Minggu, 27 April 2014

Pakaian dan ritus keagamaan


         Geertz dalam bukunya, The Religion of Java membuat sebuah trikotomi dalam masyarakat Jawa. Yaitu antara Golongan Priyayi, abangan, dan Santri dalam kondisi sosial masyarakat Jawa. Geertz mengartikan Kaum abangan sebagai muslim yang enggan taat kepada syariat (Kuntowijoyo menyebut Kejawen dan Agama jawi sebagai golongan abangan), berbeda dengan kalangan santri dan seterusnya.
            Paradigma dari geertz sendiri mendapat banyak tentangan, Azyumardi Azra misalnya, melihat kepincangan tesis Gerrtz hanya dari “teks” antropologis tanpa mau melihat “Teks” normatifnya. Kritik lain dilancarkan Harsya W Bachtiar yang meragukan tesis Geertz bisa dipukul rata keseluruh masyarakat jawa.
Namun reaksi lebih keras ditunjukan Buya Hamka lewat Majalah Panji Masyarakat (Panjimas) edisi nomor 190 tahun ke-17, 1 Januari 1976/28 Zulhijjah 1395 terutama hal 5-6 cukup menarik. Lewat Artikel yang berjudul “Mutihan dan abangan”.
Karena “pembagian” yang tidak wajar itu, maka kedua belah pihak pun bertambah lama bertambah terpisah. Yang abangan kian jauh dari Islam dengan sadar atau tidak sadar.
Tercapailah kesukaan budaya yang bersimpang dua. Abangan menyukai wayang dan tari serimpi. Mutihan menyukai berzanji dan gambus. Dan ada santri melihat wayang, dianggaplah dia telah “menyeleweng” oleh golongannya. Kalau ada golongan abangan yang mendengarkan kasidah-kasidah Arab dan Mesir, dicaplah dia telah “nyantri”.
Sebagai seorang Ulama, perpecahan dalam ummat adalah kesedihan tersendiria apalagi perpecahan ini diakibatakan oleh pemahaman yang salah, dan potensi kuatnya adalah motif adu domba untuk menjatuhkan umat islam dari dalam.
MAKA MENJADI KEWAJIBAN kitalah sekarang, terutama ulama-ulama, mubaligh-mubaligh, dan ahli-ahli dakwah menghapuskan batas di antara abangan dan mutihan itu. Karena ternyata bahwa batas itu hanya dibikin-bikin saja. Kalau dikatakan bahwa orang yang abangan itu belum sempurna Islamnya, maka siapakah di antara orang mutihan itu yang dapat membanggakan diri bahwa keislaman mereka telah sempurna? Yang ma’shum hanya Rasul!
MINUS ESENSI
             Namun terlalu cepat, mengahkimi Geertz sebagai biang perpecahan ummat, apalagi melihat pluralitas yang kian menjamur, dan segala trend dan budaya berinfiltrasi kedalam sukma ummat, perbedaaan dalam sikap keagamaan tidak dapat dipungkiri lagi.
Adapun (kini) sikap keagaam ini (baca : islam) tidak lagi hanya dilihat dari aspek Teologi ataupun Lapangan Fiqh saja. Dewasa ini, sikap keberagamaan muncul dalam segi artfisial dan hal yang tampak, sebut saja cara berpakaian.
Mencermati kostum ummat islam dalam motif keberagamaan, kita akan mendapati pluralitas yang tak kalah banyaknya. Ada segelintir Ummat, yang mencoba merekayasa diri persis abad pertengahan ataupun budaya arab, kita mafhum menyebutnya Islam Fundamental. Ada pula  Kaum Tradisional, yang lebih suka tampil bersarung dan menunjukan dominasi aspek kulturnya.
Keduanya hampir menciptakan norma baru ketika sampai ranah ritual, sebut saja kaum tradisional yang mengharuskan Shalat dengan sarung, sajadah, baju koko, dan kopiah. Begitu pula sebaliknya. Aliran modernis yang tampil lebih kompromis dan fleksibel, seolah membuat faksi dalam Islam sulitlah terurai.
Namun ada hal picisan lainya ketika menengok menengok Catatan Pinggir 9 Noember 2012, yang berjudul Mekkah. Goenawan Muhammad memotret komersialisasi kawasan Mekkah, yang kemudian diisi gedung jangkung, indsutrialisasi, ataupun modernisasi peradaban.
Kelinieran ini bisa kita temukan dalam ritus keagamaan (baca: islam) yang telah dikomersiliasi, dalam konteks ini adalah pakaian. Sholat Jama’ah sebagai ibadah kolektif, yang salah satu tujuan awalnya adalah mempereratat Silaturahmi antar jama’ah. Dewasa ini mulai kehilangan esensi.
Selain dari keberagaman sikap yang termanifestasi dalam cara berpakaian, Sholat jama’ah kini bukan lagi panggung sialturahmi. Namun lebih menampakan sebagai panggung mode, rumah bordil, gaya hidup, ataupun trend busana. Jeans, Dolce and Gabbana, Armani, DC Shoes, dan segala pernik kapitalis lainya merambah ke ruang ritual agama.
            Ruang penghambaan yang seharusnya dibungkus dengan atmosfir silaturahmi, kini tidak lebih dari perlombaan mode untuk memenangkan gelar hasrat dan citra sebagai manusia terpandang. Dibalik itu arus kapitalisme semakin kreatif membungkus misinya, pakaian sebagai ujung tombak didaulat merasuk dan merusak esensi ritus ibadah.

            Jika demikian, Ayat Inna Aqromakum Indallahi Atqokum (yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa) bukan lagi menjadi landasan Aksiologi dalam ibadah. Kemulian bukan pada esensi taqwa dan iman, namun kepada hal sifatnya superficial, juara mode, ataupun termutakhir. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar