Minggu, 13 April 2014

Jas HItam

Jelasnya aku lupa nama hari itu, namun ruang waktu itu menunjukan kala senja, kala mentari pulang berpamitan. Ketika kami harus bergegas ke surau untuk melaksanakan Sholat Maghrib. Kumandang lafadz adzan memanggil kami dari bilik kesibukan. Trotoar itu menjadi saksi langkah langkah hamba Allah menuju Surau, diiringi canda tawa, aku masih merangkul temanku dengan perbincangan wagu.
“akh, pernah dengan nama majalah Panji Masyarakat ?” ujarku membuka permbicaraan.
“ apa itu?” jawabnya singkat.
“ ia majalah umat islam yang sempat booming di era orde baru, namun namanya tidak seperti sekarang, seperti sabili, ar rahmah, ataupun al al yang lain, ia memakai nama yang lebih membumi”
“emmmmm… isinya apa itu” jawabnya acuh.
“ ya tentang kondisi umat islam saat itu”, sebenarnya ingin kujelaskan konflik NU – Muhammadiyah yang sempat dibedah dalam Panji Masyarakat, namun jawaban acuhnya membuatku urung menerangkan lebih lanjut
“ kalau tidak salah ia dimotori Buya Hamka, dan diteruskan anaknya”sedikit aku tambahi keterangan
“ Buya Hamka itu siapa?”
“masa gak tau sih”tanyaku retoris, selanjutnya kami hanya terlarut dalam gurauan guraun kecil.
***
            Dalam pengembaraan antara Masjid ke Markas, di kepalau hanya terngiang perbicangan tak asyik tadi. Aku dan temanku ada dalam satu payung organisasi, biasanya para kader lebih enak menyebut “dakwah ini”, daripada secara spesifik dan formal. Aku paham apa yang dimaksud dengan “dakwah ini”, konsep, sejarah, ideologi, dan perkembangan, akhir akhir memang menjadi kajian kritisku.
            Namun kita tidak ingin membahas kekritisian “dakwah ini”, namun hanya memperbicangkan perbincangan tadi. Tampak Al Akh tabu dengan nama Ulama Setenar Buya Hamka, minimal duduk dalam lingkaran “dakwah ini” harusnya tidaklah tabu dengan nama beliau. Aku hanya berprasangka temanku berlagak bodoh, dan memang suasana senja itu hanya guraun belaka.
            Namun, entah sama berlagak bodoh ataupun seperti apa, nyatanya tidak hanya temanku yang ada dalam”dakwah ini” asing dengan nama nama setenar Buya Hamka, Natsir, Agus Salim, ataupun pejuang Sarekat Islam H.O.S Cokroaminoto. Kenyataanya, alasan Ideologis yang “diklaim” transfer dari ruang geografi yang lain, justru membuat mereka lebih mengenal nama Al-Bana, Sayyid Qutb, ataupun Yusuf Qardhawi.
            Masalahnya bukan akan ketunaan tentang nama nama Ulama saja. ”Dakwah ini”, secara formal telah mencantumkan Indonesia, tafsir sederhananya, ia dibangun, dibentuk, ataupun digagas dalam sebuah ruang geografis bernama Indonesia. Selanjutnya, arah gerak tujuan, dinamika gerakan, sampai cita cita luhur tidak lepas dari nama Indonesia.
Implikasinya, mau tidak mau Filosofis maupun Historis dan segala bentuk khazanah tentang Ke-Indonesia-an sudahlah tertanam apik dalam internal “dakwah ini” . karena terasa Absurd, melihat geliat “dakwah ini” yang akar sejarahnya dinisiasi oleh Ulama Ulama lokal, utamanya Muhammad Natsir, tidak begitu dikenal luas. Nama yang akrab malah politisi politisi patronase “dakwah ini”, yang kadang dipuja bak khomaeni dalam rezim Syiah.
            Yang menjadi Problema tentunya tentang keabaian sejarah itu sendiri, entah lupa, acuh, enggan, jijik, malas, sungkan, risih, atau semacam apa. Yang jelas alasan alasan demikian terlalu Nonsens untuk dijelaskan. Padahal, Tak kurang dari puluhan Filsuf dan Pembesar Pembesar dunia menulis akan pentingnya sejarah.
            Namun tak apa, jikalau melihat dinamika kehidupan ini. literasi yang menjadi pintu gerbang akan pentignya kesejarahan mulai tidak akrab dengan kehidupan kader “dakwah ini”. Seminggu yang lalu aku sowan ke Bilik Literasi, Solo. Mas BM, sang pionir yang juga penulis “langganan” majalah tempo, Koran Tempo, Solopos, dan media lain, menghujat kehidupan sok Intelektuil ala Mahasiswa.
            Di awal menjejakan kaki di dunia kampus, para mahasiswa sudah digelari “agent of change”, “Transormer Perubahan”, ataupun puluhan gelar Prestise lain, dalam kenyataanya sangatlah kontradiktif. Bagaimana seorang Intelektual hidup tanpa informasi, berita, ataupun buku, lihatlah berapa ‘’Agent of Change“ yang menenteng buku, mengunjungi perpustakaan, ataupun menulis essay, kalkulasikan dengan “agent of change” yang berjalan bak model, berceloteh dunia mode atau resep makanan.
***
            Sembari berfikir demikian, Aforma Bung Karno yaitu “Jasmerah” atau Jangan sekali kali melupakan Sejarah tepat untuk penggambaran senja itu. Kedua jemari tanganku bertaut dan kusandarkan dibelakang kepala, langkahku kakiku terus kujejakan sembari melopat menghindari lubang di trotoar itu. Tiba di persimpangan jalan, pikiranku kembali menemui dilema, selain jalan mana yang hendak kutuju, Jas Hitam yang kupakai akankah ku-Laundry atau kucuci sendiri. Entahlah.
            Sukoharjo, 13-04-2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar