Langit masih gelap, tepatnya
mendekati pagi. Lantunan muadzin menyerukan kemenangan untuk mengahadap sang illah mengemuka. Aku masih dalam dekapan
selimut biruku, aku berjudi malam tadi tidak berbantal selimut, karena kurasa
malam itu kurasa amatlah dingin. Lantunan adzan selesai, aku mencoba terlelap
kembali. Kondisi fisik yang tereduksir memaksa kasur tipisku melambai untuk
bercumbu denganya di sisa pagi ini, kuturuti saja. tidak lama, alarm HP ku
kembali berbunyi memanggilku untuk tinggalkan alam mimpi.

Aku melambaikan tangan di
pinggir jalan, sebuah bus hijau mendekat memberi sinyal akan menepi
menjemputku. Sekitar 6 jam berlalu, pantatku mengakrabi bangku bus. Ongkos
hampir tujuh puluh ribu sudah aku keluarkan dari kocekku untuk mengganjar rasa
rinduku pada kampung halaman. Sampailah aku di Randudongkal, kota kecil destinasi terakhir sebelum kakiku
menginjak tanah desaku.
Seorang pria tua dengan sepeda
inventaris kantornya menepi, kaca helm hitamnya menutupi wajahnya. Celana
diatas lutut yang ia kenakan berwarna putih seragam dengan kaos bulutangkisnya
yang berkerah. Ia adalah ayahku, pria 50 tahun yang telah 20 tahun ini
memberiku kasih sayang rela menempuh satu kilo menjemputku. Aku tersenyum dan
langsung memboncengnya, dan berlalu meninggalkan randudongkal ini.
***
Hari itu hari minggu, karibku,
Nendy mengajak aku Liqo. Pria ini memang fenomenal di desaku. Ia sudah
mempunyai tiga anak, dan sudah dua kali menikah. Dari tampangnya ia memang
masih muda dan baby face, tak nampak
di pundaknya tersemat tanggung jawab berat. Ia bekerja di sebuah bengkel mobil,
padahal latar belakanganya tamatan SMA jurusan Bahasa. Namun yang ia punya
ialah tekad yang kuat, sebelum di bengkel ia juga bekerja di bengkel las.
Sore yang cerah itu, ia mengajak
kembali aku Liqoan, semacam majelis melingkar yang mempertemukan kami dengan murabbi , yang bertugas menyampaikan
materi dakwah. Tentang Liqoan ini aku sudah memulai sejak SMP, berawal dari
ketidaksengajaan sebuah minggu pagi yang cerah ketika si kulit bundar akrab
dengan kaki telanjangku, aku diajak teman mengunjungi “pengajian” katanya. Aku
nurut saja, dan dari itulah aku sudah mulai aktif didakwahi.
Liqoan
kali ini Aku diajak nendy ke daerah belik, daerah yang lebih tinggi dari tempat
tinggalku, sebuah daerah yang lumayan dingin dan berkrisis air. Namun hasil
buah nanasnya terkenal sekolong nusantara, tak heran beberapa minggu yang lalu,
koran kompas sempat singgah di kota belik indah nan sejuk ini. Dan tak lupa Jaket
tebal pun aku siapkan menuju tempat ini.
Sesampai disana, ternyata kami
datang terlambat. Kami disambut anggota liqoan yang baru, ia bernama saefudin.
Mantan TKI di jepang yang melanjutkan Liqoan di negeri sakura. Pengalaman di
pabrik otomotif dan beberapa segmen kehidupan di jepang, termasuk pendakian ke
gunung fuji dan budaya disiplin ala nippon membuat wawasanku semakin luas dan
lengkap.
Di akhir acara lIqo ini, aku
tidak bisa menyembunyika rasa galauku selama ini. Aku ingin mempunyai peluru
lagi, aku tidak ingin mensiasiakan peluru yang telah kubuang. Namun aku tidak
ingin sembarang memilih peluru, jangan sampai aku malah mendapat bumerang.
Dengan sedikit malu, aku dengan malu bertanya pada murabbiku,” dad, organisasi
yang paling baik apa, IMM apa HMI?”. Kebetulan di Fakultasku, basic HMI lumayan
kuat. Sehingga nama organisasi tua ini tidak asing di telinga ini.
“jangan IMM, mending HMI saja”,
ujarnya singkat. Aku hanya mengamini saja, dan terus berpikir ini mungkin
jawaban yang final dari pencarian peluru peluru baruku yang siap dilesakkan.
Aku pun sudah menyimpan jawaban ini, kebetulan aku juga dekat secara personal
dengan kakanda kakanda HMI, dan pada akhirnya aku, sami’na wa ato’na.
Sebelum menyentuh hari H
keberangkatanku ke Solo, sore itu kampungku ditelan hujan yang lumayan deras.
Sayup Adzan Maghrib memanggilku ke Mushalla, segelas kopi dan sebuah film
separuh rampung kutinggalkan di ruang tamu. Menunggu iqomah, sesosok pria
bercelana training menggunakan hem krem duduk disebelahku, Lukman namanya,
jenius otaknya, dan sederhana penampilanya.
Sepertinya satu desa tidak ada
yang ingkar tentang kejeniusan Lukman. Mengingat penilaian jelata hanya melihat
dari jenjang pendidikanya saja, dan kebetulan di desaku ini hanya lukman yang
sedang berkarier di Pasca Sarjana, gelar sarjana sudah bejibun jumlahnya. Dan
memang lukman itu secerdas ayahnya, meski hanya jualan kelontong, masalah
pengobatan dialah rajanya.
Ada hal yang cukup menggelitik
di hatiku, apa salahnya bertanya
padanya, pertanyaan yang kulontarakan pun sama dengan yang kulontarkan
pada Murabbiku, namun suara yang halusnya mengubah persepsiku. “mending ikut KAMMI
saja, kalau kamu pengen nglanjutin (Liqoan)” ujarnya. Dalam benakku, aku hanya
melewatkan jawabanya ke telinga kiri, karena aku telah siap dengan Slogan
Yakusa.
Tepat sore sebelum aku mengemasi
barang dan menuju kota bengawan, Nendy seperti biasa mengahampiriku untuk
berangkat Liqoan. Seperti biasa kami harus menuju dataran yang lebih tinggi
dari daerah kami. Maklum kami harus mengalah pada peserta lain, karena
mayoritas berasal dari daerah tersebut, termasuk juga murabbiku. Namun kuakui
ia lebih flesksibel, kemanapun kami berkonsesi tempat untuk Liqo ia hanya
mengangguk saja.
Murabbiku seorang Guru SD,
namanya Sofana, ia juga teman dari ibuku sesama pengajar sekolah dasar. Pola
interaksi kami tentu lebih akrab lagi, sekilas dari hidupnya memang menarik,
beristri satu dan beranak 6 dan juga berpotensi menambah lagi membuatku kagum,
dengan mengurus anak sebanyak itu, ia masih harus bolak balik mengisi kajian
kajian dakwah. Istrinya pun tak kalah jauh semangatnya dalam ikut berdakwah
pula.
***
Kami tiba dengan sambutan adzan
maghrib, liqoan mereka terhenti ketika kami datang. Dengan salam dan senyum
ramah, kami disambut salam dan senyum yang tak kalah ramah pula. Namun karena
sayup iqamah telah memanggil, liqoan pun terhenti sejenak, kami menuju mushalla
yang ada di sebelah barat tempat liqoanku.
Selesai shalat kukira materi
inti yang akan disampaikan sang murabbiku. Ternyata, forum sudah selesai dengan
forum intinya, tinggalah acara basa basi dilanjutkan. Tidak seperti materi
utama yang kadang terlalu formal dan kaku, forum basa basi lebih menjurus ke
hal hal yang lebih enteng untuk dibicarakan. Mulai dari bisnis, jodoh,
pekerjaan, Partai Politik dan sebagainya. kuakui aku termuda dalam forum itu,
maklum semua berstatus pekerja, aku masih mahasiswa. sehingga lawan diskusiku
yang menjurus ke ranah akademis sulit kutemui termasuk murabbiku.
“Oh ya zal,terkait pertanyaan
kamu kemarin tentang organisasi yah?” tanya murabbiku sambil menyeruput teh.
“oh ya Tadz bener” ujarku
menimpali seraya mengunyah tempe goreng yang tersedia.
“Kemarin aku sudah konsultasi, lebih baik kamu ikut
Kammi”
***
Ditulis
di Tepian Malam,
Sukoharjo,
23 Juli 2013
Faizal
Adi Surya, Penikmat Kuliner Ketan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar