Rabu, 12 Februari 2014

Menuju Jurnalisme Progressif


“Suatu alternatif menghadapi konglomerasi media”

Syahdan, disebuah sudut perkampungan pinggiran rimba yang sunyi, seorang sedang bercakap lewat ponsel dengan lawan seberangnya yang ada di puncak Burj Khalifa, dubai. Perbedaan geografis yang radikal itu, bukan mengahalangi kedua orang itu asyik bercakap seru. Sepuluh tahun yang lalu mungkin hal itu mustahil, namun tidak di era ini yang lazim disebut Globalisasi.
            Fenomena Globalisasi dan efeknya begitu gila gilaan di zaman ini, menjadi fenomena apa yang kemudian disebut Marshal Mc luhan, bahwa sebentar lagi akan mengalami“perkampungan global”. Sebuah komunitas masyarakat yang tidak lagi terbatas sekat sekat Teritorial ataupun waktu. Komunikasi via oral, tatap mata, ciuman, maupun rasa sekarang terganti komunikasi via telepon, televise, dan sederet media artifisial lainya.
            Globalisasi harus berterima kasih kepada Media Massa, yang dengan mudah menembus sekat adat, agama, ras, bahkan ideologis tanpa adanya kesulitan. Seorang Sosialis Kibutz di Israel mungkin tidak asing tentang Jatuhnya Saham Microsoft tanpa jauh jauh ke Washington. Media seakan menjadi lakon tunggal di era global ini, hingga muncul pemeo siapa yang kuasai media, ia akan menguasai dunia.
Di pihak lain, kegiatan di bidang media massa dewasa ini, termasuk di Indonesia telah menjadi industri dan semakin korporatif. Dengan masuknya unsur kapital lewat Globalisasi, media mau tak mau  harus memikirkan pasar demi keberlangsungan hidup mereka. Satu persatu pemodal semakin lihai menyetir media miliknya, hal ini tidak lain demi keuntungan semata, meski dengan menyingkirkan nilai nilai ideologis. Termasuk dalam menyajikan peristiwa politik.
Memang diakui Liputan politik cenderung lebih rumit ketimbang reportase bidang kehidupan lainnya. Pada satu pihak, liputan politik memiliki dimensi pembentukan pendapat umum (public opinion), baik yang diharapkan oleh para politisi maupun oleh para wartawan. Karenanya, berita politik bisa lebih dari sekadar reportase peristiwa politik, tetapi merupakan hasil konstruksi realitas politik untuk kepentingan opini publik tertentu. Dalam komunikasi politik, aspek pembentukan opini inilah yang justeru menjadi tujuan utama, karena hal ini akan mempengaruhi pencapaian-pencapaian politik para aktor politik (McNair, 1995 dan Nimmo, 1978).
Dua variabel antara konglomerasi media dan berita politik menjadi semakin klop, ketika para aktor politik tak segan mengeglontorkan puluhan bahkan jutaan untuk sekelabat “berdakwah” menyampaikan visi dan misi diantara program sampah lainya. Tak sekedar apa yang kemudian disebut “citra”, fungsi pembentukan opini pada masyarakat luas oleh media juga berhasil diendus para politikus untuk sekedar menghapus jejak dosa mereka di masa lalu. Heranya, perselingkuhan yang awalnya malu malu itu kian terang terangan di mata publik.
            Kabar buruknya, tidak sedikit manusia di negeri yang menjadi Multitalent, atau kemampuan ganda. Terkadang sebagai ketua partai politik, terkadang sebagai pemodal, dan terkadang sebagai pemilik media.Tak berlebihan menjadi manusia semacam ini, seperti halnya menggenggam dunia. Kabar buruknya lagi, ia tidak sedikit di negeri ini. Dan, tentu saja berbicara media, kepentingan, dan modal berarti kita berbicara kabar buruk.
Menuju Jurnalisme Progressif
            Media pada dasarnyaa adalah sebuah entitas besar yang tak lepas dari visi dan misi perjuangan. Cantuman Visi dan Misi perjuangan tidak hanya menjadi pelengkap Juklak dan Juknis untuk memperoleh secarik SIUPP. Namun lebih dari itu, Visi dan misi media harus tertanam kuat kepada seluruh pelaku media. Minimal bermodal konsistensi, mewujudkan media yang ideologis bukan hal mustahil.
Namun dewasa ini, ditengah membludaknya tuntutan saudagar saudagar media, yang selalu menuntut media beroplah tinggi. Dan juga diantara ribuan trik trik kotor murahan media, entah dengan menjilat, meninju, ataupun mengenakan topeng kebohongan untuk segepok keuntungan, mencari media idealis, sederhanya. Masih menjadi barang langka di pasaran.
            Memang bukan perkara mudah, ditengah himpitan citraan citraan yang begitu derasnya menuju pesta demokrasi. Semakin penuhnya Public Speare oleh wajah wajah kstaria senayan, membuat dinamika media semakin semrawut ,namun masih ada tuntutan untuk tetap di titian Shirotol Mustaqim.Masih ada kerinduan untuk mewujudkan visi misi media an sich.
            Media Progressif, demikian. Sebuah cara pandang, falsafah, ataupun metode baru menghadapi badai rejeki nomplok plus citra rekaan dengan tumbal ideologis. Sebuah terobosan baru untuk mengakhiri kejumudan dan semakin pragmatisnya arah gerak media massa saat ini.
Tidak berlalu berharap banyak dengan tawaran media progressif ini, apalagi selalu menjadi oposan murni, tanpa sebuah hipokritasi. Selalu ideologis di tengah merebaknya arus komoditif, dan hanya menjadi alternatif diantara ribuan bahkan jutaan referensi  penyedia kebenaran, kebaikan, dan seribu slogan idealis lainya.
            Memilih jalur progressif, para pelaku media, terutama awak redaksi harus siap merekonstruksi ulang frame pemberitaan yang selalu bertumpu pada Cover Both side, atau paling banter Cover All Side. Menjadi media progressif, berarti siap membedah ulang Ideologi media, minimal paham makna netral dan independen. Tak hanya itu, potret keadaan masyarakat yang semakin mustadh’afin, membuat media kini harus benar benar turun tangan untuk mengakomodasi kepentinganya.
Memang benar, menjadi sebuah media progressif tak ubahnya selalu menengok kebawah melihat para jelata, dan menampakan wajah garang terhadap birokrasi. Namun tak selamanya, para birokrat itu selalu diceritakan dengan ribuan kata terkutuk. Adakalanya dengan kacamata objektif, kinerja mereka tak salahnya diagungkan. Dan tidak selamanya pula, masyarakat yang selalu disanjung bak bidadari penghuni Firdaus, ketika dalam situasi buruk bisa diadvokasi menuju perdamaian.
Memang diakui, Potensi media progressif mungkin tak sekecil harapanya. Namun, di Negeri Paman SAM, blog-blog jaringan warga hispanik mampu melengserkan pemimpin tertinggi CNN dari jabatannya menyusul pernyataan rasialisnya terhadap warga hispanik. Artinya, meski klaim progressif belum tentu tersemat pada situs situs liliput itu, namun setidaknya rekayasa sosial bukanlah monopoli media media raksasa, jika masih ada kucuran kerja keras, tak ada yang mustahil.
            Seperti diawal katakan, Status Quo menjadi tantangan besar media media yang berlabuh ke arah progressif. Media yang saat ini banyak menderita Tunavisi, sudah saatnya mentransformasi nilai nilai ideologi media, kedalam ruang redaksi yang rawan transaksi citra. Namun terlalu ideologis, layaknya Harian Rakjat besutan PKI yang selalu menebar AgiTrop bukan pilihan bagus.
Apalagi selanjtunya mencoba menutup mata akan pentingnya pangsa pasar, hal ini termasuk bunuh diri. Intinya menjadi media Progressif sama dengan media moderat. Ia tak berjejak di bumi dan terbang di langit, persis seperti intelektual dalam gambaran Benda.  Tak alpa, ia harus selalu memakai kacamat objektif, dan harus berakhir di secarik produk yang bisa menjadi nilai nilai edukatif di ruang public. Begitu.
            Menyemai Virus Progressif
Namun naïf juga, ketika kita beranggapan Globalisasi menjadi tersangka utama dalam kesemrawutan ini. Entah apapun alasanya, Globalisasi seperti menjadi urat nadi kehidupan bangsa manapun di dunia ini. Klaim sebagai bangsa yang maju tidak lepas dari kontribusi  mereka dalam arena global. Namun, Globalisasi saat ini seakan menjadi satu paket dengan Neoliberalisme.
Bukanya menjadi hal yang mustahil dihindari, toh, daripada mengutuk kegelapan, alangkah baiknya menyalakan lilin harapan. Di awal, tentu kita paham. Virus Progressif menjadi satu alternativ bagi media media saat ini untuk tetap dalam Shirotol Mustaqim. Namun tidak mudah mewujudkan dalam waktu dekat, ia butuh penyemain dan bibit bibit yang berkualitas.
Bergeser ke fenomena yang lain, Kalau kita menengok beberapa tahun belakangan ini, keberadaan Persma (Pers Mahasiswa) dalam dinamika Perjalanan Pers dianggap hanyalah menjadi parasit saja. Disatu sisi, kebutuhan mereka akan kesetaraan dengan awak media mainstream dan advokasinya selalu didengungkan, namun ketika melihat peran dan fungsi mereka, urung bagi kalangan Pers memberi status yang sama.
Namun seakan lupa dengan hal ini, secara objektif kita bisa beranggapan, peran Persma terhadap dinamiasasi Pers Indonesia saat ini tidak bisa dianggap enteng. Sudah banyak capaian capaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata saja. Misalnya saja : mengawal kritisme  dinamisasi kampus. Mungkin tak ada salahnya kita ‘’berijtihad” untuk menyemai Virus progressif kedalam urat nadi Pers Mahasiswa.
 Pertama, jika kebanyakan media sekarang berorientasi pada pendapatan serta oplah yang tinggi. Tidak begitu dengan Persma, ia lebih berorientasi kepada studi dan nilai nilai edukatif. Dengan menghadirkan Virus Progressif dalam visi mereka, minimal menjadi protektor mereka dalam rel kebenaran.
Tak benar dan (mungkin) munafik menyebut media mainstream saat ini tidak menunggu oplah datang setiap saat. Mungkin benar wajah mereka masih menyimpan pesan ideal, namun melihat tubuh korporasinya jelas itu bukanlah hal yang mudah ditutupi. Korporasi tentu tak ubahnya perusahaan dagang yang tiap harinya hanya berfikir nilai nilai keuntungan saja, meski dengan sikap yang machivellian[1].
Kedua, Orientasi non profit yang tertanam dalam awak redaksi Persma, menjadi senjata utama pencerdasan masyarakat. Meski terganjal dengan segementasi produk yang sempit, yaitu masyarakat kampus. Tentu hal ini bukan masalah, mengingat dewasa sekarang, banyak Persma yang mencoba peruntungan baru di segmen yang lebih luas.
Meski dengan dandanan tak semegah media media raksasa, namun pantas diacungi dua jempol untuk mereka, jika mampu membuat konstruksi opini dalam masyarakat. Apalagi mampu membuat media media besar kebakaran jenggot. Jika demikian, Persma tak lagi dipandang sebagai Underdog.
Ketiga, Persma adalah masa depan Pers Indonesia. Untuk saat ini ketergantungan Media media besar Indonesia bisa disebut cukup tinggi. Disanalah etos sebagai kuli tinta dibentuk, disana pulalah penanaman nilai nilai ideologis pers disemaikan, lebih tepatnya kita menyebut Persma sebagai kawah candradimuka bagi wartawan sebelum terjun kedunia nyata.
Meski mungkin bukan keniscayaan, namun dunia yang mereka hadapi adalah sama, meski dengan kadar yang berbeda. Persma ibaratnya menjadi pemasok tunggal bagi awak redaksi media di masa mendatang, dan tak ada salahnya Penyemaian Virus Virus Progressif untuk saat ini pada persma, kiranya tepat untuk pembangunan media yang sehat di masa depan.
Media yang sehat tentu menjadi dambaan setiap orang, ketika nilai nilai edukatif bisa terserap kedalam masyarakat. Rekayasa sosial yang kemudian diperankan akan lebih pada upaya konstruktif, bukan destruktif yang kadang terlalu tendensi. Cita cita ideologis dan Keuntungan dilakukan sesuai porsinya.
Ya benar. Mari Berijtihad..
Salam PERSMA …
Oleh : Faizal Adi Surya, Pemimpin Litbang LPM Pabelan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, CP : 0896-5557-8124, Fb : Faizal Surya.



[1] Machivellian, ialah suatu paham politik yang menganggap untuk dapat mempertahankan kekuasaan atau merebut kekuasaan, maka bisa dilakukan dengan cara apapun, meski dengan sikap yang keji sekalipun. Dalam konteks ini, media akan merebut keuntungan sebesar besarnya dengan cara apapun. Paham ini dibawa oleh Nicollo Machivelli, masyhur dalam bukunya Ill Prince.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar