Kamis, 08 Agustus 2013

TINTA ITU ABADI



tulis, tulis, dan tulislah. Meski tidak dibaca, suatu saat akan berguna” Pramoedya Ananta Toer
Kompasiana.com
                Seorang sahabat pernah berkata, bahwa hidup itu berasal dari tinta tinta, warna kehidupan ini pada dasarnya berasal dari tinta. Ya tinta adalah hitam pada umumnya, logikanya kehidupan itu hitam. Namun tidak juga, ketika hitam itu dibentuk menjadi sebuah abjad, lalu terangkai menjadi frasa, dari frasa terkumpul lalu menjadi prosa, dan dari prosa lah menjadi sebuah cerita. Cerita pun demikian tak selamanya ia hitam adakalanya putih, namun cerita dan tinta yang membentuk warna kehidupan harus bersatu dalam sebuah frasa juga yaitu menulis.
                Berbicara menulis memang tak akan ada habisnya, sebuah pepatah mengatakan “scripta manen, verba vollen”, atau yang tertulis akan abadi dan yang terucap akan musnah. Mereka yang terkenang sepanjang zaman adalah mereka yang berjuang dengan tinta mereka, berjuang dengan pena mereka. Kekuatan kata kata memang tak ada tandinganya, padahal ia tersusun dari sebuah lidah, ya lidah, bertulang pun tidak.
                Lihat saja, berapa banyak nama manusia yang harus meregang nyawa karena lidah ini. lidah sudahlah menjadi penjahat yang Untouchable sepanjang sejarah manusia. Namun kita juga harus memandang secara proporsional juga, berapa banyak manusia abadi karyanya karena tinta ini. Iwan Fals pernah berdendang, hidup memang sementara tapi karya selamanya.
                Socrates, Plato, dan Aristoteles masyhur dalam sebuah keabadian dengan konsep idea filsafat mereka. Balas pemikiran Imam Ghazali dengan Ibnu Sina tentang makna sebua kerancuan masih bisa dinikmati dan dipelajari hingga kini. Ulama ulama masyhur kita tak akan pernah diikuiti pahamnya hanya karena mereka berotak cemerlang dan jenius dalam beretorika, mereka tuliskan kecermelanganya dalam kitab kitab masyhur mereka untuk kemajuan pengetahuan kedepanya. Tidak hanya dalam hal bersifat pengetahuan saja, bahkan dalam hal profanik, Machievelli pun dalam perenialisme karena the prince, suatu kitab berisi cara cara mempertahankan kekuasaan dengan cara diktator dan menghalalkan segala hal.
Dan benar, mereka lagi lagi abadi karena tinta tinta itu, ternyata memang benar. Bahwa hidup itu berasal dari tinta tinta ini, selain memberi warna dalam hidup kita, ternyata tinta juga memberi sebuah janji tersirat, yaitu keabadian. Keabadian bagi para hamba hamba yang mau saja berbagi pengetahuanya dalam lembaran lemabaran berisi goresan tinta dalam bentuk abjad dan dengan kemampuan indera tertentu, ia akan menjadi sebuah cerita, hikmah, pengetahuan sampai dengan hasutan.
                Namun Keabadian milik seorang hamba yang Dhaif  tentu berbeda dengan keabadian milik  Yang Maha Kuasa, yang maha kuasa itu perkasa, dan abadi milikNya adalah selamanya, tidak akan terpisahkan oleh mauut, bahkan kabarnya maut akan merasakan “maut” dihadapanNYa. Tulisan adalah karya manusia, manusia adalah karya tuhan. Dan tuhan mengkaryakan juga alam semesta beserta isinya, termasuk surya. Tiap hamba memang akan merasakan maut, namun setiap tulisan hamba tidak pernah merasakan maut. Padahal ia hidup, hidup ada dalam hati mereka yang membaca. Termasuk mereka yang membaca juga akan merasakan maut.
                Memang setiap manusia ingin merasakan sebuah keabadian, dalam dongeng Frankenstein adalah fenomena tersendiri, disebutkan ia bisa abadi sampai akhir zaman ketika berhasil menemukan sebuha ramuan ajaib. Dalam kepercayaan kita (Islam) Beliau Khidir manusia mulia nan bijaksana dan Isa Almasih adalah manusia abadi. Terkecuali Frankenstein, mereka (Isa dan Khidir) adalah manusia mulia, mereka abadi karena kehendak yang kuasa.            
Seberapa enggan kita mengkaryakan sebagian hidup, pengetahuan, dan pengalaman kita kedalam sebuah putihnya kertas dengan tinta. Hidup kita, pengetahuan kita, sekaligus pengalaman kita akan terestriksi oleh kematian. Kecuali kita menuliskanya, kehidupan akan terasa cukup lama dengan dikaryakan bersama tinta, bahkan tidak hanya itu, sebuah entitas tak bernyawa bisa juga abadi dengan Hiperbola dan turut andil dalam kehidupan manusia.
Tidak munafik kita rasanya menyebut Pram masih hidup dalam reformasi ini, meski kita sepakat ia tidak sampai satu windu menikmati reformasi, ia masih hidup dengan rangkain abjad abjad yang mengantarkanya pada nomine nobel sastra. Ia masih menjiwai perlambangan kaum periferal dan tertindas, ia juga wakili kaum terpelajar yang bersemangat kukuhkan idealismenya. Sekaligus berkat pram pula, keobjektifan sejarah lebih kental terasa meski diucap mulut mulut subjektif yang biasanya menkooptasi kebenaran sehingga kebenaran itu tampak semu.
Sekarang kita hanya menunggu dedikasi dan komitmen untuk siap mengabadikan kehidupan, pengalaman, bahkan pemikiran sekalipun yang terestriksifikasi oleh maut entah kapan dan dimanapun tempatnya. Kita harus sadar, menulis bukan pula hal gampang, namun banyak cara gampang untuk memulai menulis. Meski sesekali melihat tulisan kita buruk rupanya, tidak seperti syair Alisyahbana atau Armijn Pane, bukan sejenaka Goenawan Muhammad atau GusDur, bukan sesarkas Mochtar Lubis, atau tidak seilimiah tulisan para cendekiawan. Namun itu bukanlah hal yang membuat tulisan kita harus mandeg di tengah jalan.
Memang menulis syair itu menunjukan kita pandai berirama dengan tinta, berfilsafat menunjukan kita adalah orang yang mampu berpikir secara radix dan Frontal, menulis politik menunjukan kita adalah orang yang kritis dan update terhadap situasi yang ada. Menulis Ayat AyatNya dan sifat sifat Nya yang transenden menunjukan kita religi dalam kehidupan, namun menulis apapun semuanya dalam semua hari dalam hidupnya berarti ia telah berkiat diri untuk hidup abadi.
Patutlah sebagai epilog dikutiplah sebuah kalimat dari Pram,“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”  
Bumi Allah, 8 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar