Terbitnya buku Soebandrio yang
berjudul,”Kesaksianku tentang G 30 S”, memang bisa dimaknai secara beragam.
Pertama, dalam buku ini Soebandrio balik menuduh Soeharto sebagai dalang
kerusuhan tigapuluh September. Terasa wajar mengingat Bandrio adalah pentolan
PKI yang dibui Soeharto setelah kerusuhan beberapa dasawarsa yang lalu, pun ia
menjadi tangan kanan Soekarno, yang menurut Bandrio menjadi momok yang harus
ditaklukan Soeharto untuk mendapat kekuasaan.
Kedua, Buku itu terbit tidak lama
setelah Soeharto lengser keprabon,
Bandrio memanfaatkan momentum reformasi yang cukup berisik untuk berbicara
apapun, meski mengutuk pemerintah, sesuatu hal yang jarang di Orde baru. Terlepas
dari kedua hal ini, sampai saat ini kita masih dibingungkan siapa jagoan dan
pengecut dalam tragedy berdarah itu. Karena selepas buku Bandrio, bermunculan
buku buku yang sifatnya apologis maupun bersifat agresif terhadap semua tokoh
yang terlibat dalam gerakan itu.
PKI kehilangan berjuta nyawa anggotanya
tidak dapat menghapus gelar tersangka mengingat kegemaranya memberontak dalam
lintas sejarah. Eksekusi para jenderal oleh PKI ditafsirkan sebagai
pemberontakan, dan militer menganggap sahih untuk ditumpas. Baik PKI dan
Militer mengaku korban dan tertuduh sebagai tersangka, polemik plus perdebatan
tidak berhenti di ranah ilmiah, tragedi kelam ini masih bingung menentukan
siapa antagonis dan protagonist.
Membaca (paham) Komunisme
Namun dibalik gelapnya sejarah
tragedi akhir septembet itu, Fakta masih berhenti pada tragedi beberapa
dasawarsa itu adalah pembunuhan sesama anak bangsa, pembantain sesama rekan
juang dalam kemerdekaan. Nusantara bak menjadi kurustera yang menggelar
pertandingan kolosal dua kubu yang pada dasarnya saling bersikap harmonis.
Tiada pemenang dan tiada kekalahan, yang jelas ada sepotong pengetahuan yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Komunisme adalah kata keramat di era
orde baru, jangan harap buku “bersampul” merah dan berbau perlawanan (kiri) akan
menjadi buku bacaan populer itu. Komunisme adalah hantu yang akan membawa “apes”,
meski singgah dalam termin pengetahuan. Komunisme adalah mitos yang akan
melahirkan petaka, meski hanya sebatas dipahami terlebih diamalkan.
Trauma akan kejadian berdarah (G30S)
ini adalah hal wajar mengingat bangsa kita menempatkan dialog sebagai wasit
dalam sebuah perkara. Bangsa kita sudah kenyang akan perang, pedang, dan darah
ketika dihuni banyak kerajaan. Meski peran komunis sebagai tersangka gerakan
itu terus mendapat gugatan, ingatan akan kuasa orde baru dalam memberi
perspektif kepada komunisme memberi cerita lain.
Yang cukup disesalkan sampai hari
ini, tentu bukan hanya jutaan nyawa yang melayang dalam tragedi berdarah itu.
Lebih dari itu, arus pemikiran kiri kini menjadi tabu dan langka meski kita
sudah duduk di era reformasi yang konon memuja kebebasan. Buku buku berbau Komunisme, Marxisme, dan Leninisme mulai saat ini
dibaca menggunakan perspektif politis, bukan ditempatkan sebagai bagian dari
ilmu pengetahuan.
Ajaran Komunisme oleh orde baru
berhasil didorong menuju kategori terlarang. Pengetahuan akan Komunisme diambil
alih oleh raksasa Orde dan menafsirkanya secara parsial. Meminjam Foucault,
bahwa pengetahuan dan Kuasa adalah sebangun, kuasa membutuhkan pengetahuan
begitupun sebaliknya. Orde baru dalam hal
ini Soeharto adalah Kuasa (meskipun Foucault menilai kuasa tidak hanya
milik raja, presiden, dan kekuasaan politis lainya) dan Komunis dan
perangkatnya adalah pengetahuan.
Soeharto
dan komunis bersanding hingga memunculkan sebuah wacana (discourse), dan menampilkan Komunisme sebagai paham terlarang dan
tidak berhak untuk dikembangkan, bahkan (mungkin) secara ilmu pengetahuan.
Tentunya hal ini disesalkan, bangsa ini adalah bangsa yang dialogis dan
mencintai musyawarah.
Namun menghentikan ajaran komunis
secara apriori dan menggunakan lengan kekuasaan, agaknya harus dibaca ulang.
Ajaran yang sebatas kognisi dan tidak menyentuh level praksis adalah bidang
pengetahuan untuk kemudian mengujinya dengan metode yang objektif. Mungkin benar
ketika Foucault menaruh curiga kepada pengetahuan yang tidak bebas dan sarat
dengan muatan kemungkinan. Ajaran dan filosofis komunisme sampai hari ini
selalu memberi sinyal kepada nalar kita untuk diberi jarak, meskipun sekedar
dibaca.
Menafsirkan (paham) Komunisme
Memang
dari segi filosofis, komunis bukanlah habitus yang pas bagi masyarakat agama
semisal nusantara. Apalagi ajaran materialism historinya yang berujung
meniadakan unsur non materi (tuhan, roh, maupun malaikat) dalam segala lini
kehidupan. Tentunya berbeda dengan agama pada umumnya yang mempercayai
transendensi dan peranya dalam kehidupan.
Meski demikian, dalam kehidupan
praktisnya Indonesia memiliki kasus yang berbeda. Komunis khususnya Islam
memiliki cerita harmonis, misalnya dalam usaha gotong royong dalam mengusir
kaum kolonial dari bumi nusantara. Tan Malaka maupun Misbach menjadi “manusia
langka” ketika berhasil memadukan islam dan komunisme.
Cerita harmonis ini berlanjut dalam
Sidang Konstituante yang sesak dengan kepentingan ideologis, Aidit yang berotak
komunis adalah lawan sepadan Natsir, seorang Ulama kharismatik. Perbedaan
Ekstrem keduanya dalam memahamai ideologi negara dalam kehidupan horizontal.
Konon keduanya selalu pulang bareng, selesai berdebat sengit di sidang konstituante.
Sudah saatnya kita adil dalam memberi
pemahaman akan Komunis, memang kita tidak rela negara ini direbut kaum boselvis
lewat cara revolusi yang konon erat dengan darah. Namun apriori menilai komunis
sebagai paham terlarang, dan menggunakan perspektif politis tanpa filter
pengetahuan adalah kelaliman pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar