Islam
pada masa pemerintah Kolonial selalu menjadi penghalang, yang selalu
menyusahkan kuku kolonial leluasa menancapkan kekuasaan di Bumi Nusantara.
Pemberontakan yang dipimpin para Ulama dan Haji, selalu diwaspadai oleh para
gubernur jenderal, hingga kemudian dipikirkan cara terbaik untuk meredam
semangat perlawanan Umat Islam. Pendirian Kantoor
voor Inlandasche Zaken atau kantor urusan nasehat untuk masalah Pribumi
pada 1899, menandai keawaspadaan Total pemerintah Kolonial terhadap gerakan
Islam. Sebab mayoritas Pribumi adalah beragama Islam, maka otomatis, Islam
menjadi fokus garapan kantor ini.
Nama
Snouck cukup dikenal sebagai kepala komisaris kantor tersebut, selain nama
besarnya dalam studi Islam di Hindia Belanda. Rekam Jejak Snouck cukup
istimewa, ia berhasil membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda meningkatkan
kewaspadaan kepada Politik Ummat Islam. Snouck meyakinkan Pemerintah Belanda
agar mereduksi Islam sekedar berkembang menjadi agama ibadah saja. Politik
Islam yang menjadi inspirasi perlawanan terhadap pemerintah Kolonial, sedikit
banyak dikurangi.
Kejeniusan
Snocuk tidak lepas dari kenyataan dirinya adalah seorang Muslim, dengan
menyamar sebagai Abdul Gaffar, Snouck telah mempelajarai Islam di Mekkah. Dan
yang tidak kalah penting, Snocuk didampingi seorang Ulama, yaitu Sayyid Utsman.
Rekam jejak Sayyid Utsman, terbilang kontroversi pada zamanya. Disaat para
Ulama lain, gigih menentang pemerintah Kolonial. Ia justru ada dalam Kubu seberang,
tak jarang Sayyid Utsman menjadi santapan empuk kritik Ulama saat itu, ia
dituduh menjual Agama kepada Pemerintah Kolonial. hal ditambah kenyataan bahwa Sayyid Utsman
adalah seorang mufti di wilayah Batavia.
Namun
Sayyid Utsman juga tidak sedikit mendapat pujian, terutama karena keuletan
Sayyid Ustsman dalam menentang Bid’ah yang berlindung di balik baju tradisi dan
budaya. Oleh sebab itu, tidak sedikit yang menyebutnya sebagai “Ulama
Pembaharu”.
Sekilas Sayyid Utsman
Sayyid
Utsman dilahirkan di Pekojan, Betawi, pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 (1822
M). Ayahnya, Abdullah, dan kakeknya ‘Aqil, dilahirkan di Makkah, tetapikakek
ayahnya, Umar, dilahirkan di Hadramaut tepatnya di desa Qârah Âl Syaikh. Mengenai
kakek Sayyid Utsman, ‘Aqil, informasi dari Snouck hanya menjelaskan bahwa dia
adalah seorang yang cukup terhormat di Makkah. Jabatannya sebagai syaikh
al-sâdah (pemimpin para sayyid) disandangnya selama 50 tahun. Ia
kemudianmeninggal dalam penjara Syarif Akbar. Sedangkan ibu Sayyid Utsman
bernamaAminah adalah putri dari Syekh Abdurrahman al-Mishri, seorang ulama
keturunanMesir yang sudah ada di Indonesia.
Sayyid
Utsman pun diasuh oleh kakeknya, Abdurrahman al- Mishri. Melalui kakeknya,pula
Sayyid Utsman mendapatkan pengajaran membaca al-Qur`an, akhlak, ilmu tauhid,
fikih, tasawuf, nahwu sharaf, tafsir-hadis dan ilmu falak.Sayyid Utsman
berangkat ke Makkah ketika usianya 18 tahun. Ia berada di sanadalam rentang
waktu antara tahun 1840 sampai 1847. Selain untuk menunaikan ibadah haji,
perjalanan ini juga dimaksudkan untuk mengunjungi ayahnya.
Ia
melanjutkan Setelah tujuh tahun di Makkah, Sayyid Utsman melanjutkan
kembaliperjalanannya ke Hadramaut pada tahun 1264 (1848) dan mengambil pengetahuan
kepada para ulama Hadramaut. Hasrat Sayyid yang masih lapar akan ilmu, membuat
ia melancong ke Madinah, Mesir, Tunisia, sampai ke Istanbul. Pada tahun 1862 ia
pulang ke Indonesia melalu Singapura. Ia menuju tanah kelahiranya, di Batavia.
Malang
melintang mencari Ilmu, kedatangan Sayyid Utsman cukup disegani para Ulama kala
itu, meskipun Sayyid Utsman meanmpilkan sikap yang merendah. Syekh Abdul Gani
Bima, yang sudah sepuh, meminta ia mengganti mengajar di masjid pekojan. Berkat
ketinggian Ilmunya pula, ia diangkat menjadi Mufti di tanah Betawi.
Sayyid dan Snouck
Hubungan
Sayyid Utsman dengan Pemerintah Kolonial sudah terbentuk jauh sebelum Snouck datang
ke Indonesia, dan menjabat sebagai kepala kantor urusan pribumi (Kantoor voor Inlandasche Zaken). Sayyid
Utsman diangkat menjadi penasehat urusan arab pada 1891.
Alasan pengangkatan Sayyid Utsman
tidak lepas dari kondisi masyarakat arab di Indonesia saat itu. Awalnya,
masyarakat Arab ayng digambarkan sebagai masyarakat yang mencintai baca tulis,
berfokus pada urusan perdagangan, sementara dalam urusan sosial Politik,
masyarakat Arab tidak memiliki rasa simpatik yang tinggi.
Namun sejak munculnya semangat Pan
Islamisme, yang ditadai dibukanya konsulat Turki d Batavia. Masayarakat Arab
mulai berbicara tentang Hak Hak Politiknya, terutama sejak masyarakat Arab
dimasukan “Kelas Dua“, dibawah kedudukan orang Eropa, bersama orang china dan
golongan lain. Meskipun nasib mereka lebih baik daripada Pribumi, yang
ditempatkan sebagai masyarakat kelas tiga.
Khawatir akan adanya pemberontakan,
pihak Belanda mengangkat Sayyid Usman sebagai penasehat Pemerintah Kolonial
untuk urusan Arab, Ia dipilih karena kualitas keilmuan Sayyid Usman. Jauh sebelum diangkat, Sayyid Usman telah
bekerjasama dengan K.F Holle, untuk pembuatan Peta Hadaramaut. Keintelektualan
Sayyid Usman dibuktikan dengan cukup produktifnya ia menelurkan tulisan.
Kebanyakan tulisan Sayyid Usman berkisar pada semangat penolakanya pada praktik
praktik Bid’ah, yang sebenarnya dialamatkan kepada gerakan gerakan tasawuf.
Sebelum kedatanganya, Snouck telah
mengenal Sayyid Ustman lewat tulisan tulisanya, yang menurut Snouck akan sangat
membantu kebijakan Pemerintah Kolonial. Sikap negatifnya terhadap tasawuf,
membuat Sayyid Ustman mengutuk Pemberontakan Petani Banten yang diinisiasi oleh
para sufi. Sang Mufti memberi pendapat ganjil, bahwa pemberontakan rakyat
Banten bukan Jihad melawan orang kafir, karena tidak memenuhi syarat syarat
Jihad, meskipun ia tidak memberikan gambaran Jihad secara utuh.
Ajakan Snouck untuk mendampinginya
sebagai peneliti, makin membuat posisi Sayyid Utsman kian penting. Ia berfungsi
memberikan informasi kepada Snouck tentang perkembangan Islam pada kala itu.
Bahkan dengan keluasan Ilmu Fiqihnya, terkadang Sayyid Ustman dipandang
memberikan pendapat yang sejalan dengan kepentingan Pemerintah Kolonial.
Hal ini terjadi dalam kasus
pembangunan masjid baru di Palembang. Pembangunan masjid baru, diperlukan,
karena jamaah semakin mebludak. Namun, hal ini menimbulkan justru menimbulkan perselisihan,
peradilan agama dan residen merestui pembangunan masjid baru, sedangkan Sayyid
Utsman berpendapat pembangunan masjid baru tidak sejalan dengan Madzab Syafii
yang banyak dianut di Indonesia.
Mengutip pendapat Imam Syafii, bahwa
jarak satu masjid dengan masjid yang lain, adalah sampai adzan masjid yang satu
dengan yang lain tidak terdengar. Yang menurut Snouck adalah kira kiar sejauh
dua kilometer. Bahkan menurut Sayyid Ustman, pembangunan masjid baru ini
semacam pembanguna masjid Dhirar yang
dibangun pada masa Rasulullah. Masjid Dhirar merupakan masjid yang dibangun
oleh kaum munafik, untuk tujuan melawan Rasulullah.
Pembatasan pembangunan masjid,
sedikit banyak menguntungkan Pemerintah Kolonial, karena semakin terbatas pula
sarana dakwah yang strategis bagi Ummat Islam. Dan dengan kenyataan ini,
semakin minim pula terbuka peluang melakukan program aksi massa untuk membangkitkan
kesadaran Ummat akan penindasan Pemerintah Kolonial.
Sayyid versus Tasawuf
Predikat sosok kontroversi pada
Sayyid Utsman, dimulai dari keberpihakanya kepada Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda, meskipun disaat yang sama, banyak Ulama yang mulai terpengaruh ide Pan
Islamisme dan aktif menentang Kolonialisme. Dalam hal ini, Peran Sayyid Utsman,
terbilang ganjil, Sayyid Utsman juga terlihat melawan arus saat berbicara
tentang Pemberontakan Petani Banten, yang ia anggap bukanlah jihad, karena
tidak memenuhi syarat syarat Jihad.
Pandangan keagamnaan Sayyid Utsman
cenderung puritan, dan amat tegas dalam menentang Bidah dan Tahayul. Sayyid
Utsman disebut Azra memiliki
pandangan syariat yang sempit, Syariat menurutnya, hanya berkutat pada masalah
ritual. Kritik utamanya adalah terhadap Tasawuf dan Tarekat yang dianggap
membawa praktik praktik menyimpang dari Syariat Islam. Dari hal ini bisa
dilihat, kritik Sayyid Utsman yang memukul rata pemberontakan Petani Banten, sebagai gerakan non jihad,
karena syarat syarat tidak terpenuhi. Besar kemungkinan Sayyid Utsman, reaksi
negatif ini dimaksudkan untuk mencibir gerakan tarekat yang menurutnya
menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Kita bisa mengawali dengan peristiwa cianjur 1885. Kala
itu, Tarekat Naqshabandiyah, tumbuh subur, dan pemerintah Hindia Belanda cukup
was was, karena keberadaan Tarekat ini berpotensi menggangu keamanan dan
ketertiban. Puncaknya Sayyid Utsman mengeluarkan fatwa sesat aliran Tarekat
ini, karena menyimpang dari Islam yang murni. Dasar Fatwa ini, kemudian
dijadikan dasar bagi Pemerintah Kolonial untuk memecat penghulu besar Sukabumi
dan Cianjur karena terlibat dalam Tarekat Naqshabandiyah.
Dalam tulisan tersebut, Sayyid Utsman mengkritik keras
Syech Ismail Al Minangkabau, yang merupakan pembawa ajaran Tarekat
Naqshabandiyah ke Nusantara. Kritik ini memunculkan respon dari seorang murid
Syech Ismail, dengan nama Pena Tuanku Nan Garang. Ia menerbitkan naskah “Cerita Perbantahan Dulu Kala”, yang
merupakan respon atas tulisan dari Sayyid Utsman.
Cerita Perbantahan
Dulu Kala (selanjutnya disebut CPDK) pun memuat pembelaan terhadap Syech
Ismail Al Minangkabau dari serangan Salim bin Abdullah bin Sumair serta Syech
Nawawi Bantani. Senada dengan Sayyid Utsman, Salim bin Abdullah melihat Tarekat
Naqshabandiyah bukanlah merupakan ajaran Islam yang murni.
Oleh CPDK kritik Salim bin Abdullah dikaitkan konteks
waktu itu, Salim bin Abdullah baru saja dipecat dari Mufti kerajaan Yaman, ia
mengalami kesulitan ekonomi dan terdampar di Singapura. Diwaktu yang sama,
Syech Ismail al Minangkabau yang baru tiba dari Mekkah, dalam waktu yang singkat memperoleh simpati
dari masyarakat melayu.
Sedang Syeh Nawawi al Bantani, awalnya enggan terlibat
polemik dengan Tarekat Naqshabandiyah. Ia memiliih jalur moderat, namun setelah
didesak oleh Sayyid Utsman, ia menyerang tatacara dzikir Tarekat Naqshabndiyah,
yang berisi celaan untuk orang yang tidak mau masuk tarekat. Oleh CPDK, Syech
Nawawi dianggap mengkritik tanpa dasar.
Puncaknya adalah kritik Sayyid Utsman, selain menyebutkan
kesasatann tarekat, Tarekat ini dikhawatirkan menyebabkan gangguan keamanan dan
ketertiban. Oleh CPDK, Kritik Sayyid Utsman tidak memiliki dasar yang kuat,
kritik Sayyid Utsman lebih tertuju kepada personal Syech Ismail Al Minangkabau,
bukan kepada substansi Tarekat itu sendiri. Syech Ismail mendapat simpati dari
masyarakat melayu, sehingga menimbulkan rasa iri kepada Ulama lain.
Polemik terhadap Tasawuf bisa dilacak pada zaman
kesultanan Aceh Darussalam sekitar akhir abad ke-17, tepatnya di masa
pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641). Konflik atau ketegangan politik
keagamaan tersebut berawal dari adanya kontroversi atas doktrin wah}dat
al-wujud) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
al-Sumatrani. Ulama yang menentang keras ajaran tersebut adalah Nuruddin
al-Raniri yang sempat berada di Aceh tahun 1637-1644
Tidak ada komentar:
Posting Komentar