Tepat di tahun 2014 ini, Era
reformasi sudah berjalan selama 16 tahun, pesan dan kesan selama keotoriteran
raksasa kekuasaan orde baru hanya menjadi mimpi lalu saja. Pembangunan dan
restrukturasi di segala lini kehidupan menjadi prioritas kedepanya, borok
birokrasi dan pembangunan harus segera diremajakan.
Namun sepertinya ada satu
estafet dan penyakit genetic orde baru yang diwarisi era reformasi dewasa ini.
Di awal reformasi, kumandang hukum sebagai panglima sekaligus pemberantasan
KKN menjadi paradigma reformasi. Namun
sejatinya, Pembangunan hukum yang mencakup struktur, substansi, dan kultur
hukum masih berjalan parsial dan satu sisi saja. Unsur substansi hukum memang
sudah baik dengan digulirkanya supremasi hukum, namun tidak dengan struktur
yang mencakup aparat hukum dan kultur hukum yang menyangkut pola pemahaman
masyrakat kepada hukum an sich.
Struktur hukum yang menyangkut tentang aparat dan penegak hukum
belumlah berjalan dengan baik. Polisi, Hakim, Jaksa, dan Pengacara belum bisa
menunjukan kulitas sesuai paradigma hukum sebagai panglima. Determinasi
kekuasaan despotik yang masih bercokol dalam tubuh pemerintahan reformasi ini
membuat sturktur penegakan hukum masihlah lemah.
Kedzaliman despotic kekuasaan ini ditambah dengan sifat para penegak
hukum yang disebut Mahfudz Md sebagai gejala Kancil pilek. Ialah semacam gejala
ambil aman, takut salah, cari perhatian kepada atasan yang melakukan
penyimpangan. Gejala kancil pilek ini membuat para penegak hukum menjadi
setengah setengah dan ragu menindak kedzaliman pusat kekuasaan.
Dekadensi kualitas penegak hukum ini membuat kepercayaan masyarakat
kepada penegakan hukum menjadi lemah. Hal ini dibuktikan dengan banyakanya
kasus “main hakim sendiri”, “perang antar suku” atau “KUHP (Kasih Uang Habis
Perkara)” yang dilakukan masyarakat. Potret buram ini menandakan masyarakat
enggan menginjak jalur normatif dan lebih memilih jalur represif dan instan
dalam menyelesaikan persoalan.
Arus Positivisme
Positivisme ialah salah satu aliran dalam filsafat hukum yang dibawa
Augusto Comte yang mengartikan hukum adalah perintah yang bersumber dari
otoritas yang berdaulat dalam masyarakat. Hukum ini mentahbisakan setiap
masyarakat harus mematuhi aturan yang dikeluarkan otoritas yang berwenang dan
perintah ini mengandung ancaman keburukan, yang akan berlaku jika perintah itu
tidak dilaksanakan. (Ahmad Ali : 2004).
Dalam lalu intas penegakan hukum
di Indonesia sendiri, arus positivisme seakan menjadi dogma utama dalam
penegakan hukum. Frame yang terbentuk dalam benak penegak hukum bahwa hukum
hanyalah sesuatu yang tertulis dan harus menihilkan nilai nilai moral membuat
masyarakat sulit mendapatkan keadilan. Bahwa aturan demikianlah yang harus
diterapkan, entah mereka itu kaum papa, teraniyaya, koruptor, ulama, semuanya
harus sama, meski dengan kadar yang berbeda dalam kenyataan.
Dalam paradigma positifisme ini,
hukum bukan ditujukan pada masyarakat, namun kepada kemerdekaan individu yang
menghendaki kepastian hukum. Seakan logis, maka ketika nilai keadilan dan
kemanfaatan hukum yang dikehendaki masyarakat bertentangan dengan kepastian,
maka boleh disingkirkan. Tak heran, sampai hari ini rakyat kita terus menjadi
langganan penegakan hukum atas nama juknis dan juklak.
Resistensi Progressif
Kenyataan ini sebenarnya tidak lepas dari peran penegak hukum yang
memandang hukum sebagai profesi, yang selalu melihat logika hukum itu berasal
dari undang undang atau kita sebut saja terlalu Legal Positifism. Hal ini kiranya sangat jauh dari kenyataan bahwa
hukum sebagai ilmu, yang mempunyai nilai bagi masyrakat luas.
Kenyataan demikian, bukanya tanpa resistensi. Apalagi setelah
semakin lama menjamur dalam penegakan di Indonesia, perlu adanya suatu
terobosan dan pemikiran. (Alm) Prof Satjipto Rahrdjo adalah salah satunya,
beliau membidani gagasan Hukum Progressif. Bagi beliau Hukum merupakan ilmu
sebenarnya (genuinescience), ia
melanjutkan ilmu selalu berusaha memahami dan melihat kenyataan dan logika
social yang hidup dalam masyarakat. Yang tiap waktu dan keadaan selalu Up to date, tanpa kehilangan arah nilai
nilai dasar keilmuan itu sendiri.
Kiranya kita tidak usah menangisi kenyataan sistemik demikian, Vonis
12 tahun untuk Angelina Sondakh dan 18 tahun bagi Lutfi Hasan Ishaq (meski
belum inkracht) bisa dijadikan
cermin, bahwa gagasan progressif siap dibiakkan. Gagasan progressif ini bisa
menjadi puzzle pembangunan hukum yang masih cacat dalam penegakan dan kultur
hukumnya.
Namun bukan perkara mudah, gagasan ini masih harus menghadapi
kekuasaan despotic yang masih menganut Machivellian.
Mereka akan melakukan apa saja untuk mempertahankan kekuasaan, ditambah rapor
penegak hukum masihlah merah, membuat trust
dari masyarakat dalam membentuk kultur hukum masih sulit. Batu terjal ini
yang menjadi tantangan para penegak hukum kedepanya dalam mewarnai era
reformasi.
Dengan demikian benar ungkapan Cicero,
seorang Filsuf Yunani, bahwa ibi societas
ibi ius (tiada masyarakat tanpa hukum).
Bahwasanya pembangunan di era reformasi di bidang politik, ekonomi,
social, budaya dan lainya tanpa disertai dengan pembangunan hukum akan tampak
timpang. Hingga detik ini pembangunan hukum lebih mengarah kepada yang berpunya
dan bermuka, bukan pada masyarakat luas, jika demikian benar adanya,maka bisa
dikatakan reformasi (hukum) hanyalah berjalan seperempat hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar