Sebuah
Konflik dalam bingkai oposisi binner
Tanah adalah bagian dari bumi yang
menyimpan banyak manfaat bagi perkembangan manusia. Diatasnya manusia berbaur
dan berinteraksi antar sesama, tanah juga menyimpan banyak manfaat dalm segi
pembangunan manusia pada umumnya. Dibalik itu, besar manfaat tanah terkadang
menimbulkan gejolak yang mengerikan pula, dalam sejarah perebutan tanah antar
kerajaan satu dengan yang lain tidak dapat dihindarkan
Negara dalam hal ini sebagai organ
tunggal penguasa di sebuah komunitas masyarakat yang luas, harus bisa mengambil
peranya sebagai instrumen yang mempunyai wewenang. Dalam hal ini hubungan
manusia satu dengan yang lain tentang tanah, negara harus bisa membuat sebuah
regulasi yang menata hubungan masyarakat khususnya dalam hal pertanahan.
Dalam pasal 33 UUD disebutkan “Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Penjabaran dari
kewenangan “dikuasai” disini bisa diartikan sebagai berikut :
1.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan dan
pemeliharan bumi, air dan ruang angkasa;
2.
Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa;
3.
Mengatur hubungan hukum antara orang dengan perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa;
4.
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai tersebut dipergunakan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur;
5.
Hak menguasai tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan pada daerah swatantra
atau masyarakat hukum adat, asal tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional;
6.
Demi untuk kepentingan umum, bangsa dan negara, pemerintah dapat melakukan
pencabutan hak atas tanah dan benda-benda di atasnya dengan pembayaran ganti
rugi yang layak[1].
Dari beberapa wewenang negara
terhadap tanah yang ditake over dari frasa “dikuasai” mengartikan negara
mendapat amanah dari rakyat untuk mengelola tanah baik melalui pengaturan,
penyediaan, ataupun pemeliharaan, dengan maksud untuk kesejahteraan rakyat pada
umumnya. Namun frasa “dikuasai” ini tidak boleh diartika negara dan rakyat
dalam vertikal biner, dengan kata lain kedudukan rakyat dan negara dalam hal
penguasaan tanah adalah sejajar, negara tidak bisa mengklain dirinya punya
kekuasaan lebih untuk tanah, karena frasa “dikuasai negara” pada prinsipnya
adalah amanah dari rakyat untuk digunakan sebagai kesejahteraan rakyat. Dengan
demikian maka segala perbuatan negara, dalam hal ini Pemerintah harus dapat
mempertanggungjawabkan kepada masyarakat[2].
Tanah disamping sebagai dimensi
ruang kehidupan manusia juga punya potensi nilai ekonomis, dikaitkan dengan
rencana pembangunan sebagai salah satu agenda besar pemerintah. Pengadaan tanah
untuk hal tersebut paling tidak harus memperhatikan peran tanah dan prinsip
prinsip tanah dan hak hak atas tanah.
Selain itu, tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960: “semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Fungsi sosial disini diartikan selain
sebagai kepemilikan secara pribadi dan sebagai nilai ekonomis tentunya. Tanah
juga berfungsi untuk kepentingan umum yang harus mengesampingkan kepentingan
pribadi.
Wacana tentang tanah sebagai fungsi
sosial dalam masyarakat, telah timbul sejak wacana pembangunan jalan tol dari
anyer sampai banyuwangi. Awal 1980 an waacan ini harus disimpan karena krisis
moneter, estafet pembangunan juga berlanjut ke Megawati sampai Presiden Beye,
namun hanya di tangan Pak Beye realisasi ini baru bisa mengemuka. Namun,
pembangunan ini menyimpan sebuah paradoks, artinya jika benar terealisasi Jalan tol Trans-Jawa akan mengkonversi
655.400 hektar lahan pertanian. Hal ini tentunya akan mengancam ketahanan
pangan nasional mengingat peranan pulau Jawa yang memasok 53 persen kebutuhan
pangan nasional, mengingat jawa sebagai lumbung padi[3].
Faktor lain yang menyebabkan
sulitnya pembangunan yang berkaitan dengan tanah, karena faktor tanah
meerupakan keniscayaan bagi instruktur pembangunan. Adalah masalah pembebasan
tanah yang sering menundang konflik. Terkadang kepetingan umum dan pribadi
berada dalam garis oposisi binner, lain halnya konflik horizontal antara
pemilik tanah sebagai pemrakarsa pembangunan. Artinya sulit mencapai titik temu
antara kepentingan pembangunan dan hak hak kepemilikan tanah,dan negara dalam
mencapai tuntutan pembangunan memang diharuskan melakukan percepatan, mau tidak
mau pembebasan tanah harus dilakukan secepatnya. Terlebih, di belahan dunia manapun tidak ada
negara yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil tanah untuk kepentingan
pembangunan[4].
Namun, dalam menciptakan solusi
masih ada celah untuk menghindarkan konflik diantaranya melalui dua pendekatan
yaitu Pertama, dengan meningkatkan
keberpihakan dan penghormatan terhadap pemilik hak atas tanah. Pendekatan ini
dilakukan dengan mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan pemberian kompensasi
yang lebih komprehensif[5].
Dengan pendekatan demikian, tentu
hak hak pemilik tanah lebih dihargai oleh pemerintah jika bertindak sebagai
pemrakarsa, karena kaitanya dengan pembangunan nasional. Memang harus diakui
respon pemerintah terhadap hak hak pemilik tanah masih dianggap rendah,
pembebasan tanah kebanyakan melihat tanah hanya berupa hak tanah, bangunan
diatasnya, dan barang barang yang ada diatasnya. Padahal konsep agraria dalam
pembangunan keberlanjutan adalah tidak sebatas tanah dan bangunan di atasnya
melainkan pembangunan juga memperhatikan aspek aspek dalam masyarakat itu
sendiri.
Pendekatan
demikian juga mengacu pada anggaran yang disediakan untuk pembebasan tanah yang
digunakan untuk tujuan pembangunan. Pendekatan yang mengedepankan sosialisasi,
negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih komprehensif memiliki
konsekuensi pada ketersediaan anggaran. Pemberian kompensasi secara
komprehensif membutuhkan dana yang besar. Dengan demikian, penetapan kebijakan
terhadap komponen apa saja yang akan diperhitungkan dan bagaimana metode
perhitungannya harus memperhatikan kemampuan keuangan negara[6].
Kedua adalah
dengan memperkuat kewenangan negara untuk mengambil tanah pada harga yang
ditetapkan walaupun tanpa kerelaan pemilik tanah. Pendekatan ini dilakukan
dengan menggunakan kewenangan yang diberikan undang-undang. Namun pendekatan
ini bukanya tanpa cela, pemerintah dan aparaturnya harus memiliki sisi
integrasi dan reputasi yang baik di mata masyrakat. Yang berbahaya ketika
pemerintah melalui aparaturnya yang mendapat mandat secara sah sudah
mendapatkan common sense yang tidak
baik untuk masyarakat malah yang timbul adalah resistensi dari masyarakat.
[1]
Septia Putri Riko,2010, PELAKSANAAN
PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERLINDUNGAN
LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (Studi pada Pembangunan Jalan Tol Trans
Jawa di Kabupaten Tegal), Tesis, Undip, tanpa hlm
[2]
Maria SW Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep penguasaan
tanah oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru besar pada Fakultas Hukum UGM
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998) dalam Septia Putri Riko, Op Cit
[3]
Lihat Septia Putri Riko, Op Cit
[4] RINGKASAN
HASIL PENELITIAN DAN REKOMENDASI,tanpa tahun, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Paramadina Public Policy
Institute,hlm 2
[5] Ibid,
[6] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar