Profesi berbeda dengan pekerjaan,
jika pekerjaan, hubungan dengan pihak lain adalah vertikal atau atas bawah,
misal buruh dengan majikan. Berbeda dengan profesi, alur atau pola dengan pihak
lain adalah horizontal atau sejajar, tidak ada yang mendominasi, tidak ada
majikan dan tidak ada buruh. Prinsipnya adalah keprofesionalan dan tidak ada
yang saling mempengaruhi.
Hampir sama dengan berbagai profesi
yang ada, seperti Dokter, Advokat, atau seorang Psikolog. Jurnalis tentunya
mempunyai sebuah kode etik. Sebuah kumpulan aturan aturan yang mengatur segala
pekerjaan pekerjaan yang dilakukan jurnalis tiap harinya. Hal ini juga berlaku
untuk profesi yang lain, Advokat memiliki UU No 3 tahun 2003 yang mengandung
kode etik advokat itu sendiri.
Kode etk jurnalistik berisi tentang
norma norma seorang jurnalis dalam menjalankan pekerjaanya. Norma ini pada
dasarnya berujud etika, yang mengatur tungkah laku para jurnalis dalam
pekerjaan, ia adalah batasan batasan bagi para jurnalis itu sendiri dalam
berbuata sesuatu.
Pada dasarnya kode etik jurnalistik
berhubungan juga dengan teknik reportase dari jurnalis itu sendiri. Karena kode
etik tidak terlepas dari tindak tanduk para jurnalis dalam memperoleh data dari
para narasumber. Kode etik adalah mekanisme formil dari para jurnalis dalam
mengakses data dari narasumber.
Namun dalam zaman serba materialisme
ini, telah banyak terjadi pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik yang telah
dibuat ini. salah satu penyebabnya, selain karena sempitnya masa deadline hingga menjadikan para jurnalis
apapun caranya dan apaun hasilnya. Juga karena media mainstream terlalu berafilisi pada materi hingga keberimbangan
berita dinomor sekiankan, dan keuntungan
materi diutamakan.
Perang berita antar media sekarang menjadi
fenomena tersendiri, hal ini tidak lepas dari siapa dan apa kepentingan
dibelakangnya. Kepentingan pemilik modal seharusnya hanya terbatas pada sisi
manajemen perusahaan saja, tidak sampai ke redaksi. Namun, sisi manajemen
perusahaan pun punya kesinambungan
dengan redaksi. Redaksi dalam memproduksi
tentu membutuhkan biaya cetak dari perusahaan, dan disinilah kepentingan itu
bermain.
Tentu saja hal ini selain melanggar
dan menciderai kode etik pers, juga mencedarai hakikat Pers pada dasarnya yaitu
keindependensian atau keterlepasan media dari berbagai tekanan dan intervensi
dalam keberimbangan sebuah berita. Namun dalam hal ini, hal itu tidaklah
terjadi hingga muncul beberapa masalah yang tidak diinginkan. Seperti kerugian
nama baik seseorang misalnya akibat nilai sebuah pemberitaan. Tentu media mainstream sudah bisa mengntisipasi hal
hal ini, hal hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Seperti Jawapos yang
mempunyai tim ombudsman khusus dalam
hal hal yang tak diinginkan Ombudsman berfungsi untuk menjembatani antara
redaksi dan pihak pihak yang bermasalah dengan pemberitaan.
Ditambah dalam perjalanan
mengahadapi masalah yang demikian biasanya media media yang belum memiiki tim
khusus yang menjembatani antara redaksi dan pihak pihak yang bermasalah lebih
memilih dewan pers untuk menjembatani mereka. Dewan pers bergaung namanya
ketika akhir akhir ini bisa memediasai konflik yang melibatkan media.
Namun
ini hanyalah mekanisme dari sudut pandang mediasi saja, jika di meja hijaukan
hal ini bisa saja terjadi, dan di pengadilan tinggal menunggu keputusan dari
majelis hakim saja untuk menentukan siapa yang bersalah atau tidak. Dalam
sejarah banyak kasus media yang dimejahijaukan, yang cukup fenomenal adalah
Kasus Majalah Times vis a vis mantan
presiden Soeharto. Dalam hal ini, Soeharto tidak terima dengan pemberitaan
Majalah Times tentang harta kekayaan beliau di berbagai negara, dengan berbagai
pertimbangan, tim kuasa hukum majalah Times yang digawangi Todung Mulya lubis
bisa mengalahkan Presiden Soeharto di pengadilan Negeri Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar