Minggu, 08 Desember 2013

Uchiha Itachi


“Itachi kau benar benar mengingatkanku pada diriku yang dulu…” ucap kabuto
“dan itulah kenapa kau akan kalah” ucap itachi
“Kau tahu aku bukan lagi orang yang melihat dari pojokan sekarang… tapi akulah tokoh utama dalam perang ini sekarang.. aku memanfaatkan akatsuki,bahkan berhadapan dengan uchiha bersaudara” ucap kabuto.
“Aku merasa kau itu sangat berbeda denganku” ucap itachi yang bangun perlahan
“tapi di waktu yang sama, aku bersimpati padamu…. Pada akhirnya kau adalah seorang mata-mata dan kau hidup dalam dunia kebohongan dimana seharusnya kau berada…sebenarnya aku juga tak bisa memahami siapa aku sebenarnya’’ ucap itachi.
“dan sekarang aku merasa, bisa mengetahui siapa aku sebenarnya mungkin ini merupakan kunci menuju jalan kesempurnaan…karena itu berarti aku akan mengetahui apa yang bisa dan apa yang tak bisa aku lakukan?”
“hah, itu adalah kata-kata yang dikatakan oleh seorang pecundang’’ ucap kabuto. “bukankah mencaritahu apa yang tak bisa kau lakukan adalah sama dengan menyerah” lanjutnya.
“tidak kau salah” ucap itachi.. “itu berarti  untuk memaafkan dirimu sendiri atas apa yang tak bisa kau lakukan” jelas itachi
“teman temanmu ada untuk mengisi apa yang tak bisa kau lakukan… dan untuk mencegah kau menolak apa yang padahal bisa kau lakukan’’ itachi teringat akan naruto
“kalau kau ingin tahu siapa dirimu yang sebenarnya, kau harus melihat dirimu sendiri dan mengetahui apa yang kau lihat .. itulah yang tak bisa aku lakukan .. aku berbohong pada orang lain dan bahkan pada diriku”ucap itachi.
“_” kabuto terdiam
“ dan seseorang yang tak bisa mengetahui dirinya sendiri berarti berarti orang yang gagal.. sama seperti aku dimasa lalu’’ ucap itachi
***
               
                Siapa yang tak kenal dengan Natsir muda, genteng, cerdas, halus retorikanya, dialah Yusril Ihza Mahaendra, satu diantara tokoh yang membuat SBY gentar dengan logika hukumnya. Pria kelahiran belitung ini begitu menginspirasi baik dalam pemikiran maupun retorika cerdasnya. Tak jarang, aku sering menjiplak gayanya dari segi pemikiran dan perkataan.
                Siapa pula yang tak kenal dengan Lionel Messi, pemuda kelahiran Rosario, Argentina 26 tahun yang lalu. La Pulga atau si kutu, begitu media menjulukinya telah mengangkangi eropa dengan tubuh 169 cmnya. Ia bagaikan david diantara puluhan Goliath yang kelelahan dipermainkanya. Permainan La Pulga tak jarang pula kujiplak dalam permainan lapangan hijau.
                Nusantara ini pula pernah punya Virgiawan Listanto, akrab disapa Iwan Fals. Karyanya tak lekang sepanjang masa, bahkan salah satu tembangnya diganjar majalah Rolling Stone sebagai lagu terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Dari bento, pesawat tempur, sampai dengan kemesraan begitu meresap dalam darah ini ketika kuputar tembangnya. Aku merasa bersama Sawung Jabo, Toto Tewel, atau Inoeng Noersaid saat berjingkrak menyanyikan tembangnya.
                Kadang, dalam sejenak waktu, aku sering terseret fantasi masa kecilku. Kadang, dalam sesaat, aku merasa berdiri diatas tebing curam. Aku merasa berbaju zirah dan berambut gondrong, tiba tiba kedua telapakku saling bercumbu, dan jemariku saling mengepal. Aku merapal sebuah mantra, tiba tiba potongan potongan kayu besar muncul dari tanah dan mengikat monster besar.
                Kadang, dalam sejenak masa aku merasa menjadi lelaki paruh baya bermata panda, dan begitu misterius, entah pembicaraan maupun perbuatanya. Siapa yang memandang mataku yang merah, seketika ia mematung dan masuk kedalam dunia ilusi. Mata saktiku juga kadang terlalu jahat bagi nyamuk nyamuk yang ingin menyambung hidupnya, ia kadang terbakar api hitamku yang tak mungkin padam.
                Dan terkadang aku masih mencari siapa faizal dan dimana faizal itu, yang kutahu ia masih dalam pengembaraan mencari karakter diri. Meski dalam pengembaraan, ujian terberatnya adalah dirinya sendiri, ia tak sungkan memungut ratusan karakter untuk bermanifestasi dalam dirinya, ia tak sadar menambah perca bukanlah jalan menuju paripurna. Menambah perca dalam pakaian karakternya adalah jalan yang semakin jauh dari pencarian karakter diri.
                Disaat yang lain sibuk memoles pakaian karakternya, dan merajut mutiara bersanding zamrud hijau disulam bersatu di pakaian kebesaranya. Ia memoles pakaianya dengan perca perca yang semakin menunjukan kedhaifanya, ia ingin dilihat sebagai kaum tertindas dengan pakaian tambal sulam percanya. Agar orang lain semakin simpatik terhadapnya.
                Namun sebenarnya Ia tahu jalan menuju karakter diri adalah membuang perca perca itu, dan pergi ke cermin kehidupan, yaitu syukur. Ia harus memandang diri betapa paripurnanya yang kuasa dalam membentuk diri, ia juga harus percaya, kekurangan yang sering ia anggap sebuah ketidakadilan adalah sebuah dikotomi peran dari tuhan untuk saling membentuk puzzle. Ia tahu semua hamba punya hak sama dimata tuhan, namun dalam dimensi sosial subjeksi ketidakadilan sering menutup kesadaran adanya dikotomi peran dari tuhan.
Kegalauan karakter ini ada dalam diri faizal bukanlah fenomena pada Sophie Amunsend, tokoh fiktif yang mencari entitas eksistensialnya. Ia bagai menafikan keberadaan tuhan dengan lontaran kritis tak berbobotnya. Faizal sendiri telah bersaksi bahwa penggerak yang tidak bergerak adalah yang maha kuasa, yang maha bijaksana, yang maha agung lagi perkasa, ialah Allah Azza wa Jalla.

***
“kalau kabuto mau menerima takdir dan tidak menjadi orang lain, maka ia akan mampu keluar dari izanami” ucap itachi lagi.
‘’kalau ia bisa lolos, kenapa kau menggunkanya padanya??” sasuke bertanya.
“dia memiliki banyak kesamaan dengan aku dimasa lalu.. dia selalu percaya kalau ia bisa melakukan segalanya dan berpikir kalau tak ada yang mustahil baginya, karena itulah dia takut akan gagal dan terus menerus mencobanya..”ucap itachi
“ aku salah karena tak pernah mempercayai kekuatan orang lain, kabuto salah karena menganggap kekuatan orang lain sebagai kekuatanya.. aku bisa mengerti perasaanya, kami berdua sama dipermanikan oleh dunia shinobi ini.. dan kami sama sama tidak bisa memaakan dan mengetahui diri  sendiri.. apa yang ia lakukan adalah salah.. tapi hanya menyalahkan dia juga adalah hal yang salah.. jadi aku ingin dia menyadari semua itu sebelum ia mati.. tak seperti aku…”
***
                Bagiku Membangun karakter diri tak ubahnya pencarian dan pengembaraan seorang ksatria mencari musuh abadinya, yang tak disangka ada dalam dirinya sendiri. Ia hunuskan pedang di lambung naga, ia penggal leher samurai, ia robek nadi raja yang dholimi rakyatnya, namun ia menuhankan syahwat, yang sebenarnya adalah musuhnya.
                Tak sadar dalam keseharian, diri ini kadang menjadi ruang simulakrum dari karakter orang lain. rekaan, rekayasa, dan tiruan ada dalam diri kita sendiri, baik oleh sebuah citra nyata maupun virtual. Alienasi modernitas ini membuat seorang menihilkan diirnya sendiri, dan memilih menjadi rekaan dan ruang bagi kreasi citra citra diluar dirinya.
                Proses menemukan jatidiri terbentur ribuan karakter yang hidup melalui tanda tanda yang ada, otak yang terhipnotis dan terbingkai tentang sebuah nilai, kemudian terhanyut dalam citraan karakter itu, jadilah otak tak segan menumbuhkan stimulan di level esoteris untuk kemudian menimbulkan kedhaifan yang berakibat inferioritas diri dihadapan citraan citraan itu. Naudzubillah
SOLO, 9 Desember 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar