Ada banyak bahan diskusi seusai gelaran Pemilu ini, Dimulai
dengan meroketnya PDIP dengan jokowi Effectnya, ataupun promosi kuda hitam
Gerindra dan PKB kepapan atas, ada cerita
tentang demokrat yang menjadi kekuatan medioker, sampai turunya prestasi Partai
Islam yang diiringi dengan banyak kekhawatiran.
Degradasi suara partai islam memang banyak
diprediksi jauh jauh hari, dimulai dari minim ukhuwah antar partai sampai
lemahnya internal partai mengahadapi badai isu . Semuanya terbingkai menjadi
pukulan telak partai partai islam dalam gelaran pemilu kali ini.
Memang semuanya belum final, namun Hasil survey
cukup membuat banyak pihak (partai islam) merasa was was, tidak hanya terancam
bungkamnya aspirasi umat dalam parlemen dan ranah kebijakan. Namun juga akan
ketakutan parlemen diisi orang orang Sekte sekte sesat (baca : nyeleneh) dalam islam. Ambil contoh
Syiah, LDII, dan sekte sekte lainya.
Kekahwatiaran ini dimulai dengan meroketnya nama
Jalaludin Rahmat bersama PDIP. Ia ditenggarai representasi kaum syiah yang
merupakan rival Kaum Sunni yang mayoritas menghuni kolong peradaban nusantara
ini. Kang Jalal dikhawatirkan mengotori parlemen dengan doktrin sesatnya, yang
tentunya kontras terhadap kepentingan Umat pada umumnya.
Kang Jalal, hanyalah satu diantara sekian potret
representasi Sekte Sekte nyeleneh, masih
ada Ulil Abshar Abdalla, dedengkot JIL. Gerakan Pembaruan Islam yang super wagu, dan masih ada Jalal Jalal yang
lain. Keberadaan mereka di Parlemen, ditenggarai menjadi basis perjuangan untuk menyuburkan sekte sekte mereka, yang
pastinya bukan akomodatif terhadap aspirasi mayoritas umat islam.
Strategi Kosong
Ekspresi
ketakutan ini akhirnya diartikulasikan dengan banyak hal, mulai dari hujatan,
cercaan (terutama Islam Fundamnetalis)
ataupun Persuasi secara halus pada masyarakat untuk enggan memilih mereka
(caleg sekte sesat). Namun agaknya, terlalu dini melihat hadirnya mereka dalam
parlemen adalah sebuah ancaman kepada umat pada umumnya.
Bukan
bermaksud menyebarkan rasa pesimis. Namun kenyataanya, dalam parlemen sudah
minim perjuangan nilai nilai ideologis, namun lebih pada pertarungan
kepentingan, perut, ataupun kekuasaan. Alih alih memperjuangkan sektenya, Kang
Jalal cs bisa jadi hanya menjadi “boneka” kepentingan saja. Toh, jika Kang
Jalal cs sanggup adaptif, perjuanganya dalam bentuk Undang Undang secara
konstitusional terbuka untuk dianulir.
Anehnya
Hyperphobia ini menjebak Parpol Islam
dalam situasi serba pasrah, tanpa kemudian mencari lorong-lorong solusi. Reaksi
berlebih hanya membuat Parpol Islam jalan di tempat, dan tidak berimplikasi
apapun pada Status Quo. Kekosongan strategi ini membuat Parpol Islam tampak
belum siap mengarungi lautan demokrasi.
Sikap visioner
Dibalik
sporadisnya sikap agresi ini dan kucuran umpatan itu, Parpol Islam enggan
berpikir dan berkontemplasi mengenai meroketnya Kang Jalal dkk. Alih Alih
mengoreksi dan Evaluasi, Parpol islam lebih banyak dipusingkan kepada diskursif
bentuk, sistem, ataupun segala hal yang sifatnya instrumental. Parpol islam
tidak banyak berfikir tentang konten yang substansial dalam alam Siyasi, sebut saja pendidikan, yang
justru banyak digeluti oleh sekte sekte yang mereka musuhi.
Baik Jalaludin maupun Ulil tidak diragukan lagi
kemampuan akademiknya, meski secara pemahaman dan pemikiran tidak mendapat
tempat. Namun, menilik kinerja keras mereka terutama dalam bidang literasi,
kiranya pantas menempatkan mereka ke
jenjang intelektual, yang selalu menjadi rebutan lingkaran kekuasaan.
Potret
demikian tidak dimilki dalam agenda Parpol Islam, doktrin Syumulatul Islam terkadang membius petinggi parpol sedikit
“ambius”. Alih alih mengahasilkan
Intelektual yang mencerahkan (rausyan
fikr), Parpol Islam lebih menikmati jebakan konflik antar Firqoh dalam umat
sendiri.
Ketokohan yang menjadi modal dalam menangguk suara
nyatanya belum bisa mengangkat partai Islam dari status Underdog. Hal ini ditambah dengan Dakwah Politik yang terlalu
melangit dan belum bisa menyentuh nalar masyarakat, yang ingin hidup mulia
dalam kesejahteraan materi.
Keterpurukan
ini, harusnya jadi Blessing In Disguisse
atau rahmat yang tersembunyi. Muhammad Natsir, ketika harus menerima “hadiah’
terasing dari dunia politik segera menyusun program dakwah, yang berjangka
panjang dan mengahasilkan banyak cendekiawan muslim hebat. Yusril dan Amien
Rais menjadi bukti tangan midas Natsir, keduanya memberi andil tidak sedikit
dalam dunia perpolitikan.
Sikap
semacam Natsir inilah yang harus dibangun Parpol Islam mulai saat ini,
introspeksi dan koreksi diri menjadi keniscayaan. Seliar liarnya puluhan Jalal
dalam panggung politik tidak akan berdampak signifikan, jika disaat yang sama
Parpol islam mulai sadar dan berbenah, minimal meningkatkan kualitas kader
terbaik mereka untuk pemilu selanjutnya.