Kamis, 20 Februari 2014

Terrorist


Sore (17/02), di sela sela membaca gerakan perlawanan dari masjid kampus, nenekku yang kutaksir sudah berkepala enam duduk di sampingku. Ia menjaga warung milik bibiku yang sedang melancong membeli sate untuk makan malam, kami berbincang tentag Kelud, debu, dan Solo.
Bibiku datang membawa segepok sate, ia dan dua anaknya kembali ceria mewarnai warung kecil yang hanya seukuran kamar kostku. Buku karangan Andi Rahmat itu, terjatuh saat kudekap keponakanku yang masih 3 tahun, Safira. wajahnya cantik lagi imut, ia berponi dan tersenyum manis, selagi khusyuk bermain denganya, Bibiku membaca judul buku sembari mengepalkan tangan ke atas.
“Ayo, gerakan lawan !!”, ucapnya cukup keras.
“ buku opo iku (buku apa itu) ?” Tanya nenekku.
“mbuh kui Ijal, tentang terroris to (ga tau itu ijal, tentang terroris ya)?” Tanya bibi padaku.
“ojo  melu melu terroris ngono yo (jangan ikut kegiatan terroris seperti itu ya) !” cegat nenek sebelum aku bersuara, akhirnya aku hanya tersenyum manis saja.
“Terroris kui rapopo, neror koruptor kui to (terroris itu tidak apa, meneror koruptor kan)?” tiba tiba pamanku menyambung.
Antara Bibi, paman, dan nenekku terlihat asyik berdiskusi kecil tentang terroris, semuanya menghasilkan pemahaman yang sama, beberapa term sempat muncul sore itu, antaranya destruktif, Islam, dan Mahasiswa. Kecuali pamanku yang tetap Keukeuh Terroris itu tak apa selama meneror koruptor, entah seperti apa kesimpulanya, selama 5 menit itu aku hanya tersenyum saja.  
***
Memang sering, Nenek menasehatiku agar berhati hati ketika kuliah. Jangan jadi terroris dan pendemo, ingatku. Agaknya nenekku, memang alergi reolusi. Namun tak apalah, tak mungkin sore tadi aku harus menerangkan Tadzkirah karangan Ustadz Abu bakar ba’asyir, sebagai legitimasi menghancurkan kepentingan asing.
Dan tak mungkin pula kubicarakan kepentingan asing Via Birokratisasi yang semakin mencengkram rakyat, (meminjam istilah Gramsci, ialah Menghegemoni). Hingga kita tidak bisa tinggal diam, dan harus menjadi intelektual organik yang bergerak bersama rakyat mengahancurkan kapitalisme.
Memang cukup sedih melihat dua frasa akhir yang menjadi keyword diskusi tiga orang tadi. Yaitu tentang Islam dan Mahasiswa. Kita bisa lihat dalam lingkup global, bagaimana islam itu entah dengan cara seperti apa menjadi dikemukakan Charles Kimball sebagai agama yang jahat, agama yang tak ramah manusia, agama nontoleransi, dan segala cap buruk yang berkaitan dengan humanism.
Dalam konteks yang lebih sempit pula, khususnya di Indonesia. Pemuda pemuda bergelar “pengantin” ataupun “Calon Pengantin” kerap memperoleh gelar “Terroris”. Ironis, disaat yang sama,  kematian para pemuda malah diarak dan dijuluki Syuhada oleh rekan seperjuanganya, suatu gelar yang menjadi tiket untuk melenggang ke Taman Firdaus.
Dalam hal ini, Titik Fokusnya adalah, peran dan fungsi media yang baik dalam merawat isu sekaligus merekayasa daya pikir tiap korbanya. Terbukti dengan, entah strategi apa yang digempurkan media kepada konsumenya, Islam sebuah sistem peradaban unggul, santun, dan beradab, diubah menjadi ketakutan pada masyarakat dunia, utamanya setelah tragedy 11 September, bush dengan lancangnya mengucapkan, “you're either with us, or against us”.
Proses simulasi ini, berjalan cukup efektif bahkan bisa dibilang melampaui keberhasilan(Hypersucces). Bagaiamana tidak, cap terrorisme tidak hanya terhadap islam saja, tetapi juga terhadap mahasiswa. Ini merupakan efek domino yang ditimbulkan. Hingga akhirnya Tampak jelas, beberapa simbol perlawanan mahasiswa menjadi mati suri, tertutupi citra buruk dan rekaan rekaan semu ala media saat ini.
Namun ada hal perlu kiranya lebih Vital untuk dibicarakan. Tentang Hypersucces ini,  efeknya terhadap Mahasiswa tentunya. Tidak usah berbicara tentang Demonstrasi yang kian minim peserta, dan semakin dangkal isu yang dibawa. Dalam keseharian, praktek praktek intelektual mahasiswa semacam diskusi diskusi semakin jarang ditemukan. Disudut kampus kini, bukan lagi diwarnai roman dialektika antar satu ideology dengan yang lain, namun semakin dijejali ajang ajang komersialisasi, dengan simbol gairah dan hasrat.
Program sampah yang dibawa Media tiap detiknya pada akhirnya menciptakan musuh dalam selimut. Utamanya mahasiswa, bagaimana tidak, isualisasi dan halusinasi lewat iklan, dengan mudahnya membangkitkan libido para konsumen. Tak perlu memandang diri dan strata, seolah media meimnjam istilah Hikmat Budiman, ialah menjadi lubang hitam yang tiap saatnya menarik siapa saja, dan tentu saja terperdaya.
Kisah Hypersucces ini berlanjut pada aktiitas di lingkungan kampus,  mereka yang sudah terperdaya media, menjadi tabu dan asing dengan kata Reolusi, Marx, ataupun Plotinus. Sedang di tiap lini pikiran mereka, hanyalah terisi SNSD, Taylor Swift, bahkan Cut Tari.
Spesies baru inilah yang kemudian menjadi musuh baru Inteletual muda kita, tak sedikit mereka mulai mengecam kawan kawan seperjuangan mereka yang tidak berhentinya menerikan anti kapitalisme, meskipun ia sesaat menghisap rokok Marlboro.  Disaat yang sama, perancang narasi besar ini mulai bertepuk tangan riang, melihat komponen perlawan telah mendapatkan pekerjaan baru, hingga menggempur dosa penguasa semakin sulit saja.
***
Minimal, kita berharap safira kecilku tidak terperdaya media, yang semakin hari kian mendzolimi masyarakat dengan tayangan sampah, eksploitasi libido,  pengebirian fakta, ataupun hipokritisasi dosa. Semoga saja.


Selasa, 18 Februari 2014

ROMANTIKA ITU MASIH ADA (RESENSI BUKU)


Judul Buku      : Pacar Merah Indonesia, Peranan Tan Malaka dalam berbagai konflik dunia
Penulis             : Matu Mona
Penerbit           : Beranda Publishing
Tahun terbit     : 2010
Kota Terbit      : Yogyakarta
Ukuran Buku   : 140 x 220 mm

 “Kamu pernah mendengar nama negeri Nusasia? Dari pulau itulah ia berasal, tetapi namanya sudah masuk ke dalam arsip kantor secret service dunia! Scotland Yard jug sudah memata matai keberadaya. Ia tidak dapat ditangkap karena ia mempunyai 1001 macam akal, riwayat hidupnya bagaikan dongeng saja.” (Dialog MC.Gowan (seorang pembesar PID) dengan anak buahnya, hlm 83)
Setelah kemudian dijumpai kisah romantic sang dictator, di Sexuel kedua ini, Matu Mona lebih menampilkan sisi heroik Pacar Merah, yang dibumbui dengan kemampuan di luar nalarnya. Terutama dalam peranya di berbagai konflik berbagai penjuru dunia. Meski demikian, roman ini tentu tak akan menarik tanpa ada keberadaan keturunan hawa, dalam petualangan kali ini Pacar Merah ditemani pula seorang Wanita, bernama Agnes.
Roman ini dibuka dengan persaingan partai Sosialis yang dihuni teman teman pacar merah yaitu, Darsnoff dan Moussette versus Croix de Fu (C de F) di Perancis. Partai C de F, yang berafiliasi fasis sedikit demi sedikit membuka konflik dengan partai sosialis, setelah sebelumnya di Jerman dan Italia, partai sosialis harus dihukum akibat tak sepaham dengan De Fuhrer dan Mussolini.
Konflik ini kemudian merambat ke ibukota Spanyol, Madrid. Darsnoff yang merasa geram akan hal ini, merasa terpanggil untuk berjuang bersama kamerad disana. Kebetuan, istri Alminsky, Marcelle, sudah lama terbang ke Madrid untuk ikut berjuang disana, konflik di Perancis sendiri semakin memuncak setelah Francoisse, tertembak di dadanya dan harus masuk rumah sakit, hal ini menimbulkan kegaduhan di perancis sendir. Marchelle, yang berada di Madrid sendiri juga terluka parah, bahkan harus dirujuk ke rusia.
Disisi lain, keberadaan Pacar Merah terlacak di Palestine, ia menjadi buah bibir disana, masyhur dengan nama Ibrahim El Molqa. ia dikutuk bangsa inggris, karena memasok senjata untuk kaum arab lewat perbatasan di Syria. Sebaliknya ia menjadi selebritis di kalangan kaum badui. Sengketa Inggris di Palestine, dimulai ketika inggris memboyong yahudi ke Bumi Palestine,setelah yahudi sudah tidak diterima lagi didunia barat, terlebih saat itu Hitler sedang berjaya. Sedang, sejarah muslim dan yahudi, bukanlah sejarah yang indah.
Inggris sendiri, sebenarnya ada dalam pilihan dilematis, di satu sisi ia sudah berjanji kepada yahudi akan membawa mereka ke Jerussalem sebagai ganjaran mereka membocorkan rahasia kaum fasis. Inggris sendiri juga berjanji kepada kaum arab, yang telah membantu mereka meruntuhkan kekuasaan Kekhalifan Turki dengan syarat kemerdekaan bangsa arab. Namun akhirnya inggris condong ke kaum yahudi, karena mereka memiliki kepentingan minyak di Mossul, Irak.
Dalam Konflik di Palestine ini, Matu Mona berhasil mengekspos ilmu linuwih dari pacar merah. Dimulai dari penyamaran sebagai seorang wanita tua badui, dalam misinya menemui Mr. Jack Steel, agen senjata, di Kota Hebron, semaca Mekkahnya orang Yahudi. Dilanjutkan dengan lolosnya ia dari puluhan polisi yang siap menyergapnya.
“Walaupun ia tahu bahwa di bawah menunggu puluhan rechercheurs, dengan pimpinan oleh Mc. Calister dan McGowan, namun ia tetap tenang. Ia seperti tidak menyadari situasi di kanan-kirinya, matanya dipejamkan, telapak tanganya ditadahkan ke langit, mulutnya berkomat kamit. Ia sedang berdoa! Tidak lama kemudian Lift berhenti, pintu pun terbuka. Pacar Merah keluar dari Lift itu dengan tenang, puluhan Rechercheurs lengkap dengan reoler masing masing berdiri di kanan-kirinya. Ia berjalan tenang tanpa ragu-ragu dan tanpa was-was”. (Hlm 106)
                Perang belum usai, Pacar Merah  harus menuju India, untuk Konggres Pan Malaya bersama Alminsky, ia menyamar menjadi seorang Professor Martinez, seorang berkebangsaan Filipina. Ia juga didampingi Gadis Ayu bernama Agnes. Seperti biasa, Matu Mona sengaja membuat saga kisah cinta ini. Syahdan, pangeran Dhal Shingji, seorang pembesar kerajaan dari India, terpukau dengan kecantikan agnes, sekaligus kemahiranya bermain Biola.
                Agnes yang sudah terlanjur mencintai Martinez, cukup heran dengan ketidakcemburuan Martinez. Dan seolah merestui hubunganya dengan Dhal Shingji. Mimik muka agnes bertambah kecut, ketika melihat tekad bulat pacar merah yang akan menyusup ke Rusia, negeri nomor satu yang ingin memburunya. Pacar Merah baru menerima surat dari Darsnoff yang sudah ada di belgia, bahwa Semaunoff tertangkap dan diasingkan ke Siberia seumur hidup.
                Agnes yang akan bunuh diri, bila tidak disertakan dalam Mission Impossible ini akhirnya ikut juga. Mereka bertiga menyamar sebagai seorang Mongolian, Pacar Merah sebagai Amru, Agnes sebagai Aziza, dan Almisnky sebagai Zanggi. Mereka bertiga melancong ke Rusia, lewat Samarkand, negeri Imam Bukhori. Namun, alminsky dan Agnes menuju Moskow, dan Pacar Merah menuju Dante’s Inferno II , yaitu penjara Siberia, tempat Semounoff tertangkap.   
                Alih alih menyelamatkan Semaunoff, Pacar Merah rupanya dijebak pemerintah Rusia, agar masuk ke negeri Stalin itu. Ia yang sudah kalut dan bingung akhirnya menyelamatkan diri karena sejak awal Diintai GPU (mata mata Rusia), bersama Alminsky yang telah berjumpa dengan Michelle dan Alminsky Jr, ia melarikan ke Iran, setelah sebelumnya pamer kesaktian, saat tertangkap anggota GPU, sedang Michelle dan Agnes, lari ke Polandia.
                Sebelum ke Palestine lagi untuk berjihad, Pacar Merah yang kembali menggunakan identitas Prof Martinez. Bersama Alminsky, ia berhasil mendamaikan Suku Kizilbash yang selalu memberontak kepada Reza Pahlei, diktator Iran saat itu. Di akhir Noel, kisah pembesar PKI berbeda nasib, Pacar Merah sekarat, bahkan Alminsky harus mengahadap Tuhan, karena terluka parah di Palestine. Semounoff, yang bertemu Agnes dan Marchelle di Polandia, menuju paris untuk mengambil program doctor Phillosophy, Mousette, kembali ke Nusasia, menyebarkan Propaganda dan menyamar menjadi Ratu Adil, dan akhirnya
ia menyusul Darsnoff ke Belgia. 



Minggu, 16 Februari 2014

Romantika seorang Diktator (Resensi Buku)


Judul Buku          : Pacar Merah Indonesia, Petualangan Tan Malaka menjadi Buron polisi rahasia Kolonial.
Penulis                 : Matu Mona
Penerbit              : Beranda Publishing
Tahun Terbit      : 2010
Kota terbit          : Yogyakarta
Ukuran Buku      : 140 x 200 mm
“Ninon didalam pelukan orang  lelaki yang tidak dikenalnya, dia cabut pistolnya dan petik pelatuknya, mulut pistol itu ditujukannya ke dada Mysteriman itu. asap mengepul, sedang Mlle. Ninon jatuh pingsan kelantai sebab terperanjat dan merasa terkejut sekali. Akan tetapi Pacar Merah tetap berdiri tegak pada tempatnya dan memandang opsir Siam yang muda itu dengan tersenyum”. (hlm 203)
Matu Mona, seolah menjadi pelepas dahaga para pecinta Tan Malaka (Pahlawan Kemerdekaan pula Tokoh PKI), berbeda dengan Buku tentang Tan yang lain, semacam Actie Massa, Gerpolek, ataupun Madilog yang butuh analisa tinggi. Hasbullah parindurie (nama asli Matu Mona) sanggup menggabungkan antara Fiksi dan fakta, alhasil roman ini menjadi mudah dicerna meski di beberapa tempay ditemukan istilah asing.
Lakon utama ialah Pacar Merah alias Tan Malaka, yang menjadi buronan utama PID (dinas rahasia kepolisian) dalam pelarian politknya keluar negeri, ia dikenal licin bak belut. Bahkan dalam kondisi tertatih dan tak berdaya, ia masih bisa menyelamatkan nafas, ambil contoh dalam pergumulanya membangkitkan jiwa reolusioner di Bangkok, ia sudah seperempat nyawa, dan tergolek di sebuah gubuk nelayan, berkat Mlle. Ninon (seorang perawan yang pernah diselamatkan Pacar merah di Hawaii, dan akhirnya jatuh cinta padanya) anak Seorang pembesar PID, pacar merah bisa melenggang dari negeri gajah putih itu.
Sebagaimana pelarian, tentu umum punya seribu identitas, begitu juga dengan pacar merah. Di Thailand ia bernama vichitra, di Cina ia bernama Tan Man Kha. Diktator, begitulah Alminsky sering memanggil, dalam organisasinya peranya amatlah penting. Terbukti dalam pengepungan kapal yang mengngkut dirinya ke Singapura, Djalumin beserta para kelasi kelasinya (pelaut) siap meregang nyawa demi selamatnya Pacar Merah.
Nafas Revolusioner sang Diktator (begitu alimin menyebutnya), tidak tereduksi dengan ancaman PID. Dalam persinggahanya di tiap negeri ia selalu kobarkan api perlawanan terhadap kesewenang wenangan penguasa. Ia selalu bisa mengerakan massa untuk gencar melakukan reolusi, baik di Bangkok maupun shanghai. Tak alpa, sang Mysteryman (julukan lain Pacar Merah) selalu menunjukan atraksi Escapologist (aliran Magician, yang dibawa Harry Houdini dengan kemampuan meloloskan diri dari bahaya) kepada PID.
Catatan baik ini ditunjang  kehebatanya yang lain yaitu menyamar,  dalam keadaan terkepung ketika perjalananya ke Singapura ataupun pelarianya dari Sanghai, pacar merah berhasil menyamar menjadi seorang wanita tua dan bisa mengelebui Spion Spion PID yang berkeliaran (hlm 95 dan 197).
Namun romantika fiksi ini tidak berhenti pada kisah heroistik saja, namun dihiasi pula oleh api asmara. Dimulai dengan Alminsky (Alimin - kawan seperjuangan Tan Malaka) yang merajut kisah dengan seorang Mademoiselle, bernama Marcelle. Berawal dari tugas spionase dari Moskow ke Paris, Alimin menjadi penyelamat Marcelle yang juga anak seorang pejuang partai komunis bernama Francoisse. Meski pada akhirnya keduanya bertunangan, keduanya mesti berpisah karena Alminsky mendapat mandat lagi dari Moskow untuk mendakwahi Pacar Merah yang mulai membelot.
Tak ketinggalan, sang tokoh utama Pacar Merah, juga terlibat cinta dengan Mlle. Ninon Pao, seorang The Fair Sex Thailand, yang molek, anggun, Cerdas, sekaligus setia tiada tara. Ninon, begitu panggilanya, tidak satu dua kali menolong pacar merah. Ia bahkan menjadi penyambung nyawa pacar merah. Seperti saat Pacar Merah terkapar di Bangkok maupun Shanghai.
Hubungan Pacar merah dengan Mlle. Ninon akhirnya menyeret kedalam saga hubungan yang sulit. Mlle Ninon pada akhrinya dijodohkan dengan Pria tampan Metroseksual lagi cerdas, namun  sayangnya tidak ia cintai, ia bernama Phya Sakon dari kalangan bangsawan. Sementara Pacar Merah melihat cinta tulus Phya Sakon kepada Mlle Ninon, hingga tak henti hentinya ia menasehati Ninon agar menerima cinta Phya Sakon.
Nasehat, vichitra amat begitu membekas di hati Ninon,” Seorang ksatria alias patriot, selama dia masih dapat digoda oleh api percintaan pada kaum hawa. Selama itu pula dia masih belumlah boleh dijamin seratus percent percintaan yang terpendam di dalam sanubarinya itu. vichitra sendiri lebih mengaku mencintai tanah airnya daripada Ninon sendiri.
Roman elok ini ditutup dengan rampungnya saga cinta antara Pacar Merah, Mll. Ninon, dan Phya Sakon. Mll. Ninon yang kecewa berat, idolanya telah merampungkan petualanganya karena ditangkap Phya Sakon yang bekerjasama dengan PID, menyanggupi pernikahan dengan Phya Sakon, dengan syarat melepaskan Pacar Merah. Berbekal tiga adokat dan ribuan jaringan di shanghai selama dua minggu Phya Sakon berusaha melepaskan pacar merah dari penjara.
Kelebihan Buku ini : Kisah Tan Malaka yang misterius diolah dengan baik oleh matu mona dengan menampilkan beberapa kisah Muyskil beliau, beliau mendudukan kisah kisah itu diantara fakta dan fiksi. Hal ini menggugah imajinasi tentang perjalanan hidup beliau, yang tidak hanya dihiasi jatuh bangun dalam mewujudkan Naar De Republic Indonesia (menuju republic Indonesia), namun juga kisah romatisme, layaknya James Bond.
Kekurangan : Porsi terhadap  kisah kawan seperjuangan Tan Malaka semacam Alimin, Muso, Semaun maupun Darsono yang cukup banyak. Hal ini seolah menunda imajinasi para pembaca yang sudah terlarut dalam petualangan menakjubkan dari Tan Malaka. Kemudian   

Rabu, 12 Februari 2014

Menuju Jurnalisme Progressif


“Suatu alternatif menghadapi konglomerasi media”

Syahdan, disebuah sudut perkampungan pinggiran rimba yang sunyi, seorang sedang bercakap lewat ponsel dengan lawan seberangnya yang ada di puncak Burj Khalifa, dubai. Perbedaan geografis yang radikal itu, bukan mengahalangi kedua orang itu asyik bercakap seru. Sepuluh tahun yang lalu mungkin hal itu mustahil, namun tidak di era ini yang lazim disebut Globalisasi.
            Fenomena Globalisasi dan efeknya begitu gila gilaan di zaman ini, menjadi fenomena apa yang kemudian disebut Marshal Mc luhan, bahwa sebentar lagi akan mengalami“perkampungan global”. Sebuah komunitas masyarakat yang tidak lagi terbatas sekat sekat Teritorial ataupun waktu. Komunikasi via oral, tatap mata, ciuman, maupun rasa sekarang terganti komunikasi via telepon, televise, dan sederet media artifisial lainya.
            Globalisasi harus berterima kasih kepada Media Massa, yang dengan mudah menembus sekat adat, agama, ras, bahkan ideologis tanpa adanya kesulitan. Seorang Sosialis Kibutz di Israel mungkin tidak asing tentang Jatuhnya Saham Microsoft tanpa jauh jauh ke Washington. Media seakan menjadi lakon tunggal di era global ini, hingga muncul pemeo siapa yang kuasai media, ia akan menguasai dunia.
Di pihak lain, kegiatan di bidang media massa dewasa ini, termasuk di Indonesia telah menjadi industri dan semakin korporatif. Dengan masuknya unsur kapital lewat Globalisasi, media mau tak mau  harus memikirkan pasar demi keberlangsungan hidup mereka. Satu persatu pemodal semakin lihai menyetir media miliknya, hal ini tidak lain demi keuntungan semata, meski dengan menyingkirkan nilai nilai ideologis. Termasuk dalam menyajikan peristiwa politik.
Memang diakui Liputan politik cenderung lebih rumit ketimbang reportase bidang kehidupan lainnya. Pada satu pihak, liputan politik memiliki dimensi pembentukan pendapat umum (public opinion), baik yang diharapkan oleh para politisi maupun oleh para wartawan. Karenanya, berita politik bisa lebih dari sekadar reportase peristiwa politik, tetapi merupakan hasil konstruksi realitas politik untuk kepentingan opini publik tertentu. Dalam komunikasi politik, aspek pembentukan opini inilah yang justeru menjadi tujuan utama, karena hal ini akan mempengaruhi pencapaian-pencapaian politik para aktor politik (McNair, 1995 dan Nimmo, 1978).
Dua variabel antara konglomerasi media dan berita politik menjadi semakin klop, ketika para aktor politik tak segan mengeglontorkan puluhan bahkan jutaan untuk sekelabat “berdakwah” menyampaikan visi dan misi diantara program sampah lainya. Tak sekedar apa yang kemudian disebut “citra”, fungsi pembentukan opini pada masyarakat luas oleh media juga berhasil diendus para politikus untuk sekedar menghapus jejak dosa mereka di masa lalu. Heranya, perselingkuhan yang awalnya malu malu itu kian terang terangan di mata publik.
            Kabar buruknya, tidak sedikit manusia di negeri yang menjadi Multitalent, atau kemampuan ganda. Terkadang sebagai ketua partai politik, terkadang sebagai pemodal, dan terkadang sebagai pemilik media.Tak berlebihan menjadi manusia semacam ini, seperti halnya menggenggam dunia. Kabar buruknya lagi, ia tidak sedikit di negeri ini. Dan, tentu saja berbicara media, kepentingan, dan modal berarti kita berbicara kabar buruk.
Menuju Jurnalisme Progressif
            Media pada dasarnyaa adalah sebuah entitas besar yang tak lepas dari visi dan misi perjuangan. Cantuman Visi dan Misi perjuangan tidak hanya menjadi pelengkap Juklak dan Juknis untuk memperoleh secarik SIUPP. Namun lebih dari itu, Visi dan misi media harus tertanam kuat kepada seluruh pelaku media. Minimal bermodal konsistensi, mewujudkan media yang ideologis bukan hal mustahil.
Namun dewasa ini, ditengah membludaknya tuntutan saudagar saudagar media, yang selalu menuntut media beroplah tinggi. Dan juga diantara ribuan trik trik kotor murahan media, entah dengan menjilat, meninju, ataupun mengenakan topeng kebohongan untuk segepok keuntungan, mencari media idealis, sederhanya. Masih menjadi barang langka di pasaran.
            Memang bukan perkara mudah, ditengah himpitan citraan citraan yang begitu derasnya menuju pesta demokrasi. Semakin penuhnya Public Speare oleh wajah wajah kstaria senayan, membuat dinamika media semakin semrawut ,namun masih ada tuntutan untuk tetap di titian Shirotol Mustaqim.Masih ada kerinduan untuk mewujudkan visi misi media an sich.
            Media Progressif, demikian. Sebuah cara pandang, falsafah, ataupun metode baru menghadapi badai rejeki nomplok plus citra rekaan dengan tumbal ideologis. Sebuah terobosan baru untuk mengakhiri kejumudan dan semakin pragmatisnya arah gerak media massa saat ini.
Tidak berlalu berharap banyak dengan tawaran media progressif ini, apalagi selalu menjadi oposan murni, tanpa sebuah hipokritasi. Selalu ideologis di tengah merebaknya arus komoditif, dan hanya menjadi alternatif diantara ribuan bahkan jutaan referensi  penyedia kebenaran, kebaikan, dan seribu slogan idealis lainya.
            Memilih jalur progressif, para pelaku media, terutama awak redaksi harus siap merekonstruksi ulang frame pemberitaan yang selalu bertumpu pada Cover Both side, atau paling banter Cover All Side. Menjadi media progressif, berarti siap membedah ulang Ideologi media, minimal paham makna netral dan independen. Tak hanya itu, potret keadaan masyarakat yang semakin mustadh’afin, membuat media kini harus benar benar turun tangan untuk mengakomodasi kepentinganya.
Memang benar, menjadi sebuah media progressif tak ubahnya selalu menengok kebawah melihat para jelata, dan menampakan wajah garang terhadap birokrasi. Namun tak selamanya, para birokrat itu selalu diceritakan dengan ribuan kata terkutuk. Adakalanya dengan kacamata objektif, kinerja mereka tak salahnya diagungkan. Dan tidak selamanya pula, masyarakat yang selalu disanjung bak bidadari penghuni Firdaus, ketika dalam situasi buruk bisa diadvokasi menuju perdamaian.
Memang diakui, Potensi media progressif mungkin tak sekecil harapanya. Namun, di Negeri Paman SAM, blog-blog jaringan warga hispanik mampu melengserkan pemimpin tertinggi CNN dari jabatannya menyusul pernyataan rasialisnya terhadap warga hispanik. Artinya, meski klaim progressif belum tentu tersemat pada situs situs liliput itu, namun setidaknya rekayasa sosial bukanlah monopoli media media raksasa, jika masih ada kucuran kerja keras, tak ada yang mustahil.
            Seperti diawal katakan, Status Quo menjadi tantangan besar media media yang berlabuh ke arah progressif. Media yang saat ini banyak menderita Tunavisi, sudah saatnya mentransformasi nilai nilai ideologi media, kedalam ruang redaksi yang rawan transaksi citra. Namun terlalu ideologis, layaknya Harian Rakjat besutan PKI yang selalu menebar AgiTrop bukan pilihan bagus.
Apalagi selanjtunya mencoba menutup mata akan pentingnya pangsa pasar, hal ini termasuk bunuh diri. Intinya menjadi media Progressif sama dengan media moderat. Ia tak berjejak di bumi dan terbang di langit, persis seperti intelektual dalam gambaran Benda.  Tak alpa, ia harus selalu memakai kacamat objektif, dan harus berakhir di secarik produk yang bisa menjadi nilai nilai edukatif di ruang public. Begitu.
            Menyemai Virus Progressif
Namun naïf juga, ketika kita beranggapan Globalisasi menjadi tersangka utama dalam kesemrawutan ini. Entah apapun alasanya, Globalisasi seperti menjadi urat nadi kehidupan bangsa manapun di dunia ini. Klaim sebagai bangsa yang maju tidak lepas dari kontribusi  mereka dalam arena global. Namun, Globalisasi saat ini seakan menjadi satu paket dengan Neoliberalisme.
Bukanya menjadi hal yang mustahil dihindari, toh, daripada mengutuk kegelapan, alangkah baiknya menyalakan lilin harapan. Di awal, tentu kita paham. Virus Progressif menjadi satu alternativ bagi media media saat ini untuk tetap dalam Shirotol Mustaqim. Namun tidak mudah mewujudkan dalam waktu dekat, ia butuh penyemain dan bibit bibit yang berkualitas.
Bergeser ke fenomena yang lain, Kalau kita menengok beberapa tahun belakangan ini, keberadaan Persma (Pers Mahasiswa) dalam dinamika Perjalanan Pers dianggap hanyalah menjadi parasit saja. Disatu sisi, kebutuhan mereka akan kesetaraan dengan awak media mainstream dan advokasinya selalu didengungkan, namun ketika melihat peran dan fungsi mereka, urung bagi kalangan Pers memberi status yang sama.
Namun seakan lupa dengan hal ini, secara objektif kita bisa beranggapan, peran Persma terhadap dinamiasasi Pers Indonesia saat ini tidak bisa dianggap enteng. Sudah banyak capaian capaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata saja. Misalnya saja : mengawal kritisme  dinamisasi kampus. Mungkin tak ada salahnya kita ‘’berijtihad” untuk menyemai Virus progressif kedalam urat nadi Pers Mahasiswa.
 Pertama, jika kebanyakan media sekarang berorientasi pada pendapatan serta oplah yang tinggi. Tidak begitu dengan Persma, ia lebih berorientasi kepada studi dan nilai nilai edukatif. Dengan menghadirkan Virus Progressif dalam visi mereka, minimal menjadi protektor mereka dalam rel kebenaran.
Tak benar dan (mungkin) munafik menyebut media mainstream saat ini tidak menunggu oplah datang setiap saat. Mungkin benar wajah mereka masih menyimpan pesan ideal, namun melihat tubuh korporasinya jelas itu bukanlah hal yang mudah ditutupi. Korporasi tentu tak ubahnya perusahaan dagang yang tiap harinya hanya berfikir nilai nilai keuntungan saja, meski dengan sikap yang machivellian[1].
Kedua, Orientasi non profit yang tertanam dalam awak redaksi Persma, menjadi senjata utama pencerdasan masyarakat. Meski terganjal dengan segementasi produk yang sempit, yaitu masyarakat kampus. Tentu hal ini bukan masalah, mengingat dewasa sekarang, banyak Persma yang mencoba peruntungan baru di segmen yang lebih luas.
Meski dengan dandanan tak semegah media media raksasa, namun pantas diacungi dua jempol untuk mereka, jika mampu membuat konstruksi opini dalam masyarakat. Apalagi mampu membuat media media besar kebakaran jenggot. Jika demikian, Persma tak lagi dipandang sebagai Underdog.
Ketiga, Persma adalah masa depan Pers Indonesia. Untuk saat ini ketergantungan Media media besar Indonesia bisa disebut cukup tinggi. Disanalah etos sebagai kuli tinta dibentuk, disana pulalah penanaman nilai nilai ideologis pers disemaikan, lebih tepatnya kita menyebut Persma sebagai kawah candradimuka bagi wartawan sebelum terjun kedunia nyata.
Meski mungkin bukan keniscayaan, namun dunia yang mereka hadapi adalah sama, meski dengan kadar yang berbeda. Persma ibaratnya menjadi pemasok tunggal bagi awak redaksi media di masa mendatang, dan tak ada salahnya Penyemaian Virus Virus Progressif untuk saat ini pada persma, kiranya tepat untuk pembangunan media yang sehat di masa depan.
Media yang sehat tentu menjadi dambaan setiap orang, ketika nilai nilai edukatif bisa terserap kedalam masyarakat. Rekayasa sosial yang kemudian diperankan akan lebih pada upaya konstruktif, bukan destruktif yang kadang terlalu tendensi. Cita cita ideologis dan Keuntungan dilakukan sesuai porsinya.
Ya benar. Mari Berijtihad..
Salam PERSMA …
Oleh : Faizal Adi Surya, Pemimpin Litbang LPM Pabelan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, CP : 0896-5557-8124, Fb : Faizal Surya.



[1] Machivellian, ialah suatu paham politik yang menganggap untuk dapat mempertahankan kekuasaan atau merebut kekuasaan, maka bisa dilakukan dengan cara apapun, meski dengan sikap yang keji sekalipun. Dalam konteks ini, media akan merebut keuntungan sebesar besarnya dengan cara apapun. Paham ini dibawa oleh Nicollo Machivelli, masyhur dalam bukunya Ill Prince.