Kamis, 25 April 2013

KODE ETIK JURNALISTIK



            Profesi berbeda dengan pekerjaan, jika pekerjaan, hubungan dengan pihak lain adalah vertikal atau atas bawah, misal buruh dengan majikan. Berbeda dengan profesi, alur atau pola dengan pihak lain adalah horizontal atau sejajar, tidak ada yang mendominasi, tidak ada majikan dan tidak ada buruh. Prinsipnya adalah keprofesionalan dan tidak ada yang saling mempengaruhi.
            Hampir sama dengan berbagai profesi yang ada, seperti Dokter, Advokat, atau seorang Psikolog. Jurnalis tentunya mempunyai sebuah kode etik. Sebuah kumpulan aturan aturan yang mengatur segala pekerjaan pekerjaan yang dilakukan jurnalis tiap harinya. Hal ini juga berlaku untuk profesi yang lain, Advokat memiliki UU No 3 tahun 2003 yang mengandung kode etik advokat itu sendiri.
            Kode etk jurnalistik berisi tentang norma norma seorang jurnalis dalam menjalankan pekerjaanya. Norma ini pada dasarnya berujud etika, yang mengatur tungkah laku para jurnalis dalam pekerjaan, ia adalah batasan batasan bagi para jurnalis itu sendiri dalam berbuata sesuatu.
            Pada dasarnya kode etik jurnalistik berhubungan juga dengan teknik reportase dari jurnalis itu sendiri. Karena kode etik tidak terlepas dari tindak tanduk para jurnalis dalam memperoleh data dari para narasumber. Kode etik adalah mekanisme formil dari para jurnalis dalam mengakses data dari narasumber.
            Namun dalam zaman serba materialisme ini, telah banyak terjadi pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik yang telah dibuat ini. salah satu penyebabnya, selain karena sempitnya masa deadline hingga menjadikan para jurnalis apapun caranya dan apaun hasilnya. Juga karena media mainstream terlalu berafilisi pada materi hingga keberimbangan berita dinomor sekiankan, dan  keuntungan materi diutamakan.
            Perang berita antar media sekarang menjadi fenomena tersendiri, hal ini tidak lepas dari siapa dan apa kepentingan dibelakangnya. Kepentingan pemilik modal seharusnya hanya terbatas pada sisi manajemen perusahaan saja, tidak sampai ke redaksi. Namun, sisi manajemen perusahaan pun punya kesinambungan 
dengan redaksi. Redaksi dalam memproduksi tentu membutuhkan biaya cetak dari perusahaan, dan disinilah kepentingan itu bermain. 
            Tentu saja hal ini selain melanggar dan menciderai kode etik pers, juga mencedarai hakikat Pers pada dasarnya yaitu keindependensian atau keterlepasan media dari berbagai tekanan dan intervensi dalam keberimbangan sebuah berita. Namun dalam hal ini, hal itu tidaklah terjadi hingga muncul beberapa masalah yang tidak diinginkan. Seperti kerugian nama baik seseorang misalnya akibat nilai sebuah pemberitaan. Tentu media mainstream sudah bisa mengntisipasi hal hal ini, hal hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Seperti Jawapos yang mempunyai tim ombudsman khusus dalam hal hal yang tak diinginkan Ombudsman berfungsi untuk menjembatani antara redaksi dan pihak pihak yang bermasalah dengan pemberitaan.
            Ditambah dalam perjalanan mengahadapi masalah yang demikian biasanya media media yang belum memiiki tim khusus yang menjembatani antara redaksi dan pihak pihak yang bermasalah lebih memilih dewan pers untuk menjembatani mereka. Dewan pers bergaung namanya ketika akhir akhir ini bisa memediasai konflik yang melibatkan media.
Namun ini hanyalah mekanisme dari sudut pandang mediasi saja, jika di meja hijaukan hal ini bisa saja terjadi, dan di pengadilan tinggal menunggu keputusan dari majelis hakim saja untuk menentukan siapa yang bersalah atau tidak. Dalam sejarah banyak kasus media yang dimejahijaukan, yang cukup fenomenal adalah Kasus Majalah Times vis a vis mantan presiden Soeharto. Dalam hal ini, Soeharto tidak terima dengan pemberitaan Majalah Times tentang harta kekayaan beliau di berbagai negara, dengan berbagai pertimbangan, tim kuasa hukum majalah Times yang digawangi Todung Mulya lubis bisa mengalahkan Presiden Soeharto di pengadilan Negeri Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar