“Itachi kau benar benar mengingatkanku pada diriku yang
dulu…” ucap kabuto
“Kau tahu aku bukan lagi orang
yang melihat dari pojokan sekarang… tapi akulah tokoh utama dalam perang ini
sekarang.. aku memanfaatkan akatsuki,bahkan berhadapan dengan uchiha
bersaudara” ucap kabuto.
“Aku merasa kau itu sangat berbeda denganku” ucap itachi
yang bangun perlahan
“tapi di waktu yang sama, aku
bersimpati padamu…. Pada akhirnya kau adalah seorang mata-mata dan kau hidup
dalam dunia kebohongan dimana seharusnya kau berada…sebenarnya aku juga tak
bisa memahami siapa aku sebenarnya’’ ucap itachi.
“dan sekarang aku merasa, bisa
mengetahui siapa aku sebenarnya mungkin ini merupakan kunci menuju jalan
kesempurnaan…karena itu berarti aku akan mengetahui apa yang bisa dan apa yang
tak bisa aku lakukan?”
“hah, itu adalah kata-kata yang
dikatakan oleh seorang pecundang’’ ucap kabuto. “bukankah mencaritahu apa yang
tak bisa kau lakukan adalah sama dengan menyerah” lanjutnya.
“tidak kau salah” ucap itachi..
“itu berarti untuk memaafkan dirimu
sendiri atas apa yang tak bisa kau lakukan” jelas itachi
“teman temanmu ada untuk mengisi
apa yang tak bisa kau lakukan… dan untuk mencegah kau menolak apa yang padahal
bisa kau lakukan’’ itachi teringat akan naruto
“kalau kau ingin tahu siapa
dirimu yang sebenarnya, kau harus melihat dirimu sendiri dan mengetahui apa
yang kau lihat .. itulah yang tak bisa aku lakukan .. aku berbohong pada orang
lain dan bahkan pada diriku”ucap itachi.
“_” kabuto terdiam
“ dan seseorang yang tak bisa
mengetahui dirinya sendiri berarti berarti orang yang gagal.. sama seperti aku
dimasa lalu’’ ucap itachi
***
Siapa
yang tak kenal dengan Natsir muda, genteng, cerdas, halus retorikanya, dialah
Yusril Ihza Mahaendra, satu diantara tokoh yang membuat SBY gentar dengan
logika hukumnya. Pria kelahiran belitung ini begitu menginspirasi baik dalam
pemikiran maupun retorika cerdasnya. Tak jarang, aku sering menjiplak gayanya
dari segi pemikiran dan perkataan.
Siapa
pula yang tak kenal dengan Lionel Messi, pemuda kelahiran Rosario, Argentina 26
tahun yang lalu. La Pulga atau si kutu, begitu media menjulukinya telah
mengangkangi eropa dengan tubuh 169 cmnya. Ia bagaikan david diantara puluhan
Goliath yang kelelahan dipermainkanya. Permainan La Pulga tak jarang pula
kujiplak dalam permainan lapangan hijau.
Nusantara
ini pula pernah punya Virgiawan Listanto, akrab disapa Iwan Fals. Karyanya tak
lekang sepanjang masa, bahkan salah satu tembangnya diganjar majalah Rolling
Stone sebagai lagu terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Dari bento, pesawat
tempur, sampai dengan kemesraan begitu meresap dalam darah ini ketika kuputar
tembangnya. Aku merasa bersama Sawung Jabo, Toto Tewel, atau Inoeng Noersaid
saat berjingkrak menyanyikan tembangnya.
Kadang,
dalam sejenak waktu, aku sering terseret fantasi masa kecilku. Kadang, dalam
sesaat, aku merasa berdiri diatas tebing curam. Aku merasa berbaju zirah dan
berambut gondrong, tiba tiba kedua telapakku saling bercumbu, dan jemariku
saling mengepal. Aku merapal sebuah mantra, tiba tiba potongan potongan kayu
besar muncul dari tanah dan mengikat monster besar.
Kadang,
dalam sejenak masa aku merasa menjadi lelaki paruh baya bermata panda, dan
begitu misterius, entah pembicaraan maupun perbuatanya. Siapa yang memandang
mataku yang merah, seketika ia mematung dan masuk kedalam dunia ilusi. Mata
saktiku juga kadang terlalu jahat bagi nyamuk nyamuk yang ingin menyambung
hidupnya, ia kadang terbakar api hitamku yang tak mungkin padam.
Dan
terkadang aku masih mencari siapa faizal dan dimana faizal itu, yang kutahu ia
masih dalam pengembaraan mencari karakter diri. Meski dalam pengembaraan, ujian
terberatnya adalah dirinya sendiri, ia tak sungkan memungut ratusan karakter
untuk bermanifestasi dalam dirinya, ia tak sadar menambah perca bukanlah jalan
menuju paripurna. Menambah perca dalam pakaian karakternya adalah jalan yang
semakin jauh dari pencarian karakter diri.
Disaat
yang lain sibuk memoles pakaian karakternya, dan merajut mutiara bersanding
zamrud hijau disulam bersatu di pakaian kebesaranya. Ia memoles pakaianya
dengan perca perca yang semakin menunjukan kedhaifanya, ia ingin dilihat
sebagai kaum tertindas dengan pakaian tambal sulam percanya. Agar orang lain
semakin simpatik terhadapnya.
Namun
sebenarnya Ia tahu jalan menuju karakter diri adalah membuang perca perca itu,
dan pergi ke cermin kehidupan, yaitu syukur. Ia harus memandang diri betapa
paripurnanya yang kuasa dalam membentuk diri, ia juga harus percaya, kekurangan
yang sering ia anggap sebuah ketidakadilan adalah sebuah dikotomi peran dari
tuhan untuk saling membentuk puzzle.
Ia tahu semua hamba punya hak sama dimata tuhan, namun dalam dimensi sosial
subjeksi ketidakadilan sering menutup kesadaran adanya dikotomi peran dari
tuhan.
Kegalauan
karakter ini ada dalam diri faizal bukanlah fenomena pada Sophie Amunsend,
tokoh fiktif yang mencari entitas eksistensialnya. Ia bagai menafikan
keberadaan tuhan dengan lontaran kritis tak berbobotnya. Faizal sendiri telah
bersaksi bahwa penggerak yang tidak bergerak adalah yang maha kuasa, yang maha
bijaksana, yang maha agung lagi perkasa, ialah Allah Azza wa Jalla.
***
“kalau kabuto mau menerima takdir dan tidak menjadi orang
lain, maka ia akan mampu keluar dari izanami” ucap itachi lagi.
‘’kalau ia bisa lolos, kenapa kau menggunkanya padanya??”
sasuke bertanya.
“dia memiliki banyak kesamaan
dengan aku dimasa lalu.. dia selalu percaya kalau ia bisa melakukan segalanya
dan berpikir kalau tak ada yang mustahil baginya, karena itulah dia takut akan
gagal dan terus menerus mencobanya..”ucap itachi
“ aku salah karena tak pernah
mempercayai kekuatan orang lain, kabuto salah karena menganggap kekuatan orang
lain sebagai kekuatanya.. aku bisa mengerti perasaanya, kami berdua sama
dipermanikan oleh dunia shinobi ini.. dan kami sama sama tidak bisa memaakan
dan mengetahui diri sendiri.. apa yang
ia lakukan adalah salah.. tapi hanya menyalahkan dia juga adalah hal yang
salah.. jadi aku ingin dia menyadari semua itu sebelum ia mati.. tak seperti
aku…”
***
Bagiku
Membangun karakter diri tak ubahnya pencarian dan pengembaraan seorang ksatria mencari
musuh abadinya, yang tak disangka ada dalam dirinya sendiri. Ia hunuskan pedang
di lambung naga, ia penggal leher samurai, ia robek nadi raja yang dholimi
rakyatnya, namun ia menuhankan syahwat, yang sebenarnya adalah musuhnya.
Tak
sadar dalam keseharian, diri ini kadang menjadi ruang simulakrum dari karakter
orang lain. rekaan, rekayasa, dan tiruan ada dalam diri kita sendiri, baik oleh
sebuah citra nyata maupun virtual. Alienasi modernitas ini membuat seorang
menihilkan diirnya sendiri, dan memilih menjadi rekaan dan ruang bagi kreasi
citra citra diluar dirinya.
Proses
menemukan jatidiri terbentur ribuan karakter yang hidup melalui tanda tanda
yang ada, otak yang terhipnotis dan terbingkai tentang sebuah nilai, kemudian
terhanyut dalam citraan karakter itu, jadilah otak tak segan menumbuhkan
stimulan di level esoteris untuk kemudian menimbulkan kedhaifan yang berakibat
inferioritas diri dihadapan citraan citraan itu. Naudzubillah
SOLO, 9 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar