Kamis, 02 Oktober 2014

Kita, Buku, dan Kata


Bagi sebagian orang, 16 tahun adalah usia yang cukup dianggap baligh atau istilahnya sudah berakal. Pun dengan KAMMI yang beberapa bulan lalu menginjak usia 16 tahun. Kelahiranya cukup Isitimewa mengingat berbarengan dengan momentum reformasi. Meski dibilang belia secara usia, namun dalam jajaran eksponen gerakan mahasiswa, nama KAMMI  cukup diperhitungkan.
Keshalehan dan kesantunan perilaku kadernya, menjadi magnet tersendiri disaat apa yang disebut Yasraf (2004) hypermorality (keadaan yang melampaui moralitas, keadaan yang dimaksud adalah dimana moral dan immoral menjadi satu, sehingga sulit membedakan hal mana yang termasuk moral maupun tidak) sedang kencang melanda. Tak heran, gerakan semuda KAMMI begitu massifnya di berbagai penjuru nusantara.
Meski cukup sejajar dengan seniornya semacam HMI, PMII, maupun IMM tidak lantas membuat KAMMI memiliki prestasi yang sepadan, terutama dalam menelurkan kader kader potensial. Hingga saat ini, khalayak lebih mengenal KAMMI sebagai sayap gerakan PKS, daripada mengenal KAMMI sebagai produsen pemimpin masa depan sesuai dengan visinya.
Entah berangkat dari keterpesonaan akan prestasi gerakan lain, setidaknya kita akan mengupas ketertinggalan KAMMI dengan beberapa gerakan lain, terutama dalam segi kekritisan dan cara berfikir kader. Memang yang penulis sendiri alami, belum pernah membersamai KAMMI dalam forum diskusi lintas gerakan yang semakin langka. Namun dari studi perbandingan sederhana, ketika penulis duduk bersama gerakan lain, seperti ada jarak dalam proses pemecahan masalah.
Ambil kasus dalam menanggapi sebuah isu, para kader lebih suka memilih preferensi berita berita internet, daripada membaca ulasan artikel panjang dan mendalam. Literasi Konspirasi yang memiliki kebenaran syubhat dan miskin analisa ilmu lebih suka dinikmati, daripada membaca buku teori. Dus, Argumen yang dibangun tampak artifisial dan tidak menyentuh substansi masalah. Problem ini bukanya disadari, namun ketika hal ini dibicarakan, para kader lebih suka memberikan senyum simpul bukan tanggapan maupun argument solutif.
Keprihatinan akan minimnya tradisi literasi plus diskusi agaknya menjadi jantung masalah, kenapa kemudian KAMMI selalu  dalam posisi subordinat dalam setiap kompetisi antar gerakan. Dilema menyentuh buku filsafat dan sejenisnya kadangkala memberi efek kritis dan pola pemikiran rekonstruktif. (mungkin) ini menjadi hal yang ditakuti para Qiyadah KAMMI, ketika kebijakan populis mereka berani dikoreksi dan dibaca ulang. Ketika hal ini terjadi,  proses hegemoni (oleh para Qiyadah) pun dilakukan.
Menurut Gramsci, Hegemoni tidak hanya akan dipertahankan begitu saja, namun juga akan disebarluaskan oleh sebuah kelompok masyarakat yang telah merebut kekuasaan. kegigihan untuk mempertahankan dominasi akan semakin terasa ketika dominasi itu mulai digoyangkan, mengigat proses mencapai Hegemoni bukan hal yang mudah.
KAMMI yang kemudian telah terhegemoni, agak susah duduk sebagai oposan terhadap, sebut saja Jamaah. Jamaah yang mencoba  kemudian menanamkan Manhaj plus Ideologi, secara tidak langsung menciptakan sebuah sistem yang bukan genuine KAMMI. Taruhlah, secara aksiologi nilai hal ini masih bisa diterima dipertanggungjawabkan, akan tetapi dalam lapangan empiris malah menumbuhkan kenyataan yang ironis.
Ironi ini berkembang dengan sebuah kenyataan yang lucu. Literatur yang kurang atau tidak sebangun dengan sistem jamaah tidak diperkenakan.  Biblioclasm (pembakaran atau pemusnahan buku) yang jamak di Orde Baru, misalnya terhadap Buku Pram, pun akhirnya digenapi dalam tubuh KAMMI itu sendiri, meskipun dilakukan dengan cara yang lebih cair.
Mengingat kampus, adalah basis pemikiran dan laboratorium ideologis, akan sangat sulit ketika pengetahuan, dianasir sedemikian rupa sehingga menjauh dari titik objektif. Pengetahuan akan selalu disimpangkan, sebelum benar benar tampil objektif. Sebelum terdengar dalam telinga Kader, pengetahuan sudah dicacatkan terlebih dahulu, sehingga akan tampak parsial.
Saya berani menjamin ketika didengungkan istilah “kiri” yang tampil adalah Komunis beserta ajaran dan tokoh tokohnya, berdasar pengalaman sejarah, literature tentang komunis adalah haram untuk dibaca.  Padahal jika menelisik lebih jauh (lewat gambaran ilmu pengetahuan), kiri tidak selalu identik dengan komunis dan perangkatnya. Kiri lebih tepatnya sebuah sikap pembacaan ulang dan pertentangan terhadap kemapanan kekuasaan yang tampil konservatif. Jika demikian, bukankah Islam datang sebagai pembacaan ulang terhadap segala unsur peradaban jahiliyah saat itu.
Contoh kecil ini, menunjukan bagaimana sebuah Objektifitas Pengetahuan dipahat dengan metode tertentu dan diarahkan terhadap sebuah pemahaman tertentu. Menurut Foucault inilah yang dinamkan Wacana atau Discourse. Dalam dimensi wacana inilah, persepsi kita mengenai suatu objek dibatasi oleh sebuah praktek diskursif, dibatasi oleh sebuah pandangan yang mendefinisikan sesuatu yang ini benar dan yang lain salah.
  Jalan menuju tempat objektifitas pengetahuan sepertinya menemui jalan terjal. Doktrin ketaatan dan kepatuhan amat dipatahkan. Pun dengan riak-riak yang bernada menyangkal sangat tabu dalam ruang perbedaan pemikiran dan pendapat. Akhirnya Kegiatan KAMMI sangat diwarnai minimya perdebatan alot yang menguras tenaga dan pikiran.
Sikap ini terpantul dalam setiap forum. Meskipun bertajuk diskusi dengan tema yang sangar sekalipun, dalam kenyataanya hanya terdengar suara beberapa orang saja, itupun sebatas pertanyaan atau afirmasi, jangan bermimpi akan menemukan interupsi, pandangan lain maupun sikap protes. Para kader lebih suka berdiam diri entah tidak tahu atau berkontemplasi.
Meminjam isitilah Paulo Freire, inilah yang dinamakan “kebudayaan bisu”, ketika kondisi suatu masyarakat mengalami ketidakberdayaan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri. Sehingga dalam hal ini, Freire menyebut diam adalah sesuatu yang sakral, sikap yang sopan, dan harus ditaati.
Beberapa kader dengan potensi kritis dan pemikiran ganjil, terkadang hanya menjadi pelengkap struktur tanpa kemudian diberi ruang untuk berkaya. Beberapa pandangan mereka yang cukup ganjil biasanya lebih banyak dimitoskan dan ditabukan, daripada dikaji dan diberi umpan balik yang sepadan.
Secara general, para pemikir atau mereka yang sanggup berfikir kritis, untuk saat ini  belum mendapat ruang yang untuk mengeskplor kemampuanya. Skill mereka hanya tersimpan di kotak, diredupkan oleh kinerja kader yang taat. Kondisi ini agak bermasalah mengingat perang besar tidak hanya membutuhkan alustita yang gemuk, namun juga pengatur strategi ulung.
Membiarkan pemikir pemikir bekerja dalam sunyi, seperti bunuh diri saja. Pahalah di era kekinian, Ummat tidak hanya dituntut menguasai lapangan-lapangan praktis, namun perang secara pemikiran atau istilahnya Al Ghawzul Fikr juga harus dimenangkan. Merekrut ratusan kader namun alpa membina dan menggembleng potensi mereka, paling banter hanya menghasilkan ahli-ahli pembuat proposal.  Begitu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar