Outsorcing, sebuah fenomena baru dalam industrialisasi di era global ini.
Sebagian kecurigaan muncul setelah Outsorcing dianggap bentuk baru neo
kapitalisme dan liberalisme, yaitu eksploitasi materi secara besar besaran
dengan pengesampingan pertimbangan lokal. Proses Dehumanisasi terhadap strata buruh
merupakan satu dari banyak ciri kapitalisme yang dianggap Marx sebagai bentuk
alienasi manusia dari hakikatnya.
News.liputan6.com |
Namun dewasa ini fenomena Outsorcing menunjukan tajinya dengan terdapat
lebih dari tujuh puluh ribu (70.000) agen kerja swasta yang menghasilkan total
seratus tujuh puluh satu ribu (171.000) merek di seluruh penjuru dunia. Total
perputaran (turnover)sepanjang tahun 2008 adalah dua ratus tiga puluh dua (232)
miliar Euro: Jepang dan Amerika Serikat merupakan pemimpin global dilihat dari
total pendapatan dari penjualan, terhitung sebesar dua puluh satu (21) persen
untuk masing-masing negara, diikuti oleh Inggris sebesar lima belas (15)
persen. Di tahun 2008 secara global terdapat lebih dari sembilan setengah (9.5)
juta pekerja yang disalurkan oleh agen. Mayoritas dari mereka berusia kurang
dari tiga puluh (30) tahun.
Karena banyak pelanggaran yang terajdi, pada tahun 2010 Global Unions yang
merupakan organisasi perwakilan dari serikat pekerja di tingkat global telah
mengembangkan serangkaian prinsip dasar yang diharapkan dapat diterapkan dalam
praktek kerja tidak tetap.
a.
Bentuk utama dari pekerjaan haruslah tetap atau
permanen, terbuka, dan terjadi langsung antara pekerja dan pemberi kerja
b.
Pekerja tidak tetap harus terlindungi dalam
kesepakatan kerja bersama yang setara dengan pekerja lainnya di perusahaan
pemberi kerja;
c.
Pekerja tidak tetap harus mendapatkan hak dan
perlakuan yang sama dalam segala bidang;
d.
Penggunaan pekerja tidak tetap tidak boleh
meningkatkan kesenjangan jender dalam hal upah, perlindungan sosial, dan
penetapan kondisi;
e.
Praktek ini tidak boleh digunakan untuk
menghapus hubungan kerja yang tetap dan bersifat langsung
f.
Penggunaan pekerja tidak tetap atau outsourcing
tidak boleh digunakan untuk memperlemah serikat pekerja/serikat buruh apalagi
sampai menciderai hak untuk berorganisasi dan hak untuk membuat kesepakatan
kerja bersama.
Hanya dengan kondisi inilah serikat pekerja dapat merasa yakin bahwa
praktek kerja kontrak dan praktek kerja tidak tetap (outsourcing) dapat
menguntungkan kedua belah pihak; baik pemberi kerja dan maupun pekerja. Di
Indonesia sendiri, wacana outsorcing dan
kontrak telah menjadi topik yang lumayan kontroversial. Banyak yang menolak
banyak pula yang menerima. Sisi pro berargumen outsorcing adalah salah satu bentuk penyesuaian terhadap
perkembangan globalisasi, negara maju yang berorientasi pada pembangunan
membutuhkan tenaga tenaga siap guna dalam jangka waktu tertentu. Namun sisi
kontra menganggap Buruh dengan outsorcingnya
telah dieksploitasi oleh majikan itu sendiri, dan malah menggambarkan dunia
masuk kembali ke masa industrial yang sudah berlalu.
Degradasi kualitatif buruh.
Namun seperti mitos awal,
berlakunya UU tenaga kerjaan sebagai dasar yuridis perlindungan kaum buruh
tidak dirasakan implementasinya. Banyak para pengusaha yang sewenang wenang
memberlakukan bawahanya.
Praktek hubungan kerja tetap dan kontrak telah menciptakan fragmentasi
atau pengelompokan buruh berdasarkan status hubungan kerja di tingkat pabrik.
Dalam praktek ini di satu pabrik ada 3 kelompok buruh yakni buruh tetap, buruh
kontrak dan buruh. Pengelompokan ini pada umumnya ditandai dengan perbedaan
warna seragam yang dikenakan oleh ketiga kelompok buruh tersebut dan di antara
buruh outsourcing yang berasal dari perusahaan penyalur tenaga
kerja yang berbeda-beda.
Stratifikasi ini berpotensi meminimalisir solidaritas antara buruh satu
dengan yang lain. Apalagi jika ternyata, hak yang didapat para buruh berbeda
akan tetapi kewajiban yang dilaksanakan tidak jauh berbeda akan sangat
berpotensi menyebabkan semacam kasta dalam buruh itu sendiri. Efek buruknya,
tidak menutup kemungkinan konflik horizontal akan terjadi disini, karena aroma
yang ditimbulkan bukanlah cooperation (kerjasama)
tetapi persaingan competition (persaingan).
Setelah mengemukakan adanya
fragmentasi, secara tidak langsung kita akan kembali menemukan tentang
diskriminasi dalam praktek outsorcing itu
kembali. Diskriminasi yang terjadi dalam bentuk upah, usia dan status, serta
hak berorganisasi.
Dalam bentuk upah, ada juga semacam diskriminasi bagi buruh kontrak, outsorcing, dan buruh tetap. Padahal
kewajiban yang dilaksanakan antara buruh non ataupun outsorcing tidak jauh beda. Kemudian dalam segi usia dan status,
bagi buruh outsorcing haruslah
berusia sekitar 18-24 tahun dan harus dalam usia lajang. Hal ini menutup
kemungkinan buruh tua dan berkeluarga untuk mengais rezeki mereka. Terakhir,
dalam segi hak berorganisasi, buruh outsorcing
dilarang baik langsung maupun tidak langsung bergabung dengan serikat
buruh, atau jika melanggar ketentuan bisa tidak diperpanjang kontrak mereka
oleh perusahaan penyalur. Hal ini cukup mengherankan, karena mereduksi hak
kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh konstitusi.
Beberapa hal yang akan dialami
para buruh seakan akan menunjukan buruh menerima perlakuan eksploitatif. Proses
humanisasi buruh seakan akan menjadi utopis melihat kenyataan sekarang. Buruh
seakan akan hanyalah benda mati atau alat untuk kemajuan suatu industri, buruh
bukanlah manusia yang membutuhkan hak hak sebagaimana layaknya manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar