Senin, 23 September 2013

Outsorcing, sebuah kebijakan degradatif


Outsorcing, sebuah fenomena baru dalam industrialisasi di era global ini. Sebagian kecurigaan muncul setelah Outsorcing dianggap bentuk baru neo kapitalisme dan liberalisme, yaitu eksploitasi materi secara besar besaran dengan pengesampingan pertimbangan lokal.  Proses Dehumanisasi terhadap strata buruh merupakan satu dari banyak ciri kapitalisme yang dianggap Marx sebagai bentuk alienasi manusia dari hakikatnya.
News.liputan6.com
Namun dewasa ini fenomena Outsorcing menunjukan tajinya dengan terdapat lebih dari tujuh puluh ribu (70.000) agen kerja swasta yang menghasilkan total seratus tujuh puluh satu ribu (171.000) merek di seluruh penjuru dunia. Total perputaran (turnover)sepanjang tahun 2008 adalah dua ratus tiga puluh dua (232) miliar Euro: Jepang dan Amerika Serikat merupakan pemimpin global dilihat dari total pendapatan dari penjualan, terhitung sebesar dua puluh satu (21) persen untuk masing-masing negara, diikuti oleh Inggris sebesar lima belas (15) persen. Di tahun 2008 secara global terdapat lebih dari sembilan setengah (9.5) juta pekerja yang disalurkan oleh agen. Mayoritas dari mereka berusia kurang dari tiga puluh (30) tahun.
Karena banyak pelanggaran yang terajdi, pada tahun 2010 Global Unions yang merupakan organisasi perwakilan dari serikat pekerja di tingkat global telah mengembangkan serangkaian prinsip dasar yang diharapkan dapat diterapkan dalam praktek kerja tidak tetap. 
a.       Bentuk utama dari pekerjaan haruslah tetap atau permanen, terbuka, dan terjadi langsung antara pekerja dan pemberi kerja
b.      Pekerja tidak tetap harus terlindungi dalam kesepakatan kerja bersama yang setara dengan pekerja lainnya di perusahaan pemberi kerja;
c.       Pekerja tidak tetap harus mendapatkan hak dan perlakuan yang sama dalam segala bidang;
d.      Penggunaan pekerja tidak tetap tidak boleh meningkatkan kesenjangan jender dalam hal upah, perlindungan sosial, dan penetapan kondisi;
e.      Praktek ini tidak boleh digunakan untuk menghapus hubungan kerja yang tetap dan bersifat langsung
f.        Penggunaan pekerja tidak tetap atau outsourcing tidak boleh digunakan untuk memperlemah serikat pekerja/serikat buruh apalagi sampai menciderai hak untuk berorganisasi dan hak untuk membuat kesepakatan kerja bersama.
Hanya dengan kondisi inilah serikat pekerja dapat merasa yakin bahwa praktek kerja kontrak dan praktek kerja tidak tetap (outsourcing) dapat menguntungkan kedua belah pihak; baik pemberi kerja dan maupun pekerja. Di Indonesia sendiri, wacana outsorcing dan kontrak telah menjadi topik yang lumayan kontroversial. Banyak yang menolak banyak pula yang menerima. Sisi pro berargumen outsorcing adalah salah satu bentuk penyesuaian terhadap perkembangan globalisasi, negara maju yang berorientasi pada pembangunan membutuhkan tenaga tenaga siap guna dalam jangka waktu tertentu. Namun sisi kontra menganggap Buruh dengan outsorcingnya telah dieksploitasi oleh majikan itu sendiri, dan malah menggambarkan dunia masuk kembali ke masa industrial yang sudah berlalu.
Degradasi kualitatif buruh.
                Namun seperti mitos awal, berlakunya UU tenaga kerjaan sebagai dasar yuridis perlindungan kaum buruh tidak dirasakan implementasinya. Banyak para pengusaha yang sewenang wenang memberlakukan bawahanya.       
Praktek hubungan kerja tetap dan kontrak telah menciptakan fragmentasi atau pengelompokan buruh berdasarkan status hubungan kerja di tingkat pabrik. Dalam praktek ini di satu pabrik ada 3 kelompok buruh yakni buruh tetap, buruh kontrak dan buruh. Pengelompokan ini pada umumnya ditandai dengan perbedaan warna seragam yang dikenakan oleh ketiga kelompok buruh tersebut dan di antara buruh  outsourcing  yang berasal dari perusahaan penyalur tenaga kerja yang berbeda-beda.
Stratifikasi ini berpotensi meminimalisir solidaritas antara buruh satu dengan yang lain. Apalagi jika ternyata, hak yang didapat para buruh berbeda akan tetapi kewajiban yang dilaksanakan tidak jauh berbeda akan sangat berpotensi menyebabkan semacam kasta dalam buruh itu sendiri. Efek buruknya, tidak menutup kemungkinan konflik horizontal akan terjadi disini, karena aroma yang ditimbulkan bukanlah cooperation (kerjasama) tetapi persaingan competition (persaingan).
                Setelah mengemukakan adanya fragmentasi, secara tidak langsung kita akan kembali menemukan tentang diskriminasi dalam praktek outsorcing itu kembali. Diskriminasi yang terjadi dalam bentuk upah, usia dan status, serta hak berorganisasi.
Dalam bentuk upah, ada juga semacam diskriminasi bagi buruh kontrak, outsorcing, dan buruh tetap. Padahal kewajiban yang dilaksanakan antara buruh non ataupun outsorcing tidak jauh beda. Kemudian dalam segi usia dan status, bagi buruh outsorcing haruslah berusia sekitar 18-24 tahun dan harus dalam usia lajang. Hal ini menutup kemungkinan buruh tua dan berkeluarga untuk mengais rezeki mereka. Terakhir, dalam segi hak berorganisasi, buruh outsorcing dilarang baik langsung maupun tidak langsung bergabung dengan serikat buruh, atau jika melanggar ketentuan bisa tidak diperpanjang kontrak mereka oleh perusahaan penyalur. Hal ini cukup mengherankan, karena mereduksi hak kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh konstitusi.

                Beberapa hal yang akan dialami para buruh seakan akan menunjukan buruh menerima perlakuan eksploitatif. Proses humanisasi buruh seakan akan menjadi utopis melihat kenyataan sekarang. Buruh seakan akan hanyalah benda mati atau alat untuk kemajuan suatu industri, buruh bukanlah manusia yang membutuhkan hak hak sebagaimana layaknya manusia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar