Kamis, 25 April 2013

MEMBANGUN ETOS KERJA PADA ORGANISASI



            Etos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja. Maka secara umum pendapat beliau, etos didasari dari norma norma budaya yang melekat pada tiap individu, maka pada dasarnya etos itu berasal dari dalam diri seseorang itu sendiri.
            Dalam berorganisasi, etos kerja sangat menentukan kinerja seseorang melaksanakan tuga dan kewajibanya. Jika ia dalam kondisi beretos tinggi, sangat besar kemungkinan banyak pekerjaan yang bisa terselesaikan dengan mudah, namun sebaliknya jika kondisi jiwanya dalam keadaaan etos kerja yang kurang maksimal, maka besar kemungkinan juga kinerjanya dalam melaksanakan tugas juga menurun.
            Banyak faktor faktor yang mempengaruhi etos kerja seseorang, namun secara garis besar hanya dibedakan menjadi dua saja, yaitu faktor dari diri seseorang atau Intern dan Faktor dari luar dirinya atau Ekstern.
            Faktor intern, adalah faktor yang ideal dalam membentuk etos kerja seseorang .Mulai dari motif, kecintaan, dan keikhlasan dalam melaksanakan tugasnya. Pada hakikatnya ialah segala sesuatu atau kehendak yang berasal dari dirinya.  Faktor ini memang bisa langsung dikaitkan dengan etos kerja itu sendiri, dimana etos kerja itu memang pada dasarnya berasal dari kemauan dan motif yang ada dalam diri seseorang untuk bisa menunjukan eksistensi etos kerjanya.
            Dalam hal ini, motif juga hal penting. Motif dalam berorganisasi, juga mempengaruhi kinerjanya. Misal motifnya adalah mencari keuntungan dari organisasi itu sendiri, ketika organisasi sudah mentok tidak bisa memberi posisi menguntungkan, bisa saja kinerjnya menurun, namun sebaliknya, ketika ia terus mendapat keuntungan materi, tentu kinerjanya berpotensi meningkat.
            Selain, itu yang tidak kalah penting ialah Faktor ekstern, atau faktor yang ada diluar kehendak seseorang dalam melakukan sesuatu. Faktor lingkungan dan atmosfir bisa menjadi hal yang tidak bisa dilewatkan. Lingkungan kerja yang kondusif dan mendukung untuk bisa sukses bisa mendorong seseorang menunjukan etos kerjanya yang super, begitu juga dengan atmosfir kerja yang kompetitif, yang menghendaki persaingan. Malah melahirkan pejuang pejuang etos kerja yang handal.
            Hal ini berdasarkan studi empiris, terhadap beberapa peserta diskusi ketika menjalani proses belajar mengajar di sekolah dulu. Lingkungan yang kondusif untuk bisa sukses, menjadikan seseorang terpacu untuk maju, sebaliknya lingkungan yang cenderung negativ melahirkan etos kerja yang mandul. Atmosfir pun demikian, atmosfir yang kompetitif membuat seorang terpacu untuk bisa bersaing dan menang, dan atmosfir yang pragmatis dan kaku malah membuat etos semangat meredup.
            Secara logika, faktor Intern dan ekstern haruslah berhubungan dan berkaitan, dan juga berkesinambungan. Jika dalam hal ini menginginkan etos kerja yang baik, Motif seseorang yang membara jika ada dalam lingkungan yang kaku, malah membuat semangatnya padam. Resiko terpengaruh begitu besarnya, dan lingkungan yang kondusif serta atmosfir yang kompetitif tanpa adanya etos semangat dalam tiap individu menjadi sebuah ketidakmungkinan.

KODE ETIK JURNALISTIK



            Profesi berbeda dengan pekerjaan, jika pekerjaan, hubungan dengan pihak lain adalah vertikal atau atas bawah, misal buruh dengan majikan. Berbeda dengan profesi, alur atau pola dengan pihak lain adalah horizontal atau sejajar, tidak ada yang mendominasi, tidak ada majikan dan tidak ada buruh. Prinsipnya adalah keprofesionalan dan tidak ada yang saling mempengaruhi.
            Hampir sama dengan berbagai profesi yang ada, seperti Dokter, Advokat, atau seorang Psikolog. Jurnalis tentunya mempunyai sebuah kode etik. Sebuah kumpulan aturan aturan yang mengatur segala pekerjaan pekerjaan yang dilakukan jurnalis tiap harinya. Hal ini juga berlaku untuk profesi yang lain, Advokat memiliki UU No 3 tahun 2003 yang mengandung kode etik advokat itu sendiri.
            Kode etk jurnalistik berisi tentang norma norma seorang jurnalis dalam menjalankan pekerjaanya. Norma ini pada dasarnya berujud etika, yang mengatur tungkah laku para jurnalis dalam pekerjaan, ia adalah batasan batasan bagi para jurnalis itu sendiri dalam berbuata sesuatu.
            Pada dasarnya kode etik jurnalistik berhubungan juga dengan teknik reportase dari jurnalis itu sendiri. Karena kode etik tidak terlepas dari tindak tanduk para jurnalis dalam memperoleh data dari para narasumber. Kode etik adalah mekanisme formil dari para jurnalis dalam mengakses data dari narasumber.
            Namun dalam zaman serba materialisme ini, telah banyak terjadi pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik yang telah dibuat ini. salah satu penyebabnya, selain karena sempitnya masa deadline hingga menjadikan para jurnalis apapun caranya dan apaun hasilnya. Juga karena media mainstream terlalu berafilisi pada materi hingga keberimbangan berita dinomor sekiankan, dan  keuntungan materi diutamakan.
            Perang berita antar media sekarang menjadi fenomena tersendiri, hal ini tidak lepas dari siapa dan apa kepentingan dibelakangnya. Kepentingan pemilik modal seharusnya hanya terbatas pada sisi manajemen perusahaan saja, tidak sampai ke redaksi. Namun, sisi manajemen perusahaan pun punya kesinambungan 
dengan redaksi. Redaksi dalam memproduksi tentu membutuhkan biaya cetak dari perusahaan, dan disinilah kepentingan itu bermain. 
            Tentu saja hal ini selain melanggar dan menciderai kode etik pers, juga mencedarai hakikat Pers pada dasarnya yaitu keindependensian atau keterlepasan media dari berbagai tekanan dan intervensi dalam keberimbangan sebuah berita. Namun dalam hal ini, hal itu tidaklah terjadi hingga muncul beberapa masalah yang tidak diinginkan. Seperti kerugian nama baik seseorang misalnya akibat nilai sebuah pemberitaan. Tentu media mainstream sudah bisa mengntisipasi hal hal ini, hal hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Seperti Jawapos yang mempunyai tim ombudsman khusus dalam hal hal yang tak diinginkan Ombudsman berfungsi untuk menjembatani antara redaksi dan pihak pihak yang bermasalah dengan pemberitaan.
            Ditambah dalam perjalanan mengahadapi masalah yang demikian biasanya media media yang belum memiiki tim khusus yang menjembatani antara redaksi dan pihak pihak yang bermasalah lebih memilih dewan pers untuk menjembatani mereka. Dewan pers bergaung namanya ketika akhir akhir ini bisa memediasai konflik yang melibatkan media.
Namun ini hanyalah mekanisme dari sudut pandang mediasi saja, jika di meja hijaukan hal ini bisa saja terjadi, dan di pengadilan tinggal menunggu keputusan dari majelis hakim saja untuk menentukan siapa yang bersalah atau tidak. Dalam sejarah banyak kasus media yang dimejahijaukan, yang cukup fenomenal adalah Kasus Majalah Times vis a vis mantan presiden Soeharto. Dalam hal ini, Soeharto tidak terima dengan pemberitaan Majalah Times tentang harta kekayaan beliau di berbagai negara, dengan berbagai pertimbangan, tim kuasa hukum majalah Times yang digawangi Todung Mulya lubis bisa mengalahkan Presiden Soeharto di pengadilan Negeri Jakarta.

PERSMA DAN DOUBLE ORGANISASI



Persma atau Pers Mahasiswa adalah sebuah wadah bagi mahasiswa yang mempunyai minat dalam hal tulis menulis, reportase dan sebagainya, selagi kaitanya dengan Pers itulah persma. Namun dalam perkemabanganya ia tumbuh dan berkemabang tidak hanya menjadi wahana edukasi saja, dalam satu titik ia menjadi sebuah media alternatif, ketika media mainstream sudah menjadi kepanjangan tangan dari politikus, maka Persma adalah satu satunya media yang mampu bersikap Pers pada hakikatnya.
Dalam perkemabanganya ia juga tak lepas dari masalah masalah kontemporer, salah satunya adalah duoble organisasi atau berkarier lebih dari satu oragnisasi. Dalam beberapa hal, ini menjadi hal yang cukup tabu, ditambah di satu kaki ia ada di Pers yang menginkan sebuah indepedensi, namun dikaki yang lain ia ada dalam sebuah organisasi ia dituntut memiliki idealisme yang cukup tinggi.
Hal ini bisa menjadi hambatan ia dalam berkarier di Persma, paling tidak dalam dirinya pertempuran hati adalah sebuah keniscayaan. Bahkan ada sebuah asumsi yang mengatakan, anggota Persma yang berkarier lebih dari satu organisasi akan dipertanyakan lagi independensinya, begitu juga punismentnya. Bahkan ada suatu kecurigaan bahwa mereka yang berkarier lebih dari satu Organisasi tidak lagi punya Independensi lagi terkait posisinya sebagai Anggota Persma. Apalagi mereka yang berkecimpung di Perpolitikan Kampus atau pergerakan mahasiswa seperti HMI, KAMMI, IMM, GMII, PMII, PP, dsb dianggap sebagai kepanjangan politik mereka, dan bukan tak mungkin Media Persma menjadi politic will  mereka juga.
Dan pada kenyataanya, dalam AD ART beberapa Persma menyikapi hal ini dalam wilayah yang abu abu, antara iya atau tidaknya masih dipertanyakan. Lebih miris ketika beberapa punggawa penting pers itu adalah mereka juga adalah juga berkarier di lain organisasi, meski dalam beberapa keputusan dan kebijakan pertimbanganya benar benar independen, namun tidak bisa lepas dari stigma, dan hal ini mengahambat proses independsi dari pers itu sendiri.
Namun, begitulah bagian kehidupan ia selalu memajang Pro dan Kontra. Tak selamanya berkarier lebih dari satu Organsasi itu jelek, dan bukanlah suatu masalah yang akan mengganggu keloyalitasan dan keindependisinya sebagai anggota dari Persma itu sendiri.  Namun masalah kemilitansian dan keloyalan bisa menjadi tak menjadi masalah ketika ia sudah punya prinsip dan tujuan yang jelas dari apa yang ia pilih yaitu berkarier di lebih satu organisasi.
Bahkan kaitanya dengan anggota Persma yang berkarier juga di perpolitikan kampus, dilihat dari sudut pandang lain, malah menjadi sebuah kabar positif, bagaimana tidak posisinya ia dalam kancah perpolitikan akan membuat medianya lebih mudah mengakses informasi dan isu apa yang telah terjadi, dan bisa dengan mudah juga menemui mereka mereka yang punya sejuta kepentingan lain. Namun hal ini menjadi catatan, Pemred yang punya wewenang bagaiamana medianya berkembang dan nantinya diterbitkan di kampusnya. Di sisi lain punya kapabilitas yang mumpuni juga haruslah netral dari segala kepentingan, it’s ok bagi anak buahnya yang berkarier lebih dari satu Organisas, namun ia (Pemred) harus murni dari kepentingan untuk  menghindari ia adalah alat Political Will para politisi yang berkepentingan.
Lain lagi halnya dengan masalah idealsime dan indepensi yang bisa menjadi suatu kontradiksi malah bisa sinkron antara pergerakan dengan pers, salah satu fungsi Pers adalah sebagai wadah pengawasan. Dalam negara demokrasi, pengawasan adalah sebuah keniscayaan. Apalagi di era reformasi ini, pengawasan terhadap kinerja lembaga lemabaga negara haruslah diberlakukan dengan tujuan membangun dan kedepanya lebih baik.
Kaitanya mekanisme chek and balances (konteks saling memeriksa dan menyeimbangkan) dalam konteks kemahasiswaan, sungguh disayangkan jika hanya chek and balances dari satu sudut pandang saja, karena semua masalah yang ada tidak bisa diakomodasi. Jika mau jujur, dalam sikap kritis terhadap perpolitikan kampus, politisi kadang lebih tajam analisisnya dari Pers itu sendiri, apalagi mereka yang bertindak sebagai oposisi, harus diakui dan sangat disayangkan ketika sikap kritis itu, hanya berlalu saja. Media dalam hal ini persma paling tidak bisa menjadi wadah mereka yang bersikap kritis.
            Walau bagaimanapun juga, ada sebuah kesimpulan yang menarik yang dianalogikan dalam kehidupan nyata mengenai kontroversi double otganisasi ini. Bahwasnya berkarier lebih dari satu Organisasi bagaikan beristri lebih dari satu. Ia haruslah adil antara keduanya, ia bisa memanage waktu antara keduanya. Namun keadilan sendiri dalam benak beberapa orang sulit terdefinisakan, dan kadang masih terasa ambigu dalam beberapa keadaan, hingga akhirnya pilihan untuk double Organisasi bukanlah pilihan yang salah bukan pula pilihan yang benar. Namun kemabali lagi pada prinsip hidup seseorang, bolehlah ia bisa ikut seratus Organisasi sekaigus, namun ia haruslah punya satu prinsip saja.
Diringkas dari diskusi pada Selasa, 19 Mei 2013 tentang manajemen organisasi

Selasa, 23 April 2013

NEGARA SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

Subjek hukum bisa diartikan dalam arti klasik/penuh dan dalam arti Luas/penuh. Subjek hukum dalam arti klasik/penuh mengartikan subjek hukum sebagai pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum internasional dan hanya terbatas pada negara yang berdaulat saja.
Anggapan bahwa negara adalah satu satunya subjek hukum internasional merupakan suatu anggapan yang wajar sekali dalam keadaan dimana hubungan antarnegara identik dengan hubungan internasional[1]. Istilah hukum antar negara yang hingga kini kadang-kadang masih dipergunakan orang merupakan bukti bahwa ini masih ada penganutnya[2].
Sedang subjek hukum dalam arti luas dan luwes tidak, subjek hukum tidak hanya pemegang dan hak dan kewajiban saja, namun juga mencakup keadaan keadaan dimana yang dimilikinya itu hak hak dan kewajiban kewajiban yang terbatas, dan ruang lingkupnya juga lebih luas, tidak terbatas pada negara saja, namun juga pada negara bagian, individu, organisasi, dan sebagainya.
Dalam sudut pandang lain, kisa melihat bahwa subyek hukum internasional bisa dilihat dari dua sudut, yaitu secara Praktis dan teoritis. Khususnya menyankut tentang keberadaan negara sebagi subjek hukum utama internasional.
Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa subyek hukum sebenarnya hanyalah negara[3]. Meski perjanjian internasional seperti halnya konvensi konvensi palang merah tahun 1949[4] yang memberi hak dan kewajiban tertentu, tapi hak dan kewajiban itu diberikan konvensi secara tidak langsung kepada orang perorang (individu) melalui negara yang menjadi peserta dalam konvensi tersebut.
Secara teoritis pula, Hans Kelsen mengemukakan tentang sebuah teori yaitu “Principles of International Law”. Teori milik beliau mengemukakan bahwa yang dinamakan hak hak dan kewajiban negara sebenarnya adalah hak hak dan kewajiban manusia-manusia yang merupakan anggota masyrakat yang mengorgansir dirinya dalam negara itu. Dalam pandangan theori Kelsen ini negara tidak lain dari pada suatu konstruksi yuridis yang tidak akan mungkin tanpa manusia-manusia anggota masyarakat negara itu.
Berbeda dengan pendekatan secara praktis, pendekatan secara praktis lebih menekan kan pada kenyataan yang ada, baik dilihat dari keadaan masyarakat internasional maupun hukum hukum yang mengaturnya. Fakta atau hukum bisa timbul karena sejarah atau karena desakan kebutuhan perkembangan masyrakat internasional, atau apabila ia merupakan sebuah fakta hukum, bisa juga ada karena memang diadakan oleh hukum itu sendiri.

Negara
J.G Strake dalam Dasar Hukum Internasional[5] mengatakanNegara adalah satu lembaga, yaitu sistem yang mengatur hubungan-hubungan yang ditetapkan oleh dan di antara manusia sendiri, sebagai satu alat untukmencapai tujuan-tujuan yang paling penting diantaranya ialah : satu sistem ketertiban yang menaungi manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatanya.
Negara sebagai subjek hukum internasional juga punya pengertian dalam arti klasik dan dalam arti modern. Dalam arti klasik, negara adalah subjek hukum internasional, hanyalah negara yang berdaulat penuh, atau negara yang tidak lagi tergantung pada negara lain. Dan dalam arti klasik tidak terbatas pada negara yang berdaulat penuh. Melainkan termasuk pula negara bagian, kanton kanton (swiss), protektorat (sudah dihapus dan diganti dengan dewan perwalian PBB), dan dominion (British Commonwealth).
Pembentukan suatu negara yang merupakan subjek penuh hukum internasional diperlukan unsur-unsur konstitutif sebagai berikut :
1.      Penduduk yang tetap
Penduduk merupakan unsur pokok bagi pemebentukan suatu negara. Suatu pulau atau wilayah tanpa penduduk tidak mungkin menjadi suatu negara. Dan dalam unsur kependudukan ini harus ada unsur kediaman secara tetap. Penduduk yang tidak mendiami suatu wilayah secara tetap dan selalu berkelana (nomad) tidak dapat dinamakan penduduk sebagai unsur konstitutif pembentukan wilyaha suatu negara.[6]
Pada umumnya ada tiga cara penetapan kewarganegaraan sesuai hukum nasional yaitu[7] :
a.      Jus Sanguinis
Ini adalah cara penetapan kewarganegaraan melalui keturunan. Menurut cara ini, kewarganegaraan anak ditentukan oleh kewarganegaraan orang tua mereka.
b.      Jus Soli
Menurut sistem ini kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahiranya dan bukan kewarganegaraan orang tuanya.
c.       Naturalisasi
Suatu negara memberikan kemungkinan bagi warga asing untuk memperoleh kewarganegaraan setempat setelah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti setelah mendiami negara tersebut dalam waktu yang cukup lama ataupun melalui perkawinan.
Perlu ditambahkan bahwa hukum internasional tidak mengaharuskan suatu negara hanya terdiri dari suatu bangsa. Hukum internasional tidak melarang suatu negara terdiri dari beberapa bangsa tetapi harus mempunyai kewarganegaraan yang sama. Cukup banyak contoh negara yang multinasional seperti Federasi Rusia, Cina atau sejumlah negara di kawasan Afrika dimana hidup berdampingan berbagai suku dalam negara yang sama.[8]
2.      Wilayah Tertentu
Selain sebuah negara harus mempunyai penduduk, juga suatu negara harus mempunya wilayah untuk ditempati warga manusia tersebut. Namun batas-batas wilayah suatu negara tentunya harus jelas untuk menghindari kemungkinan sengketa dengan negara-negara lain. Bahkan kejelasan batas-batas wilayah ini mutlak karena hanya di atas wilayah itulah dapat berlakunya wewenang suatu negara[9].
3.      Pemerintah
Sebagai sebuah badan hukum, tentu ia hanya dapat bertindak hanya dengan wakil manusia dalam menyalurkan kehendaknya. Ia dapat menjalankan wewenangnya melalui organ organ yang terdiri dari individu-individu.
Bagi hukum internasional suatu wilayah yang  tidak mempunyai pemerintahan tidak dianggap sebagai suatu negara dalam arti kata yang sebenarnya. Yang penting bagi hukum internasional ialah adanya suatu pemerintah dalam suatu negara yang bertindak atas nama negara tersebut dalam hubungan dengan negara negara lainya[10].
Pentingnya pemerintahan dalam sebuah negara, khususnya bagi hukum Internasional ialah ketika sebuah negara tersebut ada dalam masalah. Misal dalam perang saudara, akan ada sebuah pemerintah tandingan, hal ini sulit untuk hukum internasional bisa menyentuh masalah tersebut untuk diselesaikan. Hal ini menyebabkan Hukum Internasional[11].

4.      Kedaulatan
Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentinganya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional[12].
Berdasar pasal 1 Konvensi Montevideo 27 desember 1933 mengenai hak dan kewajiban disebutkan bahwa unsur keempat dalam pembentukan suatu negara adalah capacity to enter into relations with other states atau dengan kata lain adalah kapasitas dirinya dalam berhubungan dengan negara lain. Karena mengikuti perkembangan jaman, unsur kapasitas diganti dengan kedaulatan sebagai unsur keempat pembentukan negara disamping penduduk, wilayah, dan pemerintah.
Negara berdaulat memang menunjukan bahwa negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan tertinggi selain kekuasaanya sendiri. Walaupun demikian kekuasaan yang dimiliki negar bersifat limitatif atau ada batasnya, ruang berlaku kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dibatasi oleh wilayahnya sendiri[13].
Kedaulatan dan kemerdekaan amatlah erat kaitanya, dan ada akibat timbal balik. Suatu negara yang meredeka, dipastikan mempunyai kedaulatan, begitu juga sebaliknya. Kata merdeka lebih diartikan bahwa suatu negara tidak lagi berada di bawah suatu negara tidak lagi berada di bawah kekuasaan asing dan bebas untuk menentukan kebijaksanaan dalam dan luar negerinya dan kata kedaulatan lebih mengutamakan kekuasaan eklusif[14].
Itulah beberapa unsur konstitutif yang diperlukan yang digabungkan untuk menjadi sebuah kesatuan negara. Unsur unsur tersebut harus ada untuk menjadi sebuah negara yang menjadi salah satu subjek hukum internasional. Dan keempat tersebut haruslah lengkap, tidak bisa dipandang secara imparsial atau sepotong potong saja.




[1] Frans E Likadja dan Daniel Bessie, Dasar Hukum Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm 68
[2] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Jakarta, 1976, hlm 89
[3] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar hukum Internasional, Putra Bardin, Jakarta, 1988,hlm 68
[4] Nama resminya adalah Konvensi konvensi Jenewa tahun 1949 tentang perlindungan Korban Perang.
[5] Frans E Likadja dan Daniel Bessie, op cit, hlm 86
[6] Boer Mauna, hukum internasional, Alumni, Bandung, 2001, hlm 17
[7] Ibid, hlm 18
[8] Ibid, hlm 20
[9] Loc cit.
[10] Ibid, hlm 22
[11] Lihat Boer Mauna, Loc cit. Perlu dicatat, bahwa bahwa suatu negara tidak langsung berakhir sekiranya sudah tidak mempunyai pemerintahan yang efektif karena perang saudara atau diduduki pemerintah asing. Somalia yang tidak lagi mempunyai pemerintahan semenjak digulingkanya Presiden Mohammad Siad Barre oleh jenderal Farah Aideed pada tahun 1991 dan organisasi-organisasi regional seperti arab dan OPA.
[12] Ibid, hlm 24
[13] Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Op Cit, hlm 17
[14] Boer Mauna, Loc cit,

Senin, 15 April 2013

Yurisdiksi Negara

Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa hukum. Pada intinya negara memiliki kewenangan untuk mengatur segala lalu lintas orang yang ada dalam wilayah kedaulatanya, juga negara memiliki kekuasaan untuk mengatur benda dan peristiwa hukum yang ada dalam wilayahnya. Peristiwa hukum sendiri ialah peristiwa yang menimbulkan akibat hukum.
Add caption
            Dalam kaitanya dengan kedaulatan, yuridiksi merupakan sebuah implementasi sebuah kedaulatan sebuah negara kepada segala lalu lintas hukum yang terjadi di dalamnya. Dan hal ini juga menyiratkan bahwa urusan domestik suatu negara tidaklah boleh diintervensi oleh negara lain. Prinsip ini berlaku dengan sebuah adagium “Par in parem non  habet imperium” artinya para pihak (negara) yang sama kedudukanya tidak mempunyai yuridiksi terhadap pihak lainya (“equals do not have jurisdiction over each other”.
            Menurut Hans Kelsen, Prinsip Adagium “Par in parem non habet imperium”, memiliki beberapa pengertian. Pertama suatu negara tidak dapat melaksankan jurisdiksi melalui pengadilanya terhadap tindakan tindakan negara lain, kecuali negara tersebut mengijinkanya. Kedua, Suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian Internasional tersebut. Ketiga, Pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan suatu tindakan negara lain yang dilaksanakan dalam wilayahnya.
            Jurisdiksi suatu negara di dalam wilayahnya terbagi atau tergambarkan oleh kekuasaan atau kewenangan negara sebgai berikut :
a.       Kekuasaan pembuat peraturan atau perundangn undangan yang mengatur hubungan atau status hukum orang atau peristiwa peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga acapkali disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau prekripstif.
b.      Kewengana negara untuk melaksanakan atau menegakkan (Enforcer) agar subjek hukum menaati peraturan (hukum). Tindakan pemaksaan ini dilakukan oelh badan eksekutif negara kekuasaan untuk menolak untuk memberikan izin, subsidi, kontrak-kontrak, dan lain lain. Jurisdiksi ini disebut sebagai Jurisdiksi Eksekutif (executive jurisdiction). Ada pula sarjana yang menyebutnya dengan Enforcement Jurisdiction (Jurisdiksi penegakan).
c.       Kekuasaan  (pengadilan) untuk mengadili orang (subjek hukum) yang melanggar peraturan atau perundang undangan. Kekuasaan ini disebut pula sebagai judicial jurisdiction (jurisdiksi pengadilan).
Jurisdiksi dapat dibedakan antara jurisdiksi perdata dan jurisdiksi pidana. Jurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan terhadap perkara-perkara yang mneyngkut keperdataan baik yang bersifat nasional, maupun internasional (yaitu bila para pihak atau objek perkaranya terdapat unsur hukum asing). Jurisdiksi pidana adalah kewenangan (hukum) pengadilan terhadap perkara perkara yang bersifat kepidanaan, baik yang menyangkut di dalamnya unsur asing maupun tidak.
Selain prinsip prinsip “Par in parem non habet imperium” yurisdiksi dapat digolongkan menjadi Jurisdiksi Teritorial, Personal, perlindungan, dan Universal.
a.       Jurisdiksi Teritorial
Menurut prinsip ini, negara mempunyai jurisdiksi terhadap semua persoalan atau kejadian di dalam wilayahnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling penting dan mapan dalam hukum Internasional.
Lord Macmillan dalam Pengantar Hukum Internasional[1] mengatakan, Jurisdiksi teritorial adalah ciri pokok dari kedaulatan dalam batas batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini.
Namun semakin berkembangnya zaman, kemajuan teknolgi juga bertambah pesat. Begitu juga dengan kejahatan yang semakin banyak ragamnya. Kemungkinan kemungkinan kejahatan yang tidak Tercover pun semakin besar, misal saja sebuah kejahatan diwilayah suatu negara namun perencanaanya ada di negara lain. Hingga karena masalah yuridiksi masalah tersebut tidak bisa terselesaikan, walhasil beberapa negara mengatasi itu dengan menetapkan perluasan secara teknis yuridiksi teritorial :
1.      Dengan memberlakukan prinsip teritorial subyektif  (subjective territorial principle ), negara negara ini menjalankan yuridiksinya agar menuntut dan menghukum perbuatan pidana yang dilakukan di dalam wilayahnya, tetapi perbuatan itu diselesaikan atau dituntaskan di wilayah negara lain.
2.      Dengan memberlakuakan prinsip teritorial objektif ( objective territorial principle ), negara negara tertentu menerapkan yurisdiksinya teritorial mereka terhadap perbuatan perbuatan pidana atau perbuatan perbuatan yang dilakukan di negara lain, tetapi :
a. Dilaksanakan atau diselesaikan di dalam wilayah mereka, atau
b. Menimbulkan akibat yang sangat berbahaya terhadap ketertiban sosial dan ekonomi di dalam wilayah mereka.[2]
Contoh :
I.                    Seseorang menembakan senapan di sebarang perbatasan dan menewaskan orang lain yang berada di negara tetangga.
II.                 Seseorang memperoleh uang yang bukan haknya dengan melalui surat yang dikirimkan di Inggris kepada penerima di Jerman.

Prinsip teritorial ini berlaku pada hal hal berikut :
1.      Hak lintas damai di laut teritorial
Prinsip jurisdiksi teritorial yang dimiliki oelh negara pantai sudah diakui sejak lama. Pengakuan dan pengaturan tampak dalam  hasil konferensi kodifikasi hukum laut den haag 1930. Dalam konferensi diakui adanya dua macam jurisdiksi negara pantai atas kapal laut yang berlayar di laut teritorialnya, yaitu jurisdiksi kriminal (pidana) dan jurisdiksi perdata.
2.      Kapal berbendera asing di laut teritorial
Bahwa dalam Konferensi Den haag 1930 telah diakui negara pantai memiliki jurisdiksi pada setiap kapal yang melakukan lintasan di laut teritorialnya. Namun jurisdiksi ini tidaklah berlaku bagi kapal perang dan kapan asing yang menikmati kekebalan.
3.      Pelabuhan
Pelabuhan merupakan bagian dari perairan pedalaman, karena di laut pedalaman itu pula negara berdaulat penuh, maka kedaulatan ini pun berlaku di pelabuhan pelabuhan.

4.      Orang asing
Jurisdiksi teritorial suatu negara terhadap orang asing sama halnya jurisdiksi teritorial negara terhadap negara terhadap warga negaranya. Tidak ada perlakuan khusus yang diberikan kepada orang asing. Pengecualian terhadap yurisdiksi teriorial adalah suatu keadaan yurisdiksi teritorial tidak berlaku (kebal terhadap):
a.       Negara dan Kepala negara asing
b.      Perwakilan diplomatik dan konsuler
c.       Kapal pemerintah negara asing
d.      Angkatan bersenjata negara asing
e.       Organisasi internasional

b.      Jurisdiksi Personal
Menurut prinsip jurisdiksi personal, suatu negara  dapat mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukanya dimana pun juga. Sebaliknya adalah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan diplomatik kepada warga-warganya di luar negeri. Ketentuan ini telah diterima secara universal.
Prinsip Jurisdiksi personel terdiri dari dua bagian, yaitu :
1.      Prinsip Jurisdiksi personel Aktif
Menurut prinsip ini, suatu negara memiliki jurisdiksi terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana di luar negeri. Dalam hal mengadili ini, sudah barang tentu orang tersebut harus diektradisi terlebih dahulu ke negaranya.
Dalam KUHP kita pun demikian, negara berhak menghukum warga negaranya yang melakukan kejahatan di negara lain, lazim kita kenal dengan asas Nasional Aktif.
2.      Prinsip Jurisdiksi personel Pasif
Menurut prinsip ini suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri. Dasar atau landasan dari bentuk yurisdiksi ini adalah keinginan negara untuk memberikan perlindungan dengan warga negaranya.
Contoh : UU perlindungan anti Terrorisme milik Amerika, pada intinya Amerika memiliki jurisdiksi pada siapapun yang melakukan pembunuhan terhadap warga negaranya.

c.       Jurisdiksi Perlindungan
Berdasarkan prinsip juridiksi perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan jurisdiksinya terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas dan kemerdekaan negara. Kejahatan yang dpaat menggulingkan pemerintah, pemalsuan uang, spionase.
Tidak berbeda jauh dalam KUHP kita pun hal ini sudah demikian rupa diatur. Intinya negara berhak mengadakan tuntutan pada siapapun yang mencoba mengganggu kestabilan negara seperti mengadakan provokasi terhadap suku tertentu unutk mengadakan gerakan separatis. Lazim kita kenal dengan Asas Nasional Pasif.

d.      Jurisdiksi Universal
Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang mengancam masyrakata internasional. Jurisdiksi ini lahir tanpa melihat dimana kejahatn dilakukan atau warga negara yang melakukanj kejahatan. Maryan Green berpendapat bahwa terhadap kejahatan-kejahatan seperti ini, selain memiliki jurisdiksi, negara negara pun memiliki hak dan kewajiban untuk menghukumnya. Lahirnya prinsip jurisdiksi universal terhadap jenis kejahatan yang merusak (destruktif)terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili kejahatan yang dilakukan oleh orang-perorangan (indivu).
Beberapa contoh kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan yang tunduk pada prinsip Jurisdiksi universal adalah pembajakan di laut (perompakan) dan kejahtan perang, selain itu lalu lintas penjualan obat obat terlarang, Apartheid juga termasuk di dalamnya.
SUMBER TULISAN
Adolf, Huala. Aspek aspek negara dalam hukum Internasional (Edisi revisi). Jakarta. Raja Grafindo perkasa. 2002
Starke, J.G. Pengantar hukum Internasional (Edisi Kesepuluh). Jakarta. Sinar Grafika. 2008



[1] J.G starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Bandung, 1989, hlm 271
[2] Ibid, hlm 274

Sumber hukum Internasional : Kebiasaan Internasional

Pepatah Kuno mengatakan ubi societas ibi ius ( dimana ada masyarakat disitu ada hukum), dan selayaknya masyarakat Internasional. Sudah sepantasnya, memiliki regulasi untuk kehidupan masyarakatnya. Perkataan Sumber Hukum, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dalam arti Materiil dan arti Formil. Sumber hukum dalam arti materiil, ialah sumber isi hukum, atau dasar berlakunya hukum atau tempat dimana kaidah-kaidah hukum itu diciptakan. Sedangkan Hukum dalam arti Formil ialah sumber yang memuat tentang ketentuan-ketentuan hukum secara formal, yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam suatu persoalan yang konkrit.
Dan Yang akan kita bahas adalah sumber hukum dalam bentuk materiil. Sumber hukum materiil yang mendasari berlakunya suatu hukum Internasional ialah, merujuk pada pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 16 desember 1920, yang kini telah tercantum dalam piagam PBB tertanggal 26 Juni 1945[1],  bahwa dalam mengadili perkara yang diajukan padanya, Mahkamah internasional mempergunakan :
1.      Perjanjian Internasional, baik bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara negara yang bersengketa.
2.      Kebiasaan Internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum
3.      Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
4.      Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagi sumber tambahan bagi menetapkan kaidah hukum.[2]
 Selain sumber hukum diatas, ada juga statuta pasal 7 Konvensi Den Haag tanggal 18 Oktober 1907, juga termasuk salah satu sumber hukum Internasioal. Yaitu tentang pendirian Mahkamah Internasional perampasan kapal di laut (International Prize Court). Namun sumber hukum ini tidak pernah terbentuk, karena tidak memenuhi jumlah ratifikasi yang diperlukan.
Walaupun begitu, penyebutan sumber sumber hukum diatas (pasal 38 piagam mahkamah internasional) belum menggambarkan dasar hierarki berlakunya aturan itu. Tidak ada penjelasan sumber hukum mana yang lebih diutamakan. Karena soal ini sama sekali tidak diatur dalam pasal 38. Satu satunya klasifikasi yang dapat kita adakan ialah bahwa sumber hukum formal itu dibagi 2 golongan, yaitu sumber hukum utama atau primer, yang meliputi ketiga golongan sumber hukum yang terdahulu (poin 1 sampai 3), dan sumber hukum tambahan atau subsidair yaitu keputusan keputusan pengadilan dan ajaran sarjana hukum yang paling terkemuka dari berbagai negara.[3]
Kebiasaan Internasional
            Dari sudut pandang sejarah, kebiasaan Internasional adalah sumber hukum tertua diantara ketiga sumber hukum utama internasional itu. Pada zaman yunani kuno, hukum perang dan damai lahir dari adat istiadat umum yang dipatuhi oleh negara yunani kuno. Hukum kebiasaan ini terkristaisasi melalui proses generalisasi dan unifikasi berbagai adat-kebiasaan dari masing masing republik kota.[4]
            Sebelum berbicara banyak mengenai berbagai kaidah dalam hukum Internasional, ada baiknya kita definisakan dulu pengertian Kebiasaan internasional ini. Dalam pasal 38 (1) sub b statuta Mahkamah Internasional, dikatakan “International Custom, as evidence of a General Practice accepted as law” atau dengan kata lain Kebiasaan Internasional yang merupakan Praktek umum yang diterima sebagai hukum.
            Dari definis tersebut, kita bisa menarik sebuah kesimpulan, untuk sebuah kebiasaan internasional menjadi hukum yang mengikat bagi negara negara lain. Ia harus memenuhi dua unsur yaitu :
a.       Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum
b.      Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.
Unsur pertama, adalah suatu kebiasaan yang bersifat umum. Atau dengan kata lain, elemen ini merupakan unsur materiil. Namun yang harus dibedakan adalah antara kebiasaan dan adat. Adat istiadat adalah kebiasaan langkah laku internasional yang belum diterima sebagai hukum dan dapat bertentangan satu sama lain. Sedangkan kebiasaan harus diunifikasi dan keberadaanya tidak usah dibuktikan (self consistent). Atau kesimpulanya adalah,”kebiasaan, dalam hukum adalah adat-istidat yang telah memperoleh kekuatan hukum”.[5]
Namun untuk dikatakan sebagai kebiasaan internasional pula, kebiasaan ini harus memuat unsur unsur dibawah ini:
1.      Perlu adanya suatu kebiasaan / praktek, yaitu : suatu pola tindak yang berlangsung lama, atau dilakukan secara berulang kali.
2.      Pola tindakan yang dilakukan, harus merupakan rangkaian tindakan yang serupa.
3.      Rangkaian tindakan itu harus mengenai sesuatu hal yang sama dan dalam keadaan yang serupa pula.
4.      Pola tindakan yang dilakukan secara berulang kali, terhadap hal yang sama dan dalam keadaan yang serupa, harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional.[6]
Berbicara mengenai jangka waktu, tentu timbul pertanyaan. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk dikatakan sebagai sebuah kebiasaan. Berapa perulangan yang kiranya perlu untuk bisa memenuhi unsur kebiasaan ini.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan,”Dalam situasi yang konkret memang sukar sekali menetapkan setelah berapa lama dapat dikatakan telah terbentuk satu kebiasaan. Tentang hal ini tidak ada ketentuan yang pasti. Ada kalanya waktu yang lama akan tetapi ada juga contoh di mana masyarakat internasional telah menerima satu pola tindakan sebagai hukum kebiasaan setelah waktu yang tidak begitu lama”.[7] Tak jauh berbeda, Frans E Likadja dan Daniel Frans Bessie, menjelaskan, secara yuridis tidak ada ketentuan yang pasti tentang jangka waktu/berapa kali harus dipraktekan[8].
Unsur Kedua, yaitu kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum. Atau aspek psikologis yang lebih dikenal opinio juris sive necessitas atau sebagaimana diistilahkan oleh seorang hakim, yaitu“ keyakinan timbal-balik bahwa keadaan perulangan itu adalah akibat peraturan yang memaksa”[9]. Diihat secara praktis suatu kebiasaan Internasional dapat dikatakan diterima sebagai hukum apabila negara-negara menerimanya sebagai demikian; artinya apabila negara negara itu tidak menyatakan keberatan terhadapnya. Keberatan ini dapat dinyatakan dengan berbagai cara misalnya dengan jalan diplomatik (protes) atau dengan jalan hukum dengan mengajukan keberatan keberatan di hadapan suatu mahkamah[10].
Dan yang perlu digarisbawahi lagi bahwa kedua unsur tersebut ialah saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan, artinya sebuah kebiasaan untuk bisa diterima sebagi sumber hukukm internasional haruslah memenuhi dua unsur itu, bukan salah satu unsur saja yang terpenuhi kemudian bisa dikatakan bahwa kebiasaan menjadi sumber hukum internasional.
Syarat materiil yang terpenuhi saja, tidak akan melahirkan hukum, sebaliknya jika kebiasaan hukum internasional itu tidak memenuhi syarat psikologis (unsur kedua yaitu tidak diterima sebagai hukum) maka kebiasaan Hukum Internasional tersebut hanyalah merupakan kesopanan Internasional.[11]
Kebiasaan sebagai salah satu sumber hukum, tidaklah berdiri sendiri. Ia berkaitan erat dengan sumber hukum lainya, yaitu perjanjian Internasional. Dan alur hubunganya adalah timbal balik dan saling berkaitan dan berhubungan. Saling mengisi dan melengkapi satu sama lainya.
      Hubungan antara perjanjian dan kebiasaan bisa ditemui di dua pola yaitu, Pertama Kebiasaan kebiasaan Internasional, dapat melahirkan kaidah kaidah hukum internasional, yang kemudian diteguhkan/dikokohkan didalam konvensi-konvensi Internasional. Contoh, Konvensi Den Haag tahun 1907, dan Konvensi Jenewa tahun 1949, mengenai : perlindungan para korban perang.
Kedua Perjanjian Internasional yang berulangkali diadakan mengenai hal yang sama dalam keadaan serupa, dapat menimbulkan /melahirkan suatu kebiasaan dan dapat menciptakan lembaga-lembaga hukum melalui proses Hukum Kebiasaan Internasional. Contoh, Ketentuan ketentuan hukum mengenai hubungan konsuler yang ditimbulkan oleh perjanjian perjanjian Internasional bilateral, mengenai hubungan konsuler dadakan.






[1] Frans E. Likadja dan Daniel Frans Bessi, Dasar Hukum Internasionjal, Ghalia Indonesia, Jakarta,hlm 97
[2] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1978, hlm 82
[3] Ibid, hlm 83
[4] J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, aksara persada Indonesia,  tanpa kota, 1884, hlm 34
[5] Ibid, hlm 33
[6]  Frans Likadja dan Daniel Bessie,op cit, hlm 129
[7] Mochtar Kusumaatmadja, op cit, hlm 104
[8] Frans Likadja dan Daniel Bessie, op cit, hlm 132
[9] JG. Starke, op cit, hlm 36
[10] Mochtar Kusumatamadja, Op cit, hlm 135
[11] Frans E. Likadja dan Daniel Frans Bessi, op cit, hlm 130