Geertz dalam bukunya, The Religion of Java membuat
sebuah trikotomi dalam masyarakat Jawa. Yaitu antara Golongan Priyayi, abangan,
dan Santri dalam kondisi sosial masyarakat Jawa. Geertz mengartikan Kaum
abangan sebagai muslim yang enggan taat kepada syariat (Kuntowijoyo menyebut
Kejawen dan Agama jawi sebagai golongan abangan), berbeda dengan kalangan
santri dan seterusnya.
Paradigma dari geertz sendiri mendapat
banyak tentangan, Azyumardi Azra misalnya, melihat kepincangan tesis Gerrtz
hanya dari “teks” antropologis tanpa mau melihat “Teks” normatifnya. Kritik
lain dilancarkan Harsya W Bachtiar yang meragukan tesis Geertz bisa dipukul
rata keseluruh masyarakat jawa.
Namun
reaksi lebih keras ditunjukan Buya Hamka lewat Majalah
Panji Masyarakat (Panjimas) edisi
nomor 190 tahun ke-17, 1 Januari 1976/28 Zulhijjah 1395 terutama hal 5-6 cukup menarik. Lewat Artikel yang
berjudul “Mutihan dan abangan”.
Karena “pembagian” yang tidak wajar itu, maka kedua belah
pihak pun bertambah lama bertambah terpisah. Yang abangan kian jauh dari Islam
dengan sadar atau tidak sadar.
Tercapailah kesukaan budaya yang bersimpang dua. Abangan
menyukai wayang dan tari serimpi. Mutihan menyukai berzanji dan gambus. Dan ada
santri melihat wayang, dianggaplah dia telah “menyeleweng” oleh golongannya.
Kalau ada golongan abangan yang mendengarkan kasidah-kasidah Arab dan Mesir,
dicaplah dia telah “nyantri”.
Sebagai seorang Ulama,
perpecahan dalam ummat adalah kesedihan tersendiria apalagi perpecahan ini
diakibatakan oleh pemahaman yang salah, dan potensi kuatnya adalah motif adu
domba untuk menjatuhkan umat islam dari dalam.
MAKA
MENJADI KEWAJIBAN kitalah sekarang, terutama ulama-ulama, mubaligh-mubaligh,
dan ahli-ahli dakwah menghapuskan batas di antara abangan dan mutihan itu.
Karena ternyata bahwa batas itu hanya dibikin-bikin saja. Kalau dikatakan bahwa
orang yang abangan itu belum sempurna Islamnya, maka siapakah di antara orang
mutihan itu yang dapat membanggakan diri bahwa keislaman mereka telah sempurna?
Yang ma’shum hanya Rasul!
MINUS ESENSI
Namun terlalu cepat, mengahkimi Geertz sebagai
biang perpecahan ummat, apalagi melihat pluralitas yang kian menjamur, dan
segala trend dan budaya berinfiltrasi kedalam sukma ummat, perbedaaan dalam
sikap keagamaan tidak dapat dipungkiri lagi.
Adapun (kini) sikap keagaam ini (baca :
islam) tidak lagi hanya dilihat dari aspek Teologi ataupun Lapangan Fiqh saja.
Dewasa ini, sikap keberagamaan muncul dalam segi artfisial dan hal yang tampak,
sebut saja cara berpakaian.
Mencermati kostum ummat islam dalam motif
keberagamaan, kita akan mendapati pluralitas yang tak kalah banyaknya. Ada
segelintir Ummat, yang mencoba merekayasa diri persis abad pertengahan ataupun
budaya arab, kita mafhum menyebutnya Islam Fundamental. Ada pula Kaum Tradisional, yang lebih suka tampil
bersarung dan menunjukan dominasi aspek kulturnya.
Keduanya hampir menciptakan norma baru ketika
sampai ranah ritual, sebut saja kaum tradisional yang mengharuskan Shalat dengan
sarung, sajadah, baju koko, dan kopiah. Begitu pula sebaliknya. Aliran modernis
yang tampil lebih kompromis dan fleksibel, seolah membuat faksi dalam Islam
sulitlah terurai.
Namun ada hal picisan lainya ketika menengok menengok
Catatan Pinggir 9 Noember 2012, yang berjudul Mekkah. Goenawan Muhammad
memotret komersialisasi kawasan Mekkah, yang kemudian diisi gedung jangkung,
indsutrialisasi, ataupun modernisasi peradaban.
Kelinieran ini bisa kita temukan dalam ritus
keagamaan (baca: islam) yang telah dikomersiliasi, dalam konteks ini adalah
pakaian. Sholat Jama’ah sebagai ibadah kolektif, yang salah satu tujuan awalnya
adalah mempereratat Silaturahmi antar jama’ah. Dewasa ini mulai kehilangan
esensi.
Selain dari keberagaman sikap yang
termanifestasi dalam cara berpakaian, Sholat jama’ah kini bukan lagi panggung
sialturahmi. Namun lebih menampakan sebagai panggung mode, rumah bordil, gaya
hidup, ataupun trend busana. Jeans, Dolce and Gabbana, Armani, DC Shoes, dan
segala pernik kapitalis lainya merambah ke ruang ritual agama.
Ruang
penghambaan yang seharusnya dibungkus dengan atmosfir silaturahmi, kini tidak
lebih dari perlombaan mode untuk memenangkan gelar hasrat dan citra sebagai
manusia terpandang. Dibalik itu arus kapitalisme semakin kreatif membungkus
misinya, pakaian sebagai ujung tombak didaulat merasuk dan merusak esensi ritus
ibadah.
Jika
demikian, Ayat Inna Aqromakum Indallahi
Atqokum (yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa) bukan
lagi menjadi landasan Aksiologi dalam ibadah. Kemulian bukan pada esensi taqwa
dan iman, namun kepada hal sifatnya superficial, juara mode, ataupun
termutakhir. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar