Sore
(17/02), di sela sela membaca gerakan perlawanan dari masjid kampus, nenekku
yang kutaksir sudah berkepala enam duduk di sampingku. Ia menjaga warung milik
bibiku yang sedang melancong membeli sate untuk makan malam, kami berbincang
tentag Kelud, debu, dan Solo.
Bibiku
datang membawa segepok sate, ia dan dua anaknya kembali ceria mewarnai warung
kecil yang hanya seukuran kamar kostku. Buku karangan Andi Rahmat itu, terjatuh
saat kudekap keponakanku yang masih 3 tahun, Safira. wajahnya cantik lagi imut,
ia berponi dan tersenyum manis, selagi khusyuk bermain denganya, Bibiku membaca
judul buku sembari mengepalkan tangan ke atas.
“Ayo,
gerakan lawan !!”, ucapnya cukup keras.
“ buku opo
iku (buku apa itu) ?” Tanya nenekku.
“mbuh kui
Ijal, tentang terroris to (ga tau itu ijal, tentang terroris ya)?” Tanya bibi
padaku.
“ojo melu melu terroris ngono yo (jangan ikut
kegiatan terroris seperti itu ya) !” cegat nenek sebelum aku bersuara, akhirnya
aku hanya tersenyum manis saja.
“Terroris
kui rapopo, neror koruptor kui to (terroris itu tidak apa, meneror koruptor
kan)?” tiba tiba pamanku menyambung.
Antara
Bibi, paman, dan nenekku terlihat asyik berdiskusi kecil tentang terroris,
semuanya menghasilkan pemahaman yang sama, beberapa term sempat muncul sore
itu, antaranya destruktif, Islam, dan Mahasiswa. Kecuali pamanku yang tetap
Keukeuh Terroris itu tak apa selama meneror koruptor, entah seperti apa
kesimpulanya, selama 5 menit itu aku hanya tersenyum saja.
***
Memang
sering, Nenek menasehatiku agar berhati hati ketika kuliah. Jangan jadi
terroris dan pendemo, ingatku. Agaknya nenekku, memang alergi reolusi. Namun
tak apalah, tak mungkin sore tadi aku harus menerangkan Tadzkirah karangan Ustadz Abu bakar ba’asyir, sebagai legitimasi
menghancurkan kepentingan asing.
Dan tak
mungkin pula kubicarakan kepentingan asing Via Birokratisasi yang semakin
mencengkram rakyat, (meminjam istilah Gramsci, ialah Menghegemoni). Hingga kita
tidak bisa tinggal diam, dan harus menjadi intelektual organik yang bergerak
bersama rakyat mengahancurkan kapitalisme.
Memang
cukup sedih melihat dua frasa akhir yang menjadi keyword diskusi tiga orang tadi. Yaitu tentang Islam dan Mahasiswa.
Kita bisa lihat dalam lingkup global, bagaimana islam itu entah dengan cara
seperti apa menjadi dikemukakan Charles Kimball sebagai agama yang jahat, agama
yang tak ramah manusia, agama nontoleransi, dan segala cap buruk yang berkaitan
dengan humanism.
Dalam
konteks yang lebih sempit pula, khususnya di Indonesia. Pemuda pemuda bergelar
“pengantin” ataupun “Calon Pengantin” kerap memperoleh gelar “Terroris”.
Ironis, disaat yang sama, kematian para
pemuda malah diarak dan dijuluki Syuhada oleh rekan seperjuanganya, suatu gelar
yang menjadi tiket untuk melenggang ke Taman Firdaus.
Dalam hal
ini, Titik Fokusnya adalah, peran dan fungsi media yang baik dalam merawat isu
sekaligus merekayasa daya pikir tiap korbanya. Terbukti dengan, entah strategi
apa yang digempurkan media kepada konsumenya, Islam sebuah sistem peradaban
unggul, santun, dan beradab, diubah menjadi ketakutan pada masyarakat dunia,
utamanya setelah tragedy 11 September, bush dengan lancangnya mengucapkan, “you're either with us, or against us”.
Proses
simulasi ini, berjalan cukup efektif bahkan bisa dibilang melampaui
keberhasilan(Hypersucces). Bagaiamana
tidak, cap terrorisme tidak hanya terhadap islam saja, tetapi juga terhadap
mahasiswa. Ini merupakan efek domino yang ditimbulkan. Hingga akhirnya Tampak
jelas, beberapa simbol perlawanan mahasiswa menjadi mati suri, tertutupi citra
buruk dan rekaan rekaan semu ala media saat ini.
Namun ada
hal perlu kiranya lebih Vital untuk dibicarakan. Tentang Hypersucces ini, efeknya
terhadap Mahasiswa tentunya. Tidak usah berbicara tentang Demonstrasi yang kian
minim peserta, dan semakin dangkal isu yang dibawa. Dalam keseharian, praktek
praktek intelektual mahasiswa semacam diskusi diskusi semakin jarang ditemukan.
Disudut kampus kini, bukan lagi diwarnai roman dialektika antar satu ideology
dengan yang lain, namun semakin dijejali ajang ajang komersialisasi, dengan
simbol gairah dan hasrat.
Program
sampah yang dibawa Media tiap detiknya pada akhirnya menciptakan musuh dalam
selimut. Utamanya mahasiswa, bagaimana tidak, isualisasi dan halusinasi lewat
iklan, dengan mudahnya membangkitkan libido para konsumen. Tak perlu memandang
diri dan strata, seolah media meimnjam istilah Hikmat Budiman, ialah menjadi
lubang hitam yang tiap saatnya menarik siapa saja, dan tentu saja terperdaya.
Kisah Hypersucces ini berlanjut pada aktiitas
di lingkungan kampus, mereka yang sudah
terperdaya media, menjadi tabu dan asing dengan kata Reolusi, Marx, ataupun
Plotinus. Sedang di tiap lini pikiran mereka, hanyalah terisi SNSD, Taylor
Swift, bahkan Cut Tari.
Spesies
baru inilah yang kemudian menjadi musuh baru Inteletual muda kita, tak sedikit
mereka mulai mengecam kawan kawan seperjuangan mereka yang tidak berhentinya
menerikan anti kapitalisme, meskipun ia sesaat menghisap rokok Marlboro. Disaat yang sama, perancang narasi besar ini
mulai bertepuk tangan riang, melihat komponen perlawan telah mendapatkan
pekerjaan baru, hingga menggempur dosa penguasa semakin sulit saja.
***
Minimal,
kita berharap safira kecilku tidak terperdaya media, yang semakin hari kian
mendzolimi masyarakat dengan tayangan sampah, eksploitasi libido, pengebirian fakta, ataupun hipokritisasi dosa.
Semoga saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar