.jpg)
Dalam optik saya awalnya, memandang
kasus ini baiknya serahkanlah saja pada ahlinya. Dan hormati saja proses
peradilan, toh pada hakikatnya dalam sebuah putusan peradilan tidak ada satu
pihak pun yang merasa puas, selalu saja ada yang tidak puas terhadap putusan
itu. Ketika sebuah putusan dijatuhkan, bisa saja membuat bombong satu pihak misalnya JPU, korban yang dihukum bisa saja
tidak puas, bisa saja sebaliknya, atau bahkan dua duanya merasa tidak puas, dan
tentu saja ada mekanisme upaya hukum.
Terlebih melihat mix antara kepentingan politik yang
“katanya” bermain dalam kasus ini, membuat saya benar benar tidak begitu
tertarik dengan kasus ini. Karena bagaimanapun hal ini jelas berbeda. Dan
ditakutkan pula menimbulkan kekacauan tersendiri dalam dunia hukum, apabila
bercampur. Meski begitu, Mahfudz MD menjelaskan hubungan keduanya dalam
disertasinya, konfigurasi politik yang demokratis akan menghasilkan hukum yang
responsif, dan konfigurasi politik yang otoriter akan menghasilkan hukum yang
ortodoks. Namun hal semacam determinasi ini hanyalah berlaku dalam pembuatan
hukum (making of law) bukan pada
penegakan hukum (enforcement law).
Terlebih di mata hukum semua orang mempunyai kedudukan sama (equality before the law) meski Prof
Satjipto menyindir bahwa meski sama di mata hukum, namun dalam alam empris,
strata sosial, ekonomi, politik, dan lainnya bisa saja berbeda. Sehingga
istilah equality before the law hanyalah
menjadi klise saja.
Namun, banyaknya term dalam pledoi yang mengatakan LHI
adalah korban peradilan sesat, membuat hati ini tergugah. Terlebih dalam dunia
hukum peradilan sesat bukanlah hal yang tabu. Setelah membaca beberapa
literatur ternyata tidak hanya LHI saja yang menjadi korban peradilan sesat,
mantan Ketua KPK Antashari Azhar juga demikian. Legitimasi malah muncul dari
dua pakar tatanegara Prof Yusril Ihza Mahendra dan Prof Jimly Ashidiqie yang
mengatakan antashari menjadi korban peradilan sesat. Ada juga tentang Mustafa
kamal, yang dihukum 6 tahun gara gara kamar yang ia sewakan digunakan untuk
menyimpan sabu sabu oleh penyewa yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka
pula, meski dalam sidang penyewa kamar sudah bersaksi, Mustafa Kamal tidaklah
bersalah. Namun ia tetap dihukum.
Lain
halnya dengan Sum Kuning, Gadis Penjual telur yang diperkosa, kabarnya oleh
oknum penguasa pada masa Orba lalu. Alhasil, seorang mahasiswa dan penjual sate
dijadikan kambing hitam, dan pelaku utama tidak pernah diadili. Selain
mencoreng hukum di Indonesia, Hoegeng Imam Santoso yang diakui sebagai polisi
terbaik sepanjang sejarah Indonesia buram pula namanya ketika ia angkat tangan
dengan kasus ini.
Ismarjati,
mahasiswa IKIP Bandung pada bulan Oktober 1971 ditabrak hingga akhirnya tewas.
Penabarkanya adalah peserta rally mobil Pariwisata Jawa Barat 1971. Edward
Panggabean, nama penabrak, merupakan putera bos PT Piola Frans Panggabean yang
kaya raya –agen mobil VW di Indonesia.
Pengadilan
kemudian digelar untuk menuntut pertangungjawaban Edward Panggabean. Hakim
akhirnya hanya memvonis terdakwa dengan 3 bulan penjara dalam masa percobaan 6
bulan. Sontak saja hal ini membuat banyak pihak kecewa. Ibunda gadis Ismarjati,
Nyonya Trees Ichsan, menjadi emosi dan menyerang hakim dengan gunting terhunus
di luar ruang sidang. Ketika serangan itu luput, sang ibu lalu menyerang Jaksa
Mappigau. Nyonya Trees mengakui penyerangan itu dilakukannya karena pikiran
yang kalut melihat suaminya pingsan setelah berteriak “Pengadilan tidak adil,
pengadilan sandiwara!” Inilah yang terjadi kalau hukum memihak pada uang dan
kekuasaan.
Sebenarnya Peradilan sesat ini baru
mengakar setelah peristiwa malari, merujuk pendapat sebastian Pompe dalam
bukunya The Indonesian Supreme Court, A
Study of institusional collapse. Soeharto kala itu mengikutsertakan anggota
militer dalam tata peradilan di Indonesia yang lebih kita kenal dengan
Dwifungsi Abri dengan tujuan melanggengkan kekuasaan lewat kooptasinya di
lembaga peradilan, sebelumnya di tahun 1950an banyak para Hakim mampu bersikap
tegas dan berani dalam menangani berbagai perkara, termasuk yang berkaitan
dengan para penguasa.
Hal
ini menunjukan ada yang harus diperbaiki dalam lembaga peradilan Indonesia.
Tidak hanya birokrasi yang korup, parlemen yang korup, peradilan yang korup pun
harus segera direformasi. Dan kasus diatas hanyalah fenomena gunung es saja,
LHI LHI yang lain masih berpotensi muncul apabila sistem masih demikian dan masih
banyak kasus kasus lain yang berbau kontroversial yang menunjukan sebuah
“peradilan sesat”. Survei Political, Economic, Risk, and Consultancy (PERC) di
Hong Kong, tahun 2008 masih menempatkan dunia peradilan kita sebagai lembaga
terkorup di Asia. Ironi memang sebagai penegak hukum yang berfungsi menegakan
hukum sebagaimana mestinya malah tidak berfungsi sama sekali. Secara deduktif,
kita bisa menyimpulkan hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas, hanya
berlaku untuk kaum miskin, papa, dan tertindas, dan sangat sulit berlaku mereka
yang kaya, borju, dan berkuasa.
***
KETIDAKPROFESIONALAN
Seperti halnya profesional yang
lainya, sebagai penegak hukum baik polisi, jaksa, dan hakim tentu mempunyai
bidang hukum dan target target yang harus dicapai. Polisi saja, dalam menumpas
kejahatan diindikasikan dengan mengkriminalkan pelaku ke peradilan. Semakin
banyak berhasil mengkriminalkan, otomatis kejahatan banyak yang terungkap, dan
dalam kuantitas dan mungkin kualitas tingkat kejahatan bisa saja diminimalisir.
Dan ini tentu saja kabar baik, selain meningkatkan kinerja dari bilik riset,
juga untuk kenaikan pangkat.
Jaksa pun demikian, dalam menerima
berkas dari penyidik asal asalan dalam menjatuhkan dakwaan kepada terdakwa. Dan
derajatnya pun masih dhaif, terlebih
pasal pasal yang kadang didakwakan kadang tidak sinkron dengan kasus yang
dihadapi serta barang bukti yang ada. Hal ini diperparah dengan kualitas dari
Hakim yang kadang mengiyakan saja dakwaan jaksa yang digunakan sebagai landasan
untuk memvonis seseorang.
Hakim, yang menjadi kunci sebuah peradilan
tentu punya penilaian tersendiri. Dan pertanggungjawaban hakim bukanlah kepada
sesama manusia, tetapi langsung kepada Tuhan itu sendiri. Maka dari itu, tidak
ada laporan pertanggungjawaban ala Hakim, berbeda dengan cabang kekuasaan lain,
Eksekutif dan legislatif dalam sistem pemerintahan parlementer bisa saling
menjatuhkan apabila kinerjanya saling tidak memuaskan.
