Politik Hukum
Penindasan
Minah
masih menangis, air matanya masih membasahi lantai pengadilan Banyumas. Sujudberharap
ampun tidak mengahapus delapan bulan buinya. Tiga buah kako yang diambil,berbuah
kemurkaan mandor kebun. Dalih memberi pelajaran, minah si tua renta dihadapkan
meja hijau. Dengan berhutang tetangga, minah tertatih menuju peradilan tanpa
pembela. Dengan sesenggukan (mungkin tak tega), hakim
membaca putusan diiringi air mata.
Apa
yang dialami minah, secara hukum (kita) patut untuk dipersalahkan. Unsur Unsur
pencurian dalam Undang Undang telah terpenuhi. Hal ini menjadi alasan bagi penegak hukum untuk memproses kasus
minah. Meskipun secara moralitas, kita yakin, penegak hukum tak patut untuk
memproses kasus picisan ini.
Namun
demikian, harus kita akui, paradigma penegakan hukum kita memang berjarak dari
moralitas. Selain minah, masih banyak kasus kasus serupa yang berujung
nirkeadilan.[1]Hal ini dilatarbelakangi penegakan
hukum yang rigid dalam mengikuti
bunyi peraturan yang hanya disahkan sebuah otoritas dalam hal ini adalah
pemerintah. Penegakan hukum kita juga tidak memberikan ruang kepada moralitas
maupun nilai nilai lain dalam prosesnya.
Asumsi asumsi yang dibangun ini, menandakan penegakan
hukum kita berkiblat pada madzab positivisme.[2]Yang
menjadi catatan penting adalah Positivisme merupakan bagian dari Politik Hukum
Kolonial untuk mempertahankanstatus quo
penjajahan.Strategi unifikasi hukum, membuat norma yang telah lama hidup dalam
masyarakat, semacam Hukum adat dan Islam, sengaja tersingkirkan.
Contoh termudah adalah, hilangnya mekanisme
musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana yang dikenal dalam hukum adat
maupun hukum islam. UU mengaharuskan arus perkara pidana dirampungkan lewat
pengadilan, meskipun masyarakat sebenarnya enggan, karena ruwetnya birokrasi
dan proses yang tidak berujung keadilan. Mereka memilih penyelesaian secara
“diam-diam” dengan jalan musyawarah, hal ini dibuktikan dengan beberapa catatan
empiris.[3]
Selayang pandang Positivisme
Positivisme
hukum secara umum, dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran analytical Yurisprudence yang dikembangkan oleh Austin dan Teori
Hukum Murni yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.[4]Hukum
dalam pandangan Analitical Yurisprudence,
diartikan sebagai perintah (Command)
suatu otoritas. Perintah dari otoritas bersifat memaksa dan memiliki sanksi
jika tidak ditaati.[5]
Sedang
dalam Teori Hukum Murni, Hukum diterjemahkan memiliki sifat otonom. Ia berdiri
sendiri sebagai disiplin ilmu, dan bersih dari segala anasir lainya semacam
politik, ekonomi, agama,maupunideologi.[6]
Metode ini, hampir sama yang dilakukan Filsuf Yunani dengan konsepBios-theoritikhosatau pemurnian terhadap
segala unsur metafisis yang menghalangi proses pencarian kebenaran.[7]
Awalnya,
Teori hukum murni dikembangkan Kelsen untuk menciptaka ilmu yang “khas” Hukum.
Hal ini dilatarbelakangi, dominanya ilmu hukum dipengaruhi dua paradigm pada
saat itu yaitu Teori Hukum alam (natural
law theory) yang memasukan unsur moral dalam hukum dan Teori hukum empiris
positivstik (empirico positivist theory
of law) yang terinternalisasi perilaku empiris.[8]
Kelsen
diduga terpengaruh Positivisasi pengetahuan yang bebas nilai yang disusun oleh
Comte. Hal ini tidak lain, karena obsesi kelsen mensejajarkan ilmu hukum dengan
ilmu eksakta yang memiliki pandangan dualisme. Prinsip dualisme membagi subjek
dan objek, manusia dengan alam, penafsir dan teks. Objek haruslah netral dari
kepentingan subjeksebagai salah satu syarat pengetahuan. Dalam konteks
penegakan hukum. Hukum yang berarti objek, haruslah berjarak dengan kepentingan
subjek (penegak hukum), meskipun subjek memiliki nurani yang bervisi keadilan.[9]
Di Indonesia, Paradigma ini mulai diberlakukan sejak
tahun 1847. Kemudian secara perlahan menjadi kekuatan hegemonic, untuk kemudian
membungkan paradigma lain, sehingga kemudian selalu menjadi pilihan antara
berbagai paradigma yang seharusnya dapat digunakan oleh para penstudi hukum
dalam mengembangkan ilmunya.[10]
Hukum
adat yang berkaitan dengan moralitas, maupun hukum islam yang kaya akan makna
transendensi, tentunya bukan objek dari Positivisme sendiri, sehingga cenderung
diabaikan. Positivisme yang berorientasikan kepada kepastian hukum, membuat
keadilan substansial tersubordinat di bawahnya. Hukum menjadi serba mekanis dan
manusia semakin teralienasi karena sifat dualismenya. Hukum terdefinisi semakin
kaku dan hitam putih. Keadilan yang didambakan sulit didapatkan.
Hukum Adat dan Islam, sebuah eksemplar
Melihat
rekam sejarah, Politik Hukum Kolonial memiliki kepentingan mengintegrasikan
sistem hukum maupun ekonomi ke Negara jajahanya. Penanaman positivism erat
kaitanya dengan politik hukum pada masa Kolonial. Hukum islam dan adat menjadi
salah satu hambatan dalam hal ini, terutama hukum islam yang dikhawatirkan
pemerintah kolonial jika terintegrasi dengan masyarakat.[11]
Hukum
adat tumbuh dari kebiasaan dan perilaku dan tidak tertulis, sedang hukum islam
diambil dari Qur’an, Hadist, dan kitab kita fiqh yang berbentuk aturan tertulis.
Sungguhpun begitu, baik Van Vallenhoven (1987) maupun Soepomo (1996) menyebut
keduanya memiliki ikatan yang kuat.[12]
Syahrizal menambahkan, adat merupakan pelaksanaan dari syariat islam dalam
keseharian.[13]
Awal VOC datang, kebijakan terhadap hukum islam
mendapat perhatian dengan disusunya Compendium
Freijer atau kitab kompilasi hukum islam.[14]
Setelah VOC pergi, dan pemerintahan ditangani oleh Rafless, pemerintah memberiperhatian
yang sama kepada hukum adat, dengan membentuk peradilan adat bagi perkara
perkara kecil.[15]
Selepas Rafles pergi, Pemerintah Kolonial semakin
memperhatikan Hukum adat, terutama dengan menetapkan tiga tokoh yaitu. G.A
Wilken (1891), Lefrinck dan Snouck Horgronje, sebagai penstudi hukum adat.[16]Tugas
ini dilanjutkan oleh Van Vallenhoven yang melakukan studi dengan tujuanpembirokrasikan hukum adat dalam bentuk
aturan tertulis.[17]
Namun, dalam catatan Daniel Lev yang ditulis
Syahrizal (2004), upaya ini sebenarnya untuk menjauhkan hukum adat dari
substansi dan rohnya yang cenderung dinamis dan mengikuti perkembangan
masyarakat. Hukum adat hanya diambil normanya untuk dibakukan, sementara unsur
kedinamisanya dipisahkan dari akar politik maupun ekonominya. Politik hukum
ini, ujar Lev lebih terasa kepentingan kolonialismenya daripada unsur akademis.[18]
Lev menambahkan, penciptaan adatrecht
atau Hukum adatdalam bentuk tertulis
bertujuan untuk dilawankan dengan Hukum Islam yang sudah lama mapan dalam kitab
kitab Fiqh.[19]Pertentangan dengan menjunjung
tinggi hukum adat terhadap hukum islam melahirkan teori kelas bambu terhadap hukum islam. Pada waktu itu, pemerintah
Kolonial menganut Teori Receptie,
yang menyatakan bahwa hukum islam berlaku apabila tidak bertentangan dengan
hukulm adat.
Teori ini kemudian dikritik karena diduga mematahkan
perlawanan bangsa Indonesia terhadap kekuasaan kolonial yang dijiwai hukum
islam. Hazairin, dengan lantang menyebut teori ini sebagai teori Iblis.[20]
Beberapa perlawanan diketahui memang bernafaskan islam terhadap pemerintah
Kolonial, semisal Pemberontakan Diponegoro (1925-1930), maupun Pemberontakan
Petani Banten yang diinisiasi oleh kaum sufi (1888).
Seusai kemerdekaan, kritik terhadap madzab
positivisme diserukan oleh Soepomo dan Soekanto yang memberi solusi
epistemologi hukum adat sebagai kerangka politik hukum nasional. Gagasan ini
luntur, dengan datangnya era Developmentalisme segala bidang ala orde baru.
Era Orde Baru, membutuhkan teknisi teknisi hukum
yang bisa memberi jaminan kepastian hukum. Atmosfer ini menjadi tempat yang
ramah bagi penanaman modal dari luar, dan mengarahkan hukum ke arah yang
liberal.[21]Penyakit Hukum bersifat
teknologis ini menghinggapi para penegak hukum, yang kemudian melahirkan kasus
kasus yang telah disebutkan.
***
Jadi benarlah yang diungkapkan Mahfudz (2003), hukum
adalah kristalisasi dari politik maupun kepentingan tertentu. Positivisme lahir
dengan semangat bebas nilai dan semangat sekular. Positivisme digunakan
pemerintah kolonial untuk mengunci perlawanan yang dilandasi semangat syariat
islam, ia dipertentangkan (ironisnya) dengan hukum adat yang merupakan derivasi
dari hukum islam sendiri.
Disisi lain, sifat legismenya yang serba teknis dan
prosedural menjadi habitat bagi tumbuh kembang modal modal kapital bagi juragan
yang membutuhkan kepastian hukum. Dan sudah bisa kita tebak, Kapitalisme adalah
ancaman laten bagi bangsa ini.
Oleh Faizal Adi Surya, Anggota Biasa Kammi di
Soloraya. Komisarisat Al Fath UMS, Fakultas Hukum UMS, Angkatan 2011
Daftar Pustaka
Ali,
Daud, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta
: Rajagrafindo, 1999).
Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiona
(ed), Problem Globalisasi ; perspektif
sosiologi, hukum, ekonomi, dan agama, 2000, (Surakarta : MUP)
Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono, Paradigma Rasional dalam Ilmu Hukum,
2013, Yogyakarta ; Genta Publishing
Fuady,
Munir. Teori-Teori besar dalam Hukum, (Jakarta : Kencana, 2013)
Fautanu,
Idzan, Filsafat Ilmu, (Jakarta :
Referensi, 2012)
Md,
Mahfudz, Politik hukum di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press, 2003)
Syahrizal,
Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Yogyakarta:Ar ruz, 2004)
Susanto, Anton, Ilmu Hukum Non SIstematik; paradigm pengembangan ilmu hukum di
Indonesia,(Yogyakarta : Genta Publishing, 2010)
[1]Kasus
lainya adalah AAL (19) bocah ingusan yang mencuri sepasang sandal sandal jepit
seorang polisi, akibatnya ia diancam bui 3,5 tahun. Kasus terbaru adalah Nenek
Asyani yang harus menjalani satu tahun bui di Situbondo. Ia diduga mencuri kayu
jati yang ia anggap peninggalan Almarhum Suaminya.
[2]Positivisme
adalah salah satu Madzab Aliran Hukum. Positivism diperkenalkan oleh Comte yang
berasal dari dari kata positif. Ia mengembangkan konsep Positivisme sebagai
kritik terhadap filsuf pencerahan perancis yang ia anggap negative dan
destruktif. Comte membuat barisan kontra revolusioner terhadap filsuf pencerah yang
masih terperangkan metafisika. Dony Gahral Adian dalam Anton Susanto, Ilmu Hukum Non SIstematik; paradigm
pengembangan ilmu hukum di Indonesia, 2010, Yogyakarta : Genta Publishing,
hlm 64.
[3]
Salah satunya dijabarkan oleh Natangsa Surbakti (2014) yang melihat pemaafan
sebagai unsur yang hilang dewasa ini. Ia mendapati di lapangan (Aceh, Jawa dan
Bali) beberapa kasus diselesaikan lewat jalan musyawarah. Hal ini diperkuat I
Made Agus Mahendra (2013) dengan tesisnya tentang peradilan adat di Bali yang
menekankan jalan musyawarah, hal ini kemudian didukung penegak hukum setempat.
[4]Sedikit
berbeda, Anton mengikuti pendapat Ahmad Ali (2004), E. Sumaryono (2002), dan
Dimyati (2004) yang membagi dua aliran Positivisme Hukum yaitu Positivisme
Sosiologis dan Positivisme Yuridis. Meskipun pada dasarnya memiliki substansi
yang sama. Anton, ibid.
[5]
Munir Fuady, Teori-Teori besar dalam
Hukum, 2013, Jakarta : Kencana, hlm
97.
[6]Kelik
Wardiono dan Khudzifah Dimyati, Paradigma
Rasional dalam Ilmu Hukum, 2013, Yogyakarta ; Genta Publishing.
[7]
Idzan fautanu, Filsafat Ilmu, 2012,
Jakarta : Referensi, hlm 227. Bios theoritikhos merupakan upaya demitologisasi
terhadap cara mengakses pengetahun melalui ritus ritus keagamaan, Bios
theoritkhos adalah upaya para filsuf mendapatkan jalan kebenaran melalui proses
ilmiah, yang menggabungkan tradisi praxis dan empiris.
[8]
Kelik Wardiono, Op Cit, hlm 1
[9]Prinsip
dualism Kelsen terpengaruh dari Dualisme dalam paradigm Cartesian-Newtonian.Descartes
melihat manusia dapat memahami dan mengupas realitas yang terbebas dari
konstruksi mental manusia, bahwa subjek dapat mengukur tanpa mempengaruhinya,
dan sebaliknya tanpa terpengaruhi oleh subjek. Anton Op Cit 145.
[10]
Ibid,
[11]
Kelik dan Dimyati, op Cit,hlm vi
[12]Di
Minangkabau terkenal ungkapan adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang berarti Adat berasal dari syariat
dan syariat berasal dari Kitab (Alqur’an). Hal ini berdasarkan kesepakatan
ninik mamak (tetua adat) dengan para petinggi agama di Minangkabau dalam
persoalan warisa. Syahrizal, Hukum Islam
dan Adat di Indonesia, 2004, Yogyakarta : Ar Ruz, hlm 64.
[13]
Syahrizal, Hukum Islam dan Adat di
Indonesia, 2004, Yogyakarta : Ar Ruz, hlm 67.
[14]Compendium Freijer hanya berisi Hukum Perkawinan dan Hukum Waris. Syahrizal,
Ibid, hlm 124.
[15]Ibid.
[16]
Van Vallenhoven dalam Syahrizal, Ibid.
[17]
IbId, hal 128.
[18]
Ibid, hal 130.
[19]
Beberapa kitab fiqh yang menjadi acuan dalam berhukum diantarnya adalah (1) Muharrar karangan Ar Rafi, (2) Minhajut Talib karangan An Nawawie, (3) Tuhafah karangan ibnu hajar, (4) Nihayah karangan ar ramli, (5) Fathul Muin karangan al-Malabari, dan
lain lain. Daud Ali, Pengantar Hukum Islam, 1999, Jakarta : Rajagrafindo, hal
191.
[20]
Sayuti Thalib dalam Daud Ali, ibid hal 220.
[21]
Satjipto Rahardjo dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik (ed), Problem Globalisasi ; perspektif sosiologi, hukum, ekonomi, dan agama,
2000, (Surakarta : MUP), hal 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar