Senin, 23 September 2013

PENGADAAN TANAH DAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM


Sebuah Konflik dalam bingkai oposisi binner
            Tanah adalah bagian dari bumi yang menyimpan banyak manfaat bagi perkembangan manusia. Diatasnya manusia berbaur dan berinteraksi antar sesama, tanah juga menyimpan banyak manfaat dalm segi pembangunan manusia pada umumnya. Dibalik itu, besar manfaat tanah terkadang menimbulkan gejolak yang mengerikan pula, dalam sejarah perebutan tanah antar kerajaan satu dengan yang lain tidak dapat dihindarkan
            Negara dalam hal ini sebagai organ tunggal penguasa di sebuah komunitas masyarakat yang luas, harus bisa mengambil peranya sebagai instrumen yang mempunyai wewenang. Dalam hal ini hubungan manusia satu dengan yang lain tentang tanah, negara harus bisa membuat sebuah regulasi yang menata hubungan masyarakat khususnya dalam hal pertanahan.
            Dalam pasal 33 UUD disebutkan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Penjabaran dari kewenangan “dikuasai” disini bisa diartikan sebagai berikut :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan dan pemeliharan bumi, air dan ruang angkasa;
2. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3. Mengatur hubungan hukum antara orang dengan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa;
4. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai tersebut dipergunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur;
5. Hak menguasai tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan pada daerah swatantra atau masyarakat hukum adat, asal tidak bertentangan dengan kepentingan nasional;
6. Demi untuk kepentingan umum, bangsa dan negara, pemerintah dapat melakukan pencabutan hak atas tanah dan benda-benda di atasnya dengan pembayaran ganti rugi yang layak[1].
            Dari beberapa wewenang negara terhadap tanah yang ditake over dari frasa “dikuasai” mengartikan negara mendapat amanah dari rakyat untuk mengelola tanah baik melalui pengaturan, penyediaan, ataupun pemeliharaan, dengan maksud untuk kesejahteraan rakyat pada umumnya. Namun frasa “dikuasai” ini tidak boleh diartika negara dan rakyat dalam vertikal biner, dengan kata lain kedudukan rakyat dan negara dalam hal penguasaan tanah adalah sejajar, negara tidak bisa mengklain dirinya punya kekuasaan lebih untuk tanah, karena frasa “dikuasai negara” pada prinsipnya adalah amanah dari rakyat untuk digunakan sebagai kesejahteraan rakyat. Dengan demikian maka segala perbuatan negara, dalam hal ini Pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan kepada masyarakat[2].
            Tanah disamping sebagai dimensi ruang kehidupan manusia juga punya potensi nilai ekonomis, dikaitkan dengan rencana pembangunan sebagai salah satu agenda besar pemerintah. Pengadaan tanah untuk hal tersebut paling tidak harus memperhatikan peran tanah dan prinsip prinsip tanah dan hak hak atas tanah.
            Selain itu, tanah menurut  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Fungsi sosial disini diartikan selain sebagai kepemilikan secara pribadi dan sebagai nilai ekonomis tentunya. Tanah juga berfungsi untuk kepentingan umum yang harus mengesampingkan kepentingan pribadi.
            Wacana tentang tanah sebagai fungsi sosial dalam masyarakat, telah timbul sejak wacana pembangunan jalan tol dari anyer sampai banyuwangi. Awal 1980 an waacan ini harus disimpan karena krisis moneter, estafet pembangunan juga berlanjut ke Megawati sampai Presiden Beye, namun hanya di tangan Pak Beye realisasi ini baru bisa mengemuka. Namun, pembangunan ini menyimpan sebuah paradoks, artinya jika benar terealisasi  Jalan tol Trans-Jawa akan mengkonversi 655.400 hektar lahan pertanian. Hal ini tentunya akan mengancam ketahanan pangan nasional mengingat peranan pulau Jawa yang memasok 53 persen kebutuhan pangan nasional, mengingat jawa sebagai lumbung padi[3].
            Faktor lain yang menyebabkan sulitnya pembangunan yang berkaitan dengan tanah, karena faktor tanah meerupakan keniscayaan bagi instruktur pembangunan. Adalah masalah pembebasan tanah yang sering menundang konflik. Terkadang kepetingan umum dan pribadi berada dalam garis oposisi binner, lain halnya konflik horizontal antara pemilik tanah sebagai pemrakarsa pembangunan. Artinya sulit mencapai titik temu antara kepentingan pembangunan dan hak hak kepemilikan tanah,dan negara dalam mencapai tuntutan pembangunan memang diharuskan melakukan percepatan, mau tidak mau pembebasan tanah harus dilakukan secepatnya.  Terlebih, di belahan dunia manapun tidak ada negara yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil tanah untuk kepentingan pembangunan[4].
            Namun, dalam menciptakan solusi masih ada celah untuk menghindarkan konflik diantaranya melalui dua pendekatan yaitu Pertama, dengan meningkatkan keberpihakan dan penghormatan terhadap pemilik hak atas tanah. Pendekatan ini dilakukan dengan mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih komprehensif[5].
            Dengan pendekatan demikian, tentu hak hak pemilik tanah lebih dihargai oleh pemerintah jika bertindak sebagai pemrakarsa, karena kaitanya dengan pembangunan nasional. Memang harus diakui respon pemerintah terhadap hak hak pemilik tanah masih dianggap rendah, pembebasan tanah kebanyakan melihat tanah hanya berupa hak tanah, bangunan diatasnya, dan barang barang yang ada diatasnya. Padahal konsep agraria dalam pembangunan keberlanjutan adalah tidak sebatas tanah dan bangunan di atasnya melainkan pembangunan juga memperhatikan aspek aspek dalam masyarakat itu sendiri.
Pendekatan demikian juga mengacu pada anggaran yang disediakan untuk pembebasan tanah yang digunakan untuk tujuan pembangunan. Pendekatan yang mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih komprehensif memiliki konsekuensi pada ketersediaan anggaran. Pemberian kompensasi secara komprehensif membutuhkan dana yang besar. Dengan demikian, penetapan kebijakan terhadap komponen apa saja yang akan diperhitungkan dan bagaimana metode perhitungannya harus memperhatikan kemampuan keuangan negara[6].
Kedua adalah dengan memperkuat kewenangan negara untuk mengambil tanah pada harga yang ditetapkan walaupun tanpa kerelaan pemilik tanah. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan kewenangan yang diberikan undang-undang. Namun pendekatan ini bukanya tanpa cela, pemerintah dan aparaturnya harus memiliki sisi integrasi dan reputasi yang baik di mata masyrakat. Yang berbahaya ketika pemerintah melalui aparaturnya yang mendapat mandat secara sah sudah mendapatkan common sense yang tidak baik untuk masyarakat malah yang timbul adalah resistensi dari masyarakat.



[1] Septia Putri Riko,2010, PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (Studi pada Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa di Kabupaten Tegal), Tesis, Undip, tanpa hlm
[2] Maria SW Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep penguasaan tanah oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru besar pada Fakultas Hukum UGM (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998) dalam Septia Putri Riko, Op Cit
[3] Lihat Septia Putri Riko, Op Cit
[4] RINGKASAN HASIL PENELITIAN DAN REKOMENDASI,tanpa tahun, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Paramadina Public Policy Institute,hlm 2
[5] Ibid,
[6] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar