Rabu, 01 Oktober 2014

Membaca ulang PKI


           Terbitnya buku Soebandrio yang berjudul,”Kesaksianku tentang G 30 S”, memang bisa dimaknai secara beragam. Pertama, dalam buku ini Soebandrio balik menuduh Soeharto sebagai dalang kerusuhan tigapuluh September. Terasa wajar mengingat Bandrio adalah pentolan PKI yang dibui Soeharto setelah kerusuhan beberapa dasawarsa yang lalu, pun ia menjadi tangan kanan Soekarno, yang menurut Bandrio menjadi momok yang harus ditaklukan Soeharto untuk mendapat kekuasaan.
           Kedua, Buku itu terbit tidak lama setelah Soeharto lengser keprabon, Bandrio memanfaatkan momentum reformasi yang cukup berisik untuk berbicara apapun, meski mengutuk pemerintah, sesuatu hal yang jarang di Orde baru. Terlepas dari kedua hal ini, sampai saat ini kita masih dibingungkan siapa jagoan dan pengecut dalam tragedy berdarah itu. Karena selepas buku Bandrio, bermunculan buku buku yang sifatnya apologis maupun bersifat agresif terhadap semua tokoh yang terlibat dalam gerakan itu.
           PKI kehilangan berjuta nyawa anggotanya tidak dapat menghapus gelar tersangka mengingat kegemaranya memberontak dalam lintas sejarah. Eksekusi para jenderal oleh PKI ditafsirkan sebagai pemberontakan, dan militer menganggap sahih untuk ditumpas. Baik PKI dan Militer mengaku korban dan tertuduh sebagai tersangka, polemik plus perdebatan tidak berhenti di ranah ilmiah, tragedi kelam ini masih bingung menentukan siapa antagonis dan protagonist.
Membaca (paham) Komunisme
           Namun dibalik gelapnya sejarah tragedi akhir septembet itu, Fakta masih berhenti pada tragedi beberapa dasawarsa itu adalah pembunuhan sesama anak bangsa, pembantain sesama rekan juang dalam kemerdekaan. Nusantara bak menjadi kurustera yang menggelar pertandingan kolosal dua kubu yang pada dasarnya saling bersikap harmonis. Tiada pemenang dan tiada kekalahan, yang jelas ada sepotong pengetahuan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
           Komunisme adalah kata keramat di era orde baru, jangan harap buku “bersampul” merah dan berbau perlawanan (kiri) akan menjadi buku bacaan populer itu. Komunisme adalah hantu yang akan membawa “apes”, meski singgah dalam termin pengetahuan. Komunisme adalah mitos yang akan melahirkan petaka, meski hanya sebatas dipahami terlebih diamalkan.
           Trauma akan kejadian berdarah (G30S) ini adalah hal wajar mengingat bangsa kita menempatkan dialog sebagai wasit dalam sebuah perkara. Bangsa kita sudah kenyang akan perang, pedang, dan darah ketika dihuni banyak kerajaan. Meski peran komunis sebagai tersangka gerakan itu terus mendapat gugatan, ingatan akan kuasa orde baru dalam memberi perspektif kepada komunisme memberi cerita lain.
           Yang cukup disesalkan sampai hari ini, tentu bukan hanya jutaan nyawa yang melayang dalam tragedi berdarah itu. Lebih dari itu, arus pemikiran kiri kini menjadi tabu dan langka meski kita sudah duduk di era reformasi yang konon memuja kebebasan. Buku buku berbau Komunisme, Marxisme, dan Leninisme mulai saat ini dibaca menggunakan perspektif politis, bukan ditempatkan sebagai bagian dari ilmu pengetahuan.
           Ajaran Komunisme oleh orde baru berhasil didorong menuju kategori terlarang. Pengetahuan akan Komunisme diambil alih oleh raksasa Orde dan menafsirkanya secara parsial. Meminjam Foucault, bahwa pengetahuan dan Kuasa adalah sebangun, kuasa membutuhkan pengetahuan begitupun sebaliknya. Orde baru dalam hal  ini Soeharto adalah Kuasa (meskipun Foucault menilai kuasa tidak hanya milik raja, presiden, dan kekuasaan politis lainya) dan Komunis dan perangkatnya adalah pengetahuan.
           Soeharto dan komunis bersanding hingga memunculkan sebuah wacana (discourse), dan menampilkan Komunisme sebagai paham terlarang dan tidak berhak untuk dikembangkan, bahkan (mungkin) secara ilmu pengetahuan. Tentunya hal ini disesalkan, bangsa ini adalah bangsa yang dialogis dan mencintai musyawarah.
           Namun menghentikan ajaran komunis secara apriori dan menggunakan lengan kekuasaan, agaknya harus dibaca ulang. Ajaran yang sebatas kognisi dan tidak menyentuh level praksis adalah bidang pengetahuan untuk kemudian mengujinya dengan metode yang objektif. Mungkin benar ketika Foucault menaruh curiga kepada pengetahuan yang tidak bebas dan sarat dengan muatan kemungkinan. Ajaran dan filosofis komunisme sampai hari ini selalu memberi sinyal kepada nalar kita untuk diberi jarak, meskipun sekedar dibaca.
Menafsirkan (paham) Komunisme
           Memang dari segi filosofis, komunis bukanlah habitus yang pas bagi masyarakat agama semisal nusantara. Apalagi ajaran materialism historinya yang berujung meniadakan unsur non materi (tuhan, roh, maupun malaikat) dalam segala lini kehidupan. Tentunya berbeda dengan agama pada umumnya yang mempercayai transendensi dan peranya dalam kehidupan.
           Meski demikian, dalam kehidupan praktisnya Indonesia memiliki kasus yang berbeda. Komunis khususnya Islam memiliki cerita harmonis, misalnya dalam usaha gotong royong dalam mengusir kaum kolonial dari bumi nusantara. Tan Malaka maupun Misbach menjadi “manusia langka” ketika berhasil memadukan islam dan komunisme.
           Cerita harmonis ini berlanjut dalam Sidang Konstituante yang sesak dengan kepentingan ideologis, Aidit yang berotak komunis adalah lawan sepadan Natsir, seorang Ulama kharismatik. Perbedaan Ekstrem keduanya dalam memahamai ideologi negara dalam kehidupan horizontal. Konon keduanya selalu pulang bareng, selesai berdebat sengit di sidang konstituante.
           Sudah saatnya kita adil dalam memberi pemahaman akan Komunis, memang kita tidak rela negara ini direbut kaum boselvis lewat cara revolusi yang konon erat dengan darah. Namun apriori menilai komunis sebagai paham terlarang, dan menggunakan perspektif politis tanpa filter pengetahuan adalah kelaliman pula.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar