Entah siapa orang yang menciptakan istilah “Mahasiswa” dan “Aktivis” dan istilah lain seputar dunia perguruan tinggi. Jawabanku sedikit terbantu dengan terbitnya Edisi Khusus Majalah Tempo tahun ini, yang mengangkat Profil Muhammad Yamin, konon dari renunganya terciptalah makna Mahasiswa yang jamak disebut bagi peserta sekolah perguruan tinggi.
Namun untuk Aktivis belum menemui padanan yang tepat. Terkaan masih berada dalam penerjemahan secara observasi indera saja, jujur saya saya bukan ahli bahasa yang pandai menafsirkan teks. Namun setidaknya dari indera ini masihi berfungsi dengan baik apa itu makna dibalik aktivis dan semacamnya.
Ketika bicara Aktivis. Penggambaran dari inderaku hanya membentur jaket besar, seragam pdh, tukang ketik proposal, panitia seminar, pengurus organisasi sampai laporan pertanggungjawaban. Waah, ada yang menambahi kah?, oh iya kami tukang titip absen di kelas, kami juga ahli lobi dosen untuk memperbaiki nilai tanpa remidi. Wah, menakjubkan.
Kata organisasi membuatku penasaran, dan mengingatkanku pada Tetralogi Pram yang berjudul Jejak Langkah. Dikisahkan, tokoh utama Minke yang diilhami dari bapak Pers Nasional, Raden Mas Tirto Adi Soerjo melawan penindasan dan kolonialisme dengan cara berorganisasi, salah satunya adalah Boycot. Ia berpesan,”didiklah masyarakat dengan organisasi, dan didiklah pemerintah dengan perlawanan”.
Pram terus mengisahkan, minke berjuang lewat sarikat (dalam kehidupan nyata disebut sarekat islam yang kemudian gemilang di tangan Cokroaminoto). Di tengah kesibukanya, Minke masih menjadi Pemimpin redaksi Koran nasional pertama yaitu Medan Prijaji (baca : Medan Priyayi) yang terbit di bandung. Berkat kegigihanya memperjuangakan suara rakyat, ia akhirnya diasingkan di ambon. Ia meregang nyawa selepas diasingkan.
Kisah Minke ini mungkin baru didengar para aktivis kita yang gemar mengadakan diskusi bertemankan makanan ringan. Jumlahnya banyak, lebih banyak dari buku yang tersedia dalam ruangan yang sama. Wah hebat sekali, kita mengalahkan pejuang bangsa kita yang selalu lekat dengan buku ketika diskusi. Kita sudah lebih sakti dengan hanya bermodal makanan ringan. Oh, sekarang mereka menggunakan buku digital yang hanya beberapa sentuhan konon dunia dan seisinya akan terkuak.
Kadang aku melihat, diskusi mereka pun layaknya khutbah jum’at. Tidak boleh saling bising dan berbicara saat khatib berbicara. Mereka diskusi menggunakan khatib yang akan berbicara berjam jam, tanpa pernah ada yang berani menyela dan protes. Terkadang setelah khatib rampung, pertanyaan tidak kunjung muncul dan seketika ditutup dengan pesan pesan terakhir. Diskusi aktivis sekarang berjalan lebih khitmat dan tenang dari diskusi yang terdahulu.
Kadang pada sang Pembicara mereka bertanya, pertanyaan yang muncul pun kadang tak penting dan begitu remeh (aku sendiri yakin, empunya pertanyaan mengerti akan jawaban pertanyaanya). Pertanyaan tak pernah beranjak “apa solusinya”, “apa pilihan yang tepat bagi mahasiswa”, atau pertanyaan semacam “bagaimana jika“. Pertanyaan mereka begitu singkat dan miskin analisa. Seolah mereka benar benar goblok dan tak tahu apapun dan seolah sang pembicara adalah terpandai diantara mereka.
Mengenai pembicara, cemilan untuk mereka berbeda dengan peserta lainya Cemilan untuk sang pengkhotbah diskusi sering dimasukan kardus kecil dan diduetkan dengan sebotol air mineral. Tampak ketidakegaliteranya manakala sang khatib pun terbata bata dalam menjelaskan arah diskusi. Coba sesekali iseng dengan menghitung berapa kali sang khatib berkata “apa namanya”, “eehmmmm”, atau berpikir sejenak untuk mengemukakan sesuatu. Jikalau kesimpulanku benar, tema diskusi dengan pembicara yang demikian lebih pantas berjudul “apa namanya”.
Sudah saatnya format diskusi lebih egaliter. Suara dari mereka yang berbicara dominan (Pembicara, Fasilitator dll) alangkah baiknya diminimalkan, kecuali dengan durasi waktu panjang. Informasi dan Afirmasi harusnya sudah beranjak ke pertanyaan pertanyaan kritis yang merangsang peserta menemukan kesimpulan diskusi secara mandiri. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar