Senin, 09 Desember 2013

Surat dari kak diana- part 2


Meneropong masa lalu tak ubahnya berbicara tentang keluguan dan kecanggungan. Aku saat itu tak lepas dari keluguan dan kecanggungan, mungkin dewasa ini keluguan dan kecanggungan itu masih melekat, namun lebih apologis. Terutama masalah wanita dan percintaan, apa yang anda pikirkan, seorang anak berumur 10 tahun, beringus, giginya kuning, rambutnya ditata miring berbau lilas, ditanganya pensil sepanjang ibu jari, kemudian berbicara wanita dan cinta, dan mungkin diana.
Mungkin naif, ironis, atau mungkin banal mengingat era hegemoni moral terganti dengan budaya permisif yang menjangkau semua struktur dalam masyarakat. Bagi pegiat kultural, Arus globalisasi yang menjangkau setiap sudut kehidupan tempat di dunia ini, tak ubahnya menjadi tersangka utama dalam perkembangan semacam ini. Dengan topeng modernis, nihilisme moral selalu mengintai setiap saat, dengan bahasa pluralis dan modern, secara tak sadar kesakralan moral runtuh tertindih dinding sejarah.
Memang konteks pembicaraan adalah fenomena saat ini, namun anak kecil adalah manusia berhati jibril, bersih dari dosa dan dusta, jelasnya saat kecil aku ingat gosip percintaan saat SD, sebut saja H dan L, atau M dengan D, atau kisah sesama A. bagaimana dengan F, tuan penulis?, haha nama F tidak masuk dalam radar gosip, mungkin saja kurang laku untuk dijadikan bahan perbincangan. F masih hijau dan terlalu lugu menilai wanita. F acuh saja melalui masa lalunya, ia sibuk dengan bola temuanya dan ia fokus berenang agar esok lusa menjadi pasukan katak.
                Memang, omelan dan ocehan anak rumahan tak mengurangi minatku berenang, ya aku menjadi semacam singa dalam kandang di sisi gurun srengeti. Miris dan iri melihat satu persatu mereka bercengkrama dengan panasnya terik matahari, bercumbu dengan tetesan air  hujan, atau bersenggama dengan eloknya danau silating di pagi dan sore hari, sedang aku masih ninir dari atas honda astrea yang terparkir didekat danau.
                Dalam perjuangan meraih keakuan diri, aku sering dianggap gila, sinting, dan tak berkawan. Aku dulu bak kristal yang selalu diusap dengan sutra, agar selalu seelok zamrud dan sebening embun. Namun kristal itu  tidak mudah dalam berumur panjang, ia harus menyerah kepada ketidakhati hatian manusia. Ia mudah pecah dan jarang terjamah, ia hanya pantas untuk dilihat dan diakomodir nilai nilainya.
                Begitu juga aku, aku merasa menjadi semacam budak komoditas. Ditempa dalam disiplin sains dan moral, namun meninggalkan rongga dalam ruang sosial. Aku merasa menjadi semacam objek saja, tidak menjadi seorang pelaku. Tiap hari dan waktunya, aku harus bergelut dengan literasi dan selalu dijejali pidato pidato bahwa kelak aku harus berhasil. Puncaknya, aku harus mengeliminasi rasa sosial dan hampa pergaulan, utamanya dengan alam dan bocah bocah liar yang menurut juru pidatoku bocah tak bersekolah.
                Yah, aku selalu ditanami demikian oleh juru pidatoku, mereka yang menghabiskan waktunya dengan menari dengan udang dan berkhalwat dengan rimba ialah tak bersekolah, bodoh, tak punya masa depan yang cerah, dan sebagainya, hingga berkumpul dan bercengkrama dengan mereka bagaikan bergaul dengan pengidap kusta yang dikucilkan.
Namun, bukanlah narasi yang menarik ketika kenyataanya demikian. Aku butuh pengakuan, aku butuh masa kecil untuk cerita anak anakku nanti, aku harus tahu hijaunya rimba, aku harus tahu dalamnya telaga dengan menari bersama mujair mujair itu, aku harus menjinakan ular dan mengelus kepalanya seraya mencumbunya. Dan aku harus berontak dari kediktatoran ini.
Tak ayal, aku harus nekad meski aku harus biasa dengan tolakan halus dan cercaan apologis, aku harus sabar, otak kecilku belum mampu mengartikulasikan sifat orang jawa yang lemah lembut ramah tamah. Aku harus bisa menyesuaikan dengan bocah bocah yang menurut juru pidatoku tak punya masa depan, aku sekarang harus rasional pula, pidato macam apa itu, apakah juru pidatoku layaknya tuhan dalam aliran fatalisme, entahlah aku tidak bisa terus menerus dalam keadaan demikian.
Terkadang dalam tiupan angin dibawah pohon mangga, aku terseret fantasi liar. Ahh, entah seperti apa aku menggambarkan, terlalu naif untuk diceritakan, mereka yang tahu masa kecilku pasti tahu bagaimana aku saat kecil itu, mengayunkan tongkat dan berbicara dengan diam, seolah patriot dihadapan bayonet yang siap terhunus, layaknya gladiator dalam gelanggang colloseum. Demikian…..
                Ah, agaknya aku selalu lupa dengan surat diana, aku masih penasaran dengan apa yang ditulisnya. Agaknya, Tulisannya masih tersenyum menunggu bertemu tatapan mataku, aku masih bergulat dengan ambisi keliaran dan anti kemapaman, maaf diana aku ambil namamu untuk simbol literasiku. Namun tulisanmu masih terpojok diruang berdebu, tertumpuk bersama kertas kertas tua yang hampir diloakkan. Ia tergolek lesu saat hendak kutinggalkan bermain bola, sambil menenteng sepatu bolaku, aku bergumam lirih pada surat itu, tunggulah aku mencetak gol.

Sukoharjo, 10-12-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar