Teringat sepenggal Epilog dalam Essay Bandung
Mawardi (Solopos 30/04/2014) yang
berjudul Kaum buruh dan Tanggal Merah. Ia menulis ”Sekarang sejarah gerakan kaum buruh ditanggapi pemerintah dengan
memerahkan tanggal di kalender. Hari buruh Internasional adalah hari libur tapa
penjelasan panjang mengenai pemenuhan hak hak buruh”.
Mungkin benar untuk menutupi kealpaan tugasnya,
pemerintah perlu memerahkan tanggal. Hadiah ini cukup efektif meredam aksi
kritis buruh menuntut haknya, karena tidak sedikit buruh “lupa” tuntutanya dan
lebih mementingkan senam dan jalan pagi bersama.
Menginjak hari
ini, 2 Mei yang (katanya) merupakan hari pendidikan nasioanl. Kita perlu curiga
agenda setting dari pemerintah. Yang jelas aksi tuntutan dan kecaman membahana
di hari ini. Namun pertanyaan pentingnya, kenapa harus hari ini?, apakah
kepincangan pemerintah mengelola pendidikan disadari belakangan ini saja.
Pertanyaan
serupa juga diajukan dalam konteks yang lain, hari kartini, hari antikorupsi,
dan sejuta perayaan lainya. pernahkah kita menggugat mengapa hari pendidikan
itu tanggal 2 mei, kenapa harus bertepatan dengan hari lahir ki hajar
dewantara, kenapa bapak pendidikan adalah ki hajar dewantara, benarkah beliau
mempunyai andil besar dalam perjalanan pendidikan kita.
Sulit menemukan
jawaban pertanyaan ini, selain membentur tembok “rekayasa sejarah”, sistem
pendidikan dan pengetahun memaksa kita menelan bulat bulat apa yang dibikin
pemerintah yang enggan menyediakan ruang dialog untuk menggugat kebenaran
sejarah. Bukanya tidak ingin melucuti pengukuhan
gelar ki Hadjar Dewantara, namun sejarah haruslah objektif.
Namun daripada
menjurus kedalam perdebatan sengit. Mungkin saja negara memiliki perspektif
atau fakta lain yang enggan disebarkan, sehingga membuat Ki Hadjar adalah Dewa
Pendidikan Indonesia. Mungkin saja Konsep Tamansiswanya lebih kompromis dalam
konteks Indonesia daripada Pendidikan Muhammadiyah Ki Ahmad Dahlan ataupun
Konsep Pondok Pesantren Sunan Ampel.
Toh itu bukan
perkara penting, mengingat orator aksi tak pernah sedikitpun menyinggung hal
ini. Para orator lebih menyukai memperjuangkan kebobrokan instansi pendidikan,
ataupun menghidangkan kisah seks bebas di sekolah, sampai kasus kekerasan.
Aduhai… miris sekali nasibmu wahai Ki Hadjar, di hari ulang tahunmu yang
dianggap suci itu… sepertinya elegi elegi pendidikan lebih pantas dibacakan
daripada jasa jasamu.
HARI HARI PANJANG
Namun terlepas
dari kaburnya Sejarah dan konsepsi hari pendidikan kita, sudilah kita menengok
katalog yang menggantung di dinding rumah kita. Coba hitung berapa tanggal
merah non minggu dan hari raya yang digunakan untuk memperingati hari hari
penting. Berapa kali dalam satu tahun, kita harus menerima hadiah berlibur,
daripada disediakan waktu untuk berdialog sejenak tentang hari hari itu.
Doktrin
Soekarno tentang Jasmerah atau jangan sekali kali melupakan sejarah,
seringkali dijadikan dalih perayaan. Namun
Nyatanya, tidak sedikit perayaan ini membuat seseorang semakin ahistoris, dan
menelan mentah mentah apa yang menjadi kesepakatan umum (Common Sense). Hari kartini misalnya, menelan banyak korban
pahlawan pahlawan wanita merelakan jabatan emancipator dipegang kartini.
Dibalik itu, kita akan seakan takjub negeri
ini begitu banyak mengahrgai setiap tokoh atau peristiwa yang kiranya dianggap
penting dan bermanfaat bagi bidangnya. Namun disisi lain, hari hari itu lebih
banyak diisi peragaan busana, upacara yang kosong substansi, ataupun diskusi
yang minim kontemplasi.
Kecerobohan ini
nyatanya banyak dilakukan Intelektual kita, yang harusnya meminjam bahasa Ali
Sari’ati ialah rausyanfikr atau
Intelektual yang mencerahkan. Ialah gambaran Intelektual yang sanggup memberi
basis kebenaran, absolutism fakta, atau dekonstruksi suatu dogma. Yang terjadi
malah, Intelektual kita larut dalam tradisi perayaan perayaan ini.
Namun entahlah,
mungkin saja rakyat kita adalah mayoritas pemaaf. Bukan pendendam dan
pengaharap kampiun kebenaran, kesalahan dan kedustaan kepemimpinan bisa
terhapus dengan memerahkan hari hari. Atau mungkin rakyat jelata kita cukup
terhibur dengan ritual ritual dan segala pernik dalam setiap peringatan.
Plus, Blunder
dalam memodernisasi pendidikan, yang akhirnya memproduksi sekrup sekrup sistem
Neoliberalism hanya cukup dijawab Pemerintah dengan menggelar upacara Pagi,
Jalan Santai, senam pagi, lomba lomba, sampai-sampai Seminar yang
“Ilmiah”. Kesemuanya belum menceritakan
urgensi Pendidikan harus dirayakan sedemikian rupa. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar