Seberapa
kuat aku mengingat hari itu, aku tak mungkin sanggup menceritakan detailnya.
Jelasnya, aku bukan pengingat yang handal, apalagi untuk mengingat wanita. Aku
memulai kisah ini ketika aku masih
berseragam merah putih, tepatnya aku masih SD. Sekolahku tepat di pinggir jalan
raya, kota kecil bernama Randudongkal. SD 02 Randudongkal menjadi bagian
sejarah masa laluku, di masa itu terukir banyak kenangan akan hinaan,
keberhasilan, sepakbola, pak rojikin, dan diana.
Lebih
tepatnya banyak variabel yang menjadi instrumen masa lalu ketika aku sempat
berprestasi di SD yang dulu menjadi Favorit orang tua di kota kecil penghasil
tahu dan tempe ini. Aku dimasa itu adalah aku yang tak mau sikat gigi, aku saat
itu adalah aku yang jorok, bodoh, kemproh,
dan aku saat itu adalah aku yang mengenal diana.
Aku sempat ingat
prestasi terbaiku menempati rangking 5 di sekolah itu, aku sendiri dalam
dimensi keakuan cukup pintar dalam menikmati pendidikan. Terutama Basic ibuku yang jowo tulen yang memandang pendidikan menjadi harga mati, membuatku
ditempa habis habisan dalam tuntutan meraih kampiun.
Memang
kuakui, teman seangkatanku banyak yang berotak cemerlang bagaikan einstein. Tak
kurang dari banyak temanku saat SD, sekarang beralmamater perguruan tinggi yang
maju. Meski tidak bisa dijadikan acuan prestasi individu, aku melihat track record mereka saat merah putih sampai putih abu abu memang menunjukan sikap
konsisten dan prestasi luar biasa.
Sebagai
anak yang biasa saja, tak ada hal yang cukup membanggakan ketika aku masih
setinggi 1 m 20 cm. Prestasiku tertutup kecengenganku, benar, untuk ukuran anak
SD aku cukup bongsor. Namun aku terlalu cengeng dalam keseharian. Bukan karena
kakiku terkena paku, atau jatuh dari pohon kemudian mukaku memerah dan mataku
mengeluarkan air mata, lalu merintih bersenggukan. Hal tersebut malah membuatku
tidak menangis dan bertambah tegar.
Yang
bisa membuat aku demikian menangis, adalah ulah Azam. Aku masih ingat namanya,
ia punya cukup banyak akal membuatku sesenggukan di kelas baik didalam maupun
di luar pelajaran. Bagaimana dengan diana?, apakah ia sempat membuatmu menangis
faizal ?. Retoris yang cukup bagus, namu aku cukup menjawab tidak.
Azam,
satu diantara banyak teman yang membuatku bisa menangis dalam tempo singkat.
Cukup dengan memandang dengan tatapan tajamnya aku bisa terbuat tersedu sedu,
entah fenomena macam apa itu saat aku kecil. Kuyakin inilah teman temanku
menjuluki aku cengeng, bahkan sampai dewasa ini. Saat berjumpa dan berseloroh
tentang masa lalu, terutama bercerita masa SD, tak ada yang luput dari pemabahasan
cengeng. Azam yang kini menempuh pendidikan di IPB sempat sebangku denganku
saat SD, hingga tak ada hari tanpa menangis.
Menjadi
terdepan bukan tanpa ada saingan, tetanggaku yaitu SDN 01 juga dipandang
sebagai rival yang lumayan berat. Selain dalam kejuaraan adu tangkas kecerdikan
dan kepintaran, lebih panas lagi persaingan kami di lapangan hijau, yaitu
sepakbola. Sejak kecil, aku memang tidak gandrung sepakbola, aku begitu
keranjingan ketika menemukan bola di penangkaran burung lawet milik orang cina
yang dipasrahkan kepada kakekku.
Kebetulan
disamping penangkaran lawet yang dipagar tinggi itu, ada lapangan kecil bekas
kantor kawedanan yang dirobohkan, aku
sempat merekam selain sepakbola, ada juga tawuran, pacaran, sampai mabuk-mabukan,
aku juga teringat saat botol bekas mereka mabuk aku angkut dengan sepupuku
dijual di tukang rongsokan. Sejak dibangun lapangan bulutangkis entah bagaimana
kabar kawedanan itu sekarang. Yang jelas sejak menemukan bola itu aku gandrung
terhadap sepakbola, meskipun tidak semahir sekarang.
Kegemaran
mengolah kulit bundar berlanjut ke sekolah, tak tahu kenapa aku suka menjadi
kiper, entah badanku termasuk bongsor atau aku tak bisa menendang dengan benar.
Namun kiper adalah posisi fantastik di alam keakuan seoarng Faizal kecil. Ia
mampu terbang, alam ambisiku mengajak untuk menikmati lagi merealisasikan
fantasi itu, jadilah sampai aku mengawal gawang SD 02 Randudingkal, sampai
akhir hayat baju merah putih ini.
Memang sejatinya aku lebih sering dibully teman temanku, sistem otoriter
yang diterapkan ibuku cukup membuatku duduk manis didepan jendela dan merekam
riak riak hujan yang berlalu bersama jejak langkah sahabat sahabatku. Aku lebih
sering mengeja abjad dan menghitung teori disaat yang lain berlari di tepi
rimba.
Maka dari itu
aku lebih sering jadi kiper, diolok olok karena tidak bisa bersepakbola, mereka
hanya tahu aku seonggok daging yang punya fantasi, entahlah mereka lebih
percaya gawang mereka dijaga fantasiku daripada akalku. Namun ternyata
fantasiku menobatkan aku menjadi kiper terbaik satu kelas, aku terpiih secara
aklamasi karena tak ada yang mau segila diriku yang rela terbang dan jatuh
bermandi debu dengan senang hati.
Namun ternyata
dari sepakbola aku mengenal banyak teman, karibku dalam menendang bola ialah
umam. Saat SD dan SMP ia menjadi kakak tingkatku, kebetulan ia satu RT dengan
rumah nenekku, sampai SMA kami berpisah, ia pindah rumah ke Kota Pemalang, aku
masih salah satu kakak umam yang bernama Fai mempunyai wajah yang mirip dengan
Inzaghi, salah seorang pebola.
Umam bagai
bintang lapangan bola, tubuhnya kecil larinya kencang, dan tendanganya bak
geledek, apalagi dribbelnya, yahud dan mumpuni. Ia dielu elu bagai seorang
Messi di Barcelona, beda denganku yang menjadi bulan bulanan ketika tim kalah.
Umam selalu mengajakku main kiper kiperan, ia menendang bola dan aku menjadi
kipernya. Aku merekam, gawang yang kami gunakan adalah pohon yang berjejer di
depan rumah azam, dalang yang membuatku menangis.
Dari siang
sepulang sekolah sampai jadwal madrasahku, kemudian berlanjut sepulang madrasah
sampai maghrib. Kakiku tak lepas dari yang namanya Bola, terlebih mendekati sore
sesudah ashar. Semua anak kecil bermani adu tangkas sepakbola, mulai dari
rebutan kiper, kucing kucingan dan permainan yang lain.
Sampai aku
lulus, aku lebih banyak mengenal sepakbola daripada olimpiade, Mipa, fisika,
ataupun tentang otonomi daerah. Aku teringat cerita pria dikampungku, mereka
bergabung dengan Persera 79 (Persatuan Sepakbola Randudongkal), sebuah klub
lokal di daerahku. Tak ingin jagoan kecilnya menderita, ayahku segera ia
belikan sepatu. Aku dibelikan sepatu seharga 75 ribu di toko Garuda Mas milik
seorang China. Setelah itu, aku,Umam, dan Dani menuju lapangan untuk berlatih
bersama Persera.
Dari tempaan di
Persera itu, Sampai sekarang aku masih gandrung dalam mengolah kulit bundar,
terlebih saat SMA tidak ada waktu tidak bermain bola. Dan benar saja, sepakbola
kadang membuatku lupa segalanya, lupa kepada mama, lupa Mipa, lupa akan ibadah,
dan lupa pada surat kak diana, aku terlalu fokus pada sepakbola, hingga surat
itu masih tergeletak saat hendak kubaca, ahh.. entah apapun isinya, entah syair
maupun elegi, kuyakin bukan tentang sepakbola.
bagus(y)
BalasHapusterima kasih kakak,,
Hapus