Kamis, 25 April 2013

PERSMA DAN DOUBLE ORGANISASI



Persma atau Pers Mahasiswa adalah sebuah wadah bagi mahasiswa yang mempunyai minat dalam hal tulis menulis, reportase dan sebagainya, selagi kaitanya dengan Pers itulah persma. Namun dalam perkemabanganya ia tumbuh dan berkemabang tidak hanya menjadi wahana edukasi saja, dalam satu titik ia menjadi sebuah media alternatif, ketika media mainstream sudah menjadi kepanjangan tangan dari politikus, maka Persma adalah satu satunya media yang mampu bersikap Pers pada hakikatnya.
Dalam perkemabanganya ia juga tak lepas dari masalah masalah kontemporer, salah satunya adalah duoble organisasi atau berkarier lebih dari satu oragnisasi. Dalam beberapa hal, ini menjadi hal yang cukup tabu, ditambah di satu kaki ia ada di Pers yang menginkan sebuah indepedensi, namun dikaki yang lain ia ada dalam sebuah organisasi ia dituntut memiliki idealisme yang cukup tinggi.
Hal ini bisa menjadi hambatan ia dalam berkarier di Persma, paling tidak dalam dirinya pertempuran hati adalah sebuah keniscayaan. Bahkan ada sebuah asumsi yang mengatakan, anggota Persma yang berkarier lebih dari satu organisasi akan dipertanyakan lagi independensinya, begitu juga punismentnya. Bahkan ada suatu kecurigaan bahwa mereka yang berkarier lebih dari satu Organisasi tidak lagi punya Independensi lagi terkait posisinya sebagai Anggota Persma. Apalagi mereka yang berkecimpung di Perpolitikan Kampus atau pergerakan mahasiswa seperti HMI, KAMMI, IMM, GMII, PMII, PP, dsb dianggap sebagai kepanjangan politik mereka, dan bukan tak mungkin Media Persma menjadi politic will  mereka juga.
Dan pada kenyataanya, dalam AD ART beberapa Persma menyikapi hal ini dalam wilayah yang abu abu, antara iya atau tidaknya masih dipertanyakan. Lebih miris ketika beberapa punggawa penting pers itu adalah mereka juga adalah juga berkarier di lain organisasi, meski dalam beberapa keputusan dan kebijakan pertimbanganya benar benar independen, namun tidak bisa lepas dari stigma, dan hal ini mengahambat proses independsi dari pers itu sendiri.
Namun, begitulah bagian kehidupan ia selalu memajang Pro dan Kontra. Tak selamanya berkarier lebih dari satu Organsasi itu jelek, dan bukanlah suatu masalah yang akan mengganggu keloyalitasan dan keindependisinya sebagai anggota dari Persma itu sendiri.  Namun masalah kemilitansian dan keloyalan bisa menjadi tak menjadi masalah ketika ia sudah punya prinsip dan tujuan yang jelas dari apa yang ia pilih yaitu berkarier di lebih satu organisasi.
Bahkan kaitanya dengan anggota Persma yang berkarier juga di perpolitikan kampus, dilihat dari sudut pandang lain, malah menjadi sebuah kabar positif, bagaimana tidak posisinya ia dalam kancah perpolitikan akan membuat medianya lebih mudah mengakses informasi dan isu apa yang telah terjadi, dan bisa dengan mudah juga menemui mereka mereka yang punya sejuta kepentingan lain. Namun hal ini menjadi catatan, Pemred yang punya wewenang bagaiamana medianya berkembang dan nantinya diterbitkan di kampusnya. Di sisi lain punya kapabilitas yang mumpuni juga haruslah netral dari segala kepentingan, it’s ok bagi anak buahnya yang berkarier lebih dari satu Organisas, namun ia (Pemred) harus murni dari kepentingan untuk  menghindari ia adalah alat Political Will para politisi yang berkepentingan.
Lain lagi halnya dengan masalah idealsime dan indepensi yang bisa menjadi suatu kontradiksi malah bisa sinkron antara pergerakan dengan pers, salah satu fungsi Pers adalah sebagai wadah pengawasan. Dalam negara demokrasi, pengawasan adalah sebuah keniscayaan. Apalagi di era reformasi ini, pengawasan terhadap kinerja lembaga lemabaga negara haruslah diberlakukan dengan tujuan membangun dan kedepanya lebih baik.
Kaitanya mekanisme chek and balances (konteks saling memeriksa dan menyeimbangkan) dalam konteks kemahasiswaan, sungguh disayangkan jika hanya chek and balances dari satu sudut pandang saja, karena semua masalah yang ada tidak bisa diakomodasi. Jika mau jujur, dalam sikap kritis terhadap perpolitikan kampus, politisi kadang lebih tajam analisisnya dari Pers itu sendiri, apalagi mereka yang bertindak sebagai oposisi, harus diakui dan sangat disayangkan ketika sikap kritis itu, hanya berlalu saja. Media dalam hal ini persma paling tidak bisa menjadi wadah mereka yang bersikap kritis.
            Walau bagaimanapun juga, ada sebuah kesimpulan yang menarik yang dianalogikan dalam kehidupan nyata mengenai kontroversi double otganisasi ini. Bahwasnya berkarier lebih dari satu Organisasi bagaikan beristri lebih dari satu. Ia haruslah adil antara keduanya, ia bisa memanage waktu antara keduanya. Namun keadilan sendiri dalam benak beberapa orang sulit terdefinisakan, dan kadang masih terasa ambigu dalam beberapa keadaan, hingga akhirnya pilihan untuk double Organisasi bukanlah pilihan yang salah bukan pula pilihan yang benar. Namun kemabali lagi pada prinsip hidup seseorang, bolehlah ia bisa ikut seratus Organisasi sekaigus, namun ia haruslah punya satu prinsip saja.
Diringkas dari diskusi pada Selasa, 19 Mei 2013 tentang manajemen organisasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar