”tulis, tulis, dan tulislah. Meski tidak
dibaca, suatu saat akan berguna” Pramoedya Ananta Toer
Kompasiana.com |
Berbicara menulis memang tak
akan ada habisnya, sebuah pepatah mengatakan “scripta manen, verba vollen”, atau yang tertulis akan abadi dan
yang terucap akan musnah. Mereka yang terkenang sepanjang zaman adalah mereka
yang berjuang dengan tinta mereka, berjuang dengan pena mereka. Kekuatan kata
kata memang tak ada tandinganya, padahal ia tersusun dari sebuah lidah, ya
lidah, bertulang pun tidak.
Lihat saja, berapa banyak nama
manusia yang harus meregang nyawa karena lidah ini. lidah sudahlah menjadi
penjahat yang Untouchable sepanjang
sejarah manusia. Namun kita juga harus memandang secara proporsional juga, berapa
banyak manusia abadi karyanya karena tinta ini. Iwan Fals pernah berdendang,
hidup memang sementara tapi karya selamanya.
Socrates, Plato, dan Aristoteles
masyhur dalam sebuah keabadian dengan konsep idea filsafat mereka. Balas pemikiran Imam Ghazali dengan Ibnu Sina
tentang makna sebua kerancuan masih bisa dinikmati dan dipelajari hingga kini.
Ulama ulama masyhur kita tak akan pernah diikuiti pahamnya hanya karena mereka
berotak cemerlang dan jenius dalam beretorika, mereka tuliskan kecermelanganya
dalam kitab kitab masyhur mereka untuk kemajuan pengetahuan kedepanya. Tidak
hanya dalam hal bersifat pengetahuan saja, bahkan dalam hal profanik,
Machievelli pun dalam perenialisme karena the
prince, suatu kitab berisi cara cara mempertahankan kekuasaan dengan cara
diktator dan menghalalkan segala hal.
Dan
benar, mereka lagi lagi abadi karena tinta tinta itu, ternyata memang benar.
Bahwa hidup itu berasal dari tinta tinta ini, selain memberi warna dalam hidup
kita, ternyata tinta juga memberi sebuah janji tersirat, yaitu keabadian.
Keabadian bagi para hamba hamba yang mau saja berbagi pengetahuanya dalam
lembaran lemabaran berisi goresan tinta dalam bentuk abjad dan dengan kemampuan
indera tertentu, ia akan menjadi sebuah cerita, hikmah, pengetahuan sampai dengan
hasutan.
Namun Keabadian milik seorang
hamba yang Dhaif tentu berbeda dengan keabadian milik Yang Maha Kuasa, yang maha kuasa itu perkasa,
dan abadi milikNya adalah selamanya, tidak akan terpisahkan oleh mauut, bahkan
kabarnya maut akan merasakan “maut” dihadapanNYa. Tulisan adalah karya manusia,
manusia adalah karya tuhan. Dan tuhan mengkaryakan juga alam semesta beserta
isinya, termasuk surya. Tiap hamba memang akan merasakan maut, namun setiap
tulisan hamba tidak pernah merasakan maut. Padahal ia hidup, hidup ada dalam
hati mereka yang membaca. Termasuk mereka yang membaca juga akan merasakan
maut.
Memang setiap manusia ingin
merasakan sebuah keabadian, dalam dongeng Frankenstein adalah fenomena
tersendiri, disebutkan ia bisa abadi sampai akhir zaman ketika berhasil
menemukan sebuha ramuan ajaib. Dalam kepercayaan kita (Islam) Beliau Khidir
manusia mulia nan bijaksana dan Isa Almasih adalah manusia abadi. Terkecuali
Frankenstein, mereka (Isa dan Khidir) adalah manusia mulia, mereka abadi karena
kehendak yang kuasa.
Seberapa
enggan kita mengkaryakan sebagian hidup, pengetahuan, dan pengalaman kita
kedalam sebuah putihnya kertas dengan tinta. Hidup kita, pengetahuan kita,
sekaligus pengalaman kita akan terestriksi oleh kematian. Kecuali kita menuliskanya,
kehidupan akan terasa cukup lama dengan dikaryakan bersama tinta, bahkan tidak
hanya itu, sebuah entitas tak bernyawa bisa juga abadi dengan Hiperbola dan
turut andil dalam kehidupan manusia.
Tidak
munafik kita rasanya menyebut Pram masih hidup dalam reformasi ini, meski kita
sepakat ia tidak sampai satu windu menikmati reformasi, ia masih hidup dengan
rangkain abjad abjad yang mengantarkanya pada nomine nobel sastra. Ia masih
menjiwai perlambangan kaum periferal dan tertindas, ia juga wakili kaum terpelajar
yang bersemangat kukuhkan idealismenya. Sekaligus berkat pram pula,
keobjektifan sejarah lebih kental terasa meski diucap mulut mulut subjektif
yang biasanya menkooptasi kebenaran sehingga kebenaran itu tampak semu.
Sekarang
kita hanya menunggu dedikasi dan komitmen untuk siap mengabadikan kehidupan,
pengalaman, bahkan pemikiran sekalipun yang terestriksifikasi oleh maut entah
kapan dan dimanapun tempatnya. Kita harus sadar, menulis bukan pula hal
gampang, namun banyak cara gampang untuk memulai menulis. Meski sesekali
melihat tulisan kita buruk rupanya, tidak seperti syair Alisyahbana atau Armijn
Pane, bukan sejenaka Goenawan Muhammad atau GusDur, bukan sesarkas Mochtar
Lubis, atau tidak seilimiah tulisan para cendekiawan. Namun itu bukanlah hal yang
membuat tulisan kita harus mandeg di
tengah jalan.
Memang
menulis syair itu menunjukan kita pandai berirama dengan tinta, berfilsafat
menunjukan kita adalah orang yang mampu berpikir secara radix dan Frontal, menulis politik menunjukan kita adalah orang
yang kritis dan update terhadap
situasi yang ada. Menulis Ayat AyatNya dan sifat sifat Nya yang transenden
menunjukan kita religi dalam kehidupan, namun menulis apapun semuanya dalam
semua hari dalam hidupnya berarti ia telah berkiat diri untuk hidup abadi.
Patutlah
sebagai epilog dikutiplah sebuah kalimat dari Pram,“Orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan
dari sejarah”
Bumi
Allah, 8 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar