Selasa, 19 April 2016

Politik Islam Hindia Belanda



            Kebangkrutan VOC yang disebabkan korupsi para petingginya, dan kehabisan dana akibat membiayai beberapa pemberontakan lokal, membuat pemerintah Hindia Belanda mengambil alih VOC, dan melanjutkan Politik Imperalisme. Namun pemberontakan Lokal tetap berlangsung, tercatat beberapa pemberontakan, semacam pemberontakan Paderi (1821-1827), perang diponegoro (1825-1830), dan perang aceh (1873-193).
            Di satu sisi, mulai muncul kekhawatiran Belanda terhadap keberadaan geliat Ummat Islam. Pemberontakan di atas dikobarkan atas semangat jihad melawan Belanda yang terstigma sebagai Kristen. Terlebih awal abad 20 Gema Pan Islamisme mulai menguat. Pan Islamisme berhasil membuat Simpati Ummat Islam atas saudara seiman, yang masih dalam kondisi penjajahan.  Terlebih Islam, menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat Nusantara.
            Pergantian Sarikat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam, bukan hanya simbol pergantian sentiment ekonomi atas etnis Tionghoa. Sarekat Islam mulai bersuara atas penindasan Kolonialisme, pada akhirnya keberadaan Belanda atas tanah jajahan semakin goyah. Peluang untuk mempertahankan Status Quo mulai digoyahkan dengan kebangkitan Islam. Terlebih dengan geliat Radikal Kaum Muda PKI, yang melihat keberadaan Belanda di Indonesia sebagai lambang Kapitalisme yang harus segera dilenyapkan.
            Strategi Pemerintah Kolonial, bisa dilihat dengan melakukan anti propaganda dalam Masyarakat. Dimulai dari pendirian Kaantoor voor inlandsche zaken  atau dewan penasehat untuk urusan Pribumi, sampai pendirian Balai Pustaka pada 1917, yang berfungsi memberikan bacaan bahasa Melayu yang benar. Dalam catatan Hilmar Farid, Balai Pustaka sebenarnya didirikan untuk meredam sastra jalanan nan subversif ala Marco Kartodikromo.  
            Sebagai dewan penasehat, posisi Kaantoor voor inlandsche zaken cukup penting dalam mempertahankan status pemerintah Kolonial. Terutama dalam memberikan masukan atas kebijakan terhadap Pribumi, tercatat Kaantoor voor inlandsche zaken menjadi unsur penting, terutama dalam sikap pemerintah Kolonial terhadap Ummat Islam.
Sufi dan Haji
            Beberapa pemberotakan pada masa Kolonial, terkadang dikaitkan dengan keberadaan para Sufi dan Haji. Tercatat, pemberontakan Petani Banten 1888, yang ditulis oleh Profesor Sartono Kartodirjo, banyak diinisiasi oleh para sufi dari terekat Naqsyabandiyah, dan para Haji. Sebelumnya pemberontaka Petani Banten, tercatat pula pemberontakan di Banten yang dipimpin oleh haji wakiya.
            Haji, dalam setting masyarakat pada masa itu, bukan hanya orang yang telah menunaikan rukun islam kelima. Menunaikan hajat ke Mekkah adalah sebuah upaya menambah Ilmu Agama pula. Terlebih dengan ganasnya medan yang ditempuh, tidak jarang orang bertahun tahun dan betah di Mekkah, bahkan tidak jarang yang rela menunggu ajal di tanah suci.
            Sebagai catatan, upaya menambah ilmu agama, memperbesar kemungkinan mereka berjumpa dengan gerakan Wahabi yang bercorak puritan di Arab Saudi, hal ini berbeda dengan Pemahaman agama yang sebelumnya, bercorak sinkretis. Sehingga kadang menimbulkan semangat keagaaman baru di tengah masyarakat. Sehingga sering menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat lokal.
            Terlebih dengan bergeloranya semangat Pan Islamisme, tentunya aka memberi pengaruh besar kepada situasi masyrakat lokal, yang rawan akan pemberontakan. Strategi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, adalah melakukan pembatasan kepada jamaah haji.
            Lewat saran Kaantoor voor inlandsche zaken, Pemerintah Hindia Belanda membuat Undang Undang tentang peberangkatan haji. Kantor ini uga berusaha meyakinkan masyarakat untuk mentaati peraturan yang ada. Mereka juga bekerjasama dengan perusahaan pelayaran untuk membantu mengurusi jamaah haji. Puncaknya tahun 1917, Hindia Belanda membuat konsulat di Mekkah, dengan tujuan mengawasi kegiatan para Haji selama di Mekkah.
            Berbeda halnya, dengan para sufi, meskipun para sufi digambarkan lebih suka kehidupan asketis, dan tidak memiliki orientasi politis tertentu. Mengutip Dr Simuh, justru para sufi inilah yang berada di garda depan, memimpin gerakan pemberontakan, ketika terjadi sebuah ketidakberesan di masyarakat.
            Atas saran Snouck Horgronje, yang kala itu menjabat sebagai kepala Kaantoor voor inlandsche zaken, agar diperlakukan reduksi peran para sufi di kalangan pejabat. Snouck juga menyarankan pengawasan terhadap guru agama di Jawa, sensor terhadap buku dan guru, yang pro kepada gerakan tarekat, dilakukan pemerintah Hindia Belanda, untuk mengurangi peran para Sufi. 
Masjid dan Snouck
            Salah satu keberhasilan kebangkitan Ummat Islam adalah kebangkitan ekonomi. Pada masa lalu, kita mengenal Baitul Mal dan kecanggihan pengelolaanya, yang menjadi unsur penting dalam kemajuan Peradaban Islam. Sadar akan potensi strategis dari masjid ini, Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan Intervensi kepada Masjid dan pengelolaanya. Hal ini disisipkan pada wewenang Kaantoor voor inlandsche zaken.               
Dalam pembangunan masjid baru, Snouck berasumsi dari Pendapat Imam Syafi’i bahwa suatu daerah hanya boleh memiliki satu masjid. Kebetulan pula, mayoritas masyarakat Indonesia yang bermadzab Syafi’i. Sehingga, terbit kebijakan pembatasan pembangunan masjid,  adapun pembangunan suatu masjid haruslah memenuhi syarat syarat tertentu. Ketentuan pembatasan pembangunan masjid, digunakan untuk mengahalangi pembangunan masjid baru.
Dalam pendapat Syafi’i, suatu tempat hanya boleh dilakukan satu Sholat Jum’at.  Jarak antara kedua masjid, dipisahkans setidaknya. Ketentuan pembangunan masjid baru, adalah kedua masjid dipisahkan dalam sebuah jarak yang ditempuh jalan kaki selama tujuh jam, demikian jauhnya, sampai adzan masjid satu dengan yang lain, tidak saling bersahutan.
Di beberapa daerah, Snouck aktif dalam penentangan pembangunan masjid masjid baru. Dimulai dari Palembang, ketika terjadi perselisihan pembangunan masjid baru, yang digagas oleh Mas Agung Haji Abdul Hamid. Ketika pengadilan memenangkan Mas Agung, untuk pendirian masjid baru, Snouck justru menganggap keputusan dari Pengadilan tersebut tidaklah berdasar Hukum Islam yang berlaku.
Snouck kemudian aktif pula dalam penentangan pembuatan Masjid Masjid baru di Payakumbuh, Amuntai, Jakarta, dan Pekalongan. Setelah Snouck pergi meninggalkan Hindia Belanda pada 1906, mulai tumbuh Organisasi Islam, yang tidak lai terikat pada pendapat Madzab Syafi’i. pula para penganut Syafi’i berinisiatif mendirikan masjid baru, karena desakan dari Masyarakat.         
Islam dan Adat
            Tanpa bermaksud bersikap curiga, namun kita bisa berangkat dari asumsi bahwa segala kebijakan Kaum Kolonial Hindia Belanda harus dibaca dalam konteks mempertahankan penjajahan. Meskipun, beberapa keijakan yang dikeluarkan dianggap memberi dampak positif bagi kemajuan daerah jajahan.
            Snocuk kemudian menawarkan asosiasi kebudayaan, sebagai cara untuk membangun relasi antara Negara Kolonial dengan Negara jajahanya melalui Kebudayaan. Cara yang sama digunakan oleh Portugis dan Spanyol, dengan memaksakana penggunaan bahasa terhadap Negara jajahanya. Melalui saran Snouck, Pemerintah Hindia belanda, berbeda jalan dengan tetap memberi ruang kepada kebudayaan lokal.
            Hal ini menjadi salah satu Falsafah Kolonialisme, yang membawa misi weternisasi. Misi yang berupa penerapan kebudayaan barat kedalam Negara jajahan, isitlah mudahnya Modernisasi. Negara jajahan dianggap sebagai masyarakat yang harus diselematkan, kebudayaan timur adalah budaya kuno, bar bar, primordial, dan harus diganti dengan budaya barat yang lebih maju.
            Meski dengan jalan agaka berbeda, dengan tetap memberi ruang kepada masyarakat adat setempat, Snouck berharap timbul perasaan empati dan tumbuh loyalitas kepada pemerintah Hindia Belanda. Dengan menumbuhkan kebudayaan, Snouck berharap bisa menghadapkan adat dengan Islam, yang dipandang Snouck menjadi penghalang utama dalam melestarikan penjajahan.
            Strategi menciptakan relasi kebudayaan, membuat pemeluk Islam yang mayoritas bercorak sinkretis, di simpang jalan. Sebab, selama ini Islam dikenalkan oleh para Ulama dengan jalan, adalah melalui jalur kebudayaan, sehingga lebih mudah dicerna oleh masyarakat, yang masih berfikir sederhana, kini dihadapkan dengan budaya itu sendiri.
            Kebijakan Pemerintah Belanda, tergolong mempertahankan Konservatime Adat. Terlebih muncul organisasi modern Islam semacam Muhammadiyah, yang dipropagandakan Belanda sebagai ancaman terhadap Kebudayaan lokal yang bersifat konservatif.
            Adat dengan unsur Struktur Feodalnya, dianggap Belanda terancam oleh Islam yang lebih egaliter dan hidup di masyarakat bawah. Islam yang lebih menghargai Keilmuan, terutama terhadap Ulama, pelan pelan mereduksi karisma para Kepala Adat yang bercirikan Feodal dan amat hierarkis. Sehingga, dalam sejarahnya, terhadap konflik antara Islam dan Adat, Belanda selalu membela kepantingan Adat.
            Perbedaan secara tajam ini pada awalnya sudah bisa diselesaikan oleh Walisanga, terutama Sunan Kalijaga. Ia dengan cerdas membungkus Ajaran Islam dengan simbol simbol budaya, yang sudah tertanam kuat, semisal dengan wayang kulit. Perdamaian ini bisa dipotret di Minangkabau yang bisa menjadikan Islam sebagai sumber otoritatif dari adat, disana terkenal Slogan, “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” yang kurang lebih, berarti Adat bersendikan atas syariat, dan syariat bersenikan ajaran Kitabullah (AL Qur’an).
           
           

             

2 komentar: