Jumat, 02 Mei 2014

Hari (Hari) Pendidikan kita


Teringat sepenggal Epilog dalam Essay Bandung Mawardi  (Solopos 30/04/2014) yang berjudul Kaum buruh dan Tanggal Merah. Ia menulis ”Sekarang sejarah gerakan kaum buruh ditanggapi pemerintah dengan memerahkan tanggal di kalender. Hari buruh Internasional adalah hari libur tapa penjelasan panjang mengenai pemenuhan hak hak buruh”.
Mungkin benar untuk menutupi kealpaan tugasnya, pemerintah perlu memerahkan tanggal. Hadiah ini cukup efektif meredam aksi kritis buruh menuntut haknya, karena tidak sedikit buruh “lupa” tuntutanya dan lebih mementingkan senam dan jalan pagi bersama.
                Menginjak hari ini, 2 Mei yang (katanya) merupakan hari pendidikan nasioanl. Kita perlu curiga agenda setting dari pemerintah. Yang jelas aksi tuntutan dan kecaman membahana di hari ini. Namun pertanyaan pentingnya, kenapa harus hari ini?, apakah kepincangan pemerintah mengelola pendidikan disadari belakangan ini saja.  
                Pertanyaan serupa juga diajukan dalam konteks yang lain, hari kartini, hari antikorupsi, dan sejuta perayaan lainya. pernahkah kita menggugat mengapa hari pendidikan itu tanggal 2 mei, kenapa harus bertepatan dengan hari lahir ki hajar dewantara, kenapa bapak pendidikan adalah ki hajar dewantara, benarkah beliau mempunyai andil besar dalam perjalanan pendidikan kita.
                Sulit menemukan jawaban pertanyaan ini, selain membentur tembok “rekayasa sejarah”, sistem pendidikan dan pengetahun memaksa kita menelan bulat bulat apa yang dibikin pemerintah yang enggan menyediakan ruang dialog untuk menggugat kebenaran sejarah. Bukanya  tidak ingin melucuti pengukuhan gelar ki Hadjar Dewantara, namun sejarah haruslah objektif.
                Namun daripada menjurus kedalam perdebatan sengit. Mungkin saja negara memiliki perspektif atau fakta lain yang enggan disebarkan, sehingga membuat Ki Hadjar adalah Dewa Pendidikan Indonesia. Mungkin saja Konsep Tamansiswanya lebih kompromis dalam konteks Indonesia daripada Pendidikan Muhammadiyah Ki Ahmad Dahlan ataupun Konsep Pondok Pesantren Sunan Ampel.
                Toh itu bukan perkara penting, mengingat orator aksi tak pernah sedikitpun menyinggung hal ini. Para orator lebih menyukai memperjuangkan kebobrokan instansi pendidikan, ataupun menghidangkan kisah seks bebas di sekolah, sampai kasus kekerasan. Aduhai… miris sekali nasibmu wahai Ki Hadjar, di hari ulang tahunmu yang dianggap suci itu… sepertinya elegi elegi pendidikan lebih pantas dibacakan daripada jasa jasamu.
                HARI HARI PANJANG
                Namun terlepas dari kaburnya Sejarah dan konsepsi hari pendidikan kita, sudilah kita menengok katalog yang menggantung di dinding rumah kita. Coba hitung berapa tanggal merah non minggu dan hari raya yang digunakan untuk memperingati hari hari penting. Berapa kali dalam satu tahun, kita harus menerima hadiah berlibur, daripada disediakan waktu untuk berdialog sejenak tentang hari hari itu.
                Doktrin Soekarno tentang Jasmerah atau jangan sekali kali melupakan sejarah, seringkali  dijadikan dalih perayaan. Namun Nyatanya, tidak sedikit perayaan ini membuat seseorang semakin ahistoris, dan menelan mentah mentah apa yang menjadi kesepakatan umum (Common Sense). Hari kartini misalnya, menelan banyak korban pahlawan pahlawan wanita merelakan jabatan emancipator dipegang kartini.
                 Dibalik itu, kita akan seakan takjub negeri ini begitu banyak mengahrgai setiap tokoh atau peristiwa yang kiranya dianggap penting dan bermanfaat bagi bidangnya. Namun disisi lain, hari hari itu lebih banyak diisi peragaan busana, upacara yang kosong substansi, ataupun diskusi yang minim kontemplasi.
                Kecerobohan ini nyatanya banyak dilakukan Intelektual kita, yang harusnya meminjam bahasa Ali Sari’ati ialah rausyanfikr atau Intelektual yang mencerahkan. Ialah gambaran Intelektual yang sanggup memberi basis kebenaran, absolutism fakta, atau dekonstruksi suatu dogma. Yang terjadi malah, Intelektual kita larut dalam tradisi perayaan perayaan ini.
                Namun entahlah, mungkin saja rakyat kita adalah mayoritas pemaaf. Bukan pendendam dan pengaharap kampiun kebenaran, kesalahan dan kedustaan kepemimpinan bisa terhapus dengan memerahkan hari hari. Atau mungkin rakyat jelata kita cukup terhibur dengan ritual ritual dan segala pernik dalam setiap  peringatan.
                Plus, Blunder dalam memodernisasi pendidikan, yang akhirnya memproduksi sekrup sekrup sistem Neoliberalism hanya cukup dijawab Pemerintah dengan menggelar upacara Pagi, Jalan Santai, senam pagi, lomba lomba, sampai-sampai Seminar yang “Ilmiah”.  Kesemuanya belum menceritakan urgensi Pendidikan harus dirayakan sedemikian rupa. Begitu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar