Jumat, 01 November 2013

Pemuda dalam degradasi wacana & Epicurianism


Tepat beberapa minggu yang lalu, sebuah drama kolosal media mengemuka. Dua perusahaan Pers besar di indonesia membuat tema edisi khusus tokoh pemuda bersama prestasinya. Sorotan dalam dua media tadi, menjadi sebuah tanda tersendiri, bahwa era pemuda belumlah berakhir.
Sambutan ini memang tidak lepas dari agenda peringatan sumpah pemuda yang diucapkan hampir seabad lalu. Ketika para pemuda bersatu mengucapkan janji mereka untuk satu visi memerdekakan Indonesia. Peringatanya pun dimeriahkan dengan orasi mahasiswa di berbagai penjuru Nusantara.
Merdeka.com
                Namun serapah, ucap, ataupun petisi dalam seremonial sumpah pemuda lalu perlu direkontsruksi dan ditinjau ulang. Sumpah pemuda intelektual hampir seabad yang lalu, terucap ketika wacana semangat anti penjajah sedang menggebu dan memuncak, kesamaan wacana inilah yang menjadi nilai substansi persatuan dan kesatuan pemuda era dulu.
                Problem di era kini tentu lebih kompleks dari masa lalu. Namun demikianlah inilah yang menjadi masalah utama, meski kita anggap tanah kita tanah surga, kita juga menganggap luar negeri adalah dongeng yang tak kalah indahnya. Tengok saja berapa banyak pemuda kita yang mengharapkan lulus dengan Ijazah Sourbone, Harvard, ataupun Yale.
                Momentum sumpah pemuda lalu untuk mengintegrasikan wacana bangsa, hanya berjalan di tataran seremonial saja. Disaat beberapa pemuda lantangnya bersatu menentang penguasa, pemuda yang lain sedang bertransaksi jabatan dengan birokrasi. Bahkan ada yang dengan bodohnya, menentang penguasa era kini tak ada gunanya.
                Memang bukan main banyaknya pemuda yang melewatkan pentingnya gagasan ataupun berdialog dalam bingkai intelektual. Pada akhirnya malah memunculkan semacam Ignorance atau kebodohan pada pemuda itu sendiri, mereka lebih memlih dunia praktis nan nikmat dengan tumbal moral. Kiblat integrasi untuk mewujudkan kemerdekaan sekarang bergeser menjadi mencari materi untuk mewujudkan kebahagiaan, meski masih banyak pemuda yang berkiblat lama.
                Jelasnya di era kini, perbedaan wacana sudah tentu berbeda metode dan tujuan yang akan dicapai. Worldview pemuda satu dengan yang lain sudah demikian jauh perbedaanya dengan era dulu. Gagasan integrasi yang menjadi wacana kaum muda intelelektual menjadi dongeng saja. Pada akhirnya Integrasi, Intelektual, dan idealis harus dipertaruhkan dihadapan kenyataan.
Budaya Epicurianisme
Epikuros (342-271 S.M.) lahir sekitar  di Samos, salah satu pulau di kepulauan Yunani. Pada 306 S.M.  Epikuros mendirikan sebuah sekolah filsafat di kota Athena yang kemudian menjadi sangat terkenal. Epicuros terkenal dengan dogmanya yang mengajarkan utnuk menghindar dari keresahan dan perasaan yang menyakitkan serta belajar menikmati kesenangan-kesenangan yang menawarkan diri. (Frans Magnis Suseno : 2013).
Singkatnya, Filsafat Epicuros mengajarkan hidup bersenang senang dan meninggalkan keadaan yang menyulitkan diri, termasuk juga ajaran ajaran dan nilai transendental, modern ini disebut pula agama. Paham Epicuros inilah yang kemudian menjadi tumbuh kembang dari paham yang dinamakan Hedonisme.
Singkatnya dalam budaya hedonisme, gerak tumbuh kapital dan individualistik adalah keniscayaan. Selain penindasan makro atas mikro entitas dalam dialektika, pengalienasian ajaran moral dan etika juga menjadi bagian dari sikap hedonism itu. Alhasil, barikade moral dan ningrat beralih dari baku ke tabu di era kekinian.
Epicurus inilah yang menjangkiti sebagian besar pemuda kita. Tiap bulan, milyaran atau trilyunan rupiah dikorbankan hanya untuk memenuhi apa itu hasrat kesenangan. Semuanya berakhir dalam segelas Wine, Sebungkus Marlboro, KFC, Casino, Gili Trawangan, atau mungkin Dolly. Klasifikasi tersier tak ubahnya menjadi sekunder, bahkan primer dalam pandangan pemuda saat ini.
Dengan pola hidup demikian bagaiamana Pemuda itu menggagas suatu wacana, bisa jadi inilah apa yang disebut Nurcholis Madjid sebagai  kritis Epistemologi.  Bahkan  paham Epicurianism tidak hanya menyerang pemuda yang tanpa wacana, mereka yang tiap hari disibukan dengan literasi, diskusi, dan aksi juga tak luput dari paham Epicurus ini.
Karena bagaimanapun wacana yang berkembang, ketika sudah terjangkit virus ini, kiblat kebenaran pun akan berpindah kepada materi. Sehingga tidak heran ada aktivis yang berpikir praktis dan pragmatis. Bagi mereka tidak ada waktu bagi untuk tidak berbicara kebejatan penguasa, dan tidak ada waktu pula untuk mentransormasikan apa yang mereka katakan, tepatnya yang tampak hanya moral dalam oral.
Pekerjaan besar pemuda era sekarang bukan hanya menggempur dosa penguasa saja. Namun, ada deviasi dalam perjalanan pemuda era kini yang berkiblat materi dengan metode praktis nan nikmat dengan tumbal moral. Merekalah yang menurut Al Ghazali, Rijalun Yadri, wa la yadri annahu yadri (orang yang tahu, tetapi tidak tahu bahwa dirinya tahu), mereka raksasa yang perlu dibangkitkan untuk menopang masa depan cerah Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar