Senin, 12 Agustus 2013

AKU YANG TERSADAR DAN BERGERAK (Peluru itu bernama KAMMI – Part 1)


              Langit masih gelap, tepatnya mendekati pagi. Lantunan muadzin menyerukan kemenangan untuk mengahadap sang illah mengemuka. Aku masih dalam dekapan selimut biruku, aku berjudi malam tadi tidak berbantal selimut, karena kurasa malam itu kurasa amatlah dingin. Lantunan adzan selesai, aku mencoba terlelap kembali. Kondisi fisik yang tereduksir memaksa kasur tipisku melambai untuk bercumbu denganya di sisa pagi ini, kuturuti saja. tidak lama, alarm HP ku kembali berbunyi memanggilku untuk tinggalkan alam mimpi.
                Cepat dan singkat, setelah tengadah beristighfar pada Illah ku. Aku bergegas mandi. Terasa ganjil memang, karena biasanya mandi pagiku ketika mentari sudahlah tinggi, kali ini ia belum nampak tersenyum padaku, aku sudahlah bercengkrama dengan segarnya air pagi. Maklum, hari ini aku harus pulang menuntaskan rasa rinduku ke Pemalang. Kota kecil di Pantura, kota yang dianggap mati, namun masih berpenghuni.
                Aku melambaikan tangan di pinggir jalan, sebuah bus hijau mendekat memberi sinyal akan menepi menjemputku. Sekitar 6 jam berlalu, pantatku mengakrabi bangku bus. Ongkos hampir tujuh puluh ribu sudah aku keluarkan dari kocekku untuk mengganjar rasa rinduku pada kampung halaman. Sampailah aku di Randudongkal,  kota kecil destinasi terakhir sebelum kakiku menginjak tanah desaku.
                Seorang pria tua dengan sepeda inventaris kantornya menepi, kaca helm hitamnya menutupi wajahnya. Celana diatas lutut yang ia kenakan berwarna putih seragam dengan kaos bulutangkisnya yang berkerah. Ia adalah ayahku, pria 50 tahun yang telah 20 tahun ini memberiku kasih sayang rela menempuh satu kilo menjemputku. Aku tersenyum dan langsung memboncengnya, dan berlalu meninggalkan randudongkal ini.
***
                Hari itu hari minggu, karibku, Nendy mengajak aku Liqo. Pria ini memang fenomenal di desaku. Ia sudah mempunyai tiga anak, dan sudah dua kali menikah. Dari tampangnya ia memang masih muda dan baby face, tak nampak di pundaknya tersemat tanggung jawab berat. Ia bekerja di sebuah bengkel mobil, padahal latar belakanganya tamatan SMA jurusan Bahasa. Namun yang ia punya ialah tekad yang kuat, sebelum di bengkel ia juga bekerja di bengkel las.
                Sore yang cerah itu, ia mengajak kembali aku Liqoan, semacam majelis melingkar yang mempertemukan kami dengan murabbi , yang bertugas menyampaikan materi dakwah. Tentang Liqoan ini aku sudah memulai sejak SMP, berawal dari ketidaksengajaan sebuah minggu pagi yang cerah ketika si kulit bundar akrab dengan kaki telanjangku, aku diajak teman mengunjungi “pengajian” katanya. Aku nurut saja, dan dari itulah aku sudah mulai aktif didakwahi.
Liqoan kali ini Aku diajak nendy ke daerah belik, daerah yang lebih tinggi dari tempat tinggalku, sebuah daerah yang lumayan dingin dan berkrisis air. Namun hasil buah nanasnya terkenal sekolong nusantara, tak heran beberapa minggu yang lalu, koran kompas sempat singgah di kota belik indah nan sejuk ini. Dan tak lupa Jaket tebal pun aku siapkan menuju tempat ini.
                Sesampai disana, ternyata kami datang terlambat. Kami disambut anggota liqoan yang baru, ia bernama saefudin. Mantan TKI di jepang yang melanjutkan Liqoan di negeri sakura. Pengalaman di pabrik otomotif dan beberapa segmen kehidupan di jepang, termasuk pendakian ke gunung fuji dan budaya disiplin ala nippon membuat wawasanku semakin luas dan lengkap.
                Di akhir acara lIqo ini, aku tidak bisa menyembunyika rasa galauku selama ini. Aku ingin mempunyai peluru lagi, aku tidak ingin mensiasiakan peluru yang telah kubuang. Namun aku tidak ingin sembarang memilih peluru, jangan sampai aku malah mendapat bumerang. Dengan sedikit malu, aku dengan malu bertanya pada murabbiku,” dad, organisasi yang paling baik apa, IMM apa HMI?”. Kebetulan di Fakultasku, basic HMI lumayan kuat. Sehingga nama organisasi tua ini tidak asing di telinga ini.
                “jangan IMM, mending HMI saja”, ujarnya singkat. Aku hanya mengamini saja, dan terus berpikir ini mungkin jawaban yang final dari pencarian peluru peluru baruku yang siap dilesakkan. Aku pun sudah menyimpan jawaban ini, kebetulan aku juga dekat secara personal dengan kakanda kakanda HMI, dan pada akhirnya aku, sami’na wa ato’na.
                Sebelum menyentuh hari H keberangkatanku ke Solo, sore itu kampungku ditelan hujan yang lumayan deras. Sayup Adzan Maghrib memanggilku ke Mushalla, segelas kopi dan sebuah film separuh rampung kutinggalkan di ruang tamu. Menunggu iqomah, sesosok pria bercelana training menggunakan hem krem duduk disebelahku, Lukman namanya, jenius otaknya, dan sederhana penampilanya.
                Sepertinya satu desa tidak ada yang ingkar tentang kejeniusan Lukman. Mengingat penilaian jelata hanya melihat dari jenjang pendidikanya saja, dan kebetulan di desaku ini hanya lukman yang sedang berkarier di Pasca Sarjana, gelar sarjana sudah bejibun jumlahnya. Dan memang lukman itu secerdas ayahnya, meski hanya jualan kelontong, masalah pengobatan dialah rajanya.
                Ada hal yang cukup menggelitik di hatiku, apa salahnya bertanya  padanya, pertanyaan yang kulontarakan pun sama dengan yang kulontarkan pada Murabbiku, namun suara yang halusnya mengubah persepsiku. “mending ikut KAMMI saja, kalau kamu pengen nglanjutin (Liqoan)” ujarnya. Dalam benakku, aku hanya melewatkan jawabanya ke telinga kiri, karena aku telah siap dengan Slogan Yakusa.
                Tepat sore sebelum aku mengemasi barang dan menuju kota bengawan, Nendy seperti biasa mengahampiriku untuk berangkat Liqoan. Seperti biasa kami harus menuju dataran yang lebih tinggi dari daerah kami. Maklum kami harus mengalah pada peserta lain, karena mayoritas berasal dari daerah tersebut, termasuk juga murabbiku. Namun kuakui ia lebih flesksibel, kemanapun kami berkonsesi tempat untuk Liqo ia hanya mengangguk saja.
                Murabbiku seorang Guru SD, namanya Sofana, ia juga teman dari ibuku sesama pengajar sekolah dasar. Pola interaksi kami tentu lebih akrab lagi, sekilas dari hidupnya memang menarik, beristri satu dan beranak 6 dan juga berpotensi menambah lagi membuatku kagum, dengan mengurus anak sebanyak itu, ia masih harus bolak balik mengisi kajian kajian dakwah. Istrinya pun tak kalah jauh semangatnya dalam ikut berdakwah pula.
***
                Kami tiba dengan sambutan adzan maghrib, liqoan mereka terhenti ketika kami datang. Dengan salam dan senyum ramah, kami disambut salam dan senyum yang tak kalah ramah pula. Namun karena sayup iqamah telah memanggil, liqoan pun terhenti sejenak, kami menuju mushalla yang ada di sebelah barat tempat liqoanku.
                Selesai shalat kukira materi inti yang akan disampaikan sang murabbiku. Ternyata, forum sudah selesai dengan forum intinya, tinggalah acara basa basi dilanjutkan. Tidak seperti materi utama yang kadang terlalu formal dan kaku, forum basa basi lebih menjurus ke hal hal yang lebih enteng untuk dibicarakan. Mulai dari bisnis, jodoh, pekerjaan, Partai Politik dan sebagainya. kuakui aku termuda dalam forum itu, maklum semua berstatus pekerja, aku masih mahasiswa. sehingga lawan diskusiku yang menjurus ke ranah akademis sulit kutemui termasuk murabbiku.
                “Oh ya zal,terkait pertanyaan kamu kemarin tentang organisasi yah?” tanya murabbiku sambil menyeruput teh.
                “oh ya Tadz bener” ujarku menimpali seraya mengunyah tempe goreng yang tersedia.
                “Kemarin  aku sudah konsultasi, lebih baik kamu ikut Kammi”
***
                Ditulis di Tepian Malam,
                Sukoharjo, 23 Juli 2013

                Faizal Adi Surya, Penikmat Kuliner Ketan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar