Kebangkrutan VOC yang disebabkan
korupsi para petingginya, dan kehabisan dana akibat membiayai beberapa
pemberontakan lokal, membuat pemerintah Hindia Belanda mengambil alih VOC, dan
melanjutkan Politik Imperalisme. Namun pemberontakan Lokal tetap berlangsung,
tercatat beberapa pemberontakan, semacam pemberontakan Paderi (1821-1827),
perang diponegoro (1825-1830), dan perang aceh (1873-193).
Di satu sisi, mulai muncul
kekhawatiran Belanda terhadap keberadaan geliat Ummat Islam. Pemberontakan di
atas dikobarkan atas semangat jihad melawan Belanda yang terstigma sebagai
Kristen. Terlebih awal abad 20 Gema Pan Islamisme mulai menguat. Pan Islamisme
berhasil membuat Simpati Ummat Islam atas saudara seiman, yang masih dalam
kondisi penjajahan. Terlebih Islam,
menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat Nusantara.
Pergantian Sarikat Dagang Islam
menjadi Sarekat Islam, bukan hanya simbol pergantian sentiment ekonomi atas
etnis Tionghoa. Sarekat Islam mulai bersuara atas penindasan Kolonialisme, pada
akhirnya keberadaan Belanda atas tanah jajahan semakin goyah. Peluang untuk
mempertahankan Status Quo mulai
digoyahkan dengan kebangkitan Islam. Terlebih dengan geliat Radikal Kaum Muda
PKI, yang melihat keberadaan Belanda di Indonesia sebagai lambang Kapitalisme
yang harus segera dilenyapkan.
Strategi Pemerintah Kolonial, bisa
dilihat dengan melakukan anti propaganda dalam Masyarakat. Dimulai dari
pendirian Kaantoor voor inlandsche
zaken atau dewan penasehat untuk
urusan Pribumi, sampai pendirian Balai Pustaka pada 1917, yang berfungsi memberikan
bacaan bahasa Melayu yang benar. Dalam catatan Hilmar Farid, Balai Pustaka
sebenarnya didirikan untuk meredam sastra jalanan nan subversif ala Marco
Kartodikromo.
Sebagai dewan penasehat, posisi Kaantoor voor inlandsche zaken cukup
penting dalam mempertahankan status pemerintah Kolonial. Terutama dalam
memberikan masukan atas kebijakan terhadap Pribumi, tercatat Kaantoor voor inlandsche zaken menjadi
unsur penting, terutama dalam sikap pemerintah Kolonial terhadap Ummat Islam.
Sufi
dan Haji
Beberapa
pemberotakan pada masa Kolonial, terkadang dikaitkan dengan keberadaan para
Sufi dan Haji. Tercatat, pemberontakan Petani Banten 1888, yang ditulis oleh
Profesor Sartono Kartodirjo, banyak diinisiasi oleh para sufi dari terekat Naqsyabandiyah,
dan para Haji. Sebelumnya pemberontaka Petani Banten, tercatat pula
pemberontakan di Banten yang dipimpin oleh haji wakiya.
Haji, dalam setting masyarakat pada
masa itu, bukan hanya orang yang telah menunaikan rukun islam kelima.
Menunaikan hajat ke Mekkah adalah sebuah upaya menambah Ilmu Agama pula.
Terlebih dengan ganasnya medan yang ditempuh, tidak jarang orang bertahun tahun
dan betah di Mekkah, bahkan tidak jarang yang rela menunggu ajal di tanah suci.
Sebagai catatan, upaya menambah ilmu
agama, memperbesar kemungkinan mereka berjumpa dengan gerakan Wahabi yang
bercorak puritan di Arab Saudi, hal ini berbeda dengan Pemahaman agama yang
sebelumnya, bercorak sinkretis. Sehingga kadang menimbulkan semangat keagaaman
baru di tengah masyarakat. Sehingga sering menimbulkan kegaduhan dalam
masyarakat lokal.
Terlebih dengan bergeloranya
semangat Pan Islamisme, tentunya aka memberi pengaruh besar kepada situasi
masyrakat lokal, yang rawan akan pemberontakan. Strategi yang dilakukan
pemerintah Hindia Belanda, adalah melakukan pembatasan kepada jamaah haji.
Lewat saran Kaantoor voor inlandsche zaken, Pemerintah Hindia Belanda membuat
Undang Undang tentang peberangkatan haji. Kantor ini uga berusaha meyakinkan
masyarakat untuk mentaati peraturan yang ada. Mereka juga bekerjasama dengan
perusahaan pelayaran untuk membantu mengurusi jamaah haji. Puncaknya tahun
1917, Hindia Belanda membuat konsulat di Mekkah, dengan tujuan mengawasi
kegiatan para Haji selama di Mekkah.
Berbeda halnya, dengan para sufi, meskipun
para sufi digambarkan lebih suka kehidupan asketis, dan tidak memiliki
orientasi politis tertentu. Mengutip Dr Simuh, justru para sufi inilah yang
berada di garda depan, memimpin gerakan pemberontakan, ketika terjadi sebuah
ketidakberesan di masyarakat.
Atas saran Snouck Horgronje, yang
kala itu menjabat sebagai kepala Kaantoor
voor inlandsche zaken, agar diperlakukan reduksi peran para sufi di
kalangan pejabat. Snouck juga menyarankan pengawasan terhadap guru agama di Jawa,
sensor terhadap buku dan guru, yang pro kepada gerakan tarekat, dilakukan
pemerintah Hindia Belanda, untuk mengurangi peran para Sufi.
Masjid
dan Snouck
Salah
satu keberhasilan kebangkitan Ummat Islam adalah kebangkitan ekonomi. Pada masa
lalu, kita mengenal Baitul Mal dan kecanggihan pengelolaanya, yang menjadi
unsur penting dalam kemajuan Peradaban Islam. Sadar akan potensi strategis dari
masjid ini, Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan Intervensi kepada Masjid
dan pengelolaanya. Hal ini disisipkan pada wewenang Kaantoor voor inlandsche zaken.
Dalam
pembangunan masjid baru, Snouck berasumsi dari Pendapat Imam Syafi’i bahwa
suatu daerah hanya boleh memiliki satu masjid. Kebetulan pula, mayoritas
masyarakat Indonesia yang bermadzab Syafi’i. Sehingga, terbit kebijakan
pembatasan pembangunan masjid, adapun
pembangunan suatu masjid haruslah memenuhi syarat syarat tertentu. Ketentuan
pembatasan pembangunan masjid, digunakan untuk mengahalangi pembangunan masjid
baru.
Dalam
pendapat Syafi’i, suatu tempat hanya boleh dilakukan satu Sholat Jum’at. Jarak antara kedua masjid, dipisahkans
setidaknya. Ketentuan pembangunan masjid baru, adalah kedua masjid dipisahkan
dalam sebuah jarak yang ditempuh jalan kaki selama tujuh jam, demikian jauhnya,
sampai adzan masjid satu dengan yang lain, tidak saling bersahutan.
Di
beberapa daerah, Snouck aktif dalam penentangan pembangunan masjid masjid baru.
Dimulai dari Palembang, ketika terjadi perselisihan pembangunan masjid baru,
yang digagas oleh Mas Agung Haji Abdul Hamid. Ketika pengadilan memenangkan Mas
Agung, untuk pendirian masjid baru, Snouck justru menganggap keputusan dari
Pengadilan tersebut tidaklah berdasar Hukum Islam yang berlaku.
Snouck
kemudian aktif pula dalam penentangan pembuatan Masjid Masjid baru di
Payakumbuh, Amuntai, Jakarta, dan Pekalongan. Setelah Snouck pergi meninggalkan
Hindia Belanda pada 1906, mulai tumbuh Organisasi Islam, yang tidak lai terikat
pada pendapat Madzab Syafi’i. pula para penganut Syafi’i berinisiatif
mendirikan masjid baru, karena desakan dari Masyarakat.
Islam
dan Adat
Tanpa
bermaksud bersikap curiga, namun kita bisa berangkat dari asumsi bahwa segala
kebijakan Kaum Kolonial Hindia Belanda harus dibaca dalam konteks
mempertahankan penjajahan. Meskipun, beberapa keijakan yang dikeluarkan
dianggap memberi dampak positif bagi kemajuan daerah jajahan.
Snocuk kemudian menawarkan asosiasi
kebudayaan, sebagai cara untuk membangun relasi antara Negara Kolonial dengan
Negara jajahanya melalui Kebudayaan. Cara yang sama digunakan oleh Portugis dan
Spanyol, dengan memaksakana penggunaan bahasa terhadap Negara jajahanya.
Melalui saran Snouck, Pemerintah Hindia belanda, berbeda jalan dengan tetap
memberi ruang kepada kebudayaan lokal.
Hal ini menjadi salah satu Falsafah
Kolonialisme, yang membawa misi weternisasi. Misi yang berupa penerapan
kebudayaan barat kedalam Negara jajahan, isitlah mudahnya Modernisasi. Negara
jajahan dianggap sebagai masyarakat yang harus diselematkan, kebudayaan timur
adalah budaya kuno, bar bar, primordial, dan harus diganti dengan budaya barat
yang lebih maju.
Meski dengan jalan agaka berbeda, dengan
tetap memberi ruang kepada masyarakat adat setempat, Snouck berharap timbul
perasaan empati dan tumbuh loyalitas kepada pemerintah Hindia Belanda. Dengan
menumbuhkan kebudayaan, Snouck berharap bisa menghadapkan adat dengan Islam,
yang dipandang Snouck menjadi penghalang utama dalam melestarikan penjajahan.
Strategi menciptakan relasi
kebudayaan, membuat pemeluk Islam yang mayoritas bercorak sinkretis, di simpang
jalan. Sebab, selama ini Islam dikenalkan oleh para Ulama dengan jalan, adalah
melalui jalur kebudayaan, sehingga lebih mudah dicerna oleh masyarakat, yang
masih berfikir sederhana, kini dihadapkan dengan budaya itu sendiri.
Kebijakan Pemerintah Belanda,
tergolong mempertahankan Konservatime Adat. Terlebih muncul organisasi modern
Islam semacam Muhammadiyah, yang dipropagandakan Belanda sebagai ancaman
terhadap Kebudayaan lokal yang bersifat konservatif.
Adat dengan unsur Struktur
Feodalnya, dianggap Belanda terancam oleh Islam yang lebih egaliter dan hidup
di masyarakat bawah. Islam yang lebih menghargai Keilmuan, terutama terhadap
Ulama, pelan pelan mereduksi karisma para Kepala Adat yang bercirikan Feodal
dan amat hierarkis. Sehingga, dalam sejarahnya, terhadap konflik antara Islam
dan Adat, Belanda selalu membela kepantingan Adat.
Perbedaan secara tajam ini pada
awalnya sudah bisa diselesaikan oleh Walisanga, terutama Sunan Kalijaga. Ia
dengan cerdas membungkus Ajaran Islam dengan simbol simbol budaya, yang sudah
tertanam kuat, semisal dengan wayang kulit. Perdamaian ini bisa dipotret di
Minangkabau yang bisa menjadikan Islam sebagai sumber otoritatif dari adat,
disana terkenal Slogan, “adat basandi
syarak, syarak basandi Kitabullah” yang kurang lebih, berarti Adat
bersendikan atas syariat, dan syariat bersenikan ajaran Kitabullah (AL Qur’an).
keren,
BalasHapusBanyak Typo dan salah penyebutan Tahun,
BalasHapus