Anggapan
bahwa negara adalah satu satunya subjek hukum internasional merupakan suatu
anggapan yang wajar sekali dalam keadaan dimana hubungan antarnegara identik
dengan hubungan internasional[1]. Istilah
hukum antar negara yang hingga kini kadang-kadang masih dipergunakan orang
merupakan bukti bahwa ini masih ada penganutnya[2].
Sedang
subjek hukum dalam arti luas dan luwes tidak, subjek hukum tidak hanya pemegang
dan hak dan kewajiban saja, namun juga mencakup keadaan keadaan dimana yang
dimilikinya itu hak hak dan kewajiban kewajiban yang terbatas, dan ruang
lingkupnya juga lebih luas, tidak terbatas pada negara saja, namun juga pada
negara bagian, individu, organisasi, dan sebagainya.
Dalam
sudut pandang lain, kisa melihat bahwa subyek hukum internasional bisa dilihat
dari dua sudut, yaitu secara Praktis dan teoritis. Khususnya menyankut tentang
keberadaan negara sebagi subjek hukum utama internasional.
Secara
teoritis dapat dikemukakan bahwa subyek hukum sebenarnya hanyalah negara[3].
Meski perjanjian internasional seperti halnya konvensi konvensi palang merah
tahun 1949[4]
yang memberi hak dan kewajiban tertentu, tapi hak dan kewajiban itu diberikan
konvensi secara tidak langsung kepada orang perorang (individu) melalui negara
yang menjadi peserta dalam konvensi tersebut.
Secara
teoritis pula, Hans Kelsen mengemukakan tentang sebuah teori yaitu “Principles
of International Law”. Teori milik beliau mengemukakan bahwa yang dinamakan hak
hak dan kewajiban negara sebenarnya adalah hak hak dan kewajiban
manusia-manusia yang merupakan anggota masyrakat yang mengorgansir dirinya
dalam negara itu. Dalam pandangan theori Kelsen ini negara tidak lain dari pada
suatu konstruksi yuridis yang tidak akan mungkin tanpa manusia-manusia anggota
masyarakat negara itu.
Berbeda
dengan pendekatan secara praktis, pendekatan secara praktis lebih menekan kan
pada kenyataan yang ada, baik dilihat dari keadaan masyarakat internasional
maupun hukum hukum yang mengaturnya. Fakta atau hukum bisa timbul karena
sejarah atau karena desakan kebutuhan perkembangan masyrakat internasional,
atau apabila ia merupakan sebuah fakta hukum, bisa juga ada karena memang
diadakan oleh hukum itu sendiri.
Negara
J.G
Strake dalam Dasar Hukum Internasional[5]
mengatakanNegara adalah satu lembaga, yaitu sistem yang mengatur
hubungan-hubungan yang ditetapkan oleh dan di antara manusia sendiri, sebagai
satu alat untukmencapai tujuan-tujuan yang paling penting diantaranya ialah :
satu sistem ketertiban yang menaungi manusia dalam melakukan
kegiatan-kegiatanya.
Negara
sebagai subjek hukum internasional juga punya pengertian dalam arti klasik dan
dalam arti modern. Dalam arti klasik, negara adalah subjek hukum internasional,
hanyalah negara yang berdaulat penuh, atau negara yang tidak lagi tergantung
pada negara lain. Dan dalam arti klasik tidak terbatas pada negara yang
berdaulat penuh. Melainkan termasuk pula negara bagian, kanton kanton (swiss),
protektorat (sudah dihapus dan diganti dengan dewan perwalian PBB), dan
dominion (British Commonwealth).
Pembentukan
suatu negara yang merupakan subjek penuh hukum internasional diperlukan
unsur-unsur konstitutif sebagai berikut :
1. Penduduk
yang tetap
Penduduk
merupakan unsur pokok bagi pemebentukan suatu negara. Suatu pulau atau wilayah
tanpa penduduk tidak mungkin menjadi suatu negara. Dan dalam unsur kependudukan
ini harus ada unsur kediaman secara tetap. Penduduk yang tidak mendiami suatu
wilayah secara tetap dan selalu berkelana (nomad) tidak dapat dinamakan
penduduk sebagai unsur konstitutif pembentukan wilyaha suatu negara.[6]
Pada
umumnya ada tiga cara penetapan kewarganegaraan sesuai hukum nasional yaitu[7] :
a.
Jus
Sanguinis
Ini
adalah cara penetapan kewarganegaraan melalui keturunan. Menurut cara ini,
kewarganegaraan anak ditentukan oleh kewarganegaraan orang tua mereka.
b.
Jus
Soli
Menurut
sistem ini kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahiranya dan
bukan kewarganegaraan orang tuanya.
c.
Naturalisasi
Suatu
negara memberikan kemungkinan bagi warga asing untuk memperoleh kewarganegaraan
setempat setelah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti setelah mendiami
negara tersebut dalam waktu yang cukup lama ataupun melalui perkawinan.
Perlu
ditambahkan bahwa hukum internasional tidak mengaharuskan suatu negara hanya
terdiri dari suatu bangsa. Hukum internasional tidak melarang suatu negara
terdiri dari beberapa bangsa tetapi harus mempunyai kewarganegaraan yang sama.
Cukup banyak contoh negara yang multinasional seperti Federasi Rusia, Cina atau
sejumlah negara di kawasan Afrika dimana hidup berdampingan berbagai suku dalam
negara yang sama.[8]
2. Wilayah
Tertentu
Selain sebuah negara
harus mempunyai penduduk, juga suatu negara harus mempunya wilayah untuk
ditempati warga manusia tersebut. Namun batas-batas wilayah suatu negara
tentunya harus jelas untuk menghindari kemungkinan sengketa dengan
negara-negara lain. Bahkan kejelasan batas-batas wilayah ini mutlak karena
hanya di atas wilayah itulah dapat berlakunya wewenang suatu negara[9].
3. Pemerintah
Sebagai sebuah badan
hukum, tentu ia hanya dapat bertindak hanya dengan wakil manusia dalam
menyalurkan kehendaknya. Ia dapat menjalankan wewenangnya melalui organ organ
yang terdiri dari individu-individu.
Bagi hukum
internasional suatu wilayah yang tidak
mempunyai pemerintahan tidak dianggap sebagai suatu negara dalam arti kata yang
sebenarnya. Yang penting bagi hukum internasional ialah adanya suatu pemerintah
dalam suatu negara yang bertindak atas nama negara tersebut dalam hubungan
dengan negara negara lainya[10].
Pentingnya pemerintahan
dalam sebuah negara, khususnya bagi hukum Internasional ialah ketika sebuah
negara tersebut ada dalam masalah. Misal dalam perang saudara, akan ada sebuah
pemerintah tandingan, hal ini sulit untuk hukum internasional bisa menyentuh
masalah tersebut untuk diselesaikan. Hal ini menyebabkan Hukum Internasional[11].
4. Kedaulatan
Kedaulatan ialah kekuasaan
tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai
kegiatan sesuai kepentinganya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan
dengan hukum internasional[12].
Berdasar pasal 1
Konvensi Montevideo 27 desember 1933 mengenai hak dan kewajiban disebutkan
bahwa unsur keempat dalam pembentukan suatu negara adalah capacity to enter into relations with other states atau dengan kata
lain adalah kapasitas dirinya dalam berhubungan dengan negara lain. Karena
mengikuti perkembangan jaman, unsur kapasitas
diganti dengan kedaulatan sebagai
unsur keempat pembentukan negara disamping penduduk, wilayah, dan pemerintah.
Negara berdaulat memang
menunjukan bahwa negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan tertinggi selain
kekuasaanya sendiri. Walaupun demikian kekuasaan yang dimiliki negar bersifat limitatif atau ada batasnya, ruang
berlaku kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dibatasi oleh wilayahnya sendiri[13].
Kedaulatan dan
kemerdekaan amatlah erat kaitanya, dan ada akibat timbal balik. Suatu negara
yang meredeka, dipastikan mempunyai kedaulatan, begitu juga sebaliknya. Kata
merdeka lebih diartikan bahwa suatu negara tidak lagi berada di bawah suatu negara
tidak lagi berada di bawah kekuasaan asing dan bebas untuk menentukan
kebijaksanaan dalam dan luar negerinya dan kata kedaulatan lebih mengutamakan
kekuasaan eklusif[14].
Itulah
beberapa unsur konstitutif yang diperlukan yang digabungkan untuk menjadi
sebuah kesatuan negara. Unsur unsur tersebut harus ada untuk menjadi sebuah
negara yang menjadi salah satu subjek hukum internasional. Dan keempat tersebut
haruslah lengkap, tidak bisa dipandang secara imparsial atau sepotong potong
saja.
[1] Frans E
Likadja dan Daniel Bessie, Dasar Hukum Internasional, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1988, hlm 68
[2] Mochtar
Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Jakarta, 1976, hlm 89
[3] Mochtar
Kusumaatmadja, Pengantar hukum Internasional, Putra Bardin, Jakarta, 1988,hlm
68
[4] Nama
resminya adalah Konvensi konvensi Jenewa tahun 1949 tentang perlindungan Korban
Perang.
[5] Frans E
Likadja dan Daniel Bessie, op cit, hlm
86
[6] Boer
Mauna, hukum internasional, Alumni, Bandung, 2001, hlm 17
[7] Ibid, hlm 18
[8] Ibid, hlm 20
[9] Loc cit.
[10] Ibid, hlm 22
[11]
Lihat Boer Mauna, Loc cit. Perlu
dicatat, bahwa bahwa suatu negara tidak langsung berakhir sekiranya sudah tidak
mempunyai pemerintahan yang efektif karena perang saudara atau diduduki
pemerintah asing. Somalia yang tidak lagi mempunyai pemerintahan semenjak
digulingkanya Presiden Mohammad Siad Barre oleh jenderal Farah Aideed pada
tahun 1991 dan organisasi-organisasi regional seperti arab dan OPA.
[12] Ibid, hlm 24
[13] Lihat
Mochtar Kusumaatmadja, Op Cit, hlm 17
[14] Boer
Mauna, Loc cit,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar