Selasa, 03 Desember 2013

Surat dari kak diana - Part 1




                Seberapa kuat aku mengingat hari itu, aku tak mungkin sanggup menceritakan detailnya. Jelasnya, aku bukan pengingat yang handal, apalagi untuk mengingat wanita. Aku memulai kisah ini  ketika aku masih berseragam merah putih, tepatnya aku masih SD. Sekolahku tepat di pinggir jalan raya, kota kecil bernama Randudongkal. SD 02 Randudongkal menjadi bagian sejarah masa laluku, di masa itu terukir banyak kenangan akan hinaan, keberhasilan, sepakbola, pak rojikin, dan diana.
                Lebih tepatnya banyak variabel yang menjadi instrumen masa lalu ketika aku sempat berprestasi di SD yang dulu menjadi Favorit orang tua di kota kecil penghasil tahu dan tempe ini. Aku dimasa itu adalah aku yang tak mau sikat gigi, aku saat itu adalah aku yang jorok, bodoh, kemproh, dan aku saat itu adalah aku yang mengenal diana.
Aku sempat ingat prestasi terbaiku menempati rangking 5 di sekolah itu, aku sendiri dalam dimensi keakuan cukup pintar dalam menikmati pendidikan. Terutama Basic ibuku yang jowo tulen yang memandang pendidikan menjadi harga mati, membuatku ditempa habis habisan dalam tuntutan meraih kampiun.
                Memang kuakui, teman seangkatanku banyak yang berotak cemerlang bagaikan einstein. Tak kurang dari banyak temanku saat SD, sekarang beralmamater perguruan tinggi yang maju. Meski tidak bisa dijadikan acuan prestasi individu, aku melihat track record mereka saat merah putih sampai putih abu abu memang menunjukan sikap konsisten dan prestasi luar biasa.
                Sebagai anak yang biasa saja, tak ada hal yang cukup membanggakan ketika aku masih setinggi 1 m 20 cm. Prestasiku tertutup kecengenganku, benar, untuk ukuran anak SD aku cukup bongsor. Namun aku terlalu cengeng dalam keseharian. Bukan karena kakiku terkena paku, atau jatuh dari pohon kemudian mukaku memerah dan mataku mengeluarkan air mata, lalu merintih bersenggukan. Hal tersebut malah membuatku tidak menangis dan bertambah tegar.
                Yang bisa membuat aku demikian menangis, adalah ulah Azam. Aku masih ingat namanya, ia punya cukup banyak akal membuatku sesenggukan di kelas baik didalam maupun di luar pelajaran. Bagaimana dengan diana?, apakah ia sempat membuatmu menangis faizal ?. Retoris yang cukup bagus, namu aku cukup menjawab tidak.
                Azam, satu diantara banyak teman yang membuatku bisa menangis dalam tempo singkat. Cukup dengan memandang dengan tatapan tajamnya aku bisa terbuat tersedu sedu, entah fenomena macam apa itu saat aku kecil. Kuyakin inilah teman temanku menjuluki aku cengeng, bahkan sampai dewasa ini. Saat berjumpa dan berseloroh tentang masa lalu, terutama bercerita masa SD, tak ada yang luput dari pemabahasan cengeng. Azam yang kini menempuh pendidikan di IPB sempat sebangku denganku saat SD, hingga tak ada hari tanpa menangis.
                Menjadi terdepan bukan tanpa ada saingan, tetanggaku yaitu SDN 01 juga dipandang sebagai rival yang lumayan berat. Selain dalam kejuaraan adu tangkas kecerdikan dan kepintaran, lebih panas lagi persaingan kami di lapangan hijau, yaitu sepakbola. Sejak kecil, aku memang tidak gandrung sepakbola, aku begitu keranjingan ketika menemukan bola di penangkaran burung lawet milik orang cina yang dipasrahkan kepada kakekku.
                Kebetulan disamping penangkaran lawet yang dipagar tinggi itu, ada lapangan kecil bekas kantor  kawedanan yang dirobohkan, aku sempat merekam selain sepakbola, ada juga tawuran, pacaran, sampai mabuk-mabukan, aku juga teringat saat botol bekas mereka mabuk aku angkut dengan sepupuku dijual di tukang rongsokan. Sejak dibangun lapangan bulutangkis entah bagaimana kabar kawedanan itu sekarang. Yang jelas sejak menemukan bola itu aku gandrung terhadap sepakbola, meskipun tidak semahir sekarang.
                Kegemaran mengolah kulit bundar berlanjut ke sekolah, tak tahu kenapa aku suka menjadi kiper, entah badanku termasuk bongsor atau aku tak bisa menendang dengan benar. Namun kiper adalah posisi fantastik di alam keakuan seoarng Faizal kecil. Ia mampu terbang, alam ambisiku mengajak untuk menikmati lagi merealisasikan fantasi itu, jadilah sampai aku mengawal gawang SD 02 Randudingkal, sampai akhir hayat baju merah putih ini.
 Memang sejatinya aku lebih sering dibully teman temanku, sistem otoriter yang diterapkan ibuku cukup membuatku duduk manis didepan jendela dan merekam riak riak hujan yang berlalu bersama jejak langkah sahabat sahabatku. Aku lebih sering mengeja abjad dan menghitung teori disaat yang lain berlari di tepi rimba.
Maka dari itu aku lebih sering jadi kiper, diolok olok karena tidak bisa bersepakbola, mereka hanya tahu aku seonggok daging yang punya fantasi, entahlah mereka lebih percaya gawang mereka dijaga fantasiku daripada akalku. Namun ternyata fantasiku menobatkan aku menjadi kiper terbaik satu kelas, aku terpiih secara aklamasi karena tak ada yang mau segila diriku yang rela terbang dan jatuh bermandi debu dengan senang hati.
Namun ternyata dari sepakbola aku mengenal banyak teman, karibku dalam menendang bola ialah umam. Saat SD dan SMP ia menjadi kakak tingkatku, kebetulan ia satu RT dengan rumah nenekku, sampai SMA kami berpisah, ia pindah rumah ke Kota Pemalang, aku masih salah satu kakak umam yang bernama Fai mempunyai wajah yang mirip dengan Inzaghi, salah seorang pebola.
Umam bagai bintang lapangan bola, tubuhnya kecil larinya kencang, dan tendanganya bak geledek, apalagi dribbelnya, yahud dan mumpuni. Ia dielu elu bagai seorang Messi di Barcelona, beda denganku yang menjadi bulan bulanan ketika tim kalah. Umam selalu mengajakku main kiper kiperan, ia menendang bola dan aku menjadi kipernya. Aku merekam, gawang yang kami gunakan adalah pohon yang berjejer di depan rumah azam, dalang yang membuatku menangis.
Dari siang sepulang sekolah sampai jadwal madrasahku, kemudian berlanjut sepulang madrasah sampai maghrib. Kakiku tak lepas dari yang namanya Bola, terlebih mendekati sore sesudah ashar. Semua anak kecil bermani adu tangkas sepakbola, mulai dari rebutan kiper, kucing kucingan dan permainan yang lain.
Sampai aku lulus, aku lebih banyak mengenal sepakbola daripada olimpiade, Mipa, fisika, ataupun tentang otonomi daerah. Aku teringat cerita pria dikampungku, mereka bergabung dengan Persera 79 (Persatuan Sepakbola Randudongkal), sebuah klub lokal di daerahku. Tak ingin jagoan kecilnya menderita, ayahku segera ia belikan sepatu. Aku dibelikan sepatu seharga 75 ribu di toko Garuda Mas milik seorang China. Setelah itu, aku,Umam, dan Dani menuju lapangan untuk berlatih bersama Persera.
Dari tempaan di Persera itu, Sampai sekarang aku masih gandrung dalam mengolah kulit bundar, terlebih saat SMA tidak ada waktu tidak bermain bola. Dan benar saja, sepakbola kadang membuatku lupa segalanya, lupa kepada mama, lupa Mipa, lupa akan ibadah, dan lupa pada surat kak diana, aku terlalu fokus pada sepakbola, hingga surat itu masih tergeletak saat hendak kubaca, ahh.. entah apapun isinya, entah syair maupun elegi, kuyakin bukan tentang sepakbola.

2 komentar: