Senin, 15 April 2013

Sumber hukum Internasional : Kebiasaan Internasional

Pepatah Kuno mengatakan ubi societas ibi ius ( dimana ada masyarakat disitu ada hukum), dan selayaknya masyarakat Internasional. Sudah sepantasnya, memiliki regulasi untuk kehidupan masyarakatnya. Perkataan Sumber Hukum, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dalam arti Materiil dan arti Formil. Sumber hukum dalam arti materiil, ialah sumber isi hukum, atau dasar berlakunya hukum atau tempat dimana kaidah-kaidah hukum itu diciptakan. Sedangkan Hukum dalam arti Formil ialah sumber yang memuat tentang ketentuan-ketentuan hukum secara formal, yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu persoalan yang konkrit.
Dan Yang akan kita bahas adalah sumber hukum dalam bentuk materiil. Sumber hukum materiil yang mendasari berlakunya suatu hukum Internasional ialah, merujuk pada pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 16 desember 1920, yang kini telah tercantum dalam piagam PBB tertanggal 26 Juni 1945[1],  bahwa dalam mengadili perkara yang diajukan padanya, Mahkamah internasional mempergunakan :
1.      Perjanjian Internasional, baik bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara negara yang bersengketa.
2.      Kebiasaan Internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum
3.      Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
4.      Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagi sumber tambahan bagi menetapkan kaidah hukum.[2]
 Selain sumber hukum diatas, ada juga statuta pasal 7 Konvensi Den Haag tanggal 18 Oktober 1907, juga termasuk salah satu sumber hukum Internasioal. Yaitu tentang pendirian Mahkamah Internasional perampasan kapal di laut (International Prize Court). Namun sumber hukum ini tidak pernah terbentuk, karena tidak memenuhi jumlah ratifikasi yang diperlukan.
Walaupun begitu, penyebutan sumber sumber hukum diatas (pasal 38 piagam mahkamah internasional) belum menggambarkan dasar hierarki berlakunya aturan itu. Tidak ada penjelasan sumber hukum mana yang lebih diutamakan. Karena soal ini sama sekali tidak diatur dalam pasal 38. Satu satunya klasifikasi yang dapat kita adakan ialah bahwa sumber hukum formal itu dibagi 2 golongan, yaitu sumber hukum utama atau primer, yang meliputi ketiga golongan sumber hukum yang terdahulu (poin 1 sampai 3), dan sumber hukum tambahan atau subsidair yaitu keputusan keputusan pengadilan dan ajaran sarjana hukum yang paling terkemuka dari berbagai negara.[3]
Kebiasaan Internasional
            Dari sudut pandang sejarah, kebiasaan Internasional adalah sumber hukum tertua diantara ketiga sumber hukum utama internasional itu. Pada zaman yunani kuno, hukum perang dan damai lahir dari adat istiadat umum yang dipatuhi oleh negara yunani kuno. Hukum kebiasaan ini terkristaisasi melalui proses generalisasi dan unifikasi berbagai adat-kebiasaan dari masing masing republik kota.[4]
            Sebelum berbicara banyak mengenai berbagai kaidah dalam hukum Internasional, ada baiknya kita definisakan dulu pengertian Kebiasaan internasional ini. Dalam pasal 38 (1) sub b statuta Mahkamah Internasional, dikatakan “International Custom, as evidence of a General Practice accepted as law” atau dengan kata lain Kebiasaan Internasional yang merupakan Praktek umum yang diterima sebagai hukum.
            Dari definis tersebut, kita bisa menarik sebuah kesimpulan, untuk sebuah kebiasaan internasional menjadi hukum yang mengikat bagi negara negara lain. Ia harus memenuhi dua unsur yaitu :
a.       Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum
b.      Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.
Unsur pertama, adalah suatu kebiasaan yang bersifat umum. Atau dengan kata lain, elemen ini merupakan unsur materiil. Namun yang harus dibedakan adalah antara kebiasaan dan adat. Adat istiadat adalah kebiasaan langkah laku internasional yang belum diterima sebagai hukum dan dapat bertentangan satu sama lain. Sedangkan kebiasaan harus diunifikasi dan keberadaanya tidak usah dibuktikan (self consistent). Atau kesimpulanya adalah,”kebiasaan, dalam hukum adalah adat-istidat yang telah memperoleh kekuatan hukum”.[5]
Namun untuk dikatakan sebagai kebiasaan internasional pula, kebiasaan ini harus memuat unsur unsur dibawah ini:
1.      Perlu adanya suatu kebiasaan / praktek, yaitu : suatu pola tindak yang berlangsung lama, atau dilakukan secara berulang kali.
2.      Pola tindakan yang dilakukan, harus merupakan rangkaian tindakan yang serupa.
3.      Rangkaian tindakan itu harus mengenai sesuatu hal yang sama dan dalam keadaan yang serupa pula.
4.      Pola tindakan yang dilakukan secara berulang kali, terhadap hal yang sama dan dalam keadaan yang serupa, harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional.[6]
Berbicara mengenai jangka waktu, tentu timbul pertanyaan. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk dikatakan sebagai sebuah kebiasaan. Berapa perulangan yang kiranya perlu untuk bisa memenuhi unsur kebiasaan ini.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan,”Dalam situasi yang konkret memang sukar sekali menetapkan setelah berapa lama dapat dikatakan telah terbentuk satu kebiasaan. Tentang hal ini tidak ada ketentuan yang pasti. Ada kalanya waktu yang lama akan tetapi ada juga contoh di mana masyarakat internasional telah menerima satu pola tindakan sebagai hukum kebiasaan setelah waktu yang tidak begitu lama”.[7] Tak jauh berbeda, Frans E Likadja dan Daniel Frans Bessie, menjelaskan, secara yuridis tidak ada ketentuan yang pasti tentang jangka waktu/berapa kali harus dipraktekan[8].
Unsur Kedua, yaitu kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum. Atau aspek psikologis yang lebih dikenal opinio juris sive necessitas atau sebagaimana diistilahkan oleh seorang hakim, yaitu“ keyakinan timbal-balik bahwa keadaan perulangan itu adalah akibat peraturan yang memaksa”[9]. Diihat secara praktis suatu kebiasaan Internasional dapat dikatakan diterima sebagai hukum apabila negara-negara menerimanya sebagai demikian; artinya apabila negara negara itu tidak menyatakan keberatan terhadapnya. Keberatan ini dapat dinyatakan dengan berbagai cara misalnya dengan jalan diplomatik (protes) atau dengan jalan hukum dengan mengajukan keberatan keberatan di hadapan suatu mahkamah[10].
Dan yang perlu digarisbawahi lagi bahwa kedua unsur tersebut ialah saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan, artinya sebuah kebiasaan untuk bisa diterima sebagi sumber hukukm internasional haruslah memenuhi dua unsur itu, bukan salah satu unsur saja yang terpenuhi kemudian bisa dikatakan bahwa kebiasaan menjadi sumber hukum internasional.
Syarat materiil yang terpenuhi saja, tidak akan melahirkan hukum, sebaliknya jika kebiasaan hukum internasional itu tidak memenuhi syarat psikologis (unsur kedua yaitu tidak diterima sebagai hukum) maka kebiasaan Hukum Internasional tersebut hanyalah merupakan kesopanan Internasional.[11]
Kebiasaan sebagai salah satu sumber hukum, tidaklah berdiri sendiri. Ia berkaitan erat dengan sumber hukum lainya, yaitu perjanjian Internasional. Dan alur hubunganya adalah timbal balik dan saling berkaitan dan berhubungan. Saling mengisi dan melengkapi satu sama lainya.
      Hubungan antara perjanjian dan kebiasaan bisa ditemui di dua pola yaitu, Pertama Kebiasaan kebiasaan Internasional, dapat melahirkan kaidah kaidah hukum internasional, yang kemudian diteguhkan/dikokohkan didalam konvensi-konvensi Internasional. Contoh, Konvensi Den Haag tahun 1907, dan Konvensi Jenewa tahun 1949, mengenai : perlindungan para korban perang.
Kedua Perjanjian Internasional yang berulangkali diadakan mengenai hal yang sama dalam keadaan serupa, dapat menimbulkan /melahirkan suatu kebiasaan dan dapat menciptakan lembaga-lembaga hukum melalui proses Hukum Kebiasaan Internasional. Contoh, Ketentuan ketentuan hukum mengenai hubungan konsuler yang ditimbulkan oleh perjanjian perjanjian Internasional bilateral, mengenai hubungan konsuler dadakan.






[1] Frans E. Likadja dan Daniel Frans Bessi, Dasar Hukum Internasionjal, Ghalia Indonesia, Jakarta,hlm 97
[2] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1978, hlm 82
[3] Ibid, hlm 83
[4] J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, aksara persada Indonesia,  tanpa kota, 1884, hlm 34
[5] Ibid, hlm 33
[6]  Frans Likadja dan Daniel Bessie,op cit, hlm 129
[7] Mochtar Kusumaatmadja, op cit, hlm 104
[8] Frans Likadja dan Daniel Bessie, op cit, hlm 132
[9] JG. Starke, op cit, hlm 36
[10] Mochtar Kusumatamadja, Op cit, hlm 135
[11] Frans E. Likadja dan Daniel Frans Bessi, op cit, hlm 130

Tidak ada komentar:

Posting Komentar