Potret problem
kontemporer dan tantangan masa depan
Dalam memandang buruh secara
filosofis, kita tidak akan lepas dari tokoh Karl Mark yang jelas jelas
mendukung kaum buruh yang ia sebut Proletar. Marx kala itu bisa mengupas secara
mendalam peran Proletar yang mengalami keterasingan atau Alienasi yang
disebabkan eksploitasi dari kaum borjuis atau kaum pengusaha. Marx menyeru
kepada kaum buruh untuk bersatu melawan kaum borjuis dan segera mengadakan
revolusi untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat tanpa kelas dan
kepemilikan.
Herijaya.com |
Dalil dari Karl Marx ini menciptakan
suatu dogma baru yaitu Komunisme yang pernah dipakai sepertiga penduduk bumi
ini. utamanya di negara negara berhaluan Kiri, memang negara negara komunis
berusaha menciptakan tatanan masyarakat tanpa kelas yang pada faktanya berujung
banyak menimbulkan korban jiwa. Pol Pot dan Mao Tse Tung adalah contoh diktator
Komunis yang membunuh jutaan jiwa untuk dapat melaksanakan kehendaknya.
Dalam perjuanganya, kolektivitas
adalah keniscayaan bagi kaum buruh untuk menuntut hak haknya. Setidaknya ada
empat manfaat organisasi buruh dalam posisi buruh dengan majikan, Pertama Organisasi buruh diberi peran
sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan
penyelesaianperselisihan industrial. Kedua,
Organisasi buruh diberi peran sebagai wakil buruh dalam lembaga kerja sama di
bidang ketenagakerjaan. Ketiga,
Organisasi buruh diberi peran untuk ikut serta menciptakan hubungan industrial
yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang
undangan yang berlaku. Keempat,
Organisasi buruh diberi peran sebagai sarana penyalur aspirasi dalam
memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya (Abdul R. Budiono : 2009)
Memang diakui pergerakan kaum kiri
dalam organisir kaum buruh tidak bisa dipandang sepele. Namun dalam sejarahnya
di Indonesia sendiri justru organisasi buruh pertama ialah bentukan para
pegawai teras belanda pada tahun 1989 yang Indische
Bond (Perserikatan Hindia). Disusul dengan didirikanya Insulinde yaitu organisasi yang menampung para pekerja peranakan
Belanda. Namun organisasi ini tampak sedikit Ekslusif dan tidak mencerminkan
perjuangan kaum buruh secara luas. Baru pada tahun 1905 terbentuklah Staats Spoor Bond (Perserikatan pegawai SS) yang bisa mengayomi
kepentingan kaum buruh lintas etnis dan ras[1].
Setelah itu, bermunculan pula
organisasi kaum buruh yang lainya. Kesadaran diri sebagai kekuatan sosial yang
perlu dipersatukan mendorong dilakukanya usaha usaha ke arah persatuan dan
kesatuan buruh. Yang cukup dikenang adalah pada November 1919 di bawah tokoh SI
dibentuklah panitia penggerakan kaoem Boeroeh (PPKB) dengan tugas mempelajari
kebutuhan kaum buruh dan cara mempersatukanya. Akhirnya di bulan desember, dibentuklah Persatoean Pergerakan Boeroeh
(PPB) di bawah Semaoen sebagai ketua[2],
kelak ia sendiri memisahkan sendiri dari Si dan membentuk SI Merah yang berhaluan
kiri. Ia juga berhasil membuat para buruh mogok pada majikanya di beberapa kota
besar sebelum tuntutanya dipenuhi[3].
Setelah kemerdekaan rasa
nasionalisme kaum buruh tergugah. Rasa memiliki bersama bangsa ini mendorong
mereka juga untuk mengintegrasikan dalam usahanya melawan kolonialisme dan
penindasan dengan secara aktif terjun kedalam kancah revolusi politik. Hingga
untuk menciptakan hal itu dibentuklah, Barisan Buruh Indonesia (BBI). Namun BBI
tidak cukup menarik perhatian kaum buruh hingga terciptalah, Laskar Buruh
Indonesia dan juga Barisan Buruh Wanita.
Namun dalam tubuh BBI sendiri timbul
pertentangan, antara golongan yang berhaluan bersikap politis, dan golongan
buruh yang bersikap lebih mengutamakan kesejahteraan buruh pada umumnya. Sikap
dualisme dalam BBI ini akhirnya menimbulkan perpecahan seteleh kongresnya pada
bulan november 1945 menyebabkan golongan yang berhaluan politik membentuk
Partai Buruh Indonesia (PBI), juga golongan yang lebih berorientasi pada
kesejahteraan buruh membentuk Partai buruh merdeka (PBM)[4].
Di masa Orde Baru, kebijakan
pembangunan yang digalakan Soeharto memang lebih terbuka, terutama untuk usaha
asing setelah munculnya UU Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDM) yang
bertujuan menarik investor sekaligus memperbanyak produksi dan membukan banyak
lapangan kerja. Kebijakan penciutan jumlah partai sekaligus mengakhiri dualisme
pandangan dalam sarikat perburuhan, terutama dengan terbentuknya Federasai
Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) sebagai satu satunya organisasi resmi buruh di
Indonesia[5].
Terlebih setelah munculnya, Hubungan Perburuhan Indonesia (HPP) paradigma
buruh yang berjalan secara vertikal dalam pandangan liberal maupun Marxis
berubah menjadi buruh adalah partner bagi para pengusaha. Baik dalam produksi,
tanggung jawab, maupun dalam keuntungan. Kesetaraan ini juga dilengkapi
dengan penyelesaian konflik antara
pengusaha dan buruh yang mengedepankan
komunikasi, perundingan, dan musyawarah dalam suasana kerjasama antara buruh
dan perusahaan[6].
Sampai tahun 1978 permasalahan
perburuhan tidak begitu muncul di permukaan, hal ini disebabkan tidak lain
karena keadaan ekonomi yang membaik. Baru pada tahun itu permaslahan untuk kaum
buruh mengemuka seperti perlakuan sewenang wenang, imbas resesi ekonomi tahun
itu menyebabkan PHK menjadi 98 %. Terlebih penyelesaian lewat HPP mentah, malah
banyak pengusaha yang tidak menjadikan buruh sebagai Partner, banyak juga
regulasi regulasi yang dilanggar oleh kaum buruh. Puncaknya permintaan kaum
pengusaha untuk memecat kaum buruh dalih menghindarkan perusahaan dari
kebangkrutan disetujui oleh pemerintah[7].
Pembabakan sejarah dari gerakan
buruh bisa kita petakan, baik pra dan pasca kemerdekaan Gerakan politik buruh
tidak bisa lepas dari pengaruh politik yang berkembang. Kausalitas perjuangan
buruh dengan politik ada semacam kesinambungan, gerakan Pemogokan buruh yang
dipelopori Semaoen dari SI merah menjadi cikal bakal berdirinya Partai Komunis Indonesia, dan
kelak di kemudian hari salah satu
organisasi besar buruh di Indonesia, Solidaritas Buruh Seluruh Indonesia
(SOBSI) menjadi underbouw PKI. Begitu
juga dengan Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) dengan NU, Gabungan
Serikat-serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo) dengan Parmusi, Sentral
Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBR I) dengan Murba, dan Sen-tral
Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOK SI) dengan militer/TNI. Pada era
ini, relasi antar SB saling bersaing, sebangun dengan sistem kepartaian Indonesia
saat itu itu yang sangat kompetitif dan cenderung konflik-tual[8].
Menginjak era Orde baru, gerakan
buruh sempat diintegrasikan melalui FBSI dan regulasi khusus kaum buruh diatur
dalam HPP, namun hal itu tidak berjalan di ranah realitas. Malah yang muncul
eksploitasi kaum buruh semakin menjadi di era pembangunan itu. Dinalik tujuan
pembentukan FBSI pada dasarnya adalah menutup akses politik kaum buruh, wacana
wacana kaum buruh lebih banyak diarahkan kepada wacana kesejahteraan ekonomi,
sehingga hak hak politis pada dasarnya di era ini benar benar di restriksi.
TANTANGAN ERA REFORMASI
Ancama neoliberalisme
Jatuhnya era Soeharto
di tangan rakyat membawa angin segar kepada kaum buruh, seetidaknya era
reformasi diharapkan mengakhiri mimpi buruk kaum buruh yang telah banyak
diterima di era Orde baru, ketika kaum buruh hanyalah dijadikan satu diantara
banyak objek yang digunakan sebagai alat pembangunan, dengan kata lain buruh
mengalami eksploitasi yang nyata melalui proses dehumanisasi.
Namun bukanya era Soeharto lengser
dengan mudahnya kebebasan dan konsep yang final bagi kaum buruh tetap tercapai.
Dosa Orde baru dalam meracang konsep pembangunan menyebabkan investor asing
banyak masuk kedalam Indonesia. Jelasnya ancaman bagi kelangsungan hidup buruh
mengintai setiap waktu.
Sejak diratifikasinya UU No 7 Tahun
1994 yang merupakan ketentuan ketentuan dari World Trade Organization (WTO), Indonesia benar benar memulai dan
siap berkompetisi di pasar bebas[9].
Ketentuan ini mengharuskan Indonesia mempunyai kemampuan sama dengan negara
lain dalam hal perekonomian, termasuk dalam hal cukai dan sebagainya. karena
tujuan ratifikasi ini pada dasarnya membukan pintu pasar bebas masuk kedalam
perekonomian indonesia.
Namun wajah ini menampakan
perspektif lain, pasar bebas adalah bentuk neoliberalisme yang materialistik dalam
memandang segala sesuatu. Dengan pandangan demikian, konsep perolehan materi
lebih ditekankan pada rasionalitas dan materialitas. Jargon mengeluarkan modal
sekecil kecilnya dengan untung sebesar besarnya menjadikan Slogan pasar bebas
di millenium ini. Konsep dasar liberalis ala Adam Smith yang tertanam dalam
agenda pasar bebas menentang negara berperan dalam ikut campur menentukan
kesejahteraan rakyatnya.
Akibatnya
tidak hanya Alam saja yang dieksploitasi dan dikooptasi, namun buruh yang
sejatinya sebagai manusia merasakan hal yang sama, buruh tidak lain hanyalah
bagian dari alat produksi. Proses dehumanisasi ini hanyalah satu dari sekian
agenda neoliberalisme di seluruh dunia, utamanya negara negara dunia ketiga.
Tentu
saja bagi para buruh agenda Neoliberalisme sangatlah tidak menguntungkan,
analogi mudahnya mereka telah lepas dari mulut buaya namun masuk kembali dalam
mulut harimau. Problem simalakama ini bertambah miris ketika kebijakan
kebijakan dari pemerintah lebih banyak menguntungkan pelaku usaha dari buruh
itu sendiri. Outsorcing dan rendahnya UMK menjadi satu dari banyak conto
kebijakan pemerintah yang pro pengusaha.
Yang
menjadi masalah adalah basis ideologi yang diterapakan dalam kaum buruh
masihlah galau dan gamang mencari wacana dan arah yang pas. Dekonstruksi
ideologis dalam masa orde baru sangatlah kuat. Padahal sebelumnya bergaining position kaum buruh cukup kuat
di era kolonial, pun saat soekarno masih memimpin.
Disaat
transformasi kultur otoritarian ala orde baru ke arah yang demokrasi di era
reformasi belum juga mendongkrak dekontstruksi ideologis kedalam organisasi
buruh. Karena bagaimanapun, ideologi bukan hanya berbicara secara abstrak saja.
Dalam praktisnya idea itu harus
segera diturunkan menjadi sebuah azas dan langkah operasional. Namun tantangan
liberalis cukup kuat dalam mengontrol kebijakan, meski pada dasarnya kita ada
dalam negara demokrasi.
Minim kekuatan politis
Ancama neoliberalisme
memang mengancam kehidupan para buruh setiap waktu. Sistem neolib yang sudah
mengakar kuat sejak era orde baru sebenarnya bisa pula diubah dan ditendang
dari bumi Indonesia. Caranya ialah dengan masuk sebuah sistem maka bisa merubah
sistem an sich. Kasarnya, dengan
sedikit kekuatan politis buruh punya kesempatan merubah nasib mereka
Namun,
hasil survei Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) bertajuk “Orientasi
Politik Buruh dalam Pemilu Legislatif 2009” menunjuk kan, mayoritas buruh tidak
mengetahui keberadaan Partai Buruh, mayoritas buruh tidak memiliki pengetahuan yang
cukup baik terkait visi, misi dan program (platform) partai politik, dan mayoritas
buruh masih menghendaki SB tidak terlibat dalam urusan politik praktis. Survei ini
memberi gambaran awal kepada kita bahwa tingkat pengetahuan, kesadaran, dan
partisipasi politik buruh masih terbilang rendah; belum mampu memaksimalkan ruang
demok ratisasi politik yang tersedia sebagai arena penting perjuangan struktural
buruh di pentas politik negara[10]
Sebenarnya
yang menjadi topik hangat untuk perbincangan adalah, kaum buruh mempunyai
sejarah manis dalam afiliasianya dengan partai politik dalam posisi tawar
dengan pemerintah. Seperti disebutkan diawal, misalnya SOBSI dengan PKI, Serikat
Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) dengan NU, Gabungan Serikat-serikat Buruh
Islam Indonesia (Gasbiindo) dengan Parmusi, Sentral Organisasi Buruh Republik
Indonesia (SOBR I) dengan Murba, dan Sen-tral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia
(SOK SI) dengan militer/TNI.
Begitu
juga di negara lain, Di Eropa, Jerman, misalnya, serikat buruh relatif
independen. A filiasinya biasanya ke Partai Sosial De-mok rat, Partai Buruh
ataupun komunis. Mereka biasa-nya bergabung ke dalam kelompok partai beraliran
k iri. Sementara itu, asosiasi pengusaha akan lebih condong kepada
partai-partai politik yang , katakanlah, konser va-tif atau liberal. Oleh
karena itu, ketika pemilihan umum maka suara-suara yang akan diberikan kepada
partai politik, katakanlah, dari kelompok buruh akan relatif lebih jelas[11].
Namun
faktanya di tahun 2000-2001 partai partai buruh tidak mengalami kenaikan dalma
suara. Akibatnya suara mereka di Parlemen nyaris tidak ada. ada banyak penyebab
mengapa buruh di Indonesia termasuk gagal dalam gelanggang politik, dengan
bekal puluhan ribu anggota, seharusnya mobilisasi masa bisa punya potensi
mengebrak partai partai besar. Apa pasal hingga hal demikian terjadi.
Pertama, Ketidakmatangan
serikat buruh dalam terjun kedalam gerakan politik. Basis gerakan sosial yang
masih melekat erat di Orde Baru masih mengakar hingga kini. Jelas gerakan
sosial dan gerakan politik mempunyai prinsip prinsip yang berbeda. Meski
dilahirkan dari entitas yang sama, misal konflik, ikatan primordial, pandangan
dan dogma, namun jelas di era kontemporer ini berbeda. Secara singkat saja,
yang membedakan adalah bergaining
position antara gerakan sosial dengan gerakan politik. Gerakan politik
jelas punya posisi tawar dan negoisasi yang lebih dengan pemerintah, beda dengan
gerakan sosial yang hanya berkutat diluar parlemen, dalam kasarnya tidak bisa
ikut andil dalam menelurkan kebijakan.
Kedua,
sebagai sebuah hasil studi sementara-ke-tika pemilu,
serikat pekerja tidak menjadikan identitas pekerja sebagai identitas politik
nya. Sebalik nya, yang muncul adalah identitas politik yang lain, misalnya,
pilihan ideologis, agama ataupun yang berkaitan dengan historis. Jadi, tidak
ada pertimbangan pilihan politik yang sifatnya lengkap[12].
Ketiga,
rendahnya pemahaman politik pada tingkat Grassroot.
Pada tingkat graasroot, hal hal semacam ini memang cukup menjadi fakta yang
cukup banyak diperbicangkan. Tidak semua apa yang menjadi ideologi golongan
dapat diterjemahkan secara pasti oleh tingkat Grassroot, ambil contoh saja pemikiran Gus Dur tidak semua pemuja
beliau bisa mengartikan apa yang ada di pikiran beliau. Akhirnya, meski dengan
massa yang cukup massif, namun kegamangan ideologi dan minimnya pemahaman dari
tingkat grassroot hanya membawa beban tersendiri pada serikat buruh pada umumnya.
Memang
untuk saat ini berbicara modal mobilisasi masa cukuplah menunjuk serikat buruh
sebagai modal awal konstituen buruh. Saat ini, pertumbuhan serikat sangat luar
biasa, tetapi sebenarnya ia mewak ili populasi yang sebenarnya tidak mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Jadi, sebenarnya, justru terjadi fragmentasi.
Ada perdebatan, misalnya, ada undang-undang yang membiarkan serikat membuat
kelompok kecil-kecil, namun itu juga karena ada pada persoalan gerakan buruh
itu sendiri. Dan mungkin memang ada kemacetan demok rasi di tingkat internal.
Beberapa serikat cukup demok ratis, tetapi be-berapa yang lain cukup mempertahankan
betul domi-nasi elit sehingga tidak terjadi sirkulasi. Oleh karena itu demokratisasi
itu sangat penting[13].
[1] Lihat Suri
Suroto, 1985, Gerakan buruh dan permasalahanya, Jurnal Prisma Edisi 11 Tahun XIV,
Jakarta, LP3ES, hlm 27.
[2] Suri Suroto, Op Cit, hlm 28
[3] Kuntowijoyo, Op Cit, hlm 42
[4] Lihat Suri
Sunarto, Loc Cit, hlm 29
[5] Loc Cit, hlm 32
[6] Ibid,
[7] Op Cit, hlm 33
[8] Jurnal Sosial
Demokrasi, 2011, editorial : Buruh dan
Politik, Jakarta, Perkumpulan Sosdem Indonesia, hlm 8
[9] Lihat Absori,
2010, Hukum Ekonomi Indonesia;Beberapa Aspek pengembangan pada era perdagangan,
Surakarta, Muhammadiyah University Press, hlm 111. Beliau lebih menekankan
ratifikasi yang telah disetujui sejatinya transformasi dari regulasi yang ada
di WTO. Dengan meratifikasi konvensi itu, Indonesia telah bersiap pada era
perdagangan, namun, lanjut beliau, substansi dari prinsip regulasi yang
bercorak indiviual materilistis itu pada dasarnya malah bertentangan dengan
corak kultur masyrakat kita yang komunal.
[10] Jurnal Sosial
Demokrasi, Op Cit, hlm 10-11
[11] Ibid, hal 13
[12] Ibid, hal 22
[13] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar