Kamis, 30 Oktober 2014

Cerutu, Cerita, dan Malam


            Dulu aku Merokok, Sekarang?. Dalam beberapa kesempatan, aku sering melewatkan waktu dengan benda kecil itu, meski tak sebinal mereka yang dianggap pecandu. Pecandu hari ini, bukanlah status yang baik, aroma mulut yang menusuk, lekat dengan penyakit, hingga vonis vonis mengerikan lainya. Sedang pecandu menuduh balik mereka yang kampanye anti rokok, sebagai antek kapitalis yang enggan mencintai produk dan tradisi lokal. Entahlah, aku tidak masuk dua kubu perdebatan ini. Aku masih menghargai ijtihad para ulama, tetapi aku mencoba tidak ahistoris ketika para tokoh terdahulu ternyata cukup akrab dengan benda ini. Jelasnya, aku bukan pecandu ataupun antek kapitalis.
            Meski demikian, aku tidak sembarang melacurkan bibirku untuk menyapa asapnya. Ketika pendakian berlangsung, tak sungkan aku mencumbu ujungnya, karena dingin yang melanda cukup luar biasa. Di waktu yang lain, bagiku rokok terkadang meruntuhkan dinding kekakuan antara aku dan lawan bicara. Diskusi menjadi lancar ketika mulut kami sama sama berbau tembakau. Teman, Rokok, ngobrol, alangkah baiknya digenapi dengan “malam” untuk dipadukan menjadi potret yang paripurna.
            Oh iya, berbicara malam. Sekitar malam minggu lalu, aku sibuk mendapat tugas untuk menginterview beberapa calon anggota LPM Pabelan. Beberapa pertanyaan dilematis sempat kusematkan pada mereka, awalnya aku berharap mereka bisa memberi jawaban spontan sebagai refleksi kepribadian mereka, namun mereka sempat berpusing ria mencari jawaban yang patut.
            “Kau suka rutinitas atau tantangan baru?” tanyaku.
            Agak lama ia berfikir,”Aku suka rutinitas mas, soalnya aku takut gagal” ungkapnya.
            Jawaban peserta terakhir ini, memang sempat menhentak jagat kesadaranku. Bahwa aku tidak sendiri di dunia ini. sebagai manusia yang mencintai keberhasilan yang paripurna, aku bermimpi menjadi manusia yang bersih dari peristiwa tersungkur, bersalah, berlumpur, terluka, maupun tangis pilu. Aku hari ini sungguh menikmati kenyamanan dan mengutuk perubahan. Bagiku sebuah ketetapan yang konstan adalah kehidupan, kehidupan adalah adalah sebuah sistem, ia bergerak secara otomatis dan mustahil keluar dari orbitnya. Sedang yang lain berkilah hidup adalah bergerak, berubah, dan berpindah dari satu titik menuju titik lain.
            Meski demikian, desain manusia memang terprogram secara sistemik. Sistem memberi sebuah jaminan dan kepastian, entah itu keberhasilan dan kegagalan. Sistem melahirkan keteraturan, ketundukan, kekakuan, kemanjaan, dan juga ketaklidan. Ketaklidan, atau meminjam Isitilah Zizek (1989) adalah Fetisisme, kepada pemikiran sistemik melahirkan aku hari ini, aku yang mencintai rutinitas, aku yang enggan berfikir terbuka, aku yang kaku, dan aku yang teralienasi.
            Marx menggambarkan alienasi terjadi pada kaum proletar oleh sebuah sistem kapital yang dijalankan kaum borjuis. Menurut Marx, Kaum Proletar menjadi asing dan buta akan hakikat dirinya sebagai manusia.  Kaum Proletar yang terlampau nyaman (atau lemah) terhadap Sistem Kapital menjadi super tunduk kepada kaum borjuis, dan menjadi bagian dari proses produksi. Bagi Marx, hal ini adalah pelucutan anasir kemanusian (Suseno; 1998).
            Kisah pilu kaum proletar era industrial terjadi pula di Era Jahiliyyah. Ikatan primordialisme dan kebodohan yang begitu mengakar, membuat jazirah arab tak paham arti penting kesetaraan derajat manusia. Muhammad dari Bani Hasyim, cukup dua dasawarsa membuat sebuah perubahan radikal (atau boleh kita sebut revolusi), meskipun dilakukanya secara gradual. Muhammad tidak seperti Marx yang memandang Ekonomi sebagai basis utama yang determinan, sehingga mewajibkan adanya perebutan alat produksi dari Kaum Borjuis. Lebih dari itu,  Muhammad adalah kisah sukses pluralisme (Piagam Madinah dan Perjanjian Hudaibiyah),  Manusia Romantis (ingat kisah Muhammad dan Khadijah), komandan perang yang cerdas (Perang Badar), maupun sebaik baik hamba Tuhan.
            Dalam sebuah masyarakat yang terlampau jauh dari modernitas, menganut permusuhan dan gemar berperang. Muhammad tampil dengan baju Intelektual, berfikir moderat dan solutif. Kisah pengangkatan Hajar Aswad menjadi potret betapa cerdiknya Beliau menengahi konflik antar suku di Mekkah. Dalam usia belia, Muhammad tampil merusak tatanan sistem Jahiliyah yang begitu kaku dan bungkam untuk berdialog. Rutinitas menjadi hamba Uzza dan Lata dijawab dengan seruan tauhid dan mengesakan Allah, meski berbuah luka dan lemparan kotoran. Tradisi Qisas yang beraroma dendam, diubah secara substanstif lebih sistemik dan berdimensi ibadah, plus tersedianya opsi Diyat.  
            Aku ingin berbicara, Muhammad adalah contoh sempurna bagaimana ia mentransformasi sebuah sistem (Jahiliyyah) menuju sistem yang lain (Islam). Tidak hanya dalam taraf Individu maupun Keluarga, namun ia sanggup mentransformasi dalam taraf Massa dan Bangsa. Hari ini, jangankan memberi cerita indah pada ummat, keluar dari sebuah sistem yang kaku ini pun aku masih tertatih.
            Rutinitas hari ini bagai dua sisi mata uang. Ia menawarkan kegembiraan beserta kejenuhan. Terkadang ia tampak semacam orgasme, yang mendatangkan Secuil kenikmatan dan kelelahan yang tak berkesudahan. Rutinitas adalah kesenyapan tanpa ada interupsi, yang terdengar hanya mesin semata. Mesin itu adalah kita yang tidak sadar dengan hakikat kemanusian, itu adalah kita dengan sikap kekakuan dan keakuan yang lain.
            Aku hari ini adalah aku yang menilai segala sesuatu dari sudut pandang mekanik, normatif, dan penuh pertimbangan yang disiplin. Hal ini dilengkapi aku yang irit bicara, enggan curhat, maupun tampil dengan mimik serius. Seolah aku dilahirkan tanpa nurani dan naluri manusia.
Memang, Aku pernah mencintai perempuan, manusia yang lekat dan cerdik bermain perasaan. Kemakluman itu terjalin dalam hubungan pacaran, aku yang tak begitu pandai membaca wanita, merelakan hal ini tidak berlanjut lama. Dus, sampai hari ini aku cukup berjarak dengan wanita, maupun perasaan. 
Hari ini pula, Aku hanya menjadi robot yang diatur untuk tidak melawan dan tunduk pada tuanya. Aku hari ini bukan lagi takut akan kegagalan, aku bahkan paranoid akan perubahan. Meskipun itu secuil, aku menjadi pemuja rutinitas yang tak berkesudahan. Aku menjadi sadar bahwa cita cita agung bukanlah hanya berbahan angan angan (innuendo) saja. Cita cita dalam banyak kisah haruslah berbalut pilu, kesedihan, tangis, kegagalan, maupun kesakitan. Romantikan dalam mengejar cita cita ini agaknya akan hilang, ketika aku masih mencumbu rutinitas dan berlagak kaku. Aku masih takut menyentuh lautan aksi yang penuh ombak kegagalan.
            Agaknya aku lupa (robot tidak akan lupa), robot atau mesin tidak merokok, meskipun menghasilkan asap. Setidaknya, rokok memberi aku perbedaan dengan robot, oh iya, aku lupa rokok ternyata berbeda dengan cerutu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar