Senin, 12 Agustus 2013

Potret Pespektif profesi Advokat


Kapanlagi.com
                Tidak lama kita melihat kasus seorang pengacara terkenal, Hotma Sitompul digelandang ke KPK sebagai saksi, hal ini tidak jauh dari kasus yang melibatkan salah satu anak buahnya yang terindikasi terlibat kasus suap dengan anggota MA. Hotma diberitakan lebih banyak diam saat para kuli tinta memintai keterangan dari Beliau.
                Kasus demikian setidaknya memperkuat pandangan umum masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia, bahwasanya penegakan hukum memang demikian parahnya. Hal utama biasanya diarahkan kepada para advokat yang dalam melakukan profesinya kadang dipandang sebelah mata, untuk apa orang salah dibela, advokat yang membela koruptor juga koruptor itu sendiri, dan masih banyak lagi segelintir pertanyaan yang terlintas dalam pikiran kita terhadap profesi advokat itu sendiri.
                Salah satu reformasi pembangunan hukum itu sendiri, selain Pembuatan Hukum (making of law), Pelaksanaan Hukum (Administration of law), dan Penegakan Hukum (Enforcement law) juga tentang adanya Pendidikan dan Sosialisasi Hukum. Kaitanya dengan tulisan ini, saya berharap proses pendidikan Hukum bisa dijalankan, karena fungsi yang lain jelas tidak bisa dilaksanakan, karena harus ada legitimasi dari penguasa untuk menjalankan fungsi itu. Alhasil, sebagai akademisi kita mungkin “sebatas” memberi pencerahan kepada masyarakat tentang sosialisasi hukum itu sendiri,  karena bagaimanapun, semua fungsi yang disebutkan harus berjalan secara terarah dan berkesinambungan, jika tidak proses pembangunan hukum niscaya sulit diwujudkan.
****
                Salah satu proses pembangunan hukum ialah penegakan hukum. Penegakan hukum bisa diliat dari arti luas dan dari arti sempit. Dari arti luas, penegakan hukum bisa berarti proses bagaimana caranya sebuah aturan bisa ditegakan atau berlaku dengan seharusnya. Sebaliknya dalam arti sempit, penegakan hukum bisa berarti proses peradilan yang dijalankan mulai dari proses di Kepolisian sampai di tingkat peradilan yang dijalankan hakim, jaksa, dan advokat.
                Berdasar pasal 24 UUD 1945 kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ialah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari intervensi untuk bisa mewujudkan penegakan hukum dan keadilan. Untuk menjalankan penegakan tersebut, diperlukanlah profesi advokat yang jujur adil dan bertanggungjawab dalam rangkaian penegakan hukum itu sendiri(Jimly Asshidiqie : 2008).
                Proses peradilan yang dimulai dari penyidikan oleh kepolisian, kemudian dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan proses pendakwaan yang dihadiri oleh majelis hakim dan advokat yang berfungsi mendampingi terdakwa. Dalam proses sidang, jaksa yang menjadi wakil dari pemerintah berperan menghukum para terdakwa, kemudian ada advokat atau pengacara yang menjadi pendamping melakukan pembelaan terhadap terdakwa, dan hakimlah yang memutuskan perkara tersebut. Jikalau salah satu, dari para penegak hukum itu tiada, tentu akan terjadi ketimpangan dalam proses penegakan hukum itu sendiri, misalnya saja advokat tiada, tentu akan terjadi kesewenang wenangan negara dalam menghukum rakyatnya.
                Terus bagaimana kalau klien advokat adalah koruptor, bukankah koruptor menjadi musuh reformasi kini. Ia adalah menyakiti hati rakyat. Dan tentu saja para advokat telah dibayar dengan uang selangit dengan uang hasil korupsi untuk dibebaskan dari peradilan. Dan sama saja advokat mendapatkan uang haram. Tentu saja ini pemikiran yang sangat keliru, lucunya seorang professor dalam bidang hukum lah yang melontarkan pernyataan demikian.
                Tersangka korupsi bukanlah koruptor, untuk mengerti statusnya terbukti sebagai koruptor atau tidak hanya lewat jalur putusan hakim. Ketika ia sudah mendapat putusan tetap, ia tidak mendapat hak pendamping hukum, kecuali ia mengajukan upaya hukum entah itu banding, kasasi ataupun peninjauan kembali. Pemikiran membela orang salah adalah semacam Vonis dini, dan umumnya hanya berdasar pandangan umum (common sense) masyarakat yang bisa terbentuk dengan frame media yang bisa saja dipolitisir dan dipelintir. Dan vonis dini semacam demikian tidaklah bisa dijadikan pijakan seseorang mengadili seseorang yang lain, jalur yang sah adalah lewat putusan hakim.
                Dan Vonis dini memang sebuah pemikiran yang benar benar keliru, instrumen penegak hukum tidak bisa lepas dari kesalahan. Misal saja dalam sebuah kasus, jaksa yang tugasnya menuntut dan mendakwa seseorang bersekongkol dengan wakil bupati yang ingin menjatuhkan bupati dengan kasus korupsi, otomatis jika bupati dijebloskan ke lapas, ia melanggeng menjadi Bupati. Dan ketikakasus demikian tidak ada alasan untuk tidak dibela.
                Terkait fee yang diberikan kepada para Advokat pada dasarnya ia merupakan kesepakatan antara klien dengan advokat itu sendiri, begitu juga nominalnya. Terkait fee dari para klien yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi haruslah dipahamkan bahwa profesi advokat ialah sama dengan profesi mulia lainya, semacam dokter, akuntan, dan psikolog. Apakah etis profesi semacam ketika menghadapi klien seorang tersangka korupsi kemudian ditanya, pak apakah uang yang bapak bayarkan pada saya adalah uang hasil korupsi. Begitu juga ketika anda seorang pedagang, seorang tersangka korupsi membeli barang anda, apakah anda akan berkata demikian tadi. Selain tidak etis, fee adalah bagian dari hak kita sebagai entitas yang profetik.
Dan adagium “maju tak gentar bela yang bayar” memang ada benarnya, profesi advokat tentu membela mereka yang membayar untuk dipakai jasanya, dan yang tak bisa membayar?, tentu dibela pula, hal ini ditegaskan dalam UU No 16 tahun 2011 yang menyatakan terhadap terdakwa yang tidak kuat membayar jasa advokat diberi bantuan hukum  secara Cuma Cuma dari pemerintah, hal ini untuk menjamin tegaknya konstitusi dan penegakan hukum itu sendiri. Lalu apakah service  yang diberikan Cuma Cuma dengan yang membayar apakah sama, tentu tidak ada ukuran kualitas pemberian service tersebut. Intinya, dalam proses peradilan yang menentukan benar atau tidaknya adalah majelis hakim itu sendiri, bukan advokat.  Kalau saja demikian persepsi kita, paling tidak kita haruskan menyiakan barang bukti kita, karena barang buktilah yang biasanya dijadikan bukti kuat di peradilan, dan tentu saja argumen advokat hanya pendukung, dan yang menentukan tetaplah hakim.
Mengenai perspektif advokat yang membela koruptor adalah koruptor itu sendiri adalah pemikiran yang keliru. Ditegaskan dengan pasal 18 ayat (2) UU 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan,” Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat”. Jelas advokat tidak bisa disamakan dengan Klienya, advokat adalah profesi yang bebas dan mandiri.  Ia tidak bisa diintervensi oelh siapapun dalam melakukan pembelaan terhadap klienya. Dan kembali, advokat adalah profesi mulia, sama dengan dokter, akuntan, dan psikolog. Dengan mengikuti logika berfikir demikian, dokter yang mengobati penyakit koruptor adalah sama koruptor pula, akuntan yang mengaudit harta koruptor juga koruptor pula. Sungguh ironi, ketika seorang pakar hukum dan guru besar pula, cara berpikirnya demikian.
Meski demikian kita tidak bisa menutup kenyataan yang ada di dunia advokasi. Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme memang masih cukup subur dalam dunia advokasi sendiri. kita tidak bisa memungkiri, banyak advokat yang tertangkap tangan sedang melakukan negoisasi dengan penegak hukum lain, baik jaksa, hakim, sampai saksi ahli untuk menentukan “sandiwara” pengadilan. Namun demikian, tidak bisa mempersepsikan profesi advokat seenaknya sendiri, karena ini adalah pemikiran yang keliru, negara ini adalah negara hukum, semua instrumen penegak hukum harus sesuai dengan regulasi yang berlaku. Terlebih, kita juga tidak bisa menafikan ada advokat yang bisa berlaku bersih dan tetap ideal dengan nurani mereka,  dan tidak semua advokat sejahtera layaknya Hotma Paris, ada juga Advokat yang masih berjuang dengan kesulitan hidupnya.
***
                William Shakespeare dalam dramanya yang berjudul Cade’s Rebellion pernah mengatakan “Let’s kill all the lawyer”, dalam dramanya ia berpesan kepada para penguasa yang diktatoriat agar membunuh para advokat terlebih dahulu sebelum membunuh para lawan politiknya. Dari ungkapan Shakespeare kita bisa memandang peran advokat sangat penting dalam  sebuah negara, penguasa yang diktatoriat adala antitesa dari pemerintahan yang demokratis, yang ditandai dengan tegaknya konstitusi hukum yang terus dijaga oleh para advokat. Sebagai fakta nyata, Prof Sahetapy, seorang guru besar emiritus dari Unair ketika ILC pernah terheran heran dengan banyaknya sarjana hukum yang berlomba lomba mengambil jurusan tata negara saat reformasi ini, sebelumnya orang orang enggan mengambil jurusan tata negara saat orde baru. Pada intinya, proses penegakan hukum dalam arti sempit maupun luas, tidak akan bisa berjalan dengan baik ketika salah satu instrumen hukum pula tidak berjalan baik.
                Dan menjadi advokat bukanlah hal mudah, selain memiliki kecerdasan dalam penguasaan materi hukum, aspek moral dan nurani juga harus menjadi landasan para penegak hukum untuk bisa menjalankan profesinya dengan baik. Dalam bukunya yang berjudul,”Kontroversi hukuman mati”, Todung Mulya Lubis, ketika menerima klien terpidana mati kasus narkoba untuk mengajukan Judicial Review kepada MK, juga tidak langsung menerima, bersama Alexander lay ia harus mendapat tentangan dan makian dari rekan seprofesi sesama advokat, dari keluarga dan teman, dan lebih menyulitkan, ia harus mendapat tentangan  dari nuraninya sendiri.
                Dan perlu dipahami Advokat adalah profesi mulia, sebagaimana profesi lainya semacam dokter, akuntan, ataupun Psikolog. Dan ternyata, Rasulullah SAW adalah advokat yang handal semasa hidupnya. Rasulullah membela hak hak orang kecil yang difitnah dan ditindas oleh kekuasaan. Satu contoh, saat abu jahal pernah mengambil sebuah keranjang milik pedagang Yahudi, dan ia tak berani melawan Abu Jahal, dan ia melapor kepada Rasulullah. Dan Rasulullah langsung menghadap abu jahal untuk membela pedagang yahudi itu, dan abu jahal memberikan pada Rasulullah, seketika pedagang Yahudi itu masuk Islam.

Sikasur, 12 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar