Minggu, 11 Agustus 2013

PERADILANKU, PERADILAN SESAT


           Melihat banyaknya pledoi atau pembelaan terhadap Lutfi Hasan Ishaq akhir akhir yang menetapkan beliau terlibat dalam kasus impor daging sapi membuat saya tertegun. Awalnya saya benar benar tidak tertarik terhadap kasus ini, pemikiran ini dilandasi karena masih sumirnya kasus ini. Masih sulit diuraikan antara masalah politik dan masalah hukum, karena bagaimanapun Status beliau sebagai pucuk pimpinan partai politik. Sehingga sering ada inheren dari segi hukum dan politik yang muncul di ruang publik.
            Dalam optik saya awalnya, memandang kasus ini baiknya serahkanlah saja pada ahlinya. Dan hormati saja proses peradilan, toh pada hakikatnya dalam sebuah putusan peradilan tidak ada satu pihak pun yang merasa puas, selalu saja ada yang tidak puas terhadap putusan itu. Ketika sebuah putusan dijatuhkan, bisa saja membuat bombong satu pihak misalnya JPU, korban yang dihukum bisa saja tidak puas, bisa saja sebaliknya, atau bahkan dua duanya merasa tidak puas, dan tentu saja ada mekanisme upaya hukum.
            Terlebih melihat mix antara kepentingan politik yang “katanya” bermain dalam kasus ini, membuat saya benar benar tidak begitu tertarik dengan kasus ini. Karena bagaimanapun hal ini jelas berbeda. Dan ditakutkan pula menimbulkan kekacauan tersendiri dalam dunia hukum, apabila bercampur. Meski begitu, Mahfudz MD menjelaskan hubungan keduanya dalam disertasinya, konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan hukum yang responsif, dan konfigurasi politik yang otoriter akan menghasilkan hukum yang ortodoks. Namun hal semacam determinasi ini hanyalah berlaku dalam pembuatan hukum (making of law) bukan pada penegakan hukum (enforcement law). Terlebih di mata hukum semua orang mempunyai kedudukan sama (equality before the law) meski Prof Satjipto menyindir bahwa meski sama di mata hukum, namun dalam alam empris, strata sosial, ekonomi, politik, dan lainnya bisa saja berbeda. Sehingga istilah equality before the law hanyalah menjadi klise saja.
            Namun, banyaknya term dalam pledoi yang mengatakan LHI adalah korban peradilan sesat, membuat hati ini tergugah. Terlebih dalam dunia hukum peradilan sesat bukanlah hal yang tabu. Setelah membaca beberapa literatur ternyata tidak hanya LHI saja yang menjadi korban peradilan sesat, mantan Ketua KPK Antashari Azhar juga demikian. Legitimasi malah muncul dari dua pakar tatanegara Prof Yusril Ihza Mahendra dan Prof Jimly Ashidiqie yang mengatakan antashari menjadi korban peradilan sesat. Ada juga tentang Mustafa kamal, yang dihukum 6 tahun gara gara kamar yang ia sewakan digunakan untuk menyimpan sabu sabu oleh penyewa yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka pula, meski dalam sidang penyewa kamar sudah bersaksi, Mustafa Kamal tidaklah bersalah. Namun ia tetap dihukum.
Lain halnya dengan Sum Kuning, Gadis Penjual telur yang diperkosa, kabarnya oleh oknum penguasa pada masa Orba lalu. Alhasil, seorang mahasiswa dan penjual sate dijadikan kambing hitam, dan pelaku utama tidak pernah diadili. Selain mencoreng hukum di Indonesia, Hoegeng Imam Santoso yang diakui sebagai polisi terbaik sepanjang sejarah Indonesia buram pula namanya ketika ia angkat tangan dengan kasus ini.
Ismarjati, mahasiswa IKIP Bandung pada bulan Oktober 1971 ditabrak hingga akhirnya tewas. Penabarkanya adalah peserta rally mobil Pariwisata Jawa Barat 1971. Edward Panggabean, nama penabrak, merupakan putera bos PT Piola Frans Panggabean yang kaya raya –agen mobil VW di Indonesia.
Pengadilan kemudian digelar untuk menuntut pertangungjawaban Edward Panggabean. Hakim akhirnya hanya memvonis terdakwa dengan 3 bulan penjara dalam masa percobaan 6 bulan. Sontak saja hal ini membuat banyak pihak kecewa. Ibunda gadis Ismarjati, Nyonya Trees Ichsan, menjadi emosi dan menyerang hakim dengan gunting terhunus di luar ruang sidang. Ketika serangan itu luput, sang ibu lalu menyerang Jaksa Mappigau. Nyonya Trees mengakui penyerangan itu dilakukannya karena pikiran yang kalut melihat suaminya pingsan setelah berteriak “Pengadilan tidak adil, pengadilan sandiwara!” Inilah yang terjadi kalau hukum memihak pada uang dan kekuasaan.
            Sebenarnya Peradilan sesat ini baru mengakar setelah peristiwa malari, merujuk pendapat sebastian Pompe dalam bukunya The Indonesian Supreme Court, A Study of institusional collapse. Soeharto kala itu mengikutsertakan anggota militer dalam tata peradilan di Indonesia yang lebih kita kenal dengan Dwifungsi Abri dengan tujuan melanggengkan kekuasaan lewat kooptasinya di lembaga peradilan, sebelumnya di tahun 1950an banyak para Hakim mampu bersikap tegas dan berani dalam menangani berbagai perkara, termasuk yang berkaitan dengan para penguasa.
Hal ini menunjukan ada yang harus diperbaiki dalam lembaga peradilan Indonesia. Tidak hanya birokrasi yang korup, parlemen yang korup, peradilan yang korup pun harus segera direformasi. Dan kasus diatas hanyalah fenomena gunung es saja, LHI LHI yang lain masih berpotensi muncul apabila sistem masih demikian dan masih banyak kasus kasus lain yang berbau kontroversial yang menunjukan sebuah “peradilan sesat”. Survei Political, Economic, Risk, and Consultancy (PERC) di Hong Kong, tahun 2008 masih menempatkan dunia peradilan kita sebagai lembaga terkorup di Asia. Ironi memang sebagai penegak hukum yang berfungsi menegakan hukum sebagaimana mestinya malah tidak berfungsi sama sekali. Secara deduktif, kita bisa menyimpulkan hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas, hanya berlaku untuk kaum miskin, papa, dan tertindas, dan sangat sulit berlaku mereka yang kaya, borju, dan berkuasa.
***
KETIDAKPROFESIONALAN
            Seperti halnya profesional yang lainya, sebagai penegak hukum baik polisi, jaksa, dan hakim tentu mempunyai bidang hukum dan target target yang harus dicapai. Polisi saja, dalam menumpas kejahatan diindikasikan dengan mengkriminalkan pelaku ke peradilan. Semakin banyak berhasil mengkriminalkan, otomatis kejahatan banyak yang terungkap, dan dalam kuantitas dan mungkin kualitas tingkat kejahatan bisa saja diminimalisir. Dan ini tentu saja kabar baik, selain meningkatkan kinerja dari bilik riset, juga untuk kenaikan pangkat.
            Jaksa pun demikian, dalam menerima berkas dari penyidik asal asalan dalam menjatuhkan dakwaan kepada terdakwa. Dan derajatnya pun masih dhaif, terlebih pasal pasal yang kadang didakwakan kadang tidak sinkron dengan kasus yang dihadapi serta barang bukti yang ada. Hal ini diperparah dengan kualitas dari Hakim yang kadang mengiyakan saja dakwaan jaksa yang digunakan sebagai landasan untuk memvonis seseorang.
             Hakim, yang menjadi kunci sebuah peradilan tentu punya penilaian tersendiri. Dan pertanggungjawaban hakim bukanlah kepada sesama manusia, tetapi langsung kepada Tuhan itu sendiri. Maka dari itu, tidak ada laporan pertanggungjawaban ala Hakim, berbeda dengan cabang kekuasaan lain, Eksekutif dan legislatif dalam sistem pemerintahan parlementer bisa saling menjatuhkan apabila kinerjanya saling tidak memuaskan.
            Hakim dalam sistem negara apapun, dan dimanapun adalah sama, tanggungjawab pekerjaan mereka langsung pada Tuhan. Ini juga yang menjadi beban moral seorang hakim dalam memutus suatu perkara, namun, hal ini bukan menjadi pijakan bagi hakim untuk membenarkan putusanya. Bagaimanapun itu hanyalah salah satu pertimbangan saja, ia haruslah berlaku professional dalam menangani perkara perkara yang sedang dihadapi.
            Ketidakprofessionalan ini tidak hanya menghinggapi lembaga peradilan namun juga penegak hukum yang lainya, semacam jaksa, advokat, dan polisi masihlah menggurita. Terlebih budaya Patron-Client yang subur dalam budaya masyarakat Indonesia masih menggurita pula dalam profesi penegakan hukum itu, sehingga tidak heran dalam sebuah instansi bisa tercipta sebuah dinasti atau klan sehingga bisa disebut birokrat yang herediter. Tentu jika didukung transparansi dan akuntabilitas yang memadai, tak mengapa. Namun apabila sebaliknya hal ini malah menceiderai nilai nilai dari sebuah keprofessionalan yang dibangun.
            Meski konsep Professional lahir dari barat yang bertujuan mempertahankan reputasi sebuah profesi, namun ini tidak salah pula diterapkan dalam administrasi negara atau meminjam istilah Dawam Raharjo adalah beamtenstaat yaitu tata kelola administrasi yang bebas dari intervensi luar baik bersifat politis, sosial, ekonomi, budaya dan lainya. Begitu pula Lembaga peradilan, meski pada awalnya secara administrasi dibawah menteri kehakiman, namun dikhatirkan berpotensi diintervensi khususnya oleh pemerintah, akhirnya secara administrasi ia ada di bawah Mahkamah Agung yang secara konstitusional menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Namun hal ini malah menjadi bumerang tersendiri, lemahnya sistem kontrol malah banyak dari pejabat kehakiman yang menyalahgunakan kekuasaan (abuse the power).
PROBLEM INTELEKTUALITAS dan MORAL
            Intelektualitas seorang penegak hukum adalah keniscayaan, dengan landasan intelektual optik seorang penegak hukum tentu berbeda dengan yang lainya. Terlebih para penegak hukum yaitu polisi, jaksa, pengacara, dan hakim mempunyai tanggung jawab masing masing dan tentu saja, tidak hanya pemahaman akan dunia hukum saja yang berkaitan dengan perkara yang mereka tangani, namun juga dari disiplin ilmu lainya, karena bagaimanapun subjek yang mereka tangani juga berangkat dari latar belakang yang beragam pula.
Begitupun moral, dengan menggunakan sudut pandang etis, penegak hukum tentunya bisa memilah perkara mana yang sesuai dengan moral. Moral menjadi landasan nilai seorang penegak hukum, moral pada dasarnya adalah sukma atau ruh dari hukum itu sendiri, penegak hukum harus bisa melihat rasa keadilan masyarakat dalam memandang suatu kasus atau perkara. Etika yang menjadi bagian dari Filsafat Perennial (keabadian) menempatkan tujuan akhir manusia tentang yang dasar, yang immanen dan transenden, yang immemorial dan universal harusnya bisa melandasi kepribadian dan moral seorang penegak hukum.
            Dalam kenyataan, problem intelektulitas dan moral para penegak hukum kita adalah pada pemahaman mereka tentang hukum an sich. Hukum dipandang hanya sebatas formalistik dan norma norma moral dan etis dikesampingkan karena tidaklah dipositifkan. Para penegak hukum kita banyak yang terjebak pemahaman positivistik demikian, Padahal pada dasarnya norma yang hidup dalam masyarakat adalah azas dari hukum yang tertulis itu sendiri. Hingga kita bisa mengatakan norma itulah salah satu sumber hukum yang berlaku, namun sekarang norma norma banyak yang dikesampingkan. Seharusnya norma dan etika itulah yang menjadi pijakan utama para penegak hukum itu.
Hal ini ditambah dengan pendidikan dan pengajaran hukum itu sendiri lebih difokuskan bagaimana hukum itu tegak dipandang dari segi formalistik saja. Lebih jauh kita harus sadar, pendidikan sekarang lebih diarahkan bagaimana mencetak ijazah bernilai tinggi  daripada mencetak seorang sarjana cendekiawan dan bermoral. Padahal sebagai seorang cendekiawan dan bermoral tentunya bidang bidang disiplin ilmu seperti Filsafat hukum, Sosiologi Hukum, Antropologi, dan juga pendekatan pendekatan bernafas teologis tetaplah dibutuhkan dalam ilmu hukum sebagai cabang ilmu humaniora. Bilamana melihat penegak hukum kita sekarang tentu kita miris, dalih penegakan hukum demi terwujudnya kepastian hukum kadang disalahgunakan. Terkadang dalih belum ditetapkan bersalah oleh pengadilan, baik dalam status terperiksa maupun tersangka ia masih gembira duduk di lingkup kekuasaan.
            Amanat Konstitusi yang tertuang dalam Tap MPR No. VII/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa menjadi bukti etika dan moral yang menyerang world view dari penegak hukum. Padahal keduanyalah menentukan intelektualitas mereka dan kepekaan mereka terhadap gejala dan keadilan sosial. Salah satu amanah dalam TAP MPR adalah etika seorang pejabat yang diharuskan mundur apabila melakukan kebijakan atau perbuatan yang menimbulkan keresahan atau sorotan publik. Jika melihat kenyataan berapa banyak pejabat kita yang seharusnya mundur, sorotan publik yang negatif padanya dan sudah menjadi common sense harusnya bisa membuatnya malu dan berpikir untuk melanggengkan jabatanya atau tidak.
POLITIK KANCIL PILEK
            Alkisah, seekor macan yang menjadi raja hutan menderita penyakit. Sekujur tubuhnya dipenuhi bau tak sedap, sepanjang hari ia meras terganggu dengan penyakit ini, jika sebelumnya ia ganas tak terkendali, siang itu ia hanya terkapar termangu di bawah rindangnya pohon jati. Untuk mencari solusi atas penyakitnya ia memanggil tiga hewan yaitu, Serigala, rusa, dan kancil.
Serigala ditanya oleh sang raja hutan,”apakah benar tubuhku ini berbau tak sedap wahai serigala”,
“benar yang mulia, tubuh yang mulia berbau anyir tak sedap, saya saja hampir muntah di dekat yang mulia”,
“kurang ajar, berani beraninya kau menghinaku”,ujar harimau, tiba tiba ia merobek sang serigala,seraya memanggil kijang
“wahai kijang apakah benar tubuhku berbau tidak sedap”
Melihat nasib serigala, ia beranikan untuk berkata,”ampun paduka, tubuh paduka tidak seperti yang serigala bilang tadi, tubuh paduka wangi semerbak bak melati”,
“munafik, kau bohong”, ujar harimau seraya merobek kijang tadi.
Kali ini giliran si Kancil, ia cukup was was melihat nasib kedua temanya, segera ia memutar otak.
“kancil apakah tubuhku berbau tidak sedap” uajr harimau.
“maaf paduka, hamba sedang pilek, jadi tidak bisa mencium bau tubuh yang mulia”
“ bukankah dari tadi kau bersin terus menerus, apakah karena bau tubuhku?”tanya harimau.
“hamba bersin karena pilek ini tuanku”ujar kancil,
Sang harimau hanya diam saja mendengar alasan kancil, sementara itu kancil masuk kedalam hutan, ia selamat karena kecerdikanya.
            Melihat persoalan diatas, kita mungkin terkagum atas sikap si kancil, yang dalam keadaan terdesak ia bisa lolos dengan mudahnya. Namun dibalik itu, sebenarnya persoalan tersebut lah yang menjadi salah satu pokok masalah kenapa hukum itu tidak kunjung tegak, utamanya di lingkungan peradilan. Banyak para penegak hukum kita  yang memilih menjadi kancil, yang enggan berbicara, dengan alasan takut diterkam penguasa busuk (Harimau) yang melakukan sebuah kesalahan dan juga bisa saja terjadi karena ia terlibat dalam kebusukan itu (ikut bau), sehingga ia hanya terdiam dan melongo ketika para penguasa itu terlibat dalam suatu kasus hukum.
            Dan lihat saja, tidak hanya satu dua tokoh yang sangat idealisnya terhadap korupsi, berkoar koar tentang bahaya sebuah korupsi kemudian tiba tiba diam dan menjadi pilek sekaligus enggan berkomentar atas hal yang telah terjadi.  Keberanianya menjadi surut ketika dihdapan penguasa. Bisa saja dia itu takut diterkam harimau (penguasa busuk), atau ia bahkan terlibat dalam kebusukan itu. Dan yang terjadi kebusukan kebusukan sangat sulit terbongkar, karena semua tutup mulut dan diam atas apa yang terjadi.
SISTEM HUKUM
            Di Dunia sebenarnya kita tidak hanya mengenal dua sistem hukum yang sudah mafhum, yaitu Eropa Kontinental dan Anglo Saxon. Masih ada sistem hukum prancis, yang menjadi cikal bakal Sistem Hukum belanda, ataupun sistem hukum komunis yang menekankan pada pemahaman otoriter, dan tentu saja sistem hukum Islam. Dari banyak sistem hukum itu, memang diakui dua Eropa Kontinental dan Anglo Saxon yang banyak digunakan, Eropa Kontinental dengan pemahaman legalistik formal dianut lebih dari 60 % negara di dunia, terutama di negara jajahan imperalis dan negara dunia ketiga, begitu juga dengan Anglo Saxon dengan pemahaman Legalistik Substansial dianut pula banyak negara di dunia. Mayoritas negara penganut Anglo Saxon adalah negara negara jajahan Inggris.
            Berbicara sistem eropa kontinental atau sipil yang positivistik dan konservatif memang merupakan antitesa terhadap anglo saxon yang substansial dan modern, sistem hukum sipil menekankan bahwa hukum ialah yang tertulis, bahwa hukum adalah bersifat hitam putih. Suatu aturan tingkah laku akan menjadi sebauh hukum dan berlaku jika ia tertulis, hal ini berangkat dengan tujuan keadilan dan kepastian hukum, akibatnya hukum cenderung kaku dan tidak fleksibel.
            Dalam penerapanya, Hakim yang bertugas penegak hukum tingkat akhir direlasikan sebagai corong undang undang. Putusan yang dijatuhkan hakim tidak jauh dari bahkan harus sama persis dengan apa yang tertulis di undang undang yang dalam hal ini merupakan konsesi politik. Sehingga penemuan penemuan hukum (rechtsvinding) atau terobosan kreatif lainya sangatlah jarang ditemukan.
            Sebaliknya, dalam sistem hukum Anglo Saxon lebih substansial dalam memaknai hukum. Hukum bukan hanya yang tertulis, namun hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum adat (custom law) disebut hukum pula. Sehingga sistem ini disebut pula sistem hukum adat. Tidak seperti sistem sipil, pengertian hukum pada sistem Anglo Saxon lebih luas yang tentunya bersifat fleksibel dan tidak kaku.
            Dalam pelaksanaanya berbeda pula dengan sistem hukum kontinental. Hakim bukanlah corong undang undang yang berpotensi dipolitisir, namun putusan putusan hakim berdasarkan preseden / putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim sebelumnya pada kasus yang sama. Inggris sendiri sebagai peletak dasar sistem ini, mempunyai kumpulan putusan yang umurnya 1000 tahun, hal ini dijadikan dasar untuk putusan putusan berikutnya.
            Dan, inggris yang lebih konservatif menerapkan sistem ini mempunyai sistem peradilan yang unik. Benar atau tidaknya sebuah kasus yang diajukan di pengadilan, ditentukan oleh 12 Juri yang berasal dari rakyat, sehingga masyarakat diberi ruang untuk menilai sebuah kasus, sedangkan kedudukan hakim hanyalah pemberi hukuman saja, pernah suatu kasus seorang selebriti internasional menganiyaya pembantunya, di pengadilan ia dituntut bersalah, dan bayangkan hukumnya ia disuruh kerja sosial seperti pembantunya selama 2 minggu. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan, hukum Anglo Saxon lebih berpihak pada keadilan yang substansial daripada keadilan secara formal atau prosedurial.
Sebenarnya konsep Keadilan Substansial ini di take over dari sistem peradilan dalam Islam itu sendiri. Ketika perang Salib, Masyarakat inggris (bangsa norman) yang cenderung barbar menemui suatu masyarakat yang berbeda mereka temui dengan masyarakat masyarakat sebelumnya, dan hal ini membuat mereka kagum, sehingga sistem peradilan dalam islam ditransform dalam peradilan mereka.
 Di Indonesia, kita harus berbangga hati dengan memakai sistem hukum sipil tinggalan belanda yang menjajah selama 3 abad lebih. Hal ini termasuk unik, di daerah sabuk pasifik, hanya indonesia yang masih setia dengan sistem sipilnya, bahkan belanda yang membawa sistem ini sudah meninggalkan sistem ini. Melihat kekakuan sistem hukum kita, tentu berbanding lurus dengan kenyataan yang ada. Hukum yang berlaku mengesampingkan moral dan etis karena tidak tertulis. Dan hanya berpandangan hukum ialah aturan aturan yang telah dipositifkan.
Kriminalisasi pencuri buah kakao, sandal bolong, atau hal lainya tentu sangat miris, hal hal demikian tentu menurut moral layak diampuni dan dimaafkan, meski secara positif perbuatanya masuk rumusan delik. Yang parah secara empiris, kenapa terhadap pembuat kejahatan subyeknya mereka yang tertindas, penegak hukum berlomba mencari kesalahan atau bahkan merekayasa kesalahan namun ketika subjeknya kaum berkuasa para penegak hukum malah berlomba mengurangi kesalahan dan merekayasan kebenaran.
Ini tidak lepas dari tujuan dari sistem hukum sipil itu. Sistem hukum sipil yang sekarang berkembang di negara ketiga dan bekas jajahan merupakan karya para imperalis untuk menekan rakyatnya ketika berbuat salah, dan sebaliknya. Hal ini tentu saja bertujuan untuk melangggengkan kekuasaan. Lihat saja KUHPerdata yang merupakan peninggalan kolonial, disana masih terdapat pembagian golongan asia, pribumi, timur jauh, dan barat. Dan terhadap golongan golongan itu diberlakukan pula regulasi yang berbeda pula. Ini menunjukan dahulu, aroma kepentingan kolonial yang bertindak sebagai penguasa sangat terasa.
Terlebih dalam peradilan, masyarakat tidak dilibatkan. Seakan akan hal ini sudah dimonopoli saja, mulai dari penyidikan sampai vonis masyarakat tidak mengambil peran penting dalam hal ini. Memang ada pengacara yang siap membela terdakwa, namun tetap saja peranya sebatas memberi nasihat dan pledoi. Berbeda dalam sistem anglo saxon, kuasa hukum atau pengacara juga punya kewenangan menyidik suatu kasus, maka dari itu muncul istilah detektif yang independen dari kepolisian, dan istilah detektif ini tidak dikenal dalam sistem hukum Sipil. Penuntut umum yang dalam Sistem Sipil dimonopoli jaksa dalam sistem anglo saxon bisa dijalankan oleh masyarakat yang terlibat sengketa.
***
Kualitas penegak hukum memang tidak lepas dari struktur dari pembangunan hukum itu sendiri. Lawrence M. Friedman berpendapat setidaknya yang berpengaruh dalam pembangunan hukum diantaranya Substance ( Isi / materi hukum) structure (Penegak hukum) , dan Culture (Budaya Hukum). Ketiganya masih belum mencapai tahap memuaskan dalam kenyataan empirisnya, sehingga dalam hal ini perlu perombakan cukup mendasar baik secara substansi maupun formal dalam konstruksi pembangunan hukum itu sendiri.
Isi / materi Hukum yang berlaku banyak yang belum menunjukan tahap keadilan yang diharapkan, terbukti dengan banyaknya Judicial Review pada MK, menunjukan produk hukum belum memenuhi tuntutan keadailan masyarakat. Pernah dalam suatu diskusi, penulis mendapati sebuah opini bahwa mental legislator (DPR/DPRD) adalah mental para pengusaha, mental pengusaha adalah mental yang selalu berbicara untung dan rugi. Jikalau untung bagi rakyat tak apa, namun ketika berbicara untuk keuntungan kelompok maupun pribadi. Apa yang mau dikata.
Penelitian yang dilakukan Kuskirdo Ambardho lebih mencengangkan lagi. Beberapa Faksi dalam DPR yang seharusnya berpotensi pro dan kontra dalam beberapa kepentingan karena perbedaan ideologis menjadi mentah ketika berbicara hal yang cukup basah, UU BUMN, UU Perburuhan menjadi satu contoh apa yang dinamakan beliau sebagai kartel politik.
Dan, penegakan hukum juga ada dalam titik nadir, seteleh dibahas cukup panjang kita bisa menyimpulkan lembaga peradilan yang diharapkan leader dalam penegakan hukum malah lumpuh dihadapan penguasa dan uang. Miss pemahaman hukum yang nir keadilan membuat mereka terperosok dalam lingkaran kesesatan, dan ketika dipahamkan tentang adanya moral dan etika yang menjadi sukma hukum, para penegak hukum selalu mengelak bahwa mereka sudah ada di jalur hukum yang benar. Dan mungkina ini model manusia keempat ala Al Ghazali, Roojulun laa yadri, wa la yadri annahu la yadri, (orang yang tidak tahu, dan tidak tahu bahwa mereka sebenarnya tidak tahu)
Budaya hukum yang mencakup pemahaman konsep masyarakat kepada hukum itu sendiri malah masih dalam tahap anomi atau malah apatis sekalipun, masyarakat jadi enggan memahami hukum secara baik dan benar, selain melihat kualitas substansi materi Hukum yang keberpihakanya pada kaum penguasa, kualitas penegak hukum pun masih memprihatinkan, mereka yang seharusnya menjadikan hukum itu tegak dan berpihak pada keadilan dan kebenaran malah berpihak pada yang berpunya.

SUMBER PUSTAKA
Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono, Pola pemikiran hukum responsif : Studi atas pembangunan ilmu hukum di Indonesia, Penelitian Hibah Bersaing Tahun II Kontrak: 180/SP3/PP/DP3M/II/2006
Pamungkas, EA, 2010. Peradilan Sesat, Yogyakarta : Navila Idea
MD, Mahfudz. Demokrasi dan Peradilan, disampaikan pada Dinner Lecture yang diselenggarakan oleh Komisi Indonesia untuk Demokrasi (KID) di Hotel Ciputra Surabaya, 27 November 2007
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar