Kapanlagi.com |
Kasus demikian setidaknya
memperkuat pandangan umum masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia, bahwasanya
penegakan hukum memang demikian parahnya. Hal utama biasanya diarahkan kepada
para advokat yang dalam melakukan profesinya kadang dipandang sebelah mata,
untuk apa orang salah dibela, advokat yang membela koruptor juga koruptor itu
sendiri, dan masih banyak lagi segelintir pertanyaan yang terlintas dalam
pikiran kita terhadap profesi advokat itu sendiri.
Salah satu reformasi pembangunan
hukum itu sendiri, selain Pembuatan Hukum (making
of law), Pelaksanaan Hukum (Administration
of law), dan Penegakan Hukum (Enforcement
law) juga tentang adanya Pendidikan dan Sosialisasi Hukum. Kaitanya dengan
tulisan ini, saya berharap proses pendidikan Hukum bisa dijalankan, karena
fungsi yang lain jelas tidak bisa dilaksanakan, karena harus ada legitimasi
dari penguasa untuk menjalankan fungsi itu. Alhasil, sebagai akademisi kita
mungkin “sebatas” memberi pencerahan kepada masyarakat tentang sosialisasi
hukum itu sendiri, karena bagaimanapun,
semua fungsi yang disebutkan harus berjalan secara terarah dan
berkesinambungan, jika tidak proses pembangunan hukum niscaya sulit diwujudkan.
****
Salah satu proses pembangunan
hukum ialah penegakan hukum. Penegakan hukum bisa diliat dari arti luas dan
dari arti sempit. Dari arti luas, penegakan hukum bisa berarti proses bagaimana
caranya sebuah aturan bisa ditegakan atau berlaku dengan seharusnya. Sebaliknya
dalam arti sempit, penegakan hukum bisa berarti proses peradilan yang
dijalankan mulai dari proses di Kepolisian sampai di tingkat peradilan yang
dijalankan hakim, jaksa, dan advokat.
Berdasar pasal 24 UUD 1945 kekuasaan
kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ialah
kekuasaan yang merdeka dan bebas dari intervensi untuk bisa mewujudkan
penegakan hukum dan keadilan. Untuk menjalankan penegakan tersebut,
diperlukanlah profesi advokat yang jujur adil dan bertanggungjawab dalam
rangkaian penegakan hukum itu sendiri(Jimly Asshidiqie : 2008).
Proses peradilan yang dimulai
dari penyidikan oleh kepolisian, kemudian dilimpahkan ke kejaksaan untuk
dilakukan proses pendakwaan yang dihadiri oleh majelis hakim dan advokat yang
berfungsi mendampingi terdakwa. Dalam proses sidang, jaksa yang menjadi wakil
dari pemerintah berperan menghukum para terdakwa, kemudian ada advokat atau
pengacara yang menjadi pendamping melakukan pembelaan terhadap terdakwa, dan
hakimlah yang memutuskan perkara tersebut. Jikalau salah satu, dari para
penegak hukum itu tiada, tentu akan terjadi ketimpangan dalam proses penegakan
hukum itu sendiri, misalnya saja advokat tiada, tentu akan terjadi kesewenang
wenangan negara dalam menghukum rakyatnya.
Terus bagaimana kalau klien
advokat adalah koruptor, bukankah koruptor menjadi musuh reformasi kini. Ia
adalah menyakiti hati rakyat. Dan tentu saja para advokat telah dibayar dengan
uang selangit dengan uang hasil korupsi untuk dibebaskan dari peradilan. Dan
sama saja advokat mendapatkan uang haram. Tentu saja ini pemikiran yang sangat
keliru, lucunya seorang professor dalam bidang hukum lah yang melontarkan
pernyataan demikian.
Tersangka korupsi bukanlah
koruptor, untuk mengerti statusnya terbukti sebagai koruptor atau tidak hanya
lewat jalur putusan hakim. Ketika ia sudah mendapat putusan tetap, ia tidak
mendapat hak pendamping hukum, kecuali ia mengajukan upaya hukum entah itu
banding, kasasi ataupun peninjauan kembali. Pemikiran membela orang salah
adalah semacam Vonis dini, dan umumnya hanya berdasar pandangan umum (common sense) masyarakat yang bisa
terbentuk dengan frame media yang
bisa saja dipolitisir dan dipelintir. Dan vonis dini semacam demikian tidaklah
bisa dijadikan pijakan seseorang mengadili seseorang yang lain, jalur yang sah
adalah lewat putusan hakim.
Dan Vonis dini memang sebuah
pemikiran yang benar benar keliru, instrumen penegak hukum tidak bisa lepas
dari kesalahan. Misal saja dalam sebuah kasus, jaksa yang tugasnya menuntut dan
mendakwa seseorang bersekongkol dengan wakil bupati yang ingin menjatuhkan
bupati dengan kasus korupsi, otomatis jika bupati dijebloskan ke lapas, ia
melanggeng menjadi Bupati. Dan ketikakasus demikian tidak ada alasan untuk
tidak dibela.
Terkait fee yang diberikan kepada para Advokat pada dasarnya ia merupakan
kesepakatan antara klien dengan advokat itu sendiri, begitu juga nominalnya.
Terkait fee dari para klien yang
ditetapkan sebagai tersangka korupsi haruslah dipahamkan bahwa profesi advokat
ialah sama dengan profesi mulia lainya, semacam dokter, akuntan, dan psikolog.
Apakah etis profesi semacam ketika menghadapi klien seorang tersangka korupsi
kemudian ditanya, pak apakah uang yang bapak bayarkan pada saya adalah uang
hasil korupsi. Begitu juga ketika anda seorang pedagang, seorang tersangka
korupsi membeli barang anda, apakah anda akan berkata demikian tadi. Selain
tidak etis, fee adalah bagian dari
hak kita sebagai entitas yang profetik.
Dan
adagium “maju tak gentar bela yang bayar” memang ada benarnya, profesi advokat
tentu membela mereka yang membayar untuk dipakai jasanya, dan yang tak bisa
membayar?, tentu dibela pula, hal ini ditegaskan dalam UU No 16 tahun 2011 yang
menyatakan terhadap terdakwa yang tidak kuat membayar jasa advokat diberi
bantuan hukum secara Cuma Cuma dari
pemerintah, hal ini untuk menjamin tegaknya konstitusi dan penegakan hukum itu
sendiri. Lalu apakah service yang diberikan Cuma Cuma dengan yang membayar
apakah sama, tentu tidak ada ukuran kualitas pemberian service tersebut. Intinya, dalam proses peradilan yang menentukan
benar atau tidaknya adalah majelis hakim itu sendiri, bukan advokat. Kalau saja demikian persepsi kita, paling
tidak kita haruskan menyiakan barang bukti kita, karena barang buktilah yang
biasanya dijadikan bukti kuat di peradilan, dan tentu saja argumen advokat
hanya pendukung, dan yang menentukan tetaplah hakim.
Mengenai
perspektif advokat yang membela koruptor adalah koruptor itu sendiri adalah
pemikiran yang keliru. Ditegaskan dengan pasal 18 ayat (2) UU 18 Tahun 2003
tentang Advokat yang menyatakan,” Advokat tidak dapat diidentikkan dengan
Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau
masyarakat”. Jelas advokat tidak bisa disamakan dengan Klienya, advokat adalah
profesi yang bebas dan mandiri. Ia tidak
bisa diintervensi oelh siapapun dalam melakukan pembelaan terhadap klienya. Dan
kembali, advokat adalah profesi mulia, sama dengan dokter, akuntan, dan
psikolog. Dengan mengikuti logika berfikir demikian, dokter yang mengobati
penyakit koruptor adalah sama koruptor pula, akuntan yang mengaudit harta koruptor
juga koruptor pula. Sungguh ironi, ketika seorang pakar hukum dan guru besar
pula, cara berpikirnya demikian.
Meski
demikian kita tidak bisa menutup kenyataan yang ada di dunia advokasi. Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme memang masih cukup subur dalam dunia advokasi sendiri.
kita tidak bisa memungkiri, banyak advokat yang tertangkap tangan sedang
melakukan negoisasi dengan penegak hukum lain, baik jaksa, hakim, sampai saksi
ahli untuk menentukan “sandiwara” pengadilan. Namun demikian, tidak bisa
mempersepsikan profesi advokat seenaknya sendiri, karena ini adalah pemikiran
yang keliru, negara ini adalah negara hukum, semua instrumen penegak hukum
harus sesuai dengan regulasi yang berlaku. Terlebih, kita juga tidak bisa
menafikan ada advokat yang bisa berlaku bersih dan tetap ideal dengan nurani
mereka, dan tidak semua advokat
sejahtera layaknya Hotma Paris, ada juga Advokat yang masih berjuang dengan
kesulitan hidupnya.
***
William Shakespeare dalam
dramanya yang berjudul Cade’s Rebellion pernah mengatakan “Let’s kill all the lawyer”, dalam dramanya ia berpesan kepada para
penguasa yang diktatoriat agar membunuh para advokat terlebih dahulu sebelum
membunuh para lawan politiknya. Dari ungkapan Shakespeare kita bisa memandang
peran advokat sangat penting dalam
sebuah negara, penguasa yang diktatoriat adala antitesa dari pemerintahan
yang demokratis, yang ditandai dengan tegaknya konstitusi hukum yang terus
dijaga oleh para advokat. Sebagai fakta nyata, Prof Sahetapy, seorang guru
besar emiritus dari Unair ketika ILC pernah terheran heran dengan banyaknya
sarjana hukum yang berlomba lomba mengambil jurusan tata negara saat reformasi
ini, sebelumnya orang orang enggan mengambil jurusan tata negara saat orde
baru. Pada intinya, proses penegakan hukum dalam arti sempit maupun luas, tidak
akan bisa berjalan dengan baik ketika salah satu instrumen hukum pula tidak
berjalan baik.
Dan menjadi advokat bukanlah hal
mudah, selain memiliki kecerdasan dalam penguasaan materi hukum, aspek moral
dan nurani juga harus menjadi landasan para penegak hukum untuk bisa
menjalankan profesinya dengan baik. Dalam bukunya yang berjudul,”Kontroversi
hukuman mati”, Todung Mulya Lubis, ketika menerima klien terpidana mati kasus
narkoba untuk mengajukan Judicial Review kepada
MK, juga tidak langsung menerima, bersama Alexander lay ia harus mendapat
tentangan dan makian dari rekan seprofesi sesama advokat, dari keluarga dan
teman, dan lebih menyulitkan, ia harus mendapat tentangan dari nuraninya sendiri.
Dan perlu dipahami Advokat
adalah profesi mulia, sebagaimana profesi lainya semacam dokter, akuntan,
ataupun Psikolog. Dan ternyata, Rasulullah SAW adalah advokat yang handal
semasa hidupnya. Rasulullah membela hak hak orang kecil yang difitnah dan
ditindas oleh kekuasaan. Satu contoh, saat abu jahal pernah mengambil sebuah
keranjang milik pedagang Yahudi, dan ia tak berani melawan Abu Jahal, dan ia melapor
kepada Rasulullah. Dan Rasulullah langsung menghadap abu jahal untuk membela
pedagang yahudi itu, dan abu jahal memberikan pada Rasulullah, seketika
pedagang Yahudi itu masuk Islam.
Sikasur, 12 Agustus
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar