Dulu
aku Merokok, Sekarang?. Dalam beberapa kesempatan, aku sering melewatkan waktu
dengan benda kecil itu, meski tak sebinal mereka yang dianggap pecandu. Pecandu
hari ini, bukanlah status yang baik, aroma mulut yang menusuk, lekat dengan
penyakit, hingga vonis vonis mengerikan lainya. Sedang pecandu menuduh balik
mereka yang kampanye anti rokok, sebagai antek kapitalis yang enggan mencintai
produk dan tradisi lokal. Entahlah, aku tidak masuk dua kubu perdebatan ini. Aku
masih menghargai ijtihad para ulama, tetapi aku mencoba tidak ahistoris ketika
para tokoh terdahulu ternyata cukup akrab dengan benda ini. Jelasnya, aku bukan
pecandu ataupun antek kapitalis.
Meski
demikian, aku tidak sembarang melacurkan bibirku untuk menyapa asapnya. Ketika
pendakian berlangsung, tak sungkan aku mencumbu ujungnya, karena dingin yang
melanda cukup luar biasa. Di waktu yang lain, bagiku rokok terkadang
meruntuhkan dinding kekakuan antara aku dan lawan bicara. Diskusi menjadi
lancar ketika mulut kami sama sama berbau tembakau. Teman, Rokok, ngobrol,
alangkah baiknya digenapi dengan “malam” untuk dipadukan menjadi potret yang
paripurna.
Oh
iya, berbicara malam. Sekitar malam minggu lalu, aku sibuk mendapat tugas untuk
menginterview beberapa calon anggota LPM Pabelan. Beberapa pertanyaan dilematis
sempat kusematkan pada mereka, awalnya aku berharap mereka bisa memberi jawaban
spontan sebagai refleksi kepribadian mereka, namun mereka sempat berpusing ria
mencari jawaban yang patut.
“Kau
suka rutinitas atau tantangan baru?” tanyaku.
Agak
lama ia berfikir,”Aku suka rutinitas mas, soalnya aku takut gagal” ungkapnya.
Jawaban
peserta terakhir ini, memang sempat menhentak jagat kesadaranku. Bahwa aku
tidak sendiri di dunia ini. sebagai manusia yang mencintai keberhasilan yang
paripurna, aku bermimpi menjadi manusia yang bersih dari peristiwa tersungkur,
bersalah, berlumpur, terluka, maupun tangis pilu. Aku hari ini sungguh
menikmati kenyamanan dan mengutuk perubahan. Bagiku sebuah ketetapan yang
konstan adalah kehidupan, kehidupan adalah adalah sebuah sistem, ia bergerak
secara otomatis dan mustahil keluar dari orbitnya. Sedang yang lain berkilah
hidup adalah bergerak, berubah, dan berpindah dari satu titik menuju titik
lain.
Meski
demikian, desain manusia memang terprogram secara sistemik. Sistem memberi
sebuah jaminan dan kepastian, entah itu keberhasilan dan kegagalan. Sistem
melahirkan keteraturan, ketundukan, kekakuan, kemanjaan, dan juga ketaklidan.
Ketaklidan, atau meminjam Isitilah Zizek (1989) adalah Fetisisme, kepada pemikiran sistemik melahirkan aku hari ini, aku
yang mencintai rutinitas, aku yang enggan berfikir terbuka, aku yang kaku, dan
aku yang teralienasi.
Marx
menggambarkan alienasi terjadi pada kaum proletar oleh sebuah sistem kapital
yang dijalankan kaum borjuis. Menurut Marx, Kaum Proletar menjadi asing dan
buta akan hakikat dirinya sebagai manusia.
Kaum Proletar yang terlampau nyaman (atau lemah) terhadap Sistem Kapital
menjadi super tunduk kepada kaum borjuis, dan menjadi bagian dari proses
produksi. Bagi Marx, hal ini adalah pelucutan anasir kemanusian (Suseno; 1998).
Kisah
pilu kaum proletar era industrial terjadi pula di Era Jahiliyyah. Ikatan
primordialisme dan kebodohan yang begitu mengakar, membuat jazirah arab tak
paham arti penting kesetaraan derajat manusia. Muhammad dari Bani Hasyim, cukup
dua dasawarsa membuat sebuah perubahan radikal (atau boleh kita sebut
revolusi), meskipun dilakukanya secara gradual. Muhammad tidak seperti Marx
yang memandang Ekonomi sebagai basis utama yang determinan, sehingga mewajibkan
adanya perebutan alat produksi dari Kaum Borjuis. Lebih dari itu, Muhammad adalah kisah sukses pluralisme
(Piagam Madinah dan Perjanjian Hudaibiyah),
Manusia Romantis (ingat kisah Muhammad dan Khadijah), komandan perang yang
cerdas (Perang Badar), maupun sebaik baik hamba Tuhan.
Dalam
sebuah masyarakat yang terlampau jauh dari modernitas, menganut permusuhan dan
gemar berperang. Muhammad tampil dengan baju Intelektual, berfikir moderat dan
solutif. Kisah pengangkatan Hajar Aswad menjadi potret betapa cerdiknya Beliau
menengahi konflik antar suku di Mekkah. Dalam usia belia, Muhammad tampil
merusak tatanan sistem Jahiliyah yang begitu kaku dan bungkam untuk berdialog. Rutinitas
menjadi hamba Uzza dan Lata dijawab dengan seruan tauhid dan mengesakan Allah,
meski berbuah luka dan lemparan kotoran. Tradisi Qisas yang beraroma dendam,
diubah secara substanstif lebih sistemik dan berdimensi ibadah, plus
tersedianya opsi Diyat.
Aku
ingin berbicara, Muhammad adalah contoh sempurna bagaimana ia mentransformasi
sebuah sistem (Jahiliyyah) menuju sistem yang lain (Islam). Tidak hanya dalam
taraf Individu maupun Keluarga, namun ia sanggup mentransformasi dalam taraf
Massa dan Bangsa. Hari ini, jangankan memberi cerita indah pada ummat, keluar
dari sebuah sistem yang kaku ini pun aku masih tertatih.
Rutinitas
hari ini bagai dua sisi mata uang. Ia menawarkan kegembiraan beserta kejenuhan.
Terkadang ia tampak semacam orgasme, yang mendatangkan Secuil kenikmatan dan
kelelahan yang tak berkesudahan. Rutinitas adalah kesenyapan tanpa ada
interupsi, yang terdengar hanya mesin semata. Mesin itu adalah kita yang tidak
sadar dengan hakikat kemanusian, itu adalah kita dengan sikap kekakuan dan
keakuan yang lain.
Aku
hari ini adalah aku yang menilai segala sesuatu dari sudut pandang mekanik,
normatif, dan penuh pertimbangan yang disiplin. Hal ini dilengkapi aku yang
irit bicara, enggan curhat, maupun tampil dengan mimik serius. Seolah aku
dilahirkan tanpa nurani dan naluri manusia.
Memang, Aku pernah mencintai perempuan, manusia yang
lekat dan cerdik bermain perasaan. Kemakluman itu terjalin dalam hubungan
pacaran, aku yang tak begitu pandai membaca wanita, merelakan hal ini tidak
berlanjut lama. Dus, sampai hari ini
aku cukup berjarak dengan wanita, maupun perasaan.
Hari ini pula, Aku hanya menjadi robot yang diatur
untuk tidak melawan dan tunduk pada tuanya. Aku hari ini bukan lagi takut akan
kegagalan, aku bahkan paranoid akan perubahan. Meskipun itu secuil, aku menjadi
pemuja rutinitas yang tak berkesudahan. Aku menjadi sadar bahwa cita cita agung
bukanlah hanya berbahan angan angan (innuendo)
saja. Cita cita dalam banyak kisah haruslah berbalut pilu, kesedihan, tangis,
kegagalan, maupun kesakitan. Romantikan dalam mengejar cita cita ini agaknya akan
hilang, ketika aku masih mencumbu rutinitas dan berlagak kaku. Aku masih takut
menyentuh lautan aksi yang penuh ombak kegagalan.
Agaknya
aku lupa (robot tidak akan lupa), robot atau mesin tidak merokok, meskipun
menghasilkan asap. Setidaknya, rokok memberi aku perbedaan dengan robot, oh
iya, aku lupa rokok ternyata berbeda dengan cerutu.