Meneropong masa lalu tak ubahnya berbicara tentang keluguan dan
kecanggungan. Aku saat itu tak lepas dari keluguan dan kecanggungan, mungkin
dewasa ini keluguan dan kecanggungan itu masih melekat, namun lebih apologis. Terutama
masalah wanita dan percintaan, apa yang anda pikirkan, seorang anak berumur 10
tahun, beringus, giginya kuning, rambutnya ditata miring berbau lilas,
ditanganya pensil sepanjang ibu jari, kemudian berbicara wanita dan cinta, dan
mungkin diana.
Mungkin naif, ironis, atau mungkin banal mengingat era hegemoni
moral terganti dengan budaya permisif yang menjangkau semua struktur dalam
masyarakat. Bagi pegiat kultural, Arus globalisasi yang menjangkau setiap sudut
kehidupan tempat di dunia ini, tak ubahnya menjadi tersangka utama dalam
perkembangan semacam ini. Dengan topeng modernis, nihilisme moral selalu
mengintai setiap saat, dengan bahasa pluralis dan modern, secara tak sadar
kesakralan moral runtuh tertindih dinding sejarah.
Memang konteks pembicaraan adalah fenomena saat ini, namun anak
kecil adalah manusia berhati jibril, bersih dari dosa dan dusta, jelasnya saat
kecil aku ingat gosip percintaan saat SD, sebut saja H dan L, atau M dengan D,
atau kisah sesama A. bagaimana dengan F, tuan penulis?, haha nama F tidak masuk
dalam radar gosip, mungkin saja kurang laku untuk dijadikan bahan perbincangan.
F masih hijau dan terlalu lugu menilai wanita. F acuh saja melalui masa
lalunya, ia sibuk dengan bola temuanya dan ia fokus berenang agar esok lusa
menjadi pasukan katak.
Memang, omelan dan ocehan anak
rumahan tak mengurangi minatku berenang, ya aku menjadi semacam singa dalam
kandang di sisi gurun srengeti. Miris dan iri melihat satu persatu mereka
bercengkrama dengan panasnya terik matahari, bercumbu dengan tetesan air hujan, atau bersenggama dengan eloknya danau
silating di pagi dan sore hari, sedang aku masih ninir dari atas honda astrea
yang terparkir didekat danau.
Dalam perjuangan meraih keakuan
diri, aku sering dianggap gila, sinting, dan tak berkawan. Aku dulu bak kristal
yang selalu diusap dengan sutra, agar selalu seelok zamrud dan sebening embun.
Namun kristal itu tidak mudah dalam
berumur panjang, ia harus menyerah kepada ketidakhati hatian manusia. Ia mudah pecah
dan jarang terjamah, ia hanya pantas untuk dilihat dan diakomodir nilai
nilainya.
Begitu juga aku, aku merasa
menjadi semacam budak komoditas. Ditempa dalam disiplin sains dan moral, namun
meninggalkan rongga dalam ruang sosial. Aku merasa menjadi semacam objek saja,
tidak menjadi seorang pelaku. Tiap hari dan waktunya, aku harus bergelut dengan
literasi dan selalu dijejali pidato pidato bahwa kelak aku harus berhasil.
Puncaknya, aku harus mengeliminasi rasa sosial dan hampa pergaulan, utamanya
dengan alam dan bocah bocah liar yang menurut juru pidatoku bocah tak
bersekolah.
Yah, aku selalu ditanami
demikian oleh juru pidatoku, mereka yang menghabiskan waktunya dengan menari
dengan udang dan berkhalwat dengan rimba ialah tak bersekolah, bodoh, tak punya
masa depan yang cerah, dan sebagainya, hingga berkumpul dan bercengkrama dengan
mereka bagaikan bergaul dengan pengidap kusta yang dikucilkan.
Namun, bukanlah narasi yang menarik ketika kenyataanya demikian. Aku
butuh pengakuan, aku butuh masa kecil untuk cerita anak anakku nanti, aku harus
tahu hijaunya rimba, aku harus tahu dalamnya telaga dengan menari bersama
mujair mujair itu, aku harus menjinakan ular dan mengelus kepalanya seraya
mencumbunya. Dan aku harus berontak dari kediktatoran ini.
Tak ayal, aku harus nekad meski aku harus biasa dengan tolakan halus
dan cercaan apologis, aku harus sabar, otak kecilku belum mampu
mengartikulasikan sifat orang jawa yang lemah lembut ramah tamah. Aku harus
bisa menyesuaikan dengan bocah bocah yang menurut juru pidatoku tak punya masa
depan, aku sekarang harus rasional pula, pidato macam apa itu, apakah juru
pidatoku layaknya tuhan dalam aliran fatalisme, entahlah aku tidak bisa terus
menerus dalam keadaan demikian.
Terkadang dalam tiupan angin dibawah pohon mangga, aku terseret
fantasi liar. Ahh, entah seperti apa aku menggambarkan, terlalu naif untuk
diceritakan, mereka yang tahu masa kecilku pasti tahu bagaimana aku saat kecil
itu, mengayunkan tongkat dan berbicara dengan diam, seolah patriot dihadapan
bayonet yang siap terhunus, layaknya gladiator dalam gelanggang colloseum.
Demikian…..
Ah, agaknya aku selalu lupa
dengan surat diana, aku masih penasaran dengan apa yang ditulisnya. Agaknya, Tulisannya
masih tersenyum menunggu bertemu tatapan mataku, aku masih bergulat dengan
ambisi keliaran dan anti kemapaman, maaf diana aku ambil namamu untuk simbol
literasiku. Namun tulisanmu masih terpojok diruang berdebu, tertumpuk bersama
kertas kertas tua yang hampir diloakkan. Ia tergolek lesu saat hendak
kutinggalkan bermain bola, sambil menenteng sepatu bolaku, aku bergumam lirih
pada surat itu, tunggulah aku mencetak gol.
Sukoharjo,
10-12-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar