar ajar Tan Malaka sebagai sumber karyanya. Tak mau kalah, aku sempat berjanji akan menjadi tongkat estafet wacana Transformasi Syariat Islam dalam Indonesia yang dibawa M. Natsir, dan berlanjut ke Yusril. Selanjutnya  kami berbicara tentang Paradigma Profetik “mbah” Kuntowijoyo, Gaya Periferal Jokowi beserta Surveynya, Partai Islam dan peluangnya di 2014, Solo dengan tradisi kleniknya, salah satunya kami sempat membahas pawang hujan.
Seperti biasa, sebagai eksponen gerakan, pembicaraan tentang kaderisasi dan politik kampus menjadi tabu untuk tidak dibicarakan. Sempat beberapa mengupas gerakan gerakan sosialis dan kekirian, dan beberapa tokoh gerakan beserta pemikiranya. Tibalah sampai pertanyaan ringan wahyudi padaku,”Sal, KAMMI sekarang gimana, dulu di kampus hebat lho, sekarang kayak ngak terasa”. Ada dua pilihan jawaban untukku, berbohong atau diam kemudian mengalihkan perhatian.
Aku yakin pilihan kedua lebih tepat untuk berbicara wacana wacana selanjutnya. mungkin karena “kendablegan” ku, sampai sampai perkembangan KAMMI di kampus aku sendiri tak tahu. Ada istilah “Kader luput” yang sempat disematkan Dika HMI kepada kader gerakan yang setengah setengah dalam menekuni dunia pergerakan. Mungkin saja stereotip “kader Luput” telah tertanam padaku, entahlah.
Tantangan Wacana Dan Kepemimpinan
                Adalah Non Bijaksana, ketika menghadirkan dan menelaah problem tanpa ada tawaran Solutif. Dibawah sebenarnya adalah sexuel dari tulisan saya sebelumnya, yang berjudul,” KAMMI dan Kampus pergerakan (Refleksi kritis Pemilwa 2013) Part 1”, masalah yang dihadapi kiranya sama. Yaitu kurangnya progress dalam kampus itu sendiri, namun dibawah adalah semacam jalan alternatif ketika buntu itu mengahadang.
                Melihat fakta KAMMI yang lalu sempat berbicara di tingkat parlemen saja, pilihan duduk sebagai anggota parlemen bukanlah tujuan utama. Karena jika ada tawaran yang lebih baik kenapa tidak. Seperti dikatakan di awal, di eksektutif lebih menjanjikan untuk merealisasikan program dan kepentingan. Meski sistem kontrol di tangan DPM, namun sejauh ini sistem kontrol yang terjadi tidaklah begitu ketat. Meskipun dalam posisi kedua lembaga sama sama kuat, kritik dan kontrol lebih pada formal atau pelaksanaan kebijakan. Bukan pada substansi dan materi kebijakan.
                Sebagai pembuat kebijakan yang merupakan implementasi dari Undang Undang, tentu ranah gerak kerja lebih interpretatif dan luas daripada duduk di parlemen, yang kadang terlalu Zakelijk (baca: saklek) dan monoton.  Nah, sebenarnya dari situlah langkah besar itu dimulai. Kompetisi selanjutnya adalah bertarung wacana kebijakan dalam lingkup eksekutif. Sehingga pertarungan kepentingan tidak hanya ada dalam ranah legislasi saja, tapi di ruang eksekutif hal ini bisa dikompetisikan.
                Saya hanya menyesalkan, Kabinet terbaru ini hanya satu warna dan satu bendera. Saya heran pula, tidak ada gerakan lain yang ikut dalam proses perekrutan staff di Bem. Padahal jabatan di Bem potensial sekali untuk bermain pencitraan, apalagi media (Pabelan) setia mengikuti di tiap langkahnya.
                Sebenarnya, tantangan dan dialektika politik tidak hanya terjadi di tataran lingkaran kepemimpinan Bem dan DPM. Dalam hal lain, sebenarnya ada alternatif kompetisi lain meski gaungnya tidak terlalu besar dibanding dengan pemilihan mahasiswa. yaitu lewat jalur UKM dan HMP HMP yang ada di Masing masing Fakultas dan Progdi. Kompetisi itu terjadi utamanya dalam musyker (Musyawarah Kerja) yang salah satu programnya adalah memilih Nakhkoda baru.
                Memang prestise sebagai ketua HMP atau UKM masih kalah jauh dibanding BEM atau DPM sekalipun. Namun cukup positif untuk ditanggapi, selain sebagai pengemban program dan penanggung jawab utama dalam kegiatan UKM atau HMP itu, hak politik berupa suara dan bicara dari UKM tidak dikebiri begitu saja. Dalam sidang ataupun pemilihan gubernur di tingkat fakultas, pencalonan tidak hanya dimonopoli lembaga Eksekutif maupun Legislatif, namun UKM yang punya basic massa juga dilibatkan, ini penting untuk meningkatkan Bergaining Position diantara gerakan lain.
                Kesempatan lain yang cukup menggembirakan, UKM ternyata punya suara dalam sidang Parlemen, meski hanya UKM tingkat Universitas, namun kesempatan cukup langka. Ketika Para utusan UKM bisa menjadi satu Faksi dalam satu suara. Utusan utusan UKM ini bisa menambal cacat suara dalam kekuatan fraksi di Parlemen. Secara sederhana, kekuatan UKM ini efektif selain menselaraskan kebijakan dengan idea juga untuk menambal kecacatan dalam Parlemen yang kadang tidak menentu jumlah dan suaranya.
Menulis atau Mati
Publish or Perish, adalah sebuah pewacanaan di era dunia kesarjanaan. Mahasiswa khususnya sarjana ditekankan membuat karya berupa tulisan untuk dipublikasikan. Apabila tidak, maka selayakanya gelar kesarjaan patut dipertanyakan, karena pula tidak membuat tulisan bagai sebuah kematian, maka dalam potret kesarjaan untuk dianggap eksist maka selayaknya menulis menjadi jalan terbaik.
                Menulis menjadi senjata para revolusioner ketika mereka sudah dipasun kebebasanya. Muhammad Natsir, Hasan AL Bana, Tan Malaka, Che Guevara, semuanya menciptakan buku ketika kebebasan yang  dirasakan adalah Utopis dan tak mungkin terjadi. Dan hebatnya buku buku yang mereka tulis menginspirasi banyak orang. Dari tulisan itulah bisa diketahui pewacanaan yang sangat luar biasa dari tokoh tokoh itu.
                Misalnya dari komulasi tulisan Tan Malaka bisa dikatakan ia penganut Marxis revisionis atau penganut paham Tolstoy. Atau Muhammad Natsir yang berbicara tentang agama dan negara menitikbertakan pada pemahaman syariat islam bisa hidup di tengah tengah masyarakat Indonesia. Beda dengan Bung Karno yang mengkomulasi Komunis, Nasionalis, dan agama dalam satu wadah. Intinya dari sebuah tulisan pewacanaan seseorang bisa dibaca, ia akan apa dan akan kemana.
                Dari prolog ini saya hanya bisa menyampaikan gagasan, kritik, saran dan pendapat untuk KAMMI sendiri. Pertama, ketika kita harus sadar kita ada dalam kungkungan “moncong oligarki” (meminjam istilah Irfan Anshori). Tekanan politis dan hal lainya menjadi barang yang lumrah, apalagi secara logistik politik kurang menjamin dan mendukung. Menulis menjadi kartu truf ketika hal hal itu terjadi, bisa menjadi sebuah refleksi, daya kritis, lontar penalaran, atau somasi secara eksplisit.
                Kedua, dengan menulis pencitraan yang bisa dilakukan akan lebih maksimal. Utamanya lewat media massa, baik dalam jangkaun kampus maupun regional. Hal ini tidak mungkin dilarang oleh siapapun di era reformasi kini. Cara pencitraan lewat karya tentu tidak begitu beresiko dibanding Iklan diri di mading kampus yang kadang hanya seumuran jagung.
                Ketiga, pencitraan yang dilakukan selain menguatkan citra secara formal (bentuk) juga menjadi tanda (sign) bahwa pewacanaan yang kita tanamkan telah sampai mana. Alhasil bergaining position yang dilakukan lewat karya ini bisa membuktikan, Ini Lho Wacana KAMMI, ini Lho tujuan KAMMI. Sehingga orang awam mengenal KAMMI tidak hanya lewat aksi di jalanan, lihatlah kader KAMMI bisa menulis dan berkarya.
                Terakhir dari pesan ini semoga, tulisan tulisan anda semua dalam waktu dekat bisa menelurkan sebuah karya dalam berbagai media massa. Saya kira ini era reformasi, mirislah kita kalau hanya menggunakan sarana sarana (mis. FB, Twitter, Blog, dll) hanya untuk meratap dan melemahkan diri. Ada banyak hal yang belum digali dari proses Simulacra didalam pemanfaatn sarana tersebut.
***
                Dalam akar Filsafat Barat, Paham Kosmologi adalah ajaran yang berkembang sebelum manusia mengenal Teologi dan Anthropologi. Filsafat ini mendasarkan pada pendekatan empiris terhadap alam alam disekitarnya. Hingga pola interaksi antar alam dan manusia terbentuk. Gerimis sebagai bagian dari fenomena alam, siang itu yang telah memberi kabar dan cerita. Entah sebenarnya apa yang terjadi. C.G Jung, Seorang Psikoanalisa dari Swiis mengaitkan interaksi dan sinkronisasi antar manusia dengan yang lainya terstruktur atas suatu “Kebetulan”. Mungkin spekulan, kebetulan saja, gerimis siang itu memberi sebuah kabar dan cerita.

Ditulis  5 November 2013.

2 komentar:

  1. hahaha... ternyta ada yang komnetar ya??
    berarti tulisanya dibaca???
    hehehe.. lampu hijaunya apa ya akh??

    BalasHapus