Tepat beberapa
minggu yang lalu, sebuah drama kolosal media mengemuka. Dua perusahaan Pers
besar di indonesia membuat tema edisi khusus tokoh pemuda bersama prestasinya. Sorotan
dalam dua media tadi, menjadi sebuah tanda tersendiri, bahwa era pemuda
belumlah berakhir.
Sambutan ini
memang tidak lepas dari agenda peringatan sumpah pemuda yang diucapkan hampir
seabad lalu. Ketika para pemuda bersatu mengucapkan janji mereka untuk satu
visi memerdekakan Indonesia. Peringatanya pun dimeriahkan dengan orasi
mahasiswa di berbagai penjuru Nusantara.
Merdeka.com |
Namun
serapah, ucap, ataupun petisi dalam seremonial sumpah pemuda lalu perlu
direkontsruksi dan ditinjau ulang. Sumpah pemuda intelektual hampir seabad yang
lalu, terucap ketika wacana semangat anti penjajah sedang menggebu dan
memuncak, kesamaan wacana inilah yang menjadi nilai substansi persatuan dan
kesatuan pemuda era dulu.
Problem
di era kini tentu lebih kompleks dari masa lalu. Namun demikianlah inilah yang
menjadi masalah utama, meski kita anggap tanah kita tanah surga, kita juga menganggap
luar negeri adalah dongeng yang tak kalah indahnya. Tengok saja berapa banyak
pemuda kita yang mengharapkan lulus dengan Ijazah Sourbone, Harvard, ataupun
Yale.
Momentum
sumpah pemuda lalu untuk mengintegrasikan wacana bangsa, hanya berjalan di
tataran seremonial saja. Disaat beberapa pemuda lantangnya bersatu menentang
penguasa, pemuda yang lain sedang bertransaksi jabatan dengan birokrasi. Bahkan
ada yang dengan bodohnya, menentang penguasa era kini tak ada gunanya.
Memang
bukan main banyaknya pemuda yang melewatkan pentingnya gagasan ataupun
berdialog dalam bingkai intelektual. Pada akhirnya malah memunculkan semacam Ignorance atau kebodohan pada pemuda itu
sendiri, mereka lebih memlih dunia praktis nan nikmat dengan tumbal moral.
Kiblat integrasi untuk mewujudkan kemerdekaan sekarang bergeser menjadi mencari
materi untuk mewujudkan kebahagiaan, meski masih banyak pemuda yang berkiblat
lama.
Jelasnya
di era kini, perbedaan wacana sudah tentu berbeda metode dan tujuan yang akan
dicapai. Worldview pemuda satu dengan
yang lain sudah demikian jauh perbedaanya dengan era dulu. Gagasan integrasi
yang menjadi wacana kaum muda intelelektual menjadi dongeng saja. Pada akhirnya
Integrasi, Intelektual, dan idealis harus dipertaruhkan dihadapan kenyataan.
Budaya Epicurianisme
Epikuros
(342-271 S.M.) lahir sekitar di Samos,
salah satu pulau di kepulauan Yunani. Pada 306 S.M. Epikuros mendirikan sebuah sekolah filsafat di
kota Athena yang kemudian menjadi sangat terkenal. Epicuros terkenal dengan
dogmanya yang mengajarkan utnuk menghindar dari keresahan dan perasaan yang
menyakitkan serta belajar menikmati kesenangan-kesenangan yang menawarkan diri.
(Frans Magnis Suseno : 2013).
Singkatnya,
Filsafat Epicuros mengajarkan hidup bersenang senang dan meninggalkan keadaan
yang menyulitkan diri, termasuk juga ajaran ajaran dan nilai transendental,
modern ini disebut pula agama. Paham Epicuros inilah yang kemudian menjadi
tumbuh kembang dari paham yang dinamakan Hedonisme.
Singkatnya
dalam budaya hedonisme, gerak tumbuh kapital dan individualistik adalah
keniscayaan. Selain penindasan makro atas mikro entitas dalam dialektika,
pengalienasian ajaran moral dan etika juga menjadi bagian dari sikap hedonism
itu. Alhasil, barikade moral dan ningrat beralih dari baku ke tabu di era kekinian.
Epicurus
inilah yang menjangkiti sebagian besar pemuda kita. Tiap bulan, milyaran atau
trilyunan rupiah dikorbankan hanya untuk memenuhi apa itu hasrat kesenangan.
Semuanya berakhir dalam segelas Wine, Sebungkus Marlboro, KFC, Casino, Gili
Trawangan, atau mungkin Dolly. Klasifikasi tersier tak ubahnya menjadi
sekunder, bahkan primer dalam pandangan pemuda saat ini.
Dengan pola
hidup demikian bagaiamana Pemuda itu menggagas suatu wacana, bisa jadi inilah apa
yang disebut Nurcholis Madjid sebagai kritis Epistemologi. Bahkan paham Epicurianism tidak hanya menyerang
pemuda yang tanpa wacana, mereka yang tiap hari disibukan dengan literasi,
diskusi, dan aksi juga tak luput dari paham Epicurus ini.
Karena
bagaimanapun wacana yang berkembang, ketika sudah terjangkit virus ini, kiblat
kebenaran pun akan berpindah kepada materi. Sehingga tidak heran ada aktivis yang
berpikir praktis dan pragmatis. Bagi mereka tidak ada waktu bagi untuk tidak
berbicara kebejatan penguasa, dan tidak ada waktu pula untuk mentransormasikan
apa yang mereka katakan, tepatnya yang tampak hanya moral dalam oral.
Pekerjaan
besar pemuda era sekarang bukan hanya menggempur dosa penguasa saja. Namun, ada
deviasi dalam perjalanan pemuda era kini yang berkiblat materi dengan metode
praktis nan nikmat dengan tumbal moral. Merekalah yang menurut Al Ghazali, Rijalun Yadri, wa la yadri annahu yadri (orang
yang tahu, tetapi tidak tahu bahwa dirinya tahu), mereka raksasa yang perlu
dibangkitkan untuk menopang masa depan cerah Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar