Jaket dan Citra
Pada awalnya, Jaket adalah pengusir hawa dingin.Mayoritas Pengguna jaket bisa kita lihat misalnya di daerah pegunungan yang berhawa dingin. Di perkotaan yang berhawa panas dan bising, jaket lebih berfungsi sebagai teman berkendara dan pelindung terik matahari. Meski demikian, hari ini jaket menjadi komoditi berharga, preferensi pengguna jaket hari bukan dari nilai guna, namun lebih memperhatikan nilai tanda.
Kisah ini bisa kita temui pada keakraban mahasiswa dan jaket. Khususnya aktivis kampus. Dalam keseharian, Aktivis kampus lekat dengan jaket yang bertuliskan nama organisasi dan slogan idealisnya. Tulisan ini memilki peran yang lebih penting dari wujud jaket itu sendiri.
Seringkali, dengan jaket inilah ia berjalan angkuh membelah kerumunan mahasiswa yang ia sebut kupu kupu. Tak jarang, ia menenteng tas ransel dengan satu bahu, (mungkin) agar khalayak melihat sepintas tulisan di belakang jaket. Tulisan semacam Intelektual Profetik, Cerdas Kritis profetik, maupun Dinamik kontributif, dan diksi lain yang digabungkan, terpajang di belakang jaket para aktivis. Mereka seperti hendak mengklaim ialah manusia dengan sejuta agenda untuk bangsa. Agar mahasiswa yang ia sebut kupu-kupu merasa terkutuk tidak berbaur dengan kehidupan aktivis.
Jaket dan sebaris tulisanya adalah sebuah representasi organisasi dan sejumlah perangkatnya, termasuk sejarah, peran, ideologi, tokoh, cita-cita maupun narasi besarnya. Pengguna jaket tidak hanya terlindung dari hawa dingin dan sengatan panas, namun ia adalah representasi dari perangkat perangkat organisasi. Misal Gerakan Mahsiswa KAMMI, si pemakai Jaket KAMMI seperti hendak pemberi pesan kepada khalayak, dialah trah Fahri hamzah, negarawan yang kritis, ataupun pemikir kritis yang santun.
Namun, hal semacam jalan pintas ini ternyata kontraproduktif dengan kenyataan. Gelaran forum dan diskusi seringkali aman dari buku, makalah, maupun perdebatan ilmiah. Forum diskusi yang diklaim sebagai agenda intelektual kerap serupa dengan piknik, penuh hiburan dan variasi jenis makanan. Pertanyaan yang muncul hanya berjenis” solusi apa” dan “apa yang harus dilakukan”. Hal klise ini sangat tabu (dan memalukan) bagi seorang Intelektual. Intelektual dilahirkan sebagai solusi atas permasalahan yang kompleks. Kebingungan akan solusi menjadi sebuah refleksi, kehidupan Intelektual kini defisit berfikir dan kontemplasi.
Fenomena Jaket hari ini, telah masuk kedalam ruang Simulakrum. Ruang dimana kenyataan adalah tiruan, rekaan, citra maupun kepalsuan. Kenyataan ini (pemakaian jaket) adalah kenyataan yang ringkih dan miskin akan makna. Pemakaian Jaket adalah upaya hipokrit aktivis kampus, agar terlihat meyakinkan sebagai intelektual, meski kenyataan berbicara sebaliknya. Jaket menjelma menjadi ajang pencitraan untuk menutupi realitas palsu sebagai intelektual. Dengan demikian, sangat lucu beberapa bulan yang lalu, mahasiswa membabi buta mengahabisi salah satu capres yang dianggap pencitraan, lantas mereka sendiri alpa telah melakukan pencitraan dengan jaket jaketnya.
Heidegger sebagaimana dikutip Yasraf (1999), menyebut citraan yang dibangun pada dasarnya merusak eksistensi yang ada (being). Citra mereduksi peran sang ada dengan mengambil alih eksistensi sang ada. Sang ada meleburkan diri dalam citraan, sehingga batas citraan dan sang ada menjadi kabur. Sehingga realitas kini tidak lebih citraan citraan yang palsu. Citra membuat sang ada teralienasi dari diri sendiri. Hari ini kapitalis Berjaya, hari ini anggota organisasi terus berlomba, mengenakan jaket sebagai simbol pencitraan.
Gagasan Iamjinatif
Jaket sebagai batas Aktivis dan non aktivis, kini mulai lebur ketika aktivis yang mengklaim sebagai Intelektual mulai mandul melahirkan gagasan gagasan akbar. Ratusan Definisi tentang Intelektual, tidak satupun yang memberi jarak antara Intelektual dan gagasan. Dan tak ada satupun yang menganggap Intelektual selalu surplus dengan pencitraan.
Negara ini pun diperjuangkan tidak hanya dengan kucuran darah dan tajamnya bamboo runcing, namun juga keberanian membuat gagasan akbar. Tahun 1925, Tan Malaka menulis Naar De Republiek Indonesia (menuju republic Indonesia), Ia lantang berimajinasi tentang Indonesia yang merdeka, meskipun cukup utopis kala itu. Tidak lama, Bung Hatta pun menulis Indonesia Merdeka (Indonesia Vriej) sebagai Pledoi di Den Haag (1928). Muhammad Yamin menyebut, mereka mengimajinasikan kemerdekaan bangsnya, jauh sebelum kata merdeka itu tercapai.
Hari ini mereka yang mengaku aktivis, kader, maupun anggota organisasi alpa bercermin dan cukup ahistoris. Gagasan gagasan cerdas semakin ditekan, disingkirkan, ditabukan, bahkan dimusnahkan. Sedang pencitraan setiap waktunya terus digincu untuk menghilangkan kesan kepalsuan kebodohan dan ketidaktahuan.
Ketika tanda tak lagi sejalan dengan makna aslinya :p
BalasHapus