Senin, 28 April 2014

Hyperphobia dan Jalaludin Rahmat


Ada banyak bahan diskusi seusai gelaran Pemilu ini, Dimulai dengan  meroketnya PDIP dengan jokowi Effectnya, ataupun promosi kuda hitam Gerindra dan PKB kepapan atas, ada  cerita tentang demokrat yang menjadi kekuatan medioker, sampai turunya prestasi Partai Islam yang diiringi dengan banyak kekhawatiran.
Degradasi suara partai islam memang banyak diprediksi jauh jauh hari, dimulai dari minim ukhuwah antar partai sampai lemahnya internal partai mengahadapi badai isu . Semuanya terbingkai menjadi pukulan telak partai partai islam dalam gelaran pemilu kali ini.
Memang semuanya belum final, namun Hasil survey cukup membuat banyak pihak (partai islam) merasa was was, tidak hanya terancam bungkamnya aspirasi umat dalam parlemen dan ranah kebijakan. Namun juga akan ketakutan parlemen diisi orang orang Sekte sekte sesat (baca : nyeleneh) dalam islam. Ambil contoh Syiah, LDII, dan sekte sekte lainya.
Kekahwatiaran ini dimulai dengan meroketnya nama Jalaludin Rahmat bersama PDIP. Ia ditenggarai representasi kaum syiah yang merupakan rival Kaum Sunni yang mayoritas menghuni kolong peradaban nusantara ini. Kang Jalal dikhawatirkan mengotori parlemen dengan doktrin sesatnya, yang tentunya kontras terhadap kepentingan Umat pada umumnya.
Kang Jalal, hanyalah satu diantara sekian potret representasi Sekte Sekte nyeleneh, masih ada Ulil Abshar Abdalla, dedengkot JIL. Gerakan Pembaruan Islam yang super wagu, dan masih ada Jalal Jalal yang lain. Keberadaan mereka di Parlemen, ditenggarai menjadi basis perjuangan  untuk menyuburkan sekte sekte mereka, yang pastinya bukan akomodatif terhadap aspirasi mayoritas umat islam.
            Strategi Kosong
            Ekspresi ketakutan ini akhirnya diartikulasikan dengan banyak hal, mulai dari hujatan, cercaan  (terutama Islam Fundamnetalis) ataupun Persuasi secara halus pada masyarakat untuk enggan memilih mereka (caleg sekte sesat). Namun agaknya, terlalu dini melihat hadirnya mereka dalam parlemen adalah sebuah ancaman kepada umat pada umumnya.
            Bukan bermaksud menyebarkan rasa pesimis. Namun kenyataanya, dalam parlemen sudah minim perjuangan nilai nilai ideologis, namun lebih pada pertarungan kepentingan, perut, ataupun kekuasaan. Alih alih memperjuangkan sektenya, Kang Jalal cs bisa jadi hanya menjadi “boneka” kepentingan saja. Toh, jika Kang Jalal cs sanggup adaptif, perjuanganya dalam bentuk Undang Undang secara konstitusional terbuka untuk dianulir.
            Anehnya Hyperphobia ini menjebak Parpol Islam dalam situasi serba pasrah, tanpa kemudian mencari lorong-lorong solusi. Reaksi berlebih hanya membuat Parpol Islam jalan di tempat, dan tidak berimplikasi apapun pada Status Quo. Kekosongan strategi ini membuat Parpol Islam tampak belum siap mengarungi lautan demokrasi.
Sikap visioner
            Dibalik sporadisnya sikap agresi ini dan kucuran umpatan itu, Parpol Islam enggan berpikir dan berkontemplasi mengenai meroketnya Kang Jalal dkk. Alih Alih mengoreksi dan Evaluasi, Parpol islam lebih banyak dipusingkan kepada diskursif bentuk, sistem, ataupun segala hal yang sifatnya instrumental. Parpol islam tidak banyak berfikir tentang konten yang substansial dalam alam Siyasi, sebut saja pendidikan, yang justru banyak digeluti oleh sekte sekte yang mereka musuhi.
Baik Jalaludin maupun Ulil tidak diragukan lagi kemampuan akademiknya, meski secara pemahaman dan pemikiran tidak mendapat tempat. Namun, menilik kinerja keras mereka terutama dalam bidang literasi, kiranya pantas menempatkan mereka ke  jenjang intelektual, yang selalu menjadi rebutan lingkaran kekuasaan.
            Potret demikian tidak dimilki dalam agenda Parpol Islam, doktrin Syumulatul Islam terkadang membius petinggi parpol sedikit “ambius”.  Alih alih mengahasilkan Intelektual yang mencerahkan (rausyan fikr), Parpol Islam lebih menikmati jebakan konflik antar Firqoh dalam umat sendiri.
Ketokohan yang menjadi modal dalam menangguk suara nyatanya belum bisa mengangkat partai Islam dari status Underdog. Hal ini ditambah dengan Dakwah Politik yang terlalu melangit dan belum bisa menyentuh nalar masyarakat, yang ingin hidup mulia dalam kesejahteraan materi.
            Keterpurukan ini, harusnya jadi Blessing In Disguisse atau rahmat yang tersembunyi. Muhammad Natsir, ketika harus menerima “hadiah’ terasing dari dunia politik segera menyusun program dakwah, yang berjangka panjang dan mengahasilkan banyak cendekiawan muslim hebat. Yusril dan Amien Rais menjadi bukti tangan midas Natsir, keduanya memberi andil tidak sedikit dalam dunia perpolitikan.
            Sikap semacam Natsir inilah yang harus dibangun Parpol Islam mulai saat ini, introspeksi dan koreksi diri menjadi keniscayaan. Seliar liarnya puluhan Jalal dalam panggung politik tidak akan berdampak signifikan, jika disaat yang sama Parpol islam mulai sadar dan berbenah, minimal meningkatkan kualitas kader terbaik mereka untuk pemilu selanjutnya.



1 komentar:

  1. Alhamdulillah anda telah mengambil dosa kang Jalal karena hujatah anda! Teruskanlah kemuawiyatan anda!

    BalasHapus