Kamis, 30 Oktober 2014

Cerutu, Cerita, dan Malam


            Dulu aku Merokok, Sekarang?. Dalam beberapa kesempatan, aku sering melewatkan waktu dengan benda kecil itu, meski tak sebinal mereka yang dianggap pecandu. Pecandu hari ini, bukanlah status yang baik, aroma mulut yang menusuk, lekat dengan penyakit, hingga vonis vonis mengerikan lainya. Sedang pecandu menuduh balik mereka yang kampanye anti rokok, sebagai antek kapitalis yang enggan mencintai produk dan tradisi lokal. Entahlah, aku tidak masuk dua kubu perdebatan ini. Aku masih menghargai ijtihad para ulama, tetapi aku mencoba tidak ahistoris ketika para tokoh terdahulu ternyata cukup akrab dengan benda ini. Jelasnya, aku bukan pecandu ataupun antek kapitalis.
            Meski demikian, aku tidak sembarang melacurkan bibirku untuk menyapa asapnya. Ketika pendakian berlangsung, tak sungkan aku mencumbu ujungnya, karena dingin yang melanda cukup luar biasa. Di waktu yang lain, bagiku rokok terkadang meruntuhkan dinding kekakuan antara aku dan lawan bicara. Diskusi menjadi lancar ketika mulut kami sama sama berbau tembakau. Teman, Rokok, ngobrol, alangkah baiknya digenapi dengan “malam” untuk dipadukan menjadi potret yang paripurna.
            Oh iya, berbicara malam. Sekitar malam minggu lalu, aku sibuk mendapat tugas untuk menginterview beberapa calon anggota LPM Pabelan. Beberapa pertanyaan dilematis sempat kusematkan pada mereka, awalnya aku berharap mereka bisa memberi jawaban spontan sebagai refleksi kepribadian mereka, namun mereka sempat berpusing ria mencari jawaban yang patut.
            “Kau suka rutinitas atau tantangan baru?” tanyaku.
            Agak lama ia berfikir,”Aku suka rutinitas mas, soalnya aku takut gagal” ungkapnya.
            Jawaban peserta terakhir ini, memang sempat menhentak jagat kesadaranku. Bahwa aku tidak sendiri di dunia ini. sebagai manusia yang mencintai keberhasilan yang paripurna, aku bermimpi menjadi manusia yang bersih dari peristiwa tersungkur, bersalah, berlumpur, terluka, maupun tangis pilu. Aku hari ini sungguh menikmati kenyamanan dan mengutuk perubahan. Bagiku sebuah ketetapan yang konstan adalah kehidupan, kehidupan adalah adalah sebuah sistem, ia bergerak secara otomatis dan mustahil keluar dari orbitnya. Sedang yang lain berkilah hidup adalah bergerak, berubah, dan berpindah dari satu titik menuju titik lain.
            Meski demikian, desain manusia memang terprogram secara sistemik. Sistem memberi sebuah jaminan dan kepastian, entah itu keberhasilan dan kegagalan. Sistem melahirkan keteraturan, ketundukan, kekakuan, kemanjaan, dan juga ketaklidan. Ketaklidan, atau meminjam Isitilah Zizek (1989) adalah Fetisisme, kepada pemikiran sistemik melahirkan aku hari ini, aku yang mencintai rutinitas, aku yang enggan berfikir terbuka, aku yang kaku, dan aku yang teralienasi.
            Marx menggambarkan alienasi terjadi pada kaum proletar oleh sebuah sistem kapital yang dijalankan kaum borjuis. Menurut Marx, Kaum Proletar menjadi asing dan buta akan hakikat dirinya sebagai manusia.  Kaum Proletar yang terlampau nyaman (atau lemah) terhadap Sistem Kapital menjadi super tunduk kepada kaum borjuis, dan menjadi bagian dari proses produksi. Bagi Marx, hal ini adalah pelucutan anasir kemanusian (Suseno; 1998).
            Kisah pilu kaum proletar era industrial terjadi pula di Era Jahiliyyah. Ikatan primordialisme dan kebodohan yang begitu mengakar, membuat jazirah arab tak paham arti penting kesetaraan derajat manusia. Muhammad dari Bani Hasyim, cukup dua dasawarsa membuat sebuah perubahan radikal (atau boleh kita sebut revolusi), meskipun dilakukanya secara gradual. Muhammad tidak seperti Marx yang memandang Ekonomi sebagai basis utama yang determinan, sehingga mewajibkan adanya perebutan alat produksi dari Kaum Borjuis. Lebih dari itu,  Muhammad adalah kisah sukses pluralisme (Piagam Madinah dan Perjanjian Hudaibiyah),  Manusia Romantis (ingat kisah Muhammad dan Khadijah), komandan perang yang cerdas (Perang Badar), maupun sebaik baik hamba Tuhan.
            Dalam sebuah masyarakat yang terlampau jauh dari modernitas, menganut permusuhan dan gemar berperang. Muhammad tampil dengan baju Intelektual, berfikir moderat dan solutif. Kisah pengangkatan Hajar Aswad menjadi potret betapa cerdiknya Beliau menengahi konflik antar suku di Mekkah. Dalam usia belia, Muhammad tampil merusak tatanan sistem Jahiliyah yang begitu kaku dan bungkam untuk berdialog. Rutinitas menjadi hamba Uzza dan Lata dijawab dengan seruan tauhid dan mengesakan Allah, meski berbuah luka dan lemparan kotoran. Tradisi Qisas yang beraroma dendam, diubah secara substanstif lebih sistemik dan berdimensi ibadah, plus tersedianya opsi Diyat.  
            Aku ingin berbicara, Muhammad adalah contoh sempurna bagaimana ia mentransformasi sebuah sistem (Jahiliyyah) menuju sistem yang lain (Islam). Tidak hanya dalam taraf Individu maupun Keluarga, namun ia sanggup mentransformasi dalam taraf Massa dan Bangsa. Hari ini, jangankan memberi cerita indah pada ummat, keluar dari sebuah sistem yang kaku ini pun aku masih tertatih.
            Rutinitas hari ini bagai dua sisi mata uang. Ia menawarkan kegembiraan beserta kejenuhan. Terkadang ia tampak semacam orgasme, yang mendatangkan Secuil kenikmatan dan kelelahan yang tak berkesudahan. Rutinitas adalah kesenyapan tanpa ada interupsi, yang terdengar hanya mesin semata. Mesin itu adalah kita yang tidak sadar dengan hakikat kemanusian, itu adalah kita dengan sikap kekakuan dan keakuan yang lain.
            Aku hari ini adalah aku yang menilai segala sesuatu dari sudut pandang mekanik, normatif, dan penuh pertimbangan yang disiplin. Hal ini dilengkapi aku yang irit bicara, enggan curhat, maupun tampil dengan mimik serius. Seolah aku dilahirkan tanpa nurani dan naluri manusia.
Memang, Aku pernah mencintai perempuan, manusia yang lekat dan cerdik bermain perasaan. Kemakluman itu terjalin dalam hubungan pacaran, aku yang tak begitu pandai membaca wanita, merelakan hal ini tidak berlanjut lama. Dus, sampai hari ini aku cukup berjarak dengan wanita, maupun perasaan. 
Hari ini pula, Aku hanya menjadi robot yang diatur untuk tidak melawan dan tunduk pada tuanya. Aku hari ini bukan lagi takut akan kegagalan, aku bahkan paranoid akan perubahan. Meskipun itu secuil, aku menjadi pemuja rutinitas yang tak berkesudahan. Aku menjadi sadar bahwa cita cita agung bukanlah hanya berbahan angan angan (innuendo) saja. Cita cita dalam banyak kisah haruslah berbalut pilu, kesedihan, tangis, kegagalan, maupun kesakitan. Romantikan dalam mengejar cita cita ini agaknya akan hilang, ketika aku masih mencumbu rutinitas dan berlagak kaku. Aku masih takut menyentuh lautan aksi yang penuh ombak kegagalan.
            Agaknya aku lupa (robot tidak akan lupa), robot atau mesin tidak merokok, meskipun menghasilkan asap. Setidaknya, rokok memberi aku perbedaan dengan robot, oh iya, aku lupa rokok ternyata berbeda dengan cerutu.


Senin, 27 Oktober 2014

Jaket, Citra, dan Imajinasi

Pemilu tahun ini sempat dihebohkan dengan politik pencitraan. Ulah pemain politik yang berselingkuh dengan media, menjadi jamak dilakukan untuk mengangkat nama baik dan mengangkut suara yang gemuk. Politik Pencitraan adalah strategi beken, ketika mereka kaya akan dosa dan miskin amal. Namun dewasa ini, agaknya pencitraan menjadi hal yang klise. Standar hidup mulai memaksa untuk mengeksploitasi penampilan. Kehidupan pencitraan mulai mengetuk kehidupan mahasiswa yang bergiat mencari identitas.

Jaket dan Citra 
Pada awalnya, Jaket  adalah  pengusir hawa dingin.Mayoritas Pengguna jaket bisa kita lihat misalnya di daerah pegunungan yang berhawa dingin. Di perkotaan yang berhawa panas dan bising, jaket lebih berfungsi sebagai teman berkendara dan pelindung terik matahari. Meski demikian, hari ini jaket menjadi komoditi berharga, preferensi pengguna jaket hari bukan dari nilai guna, namun lebih memperhatikan nilai tanda.
Kisah ini bisa kita temui pada keakraban mahasiswa dan jaket. Khususnya aktivis kampus. Dalam keseharian, Aktivis kampus lekat dengan jaket yang bertuliskan nama organisasi dan slogan idealisnya. Tulisan ini memilki peran yang lebih penting dari wujud jaket itu sendiri. 
Seringkali, dengan jaket inilah ia berjalan angkuh membelah kerumunan mahasiswa yang ia sebut kupu kupu. Tak jarang, ia menenteng tas ransel dengan satu bahu, (mungkin) agar khalayak melihat sepintas tulisan di belakang jaket. Tulisan semacam Intelektual Profetik, Cerdas Kritis profetik, maupun Dinamik kontributif, dan diksi lain yang digabungkan,  terpajang di belakang jaket para aktivis. Mereka seperti hendak mengklaim ialah manusia dengan sejuta agenda untuk bangsa. Agar mahasiswa yang ia sebut kupu-kupu merasa terkutuk tidak berbaur dengan kehidupan aktivis.
Jaket dan sebaris tulisanya adalah sebuah representasi organisasi dan sejumlah perangkatnya, termasuk sejarah, peran, ideologi, tokoh, cita-cita maupun narasi besarnya. Pengguna jaket tidak hanya terlindung dari hawa dingin dan sengatan panas, namun ia adalah representasi dari perangkat perangkat organisasi. Misal Gerakan Mahsiswa KAMMI, si pemakai Jaket KAMMI seperti hendak pemberi pesan kepada khalayak, dialah trah Fahri hamzah, negarawan yang kritis, ataupun pemikir kritis yang santun.
Namun, hal semacam jalan pintas ini ternyata kontraproduktif dengan kenyataan. Gelaran forum dan diskusi seringkali aman dari buku, makalah, maupun perdebatan ilmiah. Forum diskusi yang diklaim sebagai agenda intelektual kerap serupa dengan piknik, penuh hiburan dan variasi jenis makanan. Pertanyaan yang muncul hanya berjenis” solusi apa” dan “apa yang harus dilakukan”. Hal klise ini sangat tabu (dan memalukan) bagi seorang Intelektual. Intelektual dilahirkan sebagai solusi atas permasalahan yang kompleks. Kebingungan akan solusi menjadi sebuah refleksi, kehidupan Intelektual kini defisit berfikir dan kontemplasi.
Fenomena Jaket hari ini, telah masuk kedalam ruang Simulakrum. Ruang dimana kenyataan adalah tiruan, rekaan, citra maupun kepalsuan. Kenyataan ini (pemakaian jaket) adalah kenyataan yang ringkih dan miskin akan makna. Pemakaian Jaket adalah upaya hipokrit aktivis kampus, agar terlihat meyakinkan sebagai intelektual, meski kenyataan berbicara sebaliknya. Jaket menjelma menjadi ajang pencitraan untuk menutupi realitas palsu sebagai intelektual. Dengan demikian, sangat lucu beberapa bulan yang lalu, mahasiswa membabi buta mengahabisi salah satu capres yang dianggap pencitraan, lantas mereka sendiri alpa telah melakukan pencitraan dengan jaket jaketnya. 
Heidegger sebagaimana dikutip Yasraf (1999), menyebut citraan yang dibangun pada dasarnya  merusak eksistensi yang ada (being). Citra mereduksi peran sang ada dengan mengambil alih eksistensi sang ada. Sang ada meleburkan diri dalam citraan, sehingga batas citraan dan sang ada menjadi kabur. Sehingga realitas kini tidak lebih citraan citraan yang palsu. Citra membuat sang ada teralienasi dari diri sendiri. Hari ini kapitalis Berjaya, hari ini anggota organisasi terus berlomba, mengenakan jaket sebagai simbol pencitraan.

Gagasan Iamjinatif
Jaket sebagai batas Aktivis dan non aktivis, kini mulai lebur ketika aktivis yang mengklaim sebagai Intelektual mulai mandul melahirkan gagasan gagasan akbar. Ratusan Definisi tentang Intelektual, tidak satupun yang memberi jarak antara Intelektual dan gagasan. Dan tak ada satupun yang menganggap Intelektual selalu surplus dengan pencitraan. 
Negara ini pun diperjuangkan tidak hanya dengan kucuran darah dan tajamnya bamboo runcing, namun juga keberanian membuat gagasan akbar. Tahun 1925, Tan Malaka menulis Naar De Republiek Indonesia (menuju republic Indonesia), Ia lantang berimajinasi tentang Indonesia yang merdeka, meskipun cukup utopis kala itu. Tidak lama, Bung Hatta pun menulis Indonesia Merdeka (Indonesia Vriej) sebagai Pledoi di Den Haag (1928). Muhammad Yamin menyebut, mereka mengimajinasikan kemerdekaan bangsnya, jauh sebelum kata merdeka itu tercapai.
Hari ini mereka yang mengaku aktivis, kader, maupun anggota organisasi alpa bercermin dan cukup ahistoris. Gagasan gagasan cerdas semakin ditekan, disingkirkan, ditabukan, bahkan dimusnahkan. Sedang pencitraan setiap waktunya terus digincu untuk menghilangkan kesan kepalsuan kebodohan dan ketidaktahuan. 

Kamis, 02 Oktober 2014

Kita, Buku, dan Kata


Bagi sebagian orang, 16 tahun adalah usia yang cukup dianggap baligh atau istilahnya sudah berakal. Pun dengan KAMMI yang beberapa bulan lalu menginjak usia 16 tahun. Kelahiranya cukup Isitimewa mengingat berbarengan dengan momentum reformasi. Meski dibilang belia secara usia, namun dalam jajaran eksponen gerakan mahasiswa, nama KAMMI  cukup diperhitungkan.
Keshalehan dan kesantunan perilaku kadernya, menjadi magnet tersendiri disaat apa yang disebut Yasraf (2004) hypermorality (keadaan yang melampaui moralitas, keadaan yang dimaksud adalah dimana moral dan immoral menjadi satu, sehingga sulit membedakan hal mana yang termasuk moral maupun tidak) sedang kencang melanda. Tak heran, gerakan semuda KAMMI begitu massifnya di berbagai penjuru nusantara.
Meski cukup sejajar dengan seniornya semacam HMI, PMII, maupun IMM tidak lantas membuat KAMMI memiliki prestasi yang sepadan, terutama dalam menelurkan kader kader potensial. Hingga saat ini, khalayak lebih mengenal KAMMI sebagai sayap gerakan PKS, daripada mengenal KAMMI sebagai produsen pemimpin masa depan sesuai dengan visinya.
Entah berangkat dari keterpesonaan akan prestasi gerakan lain, setidaknya kita akan mengupas ketertinggalan KAMMI dengan beberapa gerakan lain, terutama dalam segi kekritisan dan cara berfikir kader. Memang yang penulis sendiri alami, belum pernah membersamai KAMMI dalam forum diskusi lintas gerakan yang semakin langka. Namun dari studi perbandingan sederhana, ketika penulis duduk bersama gerakan lain, seperti ada jarak dalam proses pemecahan masalah.
Ambil kasus dalam menanggapi sebuah isu, para kader lebih suka memilih preferensi berita berita internet, daripada membaca ulasan artikel panjang dan mendalam. Literasi Konspirasi yang memiliki kebenaran syubhat dan miskin analisa ilmu lebih suka dinikmati, daripada membaca buku teori. Dus, Argumen yang dibangun tampak artifisial dan tidak menyentuh substansi masalah. Problem ini bukanya disadari, namun ketika hal ini dibicarakan, para kader lebih suka memberikan senyum simpul bukan tanggapan maupun argument solutif.
Keprihatinan akan minimnya tradisi literasi plus diskusi agaknya menjadi jantung masalah, kenapa kemudian KAMMI selalu  dalam posisi subordinat dalam setiap kompetisi antar gerakan. Dilema menyentuh buku filsafat dan sejenisnya kadangkala memberi efek kritis dan pola pemikiran rekonstruktif. (mungkin) ini menjadi hal yang ditakuti para Qiyadah KAMMI, ketika kebijakan populis mereka berani dikoreksi dan dibaca ulang. Ketika hal ini terjadi,  proses hegemoni (oleh para Qiyadah) pun dilakukan.
Menurut Gramsci, Hegemoni tidak hanya akan dipertahankan begitu saja, namun juga akan disebarluaskan oleh sebuah kelompok masyarakat yang telah merebut kekuasaan. kegigihan untuk mempertahankan dominasi akan semakin terasa ketika dominasi itu mulai digoyangkan, mengigat proses mencapai Hegemoni bukan hal yang mudah.
KAMMI yang kemudian telah terhegemoni, agak susah duduk sebagai oposan terhadap, sebut saja Jamaah. Jamaah yang mencoba  kemudian menanamkan Manhaj plus Ideologi, secara tidak langsung menciptakan sebuah sistem yang bukan genuine KAMMI. Taruhlah, secara aksiologi nilai hal ini masih bisa diterima dipertanggungjawabkan, akan tetapi dalam lapangan empiris malah menumbuhkan kenyataan yang ironis.
Ironi ini berkembang dengan sebuah kenyataan yang lucu. Literatur yang kurang atau tidak sebangun dengan sistem jamaah tidak diperkenakan.  Biblioclasm (pembakaran atau pemusnahan buku) yang jamak di Orde Baru, misalnya terhadap Buku Pram, pun akhirnya digenapi dalam tubuh KAMMI itu sendiri, meskipun dilakukan dengan cara yang lebih cair.
Mengingat kampus, adalah basis pemikiran dan laboratorium ideologis, akan sangat sulit ketika pengetahuan, dianasir sedemikian rupa sehingga menjauh dari titik objektif. Pengetahuan akan selalu disimpangkan, sebelum benar benar tampil objektif. Sebelum terdengar dalam telinga Kader, pengetahuan sudah dicacatkan terlebih dahulu, sehingga akan tampak parsial.
Saya berani menjamin ketika didengungkan istilah “kiri” yang tampil adalah Komunis beserta ajaran dan tokoh tokohnya, berdasar pengalaman sejarah, literature tentang komunis adalah haram untuk dibaca.  Padahal jika menelisik lebih jauh (lewat gambaran ilmu pengetahuan), kiri tidak selalu identik dengan komunis dan perangkatnya. Kiri lebih tepatnya sebuah sikap pembacaan ulang dan pertentangan terhadap kemapanan kekuasaan yang tampil konservatif. Jika demikian, bukankah Islam datang sebagai pembacaan ulang terhadap segala unsur peradaban jahiliyah saat itu.
Contoh kecil ini, menunjukan bagaimana sebuah Objektifitas Pengetahuan dipahat dengan metode tertentu dan diarahkan terhadap sebuah pemahaman tertentu. Menurut Foucault inilah yang dinamkan Wacana atau Discourse. Dalam dimensi wacana inilah, persepsi kita mengenai suatu objek dibatasi oleh sebuah praktek diskursif, dibatasi oleh sebuah pandangan yang mendefinisikan sesuatu yang ini benar dan yang lain salah.
  Jalan menuju tempat objektifitas pengetahuan sepertinya menemui jalan terjal. Doktrin ketaatan dan kepatuhan amat dipatahkan. Pun dengan riak-riak yang bernada menyangkal sangat tabu dalam ruang perbedaan pemikiran dan pendapat. Akhirnya Kegiatan KAMMI sangat diwarnai minimya perdebatan alot yang menguras tenaga dan pikiran.
Sikap ini terpantul dalam setiap forum. Meskipun bertajuk diskusi dengan tema yang sangar sekalipun, dalam kenyataanya hanya terdengar suara beberapa orang saja, itupun sebatas pertanyaan atau afirmasi, jangan bermimpi akan menemukan interupsi, pandangan lain maupun sikap protes. Para kader lebih suka berdiam diri entah tidak tahu atau berkontemplasi.
Meminjam isitilah Paulo Freire, inilah yang dinamakan “kebudayaan bisu”, ketika kondisi suatu masyarakat mengalami ketidakberdayaan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri. Sehingga dalam hal ini, Freire menyebut diam adalah sesuatu yang sakral, sikap yang sopan, dan harus ditaati.
Beberapa kader dengan potensi kritis dan pemikiran ganjil, terkadang hanya menjadi pelengkap struktur tanpa kemudian diberi ruang untuk berkaya. Beberapa pandangan mereka yang cukup ganjil biasanya lebih banyak dimitoskan dan ditabukan, daripada dikaji dan diberi umpan balik yang sepadan.
Secara general, para pemikir atau mereka yang sanggup berfikir kritis, untuk saat ini  belum mendapat ruang yang untuk mengeskplor kemampuanya. Skill mereka hanya tersimpan di kotak, diredupkan oleh kinerja kader yang taat. Kondisi ini agak bermasalah mengingat perang besar tidak hanya membutuhkan alustita yang gemuk, namun juga pengatur strategi ulung.
Membiarkan pemikir pemikir bekerja dalam sunyi, seperti bunuh diri saja. Pahalah di era kekinian, Ummat tidak hanya dituntut menguasai lapangan-lapangan praktis, namun perang secara pemikiran atau istilahnya Al Ghawzul Fikr juga harus dimenangkan. Merekrut ratusan kader namun alpa membina dan menggembleng potensi mereka, paling banter hanya menghasilkan ahli-ahli pembuat proposal.  Begitu.


Rabu, 01 Oktober 2014

Membaca ulang PKI


           Terbitnya buku Soebandrio yang berjudul,”Kesaksianku tentang G 30 S”, memang bisa dimaknai secara beragam. Pertama, dalam buku ini Soebandrio balik menuduh Soeharto sebagai dalang kerusuhan tigapuluh September. Terasa wajar mengingat Bandrio adalah pentolan PKI yang dibui Soeharto setelah kerusuhan beberapa dasawarsa yang lalu, pun ia menjadi tangan kanan Soekarno, yang menurut Bandrio menjadi momok yang harus ditaklukan Soeharto untuk mendapat kekuasaan.
           Kedua, Buku itu terbit tidak lama setelah Soeharto lengser keprabon, Bandrio memanfaatkan momentum reformasi yang cukup berisik untuk berbicara apapun, meski mengutuk pemerintah, sesuatu hal yang jarang di Orde baru. Terlepas dari kedua hal ini, sampai saat ini kita masih dibingungkan siapa jagoan dan pengecut dalam tragedy berdarah itu. Karena selepas buku Bandrio, bermunculan buku buku yang sifatnya apologis maupun bersifat agresif terhadap semua tokoh yang terlibat dalam gerakan itu.
           PKI kehilangan berjuta nyawa anggotanya tidak dapat menghapus gelar tersangka mengingat kegemaranya memberontak dalam lintas sejarah. Eksekusi para jenderal oleh PKI ditafsirkan sebagai pemberontakan, dan militer menganggap sahih untuk ditumpas. Baik PKI dan Militer mengaku korban dan tertuduh sebagai tersangka, polemik plus perdebatan tidak berhenti di ranah ilmiah, tragedi kelam ini masih bingung menentukan siapa antagonis dan protagonist.
Membaca (paham) Komunisme
           Namun dibalik gelapnya sejarah tragedi akhir septembet itu, Fakta masih berhenti pada tragedi beberapa dasawarsa itu adalah pembunuhan sesama anak bangsa, pembantain sesama rekan juang dalam kemerdekaan. Nusantara bak menjadi kurustera yang menggelar pertandingan kolosal dua kubu yang pada dasarnya saling bersikap harmonis. Tiada pemenang dan tiada kekalahan, yang jelas ada sepotong pengetahuan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
           Komunisme adalah kata keramat di era orde baru, jangan harap buku “bersampul” merah dan berbau perlawanan (kiri) akan menjadi buku bacaan populer itu. Komunisme adalah hantu yang akan membawa “apes”, meski singgah dalam termin pengetahuan. Komunisme adalah mitos yang akan melahirkan petaka, meski hanya sebatas dipahami terlebih diamalkan.
           Trauma akan kejadian berdarah (G30S) ini adalah hal wajar mengingat bangsa kita menempatkan dialog sebagai wasit dalam sebuah perkara. Bangsa kita sudah kenyang akan perang, pedang, dan darah ketika dihuni banyak kerajaan. Meski peran komunis sebagai tersangka gerakan itu terus mendapat gugatan, ingatan akan kuasa orde baru dalam memberi perspektif kepada komunisme memberi cerita lain.
           Yang cukup disesalkan sampai hari ini, tentu bukan hanya jutaan nyawa yang melayang dalam tragedi berdarah itu. Lebih dari itu, arus pemikiran kiri kini menjadi tabu dan langka meski kita sudah duduk di era reformasi yang konon memuja kebebasan. Buku buku berbau Komunisme, Marxisme, dan Leninisme mulai saat ini dibaca menggunakan perspektif politis, bukan ditempatkan sebagai bagian dari ilmu pengetahuan.
           Ajaran Komunisme oleh orde baru berhasil didorong menuju kategori terlarang. Pengetahuan akan Komunisme diambil alih oleh raksasa Orde dan menafsirkanya secara parsial. Meminjam Foucault, bahwa pengetahuan dan Kuasa adalah sebangun, kuasa membutuhkan pengetahuan begitupun sebaliknya. Orde baru dalam hal  ini Soeharto adalah Kuasa (meskipun Foucault menilai kuasa tidak hanya milik raja, presiden, dan kekuasaan politis lainya) dan Komunis dan perangkatnya adalah pengetahuan.
           Soeharto dan komunis bersanding hingga memunculkan sebuah wacana (discourse), dan menampilkan Komunisme sebagai paham terlarang dan tidak berhak untuk dikembangkan, bahkan (mungkin) secara ilmu pengetahuan. Tentunya hal ini disesalkan, bangsa ini adalah bangsa yang dialogis dan mencintai musyawarah.
           Namun menghentikan ajaran komunis secara apriori dan menggunakan lengan kekuasaan, agaknya harus dibaca ulang. Ajaran yang sebatas kognisi dan tidak menyentuh level praksis adalah bidang pengetahuan untuk kemudian mengujinya dengan metode yang objektif. Mungkin benar ketika Foucault menaruh curiga kepada pengetahuan yang tidak bebas dan sarat dengan muatan kemungkinan. Ajaran dan filosofis komunisme sampai hari ini selalu memberi sinyal kepada nalar kita untuk diberi jarak, meskipun sekedar dibaca.
Menafsirkan (paham) Komunisme
           Memang dari segi filosofis, komunis bukanlah habitus yang pas bagi masyarakat agama semisal nusantara. Apalagi ajaran materialism historinya yang berujung meniadakan unsur non materi (tuhan, roh, maupun malaikat) dalam segala lini kehidupan. Tentunya berbeda dengan agama pada umumnya yang mempercayai transendensi dan peranya dalam kehidupan.
           Meski demikian, dalam kehidupan praktisnya Indonesia memiliki kasus yang berbeda. Komunis khususnya Islam memiliki cerita harmonis, misalnya dalam usaha gotong royong dalam mengusir kaum kolonial dari bumi nusantara. Tan Malaka maupun Misbach menjadi “manusia langka” ketika berhasil memadukan islam dan komunisme.
           Cerita harmonis ini berlanjut dalam Sidang Konstituante yang sesak dengan kepentingan ideologis, Aidit yang berotak komunis adalah lawan sepadan Natsir, seorang Ulama kharismatik. Perbedaan Ekstrem keduanya dalam memahamai ideologi negara dalam kehidupan horizontal. Konon keduanya selalu pulang bareng, selesai berdebat sengit di sidang konstituante.
           Sudah saatnya kita adil dalam memberi pemahaman akan Komunis, memang kita tidak rela negara ini direbut kaum boselvis lewat cara revolusi yang konon erat dengan darah. Namun apriori menilai komunis sebagai paham terlarang, dan menggunakan perspektif politis tanpa filter pengetahuan adalah kelaliman pula.