Hakim dalam sistem negara apapun,
dan dimanapun adalah sama, tanggungjawab pekerjaan mereka langsung pada Tuhan.
Ini juga yang menjadi beban moral seorang hakim dalam memutus suatu perkara,
namun, hal ini bukan menjadi pijakan bagi hakim untuk membenarkan putusanya.
Bagaimanapun itu hanyalah salah satu pertimbangan saja, ia haruslah berlaku
professional dalam menangani perkara perkara yang sedang dihadapi.
Ketidakprofessionalan ini tidak
hanya menghinggapi lembaga peradilan namun juga penegak hukum yang lainya,
semacam jaksa, advokat, dan polisi masihlah menggurita. Terlebih budaya Patron-Client yang subur dalam budaya
masyarakat Indonesia masih menggurita pula dalam profesi penegakan hukum itu, sehingga
tidak heran dalam sebuah instansi bisa tercipta sebuah dinasti atau klan
sehingga bisa disebut birokrat yang herediter. Tentu jika didukung transparansi
dan akuntabilitas yang memadai, tak mengapa. Namun apabila sebaliknya hal ini
malah menceiderai nilai nilai dari sebuah keprofessionalan yang dibangun.
Meski konsep Professional lahir dari
barat yang bertujuan mempertahankan reputasi sebuah profesi, namun ini tidak
salah pula diterapkan dalam administrasi negara atau meminjam istilah Dawam
Raharjo adalah beamtenstaat yaitu
tata kelola administrasi yang bebas dari intervensi luar baik bersifat politis,
sosial, ekonomi, budaya dan lainya. Begitu pula Lembaga peradilan, meski pada
awalnya secara administrasi dibawah menteri kehakiman, namun dikhatirkan
berpotensi diintervensi khususnya oleh pemerintah, akhirnya secara administrasi
ia ada di bawah Mahkamah Agung yang secara konstitusional menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman. Namun hal ini malah menjadi bumerang tersendiri, lemahnya
sistem kontrol malah banyak dari pejabat kehakiman yang menyalahgunakan kekuasaan
(abuse the power).
PROBLEM INTELEKTUALITAS
dan MORAL
Intelektualitas seorang penegak
hukum adalah keniscayaan, dengan landasan intelektual optik seorang penegak
hukum tentu berbeda dengan yang lainya. Terlebih para penegak hukum yaitu
polisi, jaksa, pengacara, dan hakim mempunyai tanggung jawab masing masing dan
tentu saja, tidak hanya pemahaman akan dunia hukum saja yang berkaitan dengan
perkara yang mereka tangani, namun juga dari disiplin ilmu lainya, karena
bagaimanapun subjek yang mereka tangani juga berangkat dari latar belakang yang
beragam pula.
Begitupun
moral, dengan menggunakan sudut pandang etis, penegak hukum tentunya bisa
memilah perkara mana yang sesuai dengan moral. Moral menjadi landasan nilai
seorang penegak hukum, moral pada dasarnya adalah sukma atau ruh dari hukum itu
sendiri, penegak hukum harus bisa melihat rasa keadilan masyarakat dalam
memandang suatu kasus atau perkara. Etika yang menjadi bagian dari Filsafat
Perennial (keabadian) menempatkan tujuan akhir manusia tentang yang dasar, yang
immanen dan transenden, yang immemorial dan universal harusnya bisa melandasi
kepribadian dan moral seorang penegak hukum.
Dalam kenyataan, problem
intelektulitas dan moral para penegak hukum kita adalah pada pemahaman mereka
tentang hukum an sich. Hukum dipandang
hanya sebatas formalistik dan norma norma moral dan etis dikesampingkan karena
tidaklah dipositifkan. Para penegak hukum kita banyak yang terjebak pemahaman
positivistik demikian, Padahal pada dasarnya norma yang hidup dalam masyarakat
adalah azas dari hukum yang tertulis itu sendiri. Hingga kita bisa mengatakan
norma itulah salah satu sumber hukum yang berlaku, namun sekarang norma norma
banyak yang dikesampingkan. Seharusnya norma dan etika itulah yang menjadi
pijakan utama para penegak hukum itu.
Hal
ini ditambah dengan pendidikan dan pengajaran hukum itu sendiri lebih
difokuskan bagaimana hukum itu tegak dipandang dari segi formalistik saja.
Lebih jauh kita harus sadar, pendidikan sekarang lebih diarahkan bagaimana
mencetak ijazah bernilai tinggi daripada
mencetak seorang sarjana cendekiawan dan bermoral. Padahal sebagai seorang
cendekiawan dan bermoral tentunya bidang bidang disiplin ilmu seperti Filsafat
hukum, Sosiologi Hukum, Antropologi, dan juga pendekatan pendekatan bernafas
teologis tetaplah dibutuhkan dalam ilmu hukum sebagai cabang ilmu humaniora.
Bilamana melihat penegak hukum kita sekarang tentu kita miris, dalih penegakan
hukum demi terwujudnya kepastian hukum kadang disalahgunakan. Terkadang dalih
belum ditetapkan bersalah oleh pengadilan, baik dalam status terperiksa maupun
tersangka ia masih gembira duduk di lingkup kekuasaan.
Amanat Konstitusi yang tertuang
dalam Tap MPR No. VII/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa menjadi bukti
etika dan moral yang menyerang world view
dari penegak hukum. Padahal keduanyalah menentukan intelektualitas mereka
dan kepekaan mereka terhadap gejala dan keadilan sosial. Salah satu amanah
dalam TAP MPR adalah etika seorang pejabat yang diharuskan mundur apabila
melakukan kebijakan atau perbuatan yang menimbulkan keresahan atau sorotan
publik. Jika melihat kenyataan berapa banyak pejabat kita yang seharusnya
mundur, sorotan publik yang negatif padanya dan sudah menjadi common sense harusnya bisa membuatnya
malu dan berpikir untuk melanggengkan jabatanya atau tidak.
POLITIK KANCIL PILEK
Alkisah, seekor macan yang menjadi
raja hutan menderita penyakit. Sekujur tubuhnya dipenuhi bau tak sedap,
sepanjang hari ia meras terganggu dengan penyakit ini, jika sebelumnya ia ganas
tak terkendali, siang itu ia hanya terkapar termangu di bawah rindangnya pohon
jati. Untuk mencari solusi atas penyakitnya ia memanggil tiga hewan yaitu,
Serigala, rusa, dan kancil.
Serigala ditanya
oleh sang raja hutan,”apakah benar tubuhku ini berbau tak sedap wahai
serigala”,
“benar yang
mulia, tubuh yang mulia berbau anyir tak sedap, saya saja hampir muntah di
dekat yang mulia”,
“kurang ajar,
berani beraninya kau menghinaku”,ujar harimau, tiba tiba ia merobek sang
serigala,seraya memanggil kijang
“wahai kijang
apakah benar tubuhku berbau tidak sedap”
Melihat nasib
serigala, ia beranikan untuk berkata,”ampun paduka, tubuh paduka tidak seperti
yang serigala bilang tadi, tubuh paduka wangi semerbak bak melati”,
“munafik, kau bohong”,
ujar harimau seraya merobek kijang tadi.
Kali ini giliran
si Kancil, ia cukup was was melihat nasib kedua temanya, segera ia memutar
otak.
“kancil apakah
tubuhku berbau tidak sedap” uajr harimau.
“maaf paduka,
hamba sedang pilek, jadi tidak bisa mencium bau tubuh yang mulia”
“ bukankah dari
tadi kau bersin terus menerus, apakah karena bau tubuhku?”tanya harimau.
“hamba bersin
karena pilek ini tuanku”ujar kancil,
Sang harimau
hanya diam saja mendengar alasan kancil, sementara itu kancil masuk kedalam
hutan, ia selamat karena kecerdikanya.
Melihat persoalan diatas, kita
mungkin terkagum atas sikap si kancil, yang dalam keadaan terdesak ia bisa
lolos dengan mudahnya. Namun dibalik itu, sebenarnya persoalan tersebut lah
yang menjadi salah satu pokok masalah kenapa hukum itu tidak kunjung tegak,
utamanya di lingkungan peradilan. Banyak para penegak hukum kita yang memilih menjadi kancil, yang enggan
berbicara, dengan alasan takut diterkam penguasa busuk (Harimau) yang melakukan
sebuah kesalahan dan juga bisa saja terjadi karena ia terlibat dalam kebusukan
itu (ikut bau), sehingga ia hanya terdiam dan melongo ketika para penguasa itu
terlibat dalam suatu kasus hukum.
Dan lihat saja, tidak hanya satu dua
tokoh yang sangat idealisnya terhadap korupsi, berkoar koar tentang bahaya
sebuah korupsi kemudian tiba tiba diam dan menjadi pilek sekaligus enggan
berkomentar atas hal yang telah terjadi.
Keberanianya menjadi surut ketika dihdapan penguasa. Bisa saja dia itu
takut diterkam harimau (penguasa busuk), atau ia bahkan terlibat dalam
kebusukan itu. Dan yang terjadi kebusukan kebusukan sangat sulit terbongkar,
karena semua tutup mulut dan diam atas apa yang terjadi.
SISTEM HUKUM
Di Dunia sebenarnya kita tidak hanya
mengenal dua sistem hukum yang sudah mafhum, yaitu Eropa Kontinental dan Anglo
Saxon. Masih ada sistem hukum prancis, yang menjadi cikal bakal Sistem Hukum
belanda, ataupun sistem hukum komunis yang menekankan pada pemahaman otoriter,
dan tentu saja sistem hukum Islam. Dari banyak sistem hukum itu, memang diakui
dua Eropa Kontinental dan Anglo Saxon yang banyak digunakan, Eropa Kontinental
dengan pemahaman legalistik formal dianut lebih dari 60 % negara di dunia,
terutama di negara jajahan imperalis dan negara dunia ketiga, begitu juga
dengan Anglo Saxon dengan pemahaman Legalistik Substansial dianut pula banyak
negara di dunia. Mayoritas negara penganut Anglo Saxon adalah negara negara
jajahan Inggris.
Berbicara sistem eropa kontinental
atau sipil yang positivistik dan konservatif memang merupakan antitesa terhadap
anglo saxon yang substansial dan modern, sistem hukum sipil menekankan bahwa
hukum ialah yang tertulis, bahwa hukum adalah bersifat hitam putih. Suatu
aturan tingkah laku akan menjadi sebauh hukum dan berlaku jika ia tertulis, hal
ini berangkat dengan tujuan keadilan dan kepastian hukum, akibatnya hukum
cenderung kaku dan tidak fleksibel.
Dalam penerapanya, Hakim yang
bertugas penegak hukum tingkat akhir direlasikan sebagai corong undang undang.
Putusan yang dijatuhkan hakim tidak jauh dari bahkan harus sama persis dengan
apa yang tertulis di undang undang yang dalam hal ini merupakan konsesi
politik. Sehingga penemuan penemuan hukum (rechtsvinding)
atau terobosan kreatif lainya sangatlah
jarang ditemukan.
Sebaliknya, dalam sistem hukum Anglo
Saxon lebih substansial dalam memaknai hukum. Hukum bukan hanya yang tertulis,
namun hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum adat (custom law) disebut hukum pula. Sehingga sistem ini disebut pula
sistem hukum adat. Tidak seperti sistem sipil, pengertian hukum pada sistem
Anglo Saxon lebih luas yang tentunya bersifat fleksibel dan tidak kaku.
Dalam pelaksanaanya berbeda pula
dengan sistem hukum kontinental. Hakim bukanlah corong undang undang yang
berpotensi dipolitisir, namun putusan putusan hakim berdasarkan preseden /
putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim sebelumnya pada kasus yang sama.
Inggris sendiri sebagai peletak dasar sistem ini, mempunyai kumpulan putusan
yang umurnya 1000 tahun, hal ini dijadikan dasar untuk putusan putusan
berikutnya.
Dan, inggris yang lebih konservatif
menerapkan sistem ini mempunyai sistem peradilan yang unik. Benar atau tidaknya
sebuah kasus yang diajukan di pengadilan, ditentukan oleh 12 Juri yang berasal
dari rakyat, sehingga masyarakat diberi ruang untuk menilai sebuah kasus,
sedangkan kedudukan hakim hanyalah pemberi hukuman saja, pernah suatu kasus
seorang selebriti internasional menganiyaya pembantunya, di pengadilan ia
dituntut bersalah, dan bayangkan hukumnya ia disuruh kerja sosial seperti
pembantunya selama 2 minggu. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan, hukum
Anglo Saxon lebih berpihak pada keadilan yang substansial daripada keadilan
secara formal atau prosedurial.
Sebenarnya
konsep Keadilan Substansial ini di take
over dari sistem peradilan dalam Islam itu sendiri. Ketika perang Salib,
Masyarakat inggris (bangsa norman) yang cenderung barbar menemui suatu
masyarakat yang berbeda mereka temui dengan masyarakat masyarakat sebelumnya,
dan hal ini membuat mereka kagum, sehingga sistem peradilan dalam islam
ditransform dalam peradilan mereka.
Di Indonesia, kita harus berbangga hati dengan
memakai sistem hukum sipil tinggalan belanda yang menjajah selama 3 abad lebih.
Hal ini termasuk unik, di daerah sabuk pasifik, hanya indonesia yang masih
setia dengan sistem sipilnya, bahkan belanda yang membawa sistem ini sudah
meninggalkan sistem ini. Melihat kekakuan sistem hukum kita, tentu berbanding
lurus dengan kenyataan yang ada. Hukum yang berlaku mengesampingkan moral dan
etis karena tidak tertulis. Dan hanya berpandangan hukum ialah aturan aturan
yang telah dipositifkan.
Kriminalisasi
pencuri buah kakao, sandal bolong, atau hal lainya tentu sangat miris, hal hal
demikian tentu menurut moral layak diampuni dan dimaafkan, meski secara positif
perbuatanya masuk rumusan delik. Yang parah secara empiris, kenapa terhadap
pembuat kejahatan subyeknya mereka yang tertindas, penegak hukum berlomba
mencari kesalahan atau bahkan merekayasa kesalahan namun ketika subjeknya kaum
berkuasa para penegak hukum malah berlomba mengurangi kesalahan dan merekayasan
kebenaran.
Ini
tidak lepas dari tujuan dari sistem hukum sipil itu. Sistem hukum sipil yang
sekarang berkembang di negara ketiga dan bekas jajahan merupakan karya para
imperalis untuk menekan rakyatnya ketika berbuat salah, dan sebaliknya. Hal ini
tentu saja bertujuan untuk melangggengkan kekuasaan. Lihat saja KUHPerdata yang
merupakan peninggalan kolonial, disana masih terdapat pembagian golongan asia,
pribumi, timur jauh, dan barat. Dan terhadap golongan golongan itu diberlakukan
pula regulasi yang berbeda pula. Ini menunjukan dahulu, aroma kepentingan
kolonial yang bertindak sebagai penguasa sangat terasa.
Terlebih
dalam peradilan, masyarakat tidak dilibatkan. Seakan akan hal ini sudah dimonopoli
saja, mulai dari penyidikan sampai vonis masyarakat tidak mengambil peran
penting dalam hal ini. Memang ada pengacara yang siap membela terdakwa, namun
tetap saja peranya sebatas memberi nasihat dan pledoi. Berbeda dalam sistem
anglo saxon, kuasa hukum atau pengacara juga punya kewenangan menyidik suatu
kasus, maka dari itu muncul istilah detektif yang independen dari kepolisian,
dan istilah detektif ini tidak dikenal dalam sistem hukum Sipil. Penuntut umum
yang dalam Sistem Sipil dimonopoli jaksa dalam sistem anglo saxon bisa
dijalankan oleh masyarakat yang terlibat sengketa.
***
Kualitas
penegak hukum memang tidak lepas dari struktur dari pembangunan hukum itu
sendiri. Lawrence M. Friedman berpendapat setidaknya yang berpengaruh dalam
pembangunan hukum diantaranya Substance (
Isi / materi hukum) structure (Penegak
hukum) , dan Culture (Budaya Hukum).
Ketiganya masih belum mencapai tahap memuaskan dalam kenyataan empirisnya,
sehingga dalam hal ini perlu perombakan cukup mendasar baik secara substansi
maupun formal dalam konstruksi pembangunan hukum itu sendiri.
Isi
/ materi Hukum yang berlaku banyak yang belum menunjukan tahap keadilan yang
diharapkan, terbukti dengan banyaknya Judicial
Review pada MK, menunjukan produk hukum belum memenuhi tuntutan keadailan
masyarakat. Pernah dalam suatu diskusi, penulis mendapati sebuah opini bahwa
mental legislator (DPR/DPRD) adalah mental para pengusaha, mental pengusaha
adalah mental yang selalu berbicara untung dan rugi. Jikalau untung bagi rakyat
tak apa, namun ketika berbicara untuk keuntungan kelompok maupun pribadi. Apa
yang mau dikata.
Penelitian
yang dilakukan Kuskirdo Ambardho lebih mencengangkan lagi. Beberapa Faksi dalam
DPR yang seharusnya berpotensi pro dan kontra dalam beberapa kepentingan karena
perbedaan ideologis menjadi mentah ketika berbicara hal yang cukup basah, UU
BUMN, UU Perburuhan menjadi satu contoh apa yang dinamakan beliau sebagai
kartel politik.
Dan,
penegakan hukum juga ada dalam titik nadir, seteleh dibahas cukup panjang kita
bisa menyimpulkan lembaga peradilan yang diharapkan leader dalam penegakan hukum malah lumpuh dihadapan penguasa dan
uang. Miss pemahaman hukum yang nir
keadilan membuat mereka terperosok dalam lingkaran kesesatan, dan ketika
dipahamkan tentang adanya moral dan etika yang menjadi sukma hukum, para
penegak hukum selalu mengelak bahwa mereka sudah ada di jalur hukum yang benar.
Dan mungkina ini model manusia keempat ala Al Ghazali, Roojulun laa yadri, wa
la yadri annahu la yadri, (orang yang tidak tahu, dan tidak tahu bahwa mereka
sebenarnya tidak tahu)
Budaya
hukum yang mencakup pemahaman konsep masyarakat kepada hukum itu sendiri malah
masih dalam tahap anomi atau malah
apatis sekalipun, masyarakat jadi enggan memahami hukum secara baik dan benar,
selain melihat kualitas substansi materi Hukum yang keberpihakanya pada kaum
penguasa, kualitas penegak hukum pun masih memprihatinkan, mereka yang
seharusnya menjadikan hukum itu tegak dan berpihak pada keadilan dan kebenaran
malah berpihak pada yang berpunya.
SUMBER
PUSTAKA
Dimyati,
Khudzaifah dan Kelik Wardiono, Pola
pemikiran hukum responsif : Studi atas pembangunan ilmu hukum di Indonesia, Penelitian
Hibah Bersaing Tahun II Kontrak: 180/SP3/PP/DP3M/II/2006
Pamungkas,
EA, 2010. Peradilan Sesat, Yogyakarta
: Navila Idea
MD,
Mahfudz. Demokrasi dan Peradilan, disampaikan
pada Dinner Lecture yang diselenggarakan oleh Komisi Indonesia untuk Demokrasi
(KID) di Hotel Ciputra Surabaya, 27 November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar