“Suatu
alternatif menghadapi konglomerasi media”
Syahdan,
disebuah sudut perkampungan pinggiran rimba yang sunyi, seorang sedang bercakap
lewat ponsel dengan lawan seberangnya yang ada di puncak Burj Khalifa, dubai.
Perbedaan geografis yang radikal itu, bukan mengahalangi kedua orang itu asyik
bercakap seru. Sepuluh tahun yang lalu mungkin hal itu mustahil, namun tidak di
era ini yang lazim disebut Globalisasi.
Fenomena Globalisasi dan efeknya begitu gila gilaan di
zaman ini, menjadi fenomena apa yang kemudian disebut Marshal Mc luhan, bahwa
sebentar lagi akan mengalami“perkampungan global”. Sebuah komunitas masyarakat
yang tidak lagi terbatas sekat sekat Teritorial ataupun waktu. Komunikasi via
oral, tatap mata, ciuman, maupun rasa sekarang terganti komunikasi via telepon,
televise, dan sederet media artifisial lainya.
Globalisasi harus berterima kasih kepada Media Massa,
yang dengan mudah menembus sekat adat, agama, ras, bahkan ideologis tanpa
adanya kesulitan. Seorang Sosialis Kibutz di Israel mungkin tidak asing tentang
Jatuhnya Saham Microsoft tanpa jauh jauh ke Washington. Media seakan menjadi
lakon tunggal di era global ini, hingga muncul pemeo siapa yang kuasai media,
ia akan menguasai dunia.
Di pihak lain, kegiatan di bidang media massa
dewasa ini, termasuk di Indonesia telah menjadi industri dan semakin korporatif.
Dengan masuknya unsur kapital lewat Globalisasi, media mau tak mau harus memikirkan pasar demi keberlangsungan
hidup mereka. Satu persatu pemodal semakin lihai menyetir media miliknya, hal
ini tidak lain demi keuntungan semata, meski dengan menyingkirkan nilai nilai
ideologis. Termasuk dalam menyajikan peristiwa politik.
Memang diakui Liputan politik cenderung lebih
rumit ketimbang reportase bidang kehidupan lainnya. Pada satu pihak, liputan
politik memiliki dimensi pembentukan pendapat umum (public opinion), baik yang
diharapkan oleh para politisi maupun oleh para wartawan. Karenanya, berita
politik bisa lebih dari sekadar reportase peristiwa politik, tetapi merupakan
hasil konstruksi realitas politik untuk kepentingan opini publik tertentu.
Dalam komunikasi politik, aspek pembentukan opini inilah yang justeru menjadi
tujuan utama, karena hal ini akan mempengaruhi pencapaian-pencapaian politik
para aktor politik (McNair, 1995 dan Nimmo, 1978).
Dua
variabel antara konglomerasi media dan berita politik menjadi semakin klop, ketika para aktor politik tak
segan mengeglontorkan puluhan bahkan jutaan untuk sekelabat “berdakwah”
menyampaikan visi dan misi diantara program sampah lainya. Tak sekedar apa yang
kemudian disebut “citra”, fungsi pembentukan opini pada masyarakat luas oleh
media juga berhasil diendus para politikus untuk sekedar menghapus jejak dosa
mereka di masa lalu. Heranya, perselingkuhan yang awalnya malu malu itu kian
terang terangan di mata publik.
Kabar buruknya, tidak sedikit manusia di negeri yang
menjadi Multitalent, atau kemampuan
ganda. Terkadang sebagai ketua partai politik, terkadang sebagai pemodal, dan
terkadang sebagai pemilik media.Tak berlebihan menjadi manusia semacam ini,
seperti halnya menggenggam dunia. Kabar buruknya lagi, ia tidak sedikit di
negeri ini. Dan, tentu saja berbicara media, kepentingan, dan modal berarti
kita berbicara kabar buruk.
Menuju Jurnalisme Progressif
Media pada dasarnyaa adalah sebuah entitas besar yang tak
lepas dari visi dan misi perjuangan. Cantuman Visi dan Misi perjuangan tidak
hanya menjadi pelengkap Juklak dan Juknis untuk memperoleh secarik SIUPP. Namun
lebih dari itu, Visi dan misi media harus tertanam kuat kepada seluruh pelaku
media. Minimal bermodal konsistensi, mewujudkan media yang ideologis bukan hal
mustahil.
Namun
dewasa ini, ditengah membludaknya tuntutan saudagar saudagar media, yang selalu
menuntut media beroplah tinggi. Dan juga diantara ribuan trik trik kotor
murahan media, entah dengan menjilat, meninju, ataupun mengenakan topeng
kebohongan untuk segepok keuntungan, mencari media idealis, sederhanya. Masih
menjadi barang langka di pasaran.
Memang bukan perkara mudah, ditengah himpitan citraan
citraan yang begitu derasnya menuju pesta demokrasi. Semakin penuhnya Public Speare oleh wajah wajah kstaria
senayan, membuat dinamika media semakin semrawut ,namun masih ada tuntutan
untuk tetap di titian Shirotol Mustaqim.Masih
ada kerinduan untuk mewujudkan visi misi media an sich.
Media Progressif, demikian. Sebuah cara pandang,
falsafah, ataupun metode baru menghadapi badai rejeki nomplok plus citra rekaan
dengan tumbal ideologis. Sebuah terobosan baru untuk mengakhiri kejumudan dan
semakin pragmatisnya arah gerak media massa saat ini.
Tidak
berlalu berharap banyak dengan tawaran media progressif ini, apalagi selalu
menjadi oposan murni, tanpa sebuah hipokritasi. Selalu ideologis di tengah
merebaknya arus komoditif, dan hanya menjadi alternatif diantara ribuan bahkan
jutaan referensi penyedia kebenaran,
kebaikan, dan seribu slogan idealis lainya.
Memilih jalur progressif, para pelaku media, terutama
awak redaksi harus siap merekonstruksi ulang frame pemberitaan yang selalu
bertumpu pada Cover Both side, atau
paling banter Cover All Side. Menjadi
media progressif, berarti siap membedah ulang Ideologi media, minimal paham
makna netral dan independen. Tak hanya itu, potret keadaan masyarakat yang
semakin mustadh’afin, membuat media kini
harus benar benar turun tangan untuk mengakomodasi kepentinganya.
Memang
benar, menjadi sebuah media progressif tak ubahnya selalu menengok kebawah
melihat para jelata, dan menampakan wajah garang terhadap birokrasi. Namun tak
selamanya, para birokrat itu selalu diceritakan dengan ribuan kata terkutuk.
Adakalanya dengan kacamata objektif, kinerja mereka tak salahnya diagungkan.
Dan tidak selamanya pula, masyarakat yang selalu disanjung bak bidadari
penghuni Firdaus, ketika dalam situasi buruk bisa diadvokasi menuju perdamaian.
Memang diakui, Potensi media
progressif mungkin tak sekecil harapanya. Namun, di Negeri Paman SAM, blog-blog
jaringan warga hispanik mampu melengserkan pemimpin tertinggi CNN dari
jabatannya menyusul pernyataan rasialisnya terhadap warga hispanik. Artinya,
meski klaim progressif belum tentu tersemat pada situs situs liliput itu, namun
setidaknya rekayasa sosial bukanlah monopoli media media raksasa, jika masih
ada kucuran kerja keras, tak ada yang mustahil.
Seperti diawal katakan, Status Quo menjadi tantangan
besar media media yang berlabuh ke arah progressif. Media yang saat ini banyak
menderita Tunavisi, sudah saatnya mentransformasi nilai nilai ideologi media,
kedalam ruang redaksi yang rawan transaksi citra. Namun terlalu ideologis,
layaknya Harian Rakjat besutan PKI yang selalu menebar AgiTrop bukan pilihan
bagus.
Apalagi
selanjtunya mencoba menutup mata akan pentingnya pangsa pasar, hal ini termasuk
bunuh diri. Intinya menjadi media Progressif sama dengan media moderat. Ia tak
berjejak di bumi dan terbang di langit, persis seperti intelektual dalam
gambaran Benda. Tak alpa, ia harus selalu
memakai kacamat objektif, dan harus berakhir di secarik produk yang bisa
menjadi nilai nilai edukatif di ruang public. Begitu.
Menyemai Virus Progressif
Namun
naïf juga, ketika kita beranggapan Globalisasi menjadi tersangka utama dalam
kesemrawutan ini. Entah apapun alasanya, Globalisasi seperti menjadi urat nadi
kehidupan bangsa manapun di dunia ini. Klaim sebagai bangsa yang maju tidak
lepas dari kontribusi mereka dalam arena
global. Namun, Globalisasi saat ini seakan menjadi satu paket dengan
Neoliberalisme.
Bukanya
menjadi hal yang mustahil dihindari, toh, daripada mengutuk kegelapan, alangkah
baiknya menyalakan lilin harapan. Di awal, tentu kita paham. Virus Progressif
menjadi satu alternativ bagi media media saat ini untuk tetap dalam Shirotol Mustaqim. Namun tidak mudah
mewujudkan dalam waktu dekat, ia butuh penyemain dan bibit bibit yang
berkualitas.
Bergeser
ke fenomena yang lain, Kalau kita menengok beberapa tahun belakangan ini,
keberadaan Persma (Pers Mahasiswa) dalam dinamika Perjalanan Pers dianggap
hanyalah menjadi parasit saja. Disatu sisi, kebutuhan mereka akan kesetaraan
dengan awak media mainstream dan
advokasinya selalu didengungkan, namun ketika melihat peran dan fungsi mereka,
urung bagi kalangan Pers memberi status yang sama.
Namun
seakan lupa dengan hal ini, secara objektif kita bisa beranggapan, peran Persma
terhadap dinamiasasi Pers Indonesia saat ini tidak bisa dianggap enteng. Sudah
banyak capaian capaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata saja. Misalnya
saja : mengawal kritisme dinamisasi
kampus. Mungkin tak ada salahnya
kita ‘’berijtihad” untuk menyemai Virus progressif kedalam urat nadi Pers
Mahasiswa.
Pertama, jika kebanyakan media sekarang
berorientasi pada pendapatan serta oplah yang tinggi. Tidak begitu dengan
Persma, ia lebih berorientasi kepada studi dan nilai nilai edukatif. Dengan
menghadirkan Virus Progressif dalam visi mereka, minimal menjadi protektor
mereka dalam rel kebenaran.
Tak benar dan (mungkin) munafik menyebut
media mainstream saat ini tidak
menunggu oplah datang setiap saat. Mungkin benar wajah mereka masih menyimpan
pesan ideal, namun melihat tubuh korporasinya jelas itu bukanlah hal yang mudah
ditutupi. Korporasi tentu tak ubahnya perusahaan dagang yang tiap harinya hanya
berfikir nilai nilai keuntungan saja, meski dengan sikap yang machivellian.
Kedua,
Orientasi non profit yang tertanam dalam awak
redaksi Persma, menjadi senjata utama pencerdasan masyarakat. Meski terganjal
dengan segementasi produk yang sempit, yaitu masyarakat kampus. Tentu hal ini
bukan masalah, mengingat dewasa sekarang, banyak Persma yang mencoba peruntungan
baru di segmen yang lebih luas.
Meski dengan dandanan tak semegah media media
raksasa, namun pantas diacungi dua jempol untuk mereka, jika mampu membuat
konstruksi opini dalam masyarakat. Apalagi mampu membuat media media besar
kebakaran jenggot. Jika demikian, Persma tak lagi dipandang sebagai Underdog.
Ketiga, Persma adalah masa depan Pers Indonesia. Untuk
saat ini ketergantungan Media media besar Indonesia bisa disebut cukup tinggi.
Disanalah etos sebagai kuli tinta dibentuk, disana pulalah penanaman nilai
nilai ideologis pers disemaikan, lebih tepatnya kita menyebut Persma sebagai
kawah candradimuka bagi wartawan sebelum terjun kedunia nyata.
Meski mungkin bukan keniscayaan, namun dunia
yang mereka hadapi adalah sama, meski dengan kadar yang berbeda. Persma
ibaratnya menjadi pemasok tunggal bagi awak redaksi media di masa mendatang,
dan tak ada salahnya Penyemaian Virus Virus Progressif untuk saat ini pada
persma, kiranya tepat untuk pembangunan media yang sehat di masa depan.
Media yang sehat tentu menjadi dambaan setiap
orang, ketika nilai nilai edukatif bisa terserap kedalam masyarakat. Rekayasa
sosial yang kemudian diperankan akan lebih pada upaya konstruktif, bukan
destruktif yang kadang terlalu tendensi. Cita cita ideologis dan Keuntungan
dilakukan sesuai porsinya.
Ya benar. Mari
Berijtihad..
Salam PERSMA …
Oleh : Faizal Adi Surya, Pemimpin Litbang LPM Pabelan, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, CP : 0896-5557-8124, Fb : Faizal Surya.