Pepatah
Kuno mengatakan ubi societas ibi ius (
dimana ada masyarakat disitu ada hukum), dan selayaknya masyarakat
Internasional. Sudah sepantasnya, memiliki regulasi untuk kehidupan
masyarakatnya. Perkataan Sumber Hukum, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dalam
arti Materiil dan arti Formil. Sumber hukum dalam arti materiil, ialah sumber isi hukum, atau dasar berlakunya
hukum atau tempat dimana kaidah-kaidah hukum itu diciptakan. Sedangkan Hukum
dalam arti Formil ialah sumber yang
memuat tentang ketentuan-ketentuan hukum secara formal, yang dapat diterapkan
sebagai kaidah dalam suatu persoalan yang konkrit.
Dan
Yang akan kita bahas adalah sumber hukum dalam bentuk materiil. Sumber hukum materiil yang mendasari berlakunya suatu
hukum Internasional ialah, merujuk pada pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah
Internasional tertanggal 16 desember 1920, yang kini telah tercantum dalam
piagam PBB tertanggal 26 Juni 1945[1], bahwa dalam mengadili perkara yang diajukan
padanya, Mahkamah internasional mempergunakan :
1.
Perjanjian
Internasional, baik bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan
hukum yang diakui secara tegas oleh negara negara yang bersengketa.
2.
Kebiasaan
Internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima
sebagai hukum
3.
Prinsip
hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
4.
Keputusan
pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara
sebagi sumber tambahan bagi menetapkan kaidah hukum.[2]
Selain sumber hukum diatas, ada juga statuta
pasal 7 Konvensi Den Haag tanggal 18 Oktober 1907, juga termasuk salah satu
sumber hukum Internasioal. Yaitu tentang pendirian Mahkamah Internasional
perampasan kapal di laut (International Prize Court). Namun sumber hukum ini
tidak pernah terbentuk, karena tidak memenuhi jumlah ratifikasi yang
diperlukan.
Walaupun
begitu, penyebutan sumber sumber hukum diatas (pasal 38 piagam mahkamah
internasional) belum menggambarkan dasar hierarki berlakunya aturan itu. Tidak ada
penjelasan sumber hukum mana yang lebih diutamakan. Karena soal ini sama sekali
tidak diatur dalam pasal 38. Satu satunya klasifikasi yang dapat kita adakan
ialah bahwa sumber hukum formal itu dibagi 2 golongan, yaitu sumber hukum utama atau primer, yang meliputi ketiga golongan
sumber hukum yang terdahulu (poin 1 sampai 3), dan sumber hukum tambahan atau subsidair
yaitu keputusan keputusan pengadilan dan ajaran sarjana hukum yang paling
terkemuka dari berbagai negara.[3]
Kebiasaan Internasional
Dari sudut
pandang sejarah, kebiasaan Internasional adalah sumber hukum tertua diantara
ketiga sumber hukum utama internasional itu. Pada zaman yunani kuno, hukum
perang dan damai lahir dari adat istiadat umum yang dipatuhi oleh negara yunani
kuno. Hukum kebiasaan ini terkristaisasi melalui proses generalisasi dan
unifikasi berbagai adat-kebiasaan dari masing masing republik kota.[4]
Sebelum
berbicara banyak mengenai berbagai kaidah dalam hukum Internasional, ada
baiknya kita definisakan dulu pengertian Kebiasaan internasional ini. Dalam
pasal 38 (1) sub b statuta Mahkamah Internasional, dikatakan “International Custom, as evidence of a
General Practice accepted as law” atau dengan kata lain Kebiasaan
Internasional yang merupakan Praktek umum yang diterima sebagai hukum.
Dari definis tersebut, kita bisa
menarik sebuah kesimpulan, untuk sebuah kebiasaan internasional menjadi hukum
yang mengikat bagi negara negara lain. Ia harus memenuhi dua unsur yaitu :
a.
Harus
terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum
b.
Kebiasaan
itu harus diterima sebagai hukum.
Unsur pertama, adalah suatu
kebiasaan yang bersifat umum. Atau dengan kata lain, elemen ini merupakan unsur
materiil. Namun yang harus dibedakan adalah antara kebiasaan dan adat. Adat
istiadat adalah kebiasaan langkah laku internasional yang belum diterima
sebagai hukum dan dapat bertentangan satu sama lain. Sedangkan kebiasaan harus
diunifikasi dan keberadaanya tidak usah dibuktikan (self consistent). Atau
kesimpulanya adalah,”kebiasaan, dalam hukum adalah adat-istidat yang telah
memperoleh kekuatan hukum”.[5]
Namun
untuk dikatakan sebagai kebiasaan internasional pula, kebiasaan ini harus memuat
unsur unsur dibawah ini:
1.
Perlu
adanya suatu kebiasaan / praktek, yaitu : suatu pola tindak yang berlangsung
lama, atau dilakukan secara berulang kali.
2.
Pola
tindakan yang dilakukan, harus merupakan rangkaian tindakan yang serupa.
3.
Rangkaian
tindakan itu harus mengenai sesuatu hal yang sama dan dalam keadaan yang serupa
pula.
4.
Pola
tindakan yang dilakukan secara berulang kali, terhadap hal yang sama dan dalam
keadaan yang serupa, harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan
internasional.[6]
Berbicara
mengenai jangka waktu, tentu timbul pertanyaan. Berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk dikatakan sebagai sebuah kebiasaan. Berapa perulangan yang
kiranya perlu untuk bisa memenuhi unsur kebiasaan ini.
Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan,”Dalam situasi yang konkret memang sukar sekali
menetapkan setelah berapa lama dapat dikatakan telah terbentuk satu kebiasaan.
Tentang hal ini tidak ada ketentuan yang pasti. Ada kalanya waktu yang lama
akan tetapi ada juga contoh di mana masyarakat internasional telah menerima
satu pola tindakan sebagai hukum kebiasaan setelah waktu yang tidak begitu
lama”.[7] Tak
jauh berbeda, Frans E Likadja dan Daniel Frans Bessie, menjelaskan, secara
yuridis tidak ada ketentuan yang pasti tentang jangka waktu/berapa kali harus
dipraktekan[8].
Unsur Kedua, yaitu kebiasaan
itu harus diterima sebagai hukum. Atau aspek psikologis yang lebih dikenal opinio juris sive necessitas atau
sebagaimana diistilahkan oleh seorang hakim, yaitu“ keyakinan timbal-balik
bahwa keadaan perulangan itu adalah akibat peraturan yang memaksa”[9]. Diihat
secara praktis suatu kebiasaan Internasional dapat dikatakan diterima sebagai
hukum apabila negara-negara menerimanya sebagai demikian; artinya apabila
negara negara itu tidak menyatakan keberatan terhadapnya. Keberatan ini dapat
dinyatakan dengan berbagai cara misalnya dengan jalan diplomatik (protes) atau
dengan jalan hukum dengan mengajukan keberatan keberatan di hadapan suatu
mahkamah[10].
Dan
yang perlu digarisbawahi lagi bahwa kedua unsur tersebut ialah saling berkaitan
dan tidak bisa dipisahkan, artinya sebuah kebiasaan untuk bisa diterima sebagi
sumber hukukm internasional haruslah memenuhi dua unsur itu, bukan salah satu
unsur saja yang terpenuhi kemudian bisa dikatakan bahwa kebiasaan menjadi
sumber hukum internasional.
Syarat
materiil yang terpenuhi saja, tidak akan melahirkan hukum, sebaliknya jika
kebiasaan hukum internasional itu tidak memenuhi syarat psikologis (unsur kedua
yaitu tidak diterima sebagai hukum) maka kebiasaan Hukum Internasional tersebut
hanyalah merupakan kesopanan Internasional.[11]
Kebiasaan
sebagai salah satu sumber hukum, tidaklah berdiri sendiri. Ia berkaitan erat
dengan sumber hukum lainya, yaitu perjanjian Internasional. Dan alur hubunganya
adalah timbal balik dan saling berkaitan dan berhubungan. Saling mengisi dan
melengkapi satu sama lainya.
Hubungan antara perjanjian dan kebiasaan
bisa ditemui di dua pola yaitu, Pertama Kebiasaan
kebiasaan Internasional, dapat melahirkan kaidah kaidah hukum internasional,
yang kemudian diteguhkan/dikokohkan didalam konvensi-konvensi Internasional.
Contoh, Konvensi Den Haag tahun 1907, dan Konvensi Jenewa tahun 1949, mengenai
: perlindungan para korban perang.
Kedua Perjanjian Internasional yang
berulangkali diadakan mengenai hal yang sama dalam keadaan serupa, dapat
menimbulkan /melahirkan suatu kebiasaan dan dapat menciptakan lembaga-lembaga
hukum melalui proses Hukum Kebiasaan Internasional. Contoh, Ketentuan ketentuan
hukum mengenai hubungan konsuler yang ditimbulkan oleh perjanjian perjanjian
Internasional bilateral, mengenai hubungan konsuler dadakan.
[1] Frans E.
Likadja dan Daniel Frans Bessi, Dasar Hukum Internasionjal, Ghalia Indonesia, Jakarta,hlm
97
[2] Mochtar
Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1978, hlm 82
[3] Ibid, hlm 83
[4] J.G
Starke, Pengantar Hukum Internasional, aksara persada Indonesia, tanpa kota, 1884, hlm 34
[5] Ibid, hlm 33
[6] Frans Likadja dan Daniel Bessie,op cit, hlm 129
[7] Mochtar
Kusumaatmadja, op cit, hlm 104
[8] Frans
Likadja dan Daniel Bessie, op cit, hlm
132
[9] JG.
Starke, op cit, hlm 36
[10] Mochtar
Kusumatamadja, Op cit, hlm 135
[11] Frans
E. Likadja dan Daniel Frans Bessi, op
cit, hlm 130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar