Selasa, 23 April 2013

NEGARA SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

Subjek hukum bisa diartikan dalam arti klasik/penuh dan dalam arti Luas/penuh. Subjek hukum dalam arti klasik/penuh mengartikan subjek hukum sebagai pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum internasional dan hanya terbatas pada negara yang berdaulat saja.
Anggapan bahwa negara adalah satu satunya subjek hukum internasional merupakan suatu anggapan yang wajar sekali dalam keadaan dimana hubungan antarnegara identik dengan hubungan internasional[1]. Istilah hukum antar negara yang hingga kini kadang-kadang masih dipergunakan orang merupakan bukti bahwa ini masih ada penganutnya[2].
Sedang subjek hukum dalam arti luas dan luwes tidak, subjek hukum tidak hanya pemegang dan hak dan kewajiban saja, namun juga mencakup keadaan keadaan dimana yang dimilikinya itu hak hak dan kewajiban kewajiban yang terbatas, dan ruang lingkupnya juga lebih luas, tidak terbatas pada negara saja, namun juga pada negara bagian, individu, organisasi, dan sebagainya.
Dalam sudut pandang lain, kisa melihat bahwa subyek hukum internasional bisa dilihat dari dua sudut, yaitu secara Praktis dan teoritis. Khususnya menyankut tentang keberadaan negara sebagi subjek hukum utama internasional.
Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa subyek hukum sebenarnya hanyalah negara[3]. Meski perjanjian internasional seperti halnya konvensi konvensi palang merah tahun 1949[4] yang memberi hak dan kewajiban tertentu, tapi hak dan kewajiban itu diberikan konvensi secara tidak langsung kepada orang perorang (individu) melalui negara yang menjadi peserta dalam konvensi tersebut.
Secara teoritis pula, Hans Kelsen mengemukakan tentang sebuah teori yaitu “Principles of International Law”. Teori milik beliau mengemukakan bahwa yang dinamakan hak hak dan kewajiban negara sebenarnya adalah hak hak dan kewajiban manusia-manusia yang merupakan anggota masyrakat yang mengorgansir dirinya dalam negara itu. Dalam pandangan theori Kelsen ini negara tidak lain dari pada suatu konstruksi yuridis yang tidak akan mungkin tanpa manusia-manusia anggota masyarakat negara itu.
Berbeda dengan pendekatan secara praktis, pendekatan secara praktis lebih menekan kan pada kenyataan yang ada, baik dilihat dari keadaan masyarakat internasional maupun hukum hukum yang mengaturnya. Fakta atau hukum bisa timbul karena sejarah atau karena desakan kebutuhan perkembangan masyrakat internasional, atau apabila ia merupakan sebuah fakta hukum, bisa juga ada karena memang diadakan oleh hukum itu sendiri.

Negara
J.G Strake dalam Dasar Hukum Internasional[5] mengatakanNegara adalah satu lembaga, yaitu sistem yang mengatur hubungan-hubungan yang ditetapkan oleh dan di antara manusia sendiri, sebagai satu alat untukmencapai tujuan-tujuan yang paling penting diantaranya ialah : satu sistem ketertiban yang menaungi manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatanya.
Negara sebagai subjek hukum internasional juga punya pengertian dalam arti klasik dan dalam arti modern. Dalam arti klasik, negara adalah subjek hukum internasional, hanyalah negara yang berdaulat penuh, atau negara yang tidak lagi tergantung pada negara lain. Dan dalam arti klasik tidak terbatas pada negara yang berdaulat penuh. Melainkan termasuk pula negara bagian, kanton kanton (swiss), protektorat (sudah dihapus dan diganti dengan dewan perwalian PBB), dan dominion (British Commonwealth).
Pembentukan suatu negara yang merupakan subjek penuh hukum internasional diperlukan unsur-unsur konstitutif sebagai berikut :
1.      Penduduk yang tetap
Penduduk merupakan unsur pokok bagi pemebentukan suatu negara. Suatu pulau atau wilayah tanpa penduduk tidak mungkin menjadi suatu negara. Dan dalam unsur kependudukan ini harus ada unsur kediaman secara tetap. Penduduk yang tidak mendiami suatu wilayah secara tetap dan selalu berkelana (nomad) tidak dapat dinamakan penduduk sebagai unsur konstitutif pembentukan wilyaha suatu negara.[6]
Pada umumnya ada tiga cara penetapan kewarganegaraan sesuai hukum nasional yaitu[7] :
a.      Jus Sanguinis
Ini adalah cara penetapan kewarganegaraan melalui keturunan. Menurut cara ini, kewarganegaraan anak ditentukan oleh kewarganegaraan orang tua mereka.
b.      Jus Soli
Menurut sistem ini kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahiranya dan bukan kewarganegaraan orang tuanya.
c.       Naturalisasi
Suatu negara memberikan kemungkinan bagi warga asing untuk memperoleh kewarganegaraan setempat setelah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti setelah mendiami negara tersebut dalam waktu yang cukup lama ataupun melalui perkawinan.
Perlu ditambahkan bahwa hukum internasional tidak mengaharuskan suatu negara hanya terdiri dari suatu bangsa. Hukum internasional tidak melarang suatu negara terdiri dari beberapa bangsa tetapi harus mempunyai kewarganegaraan yang sama. Cukup banyak contoh negara yang multinasional seperti Federasi Rusia, Cina atau sejumlah negara di kawasan Afrika dimana hidup berdampingan berbagai suku dalam negara yang sama.[8]
2.      Wilayah Tertentu
Selain sebuah negara harus mempunyai penduduk, juga suatu negara harus mempunya wilayah untuk ditempati warga manusia tersebut. Namun batas-batas wilayah suatu negara tentunya harus jelas untuk menghindari kemungkinan sengketa dengan negara-negara lain. Bahkan kejelasan batas-batas wilayah ini mutlak karena hanya di atas wilayah itulah dapat berlakunya wewenang suatu negara[9].
3.      Pemerintah
Sebagai sebuah badan hukum, tentu ia hanya dapat bertindak hanya dengan wakil manusia dalam menyalurkan kehendaknya. Ia dapat menjalankan wewenangnya melalui organ organ yang terdiri dari individu-individu.
Bagi hukum internasional suatu wilayah yang  tidak mempunyai pemerintahan tidak dianggap sebagai suatu negara dalam arti kata yang sebenarnya. Yang penting bagi hukum internasional ialah adanya suatu pemerintah dalam suatu negara yang bertindak atas nama negara tersebut dalam hubungan dengan negara negara lainya[10].
Pentingnya pemerintahan dalam sebuah negara, khususnya bagi hukum Internasional ialah ketika sebuah negara tersebut ada dalam masalah. Misal dalam perang saudara, akan ada sebuah pemerintah tandingan, hal ini sulit untuk hukum internasional bisa menyentuh masalah tersebut untuk diselesaikan. Hal ini menyebabkan Hukum Internasional[11].

4.      Kedaulatan
Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentinganya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional[12].
Berdasar pasal 1 Konvensi Montevideo 27 desember 1933 mengenai hak dan kewajiban disebutkan bahwa unsur keempat dalam pembentukan suatu negara adalah capacity to enter into relations with other states atau dengan kata lain adalah kapasitas dirinya dalam berhubungan dengan negara lain. Karena mengikuti perkembangan jaman, unsur kapasitas diganti dengan kedaulatan sebagai unsur keempat pembentukan negara disamping penduduk, wilayah, dan pemerintah.
Negara berdaulat memang menunjukan bahwa negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan tertinggi selain kekuasaanya sendiri. Walaupun demikian kekuasaan yang dimiliki negar bersifat limitatif atau ada batasnya, ruang berlaku kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dibatasi oleh wilayahnya sendiri[13].
Kedaulatan dan kemerdekaan amatlah erat kaitanya, dan ada akibat timbal balik. Suatu negara yang meredeka, dipastikan mempunyai kedaulatan, begitu juga sebaliknya. Kata merdeka lebih diartikan bahwa suatu negara tidak lagi berada di bawah suatu negara tidak lagi berada di bawah kekuasaan asing dan bebas untuk menentukan kebijaksanaan dalam dan luar negerinya dan kata kedaulatan lebih mengutamakan kekuasaan eklusif[14].
Itulah beberapa unsur konstitutif yang diperlukan yang digabungkan untuk menjadi sebuah kesatuan negara. Unsur unsur tersebut harus ada untuk menjadi sebuah negara yang menjadi salah satu subjek hukum internasional. Dan keempat tersebut haruslah lengkap, tidak bisa dipandang secara imparsial atau sepotong potong saja.




[1] Frans E Likadja dan Daniel Bessie, Dasar Hukum Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm 68
[2] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Jakarta, 1976, hlm 89
[3] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar hukum Internasional, Putra Bardin, Jakarta, 1988,hlm 68
[4] Nama resminya adalah Konvensi konvensi Jenewa tahun 1949 tentang perlindungan Korban Perang.
[5] Frans E Likadja dan Daniel Bessie, op cit, hlm 86
[6] Boer Mauna, hukum internasional, Alumni, Bandung, 2001, hlm 17
[7] Ibid, hlm 18
[8] Ibid, hlm 20
[9] Loc cit.
[10] Ibid, hlm 22
[11] Lihat Boer Mauna, Loc cit. Perlu dicatat, bahwa bahwa suatu negara tidak langsung berakhir sekiranya sudah tidak mempunyai pemerintahan yang efektif karena perang saudara atau diduduki pemerintah asing. Somalia yang tidak lagi mempunyai pemerintahan semenjak digulingkanya Presiden Mohammad Siad Barre oleh jenderal Farah Aideed pada tahun 1991 dan organisasi-organisasi regional seperti arab dan OPA.
[12] Ibid, hlm 24
[13] Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Op Cit, hlm 17
[14] Boer Mauna, Loc cit,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar