Persma
atau Pers Mahasiswa adalah sebuah wadah bagi mahasiswa yang mempunyai minat
dalam hal tulis menulis, reportase dan sebagainya, selagi kaitanya dengan Pers
itulah persma. Namun dalam perkemabanganya ia tumbuh dan berkemabang tidak
hanya menjadi wahana edukasi saja, dalam satu titik ia menjadi sebuah media
alternatif, ketika media mainstream
sudah menjadi kepanjangan tangan dari politikus, maka Persma adalah satu
satunya media yang mampu bersikap Pers pada hakikatnya.
Dalam
perkemabanganya ia juga tak lepas dari masalah masalah kontemporer, salah
satunya adalah duoble organisasi atau
berkarier lebih dari satu oragnisasi. Dalam beberapa hal, ini menjadi hal yang
cukup tabu, ditambah di satu kaki ia ada di Pers yang menginkan sebuah
indepedensi, namun dikaki yang lain ia ada dalam sebuah organisasi ia dituntut
memiliki idealisme yang cukup tinggi.
Hal
ini bisa menjadi hambatan ia dalam berkarier di Persma, paling tidak dalam dirinya
pertempuran hati adalah sebuah keniscayaan. Bahkan ada sebuah asumsi yang
mengatakan, anggota Persma yang berkarier lebih dari satu organisasi akan
dipertanyakan lagi independensinya, begitu juga punismentnya. Bahkan ada suatu kecurigaan bahwa mereka yang
berkarier lebih dari satu Organisasi tidak lagi punya Independensi lagi terkait
posisinya sebagai Anggota Persma. Apalagi mereka yang berkecimpung di
Perpolitikan Kampus atau pergerakan mahasiswa seperti HMI, KAMMI, IMM, GMII,
PMII, PP, dsb dianggap sebagai kepanjangan politik mereka, dan bukan tak
mungkin Media Persma menjadi politic will mereka juga.
Dan
pada kenyataanya, dalam AD ART beberapa Persma menyikapi hal ini dalam wilayah
yang abu abu, antara iya atau tidaknya masih dipertanyakan. Lebih miris ketika
beberapa punggawa penting pers itu adalah mereka juga adalah juga berkarier di
lain organisasi, meski dalam beberapa keputusan dan kebijakan pertimbanganya
benar benar independen, namun tidak bisa lepas dari stigma, dan hal ini
mengahambat proses independsi dari pers itu sendiri.
Namun,
begitulah bagian kehidupan ia selalu memajang Pro dan Kontra. Tak selamanya
berkarier lebih dari satu Organsasi itu jelek, dan bukanlah suatu masalah yang
akan mengganggu keloyalitasan dan keindependisinya sebagai anggota dari Persma
itu sendiri. Namun masalah kemilitansian
dan keloyalan bisa menjadi tak menjadi masalah ketika ia sudah punya prinsip
dan tujuan yang jelas dari apa yang ia pilih yaitu berkarier di lebih satu organisasi.
Bahkan
kaitanya dengan anggota Persma yang berkarier juga di perpolitikan kampus,
dilihat dari sudut pandang lain, malah menjadi sebuah kabar positif, bagaimana
tidak posisinya ia dalam kancah perpolitikan akan membuat medianya lebih mudah
mengakses informasi dan isu apa yang telah terjadi, dan bisa dengan mudah juga
menemui mereka mereka yang punya sejuta kepentingan lain. Namun hal ini menjadi
catatan, Pemred yang punya wewenang bagaiamana medianya berkembang dan nantinya
diterbitkan di kampusnya. Di sisi lain punya kapabilitas yang mumpuni juga
haruslah netral dari segala kepentingan, it’s
ok bagi anak buahnya yang berkarier lebih dari satu Organisas, namun ia
(Pemred) harus murni dari kepentingan untuk
menghindari ia adalah alat Political
Will para politisi yang berkepentingan.
Lain
lagi halnya dengan masalah idealsime dan indepensi yang bisa menjadi suatu
kontradiksi malah bisa sinkron antara pergerakan dengan pers, salah satu fungsi
Pers adalah sebagai wadah pengawasan. Dalam negara demokrasi, pengawasan adalah
sebuah keniscayaan. Apalagi di era reformasi ini, pengawasan terhadap kinerja
lembaga lemabaga negara haruslah diberlakukan dengan tujuan membangun dan
kedepanya lebih baik.
Kaitanya
mekanisme chek and balances (konteks
saling memeriksa dan menyeimbangkan) dalam konteks kemahasiswaan, sungguh
disayangkan jika hanya chek and balances dari
satu sudut pandang saja, karena semua masalah yang ada tidak bisa diakomodasi.
Jika mau jujur, dalam sikap kritis terhadap perpolitikan kampus, politisi
kadang lebih tajam analisisnya dari Pers itu sendiri, apalagi mereka yang
bertindak sebagai oposisi, harus diakui dan sangat disayangkan ketika sikap
kritis itu, hanya berlalu saja. Media dalam hal ini persma paling tidak bisa
menjadi wadah mereka yang bersikap kritis.
Walau bagaimanapun juga, ada sebuah
kesimpulan yang menarik yang dianalogikan dalam kehidupan nyata mengenai
kontroversi double otganisasi ini.
Bahwasnya berkarier lebih dari satu Organisasi bagaikan beristri lebih dari
satu. Ia haruslah adil antara keduanya, ia bisa memanage waktu antara keduanya.
Namun keadilan sendiri dalam benak beberapa orang sulit terdefinisakan, dan
kadang masih terasa ambigu dalam beberapa keadaan, hingga akhirnya pilihan
untuk double Organisasi bukanlah
pilihan yang salah bukan pula pilihan yang benar. Namun kemabali lagi pada
prinsip hidup seseorang, bolehlah ia bisa ikut seratus Organisasi sekaigus,
namun ia haruslah punya satu prinsip saja.
Diringkas dari diskusi pada Selasa,
19 Mei 2013 tentang manajemen organisasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar