Senin, 23 September 2013

Outsorcing, sebuah kebijakan degradatif


Outsorcing, sebuah fenomena baru dalam industrialisasi di era global ini. Sebagian kecurigaan muncul setelah Outsorcing dianggap bentuk baru neo kapitalisme dan liberalisme, yaitu eksploitasi materi secara besar besaran dengan pengesampingan pertimbangan lokal.  Proses Dehumanisasi terhadap strata buruh merupakan satu dari banyak ciri kapitalisme yang dianggap Marx sebagai bentuk alienasi manusia dari hakikatnya.
News.liputan6.com
Namun dewasa ini fenomena Outsorcing menunjukan tajinya dengan terdapat lebih dari tujuh puluh ribu (70.000) agen kerja swasta yang menghasilkan total seratus tujuh puluh satu ribu (171.000) merek di seluruh penjuru dunia. Total perputaran (turnover)sepanjang tahun 2008 adalah dua ratus tiga puluh dua (232) miliar Euro: Jepang dan Amerika Serikat merupakan pemimpin global dilihat dari total pendapatan dari penjualan, terhitung sebesar dua puluh satu (21) persen untuk masing-masing negara, diikuti oleh Inggris sebesar lima belas (15) persen. Di tahun 2008 secara global terdapat lebih dari sembilan setengah (9.5) juta pekerja yang disalurkan oleh agen. Mayoritas dari mereka berusia kurang dari tiga puluh (30) tahun.
Karena banyak pelanggaran yang terajdi, pada tahun 2010 Global Unions yang merupakan organisasi perwakilan dari serikat pekerja di tingkat global telah mengembangkan serangkaian prinsip dasar yang diharapkan dapat diterapkan dalam praktek kerja tidak tetap. 
a.       Bentuk utama dari pekerjaan haruslah tetap atau permanen, terbuka, dan terjadi langsung antara pekerja dan pemberi kerja
b.      Pekerja tidak tetap harus terlindungi dalam kesepakatan kerja bersama yang setara dengan pekerja lainnya di perusahaan pemberi kerja;
c.       Pekerja tidak tetap harus mendapatkan hak dan perlakuan yang sama dalam segala bidang;
d.      Penggunaan pekerja tidak tetap tidak boleh meningkatkan kesenjangan jender dalam hal upah, perlindungan sosial, dan penetapan kondisi;
e.      Praktek ini tidak boleh digunakan untuk menghapus hubungan kerja yang tetap dan bersifat langsung
f.        Penggunaan pekerja tidak tetap atau outsourcing tidak boleh digunakan untuk memperlemah serikat pekerja/serikat buruh apalagi sampai menciderai hak untuk berorganisasi dan hak untuk membuat kesepakatan kerja bersama.
Hanya dengan kondisi inilah serikat pekerja dapat merasa yakin bahwa praktek kerja kontrak dan praktek kerja tidak tetap (outsourcing) dapat menguntungkan kedua belah pihak; baik pemberi kerja dan maupun pekerja. Di Indonesia sendiri, wacana outsorcing dan kontrak telah menjadi topik yang lumayan kontroversial. Banyak yang menolak banyak pula yang menerima. Sisi pro berargumen outsorcing adalah salah satu bentuk penyesuaian terhadap perkembangan globalisasi, negara maju yang berorientasi pada pembangunan membutuhkan tenaga tenaga siap guna dalam jangka waktu tertentu. Namun sisi kontra menganggap Buruh dengan outsorcingnya telah dieksploitasi oleh majikan itu sendiri, dan malah menggambarkan dunia masuk kembali ke masa industrial yang sudah berlalu.
Degradasi kualitatif buruh.
                Namun seperti mitos awal, berlakunya UU tenaga kerjaan sebagai dasar yuridis perlindungan kaum buruh tidak dirasakan implementasinya. Banyak para pengusaha yang sewenang wenang memberlakukan bawahanya.       
Praktek hubungan kerja tetap dan kontrak telah menciptakan fragmentasi atau pengelompokan buruh berdasarkan status hubungan kerja di tingkat pabrik. Dalam praktek ini di satu pabrik ada 3 kelompok buruh yakni buruh tetap, buruh kontrak dan buruh. Pengelompokan ini pada umumnya ditandai dengan perbedaan warna seragam yang dikenakan oleh ketiga kelompok buruh tersebut dan di antara buruh  outsourcing  yang berasal dari perusahaan penyalur tenaga kerja yang berbeda-beda.
Stratifikasi ini berpotensi meminimalisir solidaritas antara buruh satu dengan yang lain. Apalagi jika ternyata, hak yang didapat para buruh berbeda akan tetapi kewajiban yang dilaksanakan tidak jauh berbeda akan sangat berpotensi menyebabkan semacam kasta dalam buruh itu sendiri. Efek buruknya, tidak menutup kemungkinan konflik horizontal akan terjadi disini, karena aroma yang ditimbulkan bukanlah cooperation (kerjasama) tetapi persaingan competition (persaingan).
                Setelah mengemukakan adanya fragmentasi, secara tidak langsung kita akan kembali menemukan tentang diskriminasi dalam praktek outsorcing itu kembali. Diskriminasi yang terjadi dalam bentuk upah, usia dan status, serta hak berorganisasi.
Dalam bentuk upah, ada juga semacam diskriminasi bagi buruh kontrak, outsorcing, dan buruh tetap. Padahal kewajiban yang dilaksanakan antara buruh non ataupun outsorcing tidak jauh beda. Kemudian dalam segi usia dan status, bagi buruh outsorcing haruslah berusia sekitar 18-24 tahun dan harus dalam usia lajang. Hal ini menutup kemungkinan buruh tua dan berkeluarga untuk mengais rezeki mereka. Terakhir, dalam segi hak berorganisasi, buruh outsorcing dilarang baik langsung maupun tidak langsung bergabung dengan serikat buruh, atau jika melanggar ketentuan bisa tidak diperpanjang kontrak mereka oleh perusahaan penyalur. Hal ini cukup mengherankan, karena mereduksi hak kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh konstitusi.

                Beberapa hal yang akan dialami para buruh seakan akan menunjukan buruh menerima perlakuan eksploitatif. Proses humanisasi buruh seakan akan menjadi utopis melihat kenyataan sekarang. Buruh seakan akan hanyalah benda mati atau alat untuk kemajuan suatu industri, buruh bukanlah manusia yang membutuhkan hak hak sebagaimana layaknya manusia. 

PENGADAAN TANAH DAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM


Sebuah Konflik dalam bingkai oposisi binner
            Tanah adalah bagian dari bumi yang menyimpan banyak manfaat bagi perkembangan manusia. Diatasnya manusia berbaur dan berinteraksi antar sesama, tanah juga menyimpan banyak manfaat dalm segi pembangunan manusia pada umumnya. Dibalik itu, besar manfaat tanah terkadang menimbulkan gejolak yang mengerikan pula, dalam sejarah perebutan tanah antar kerajaan satu dengan yang lain tidak dapat dihindarkan
            Negara dalam hal ini sebagai organ tunggal penguasa di sebuah komunitas masyarakat yang luas, harus bisa mengambil peranya sebagai instrumen yang mempunyai wewenang. Dalam hal ini hubungan manusia satu dengan yang lain tentang tanah, negara harus bisa membuat sebuah regulasi yang menata hubungan masyarakat khususnya dalam hal pertanahan.
            Dalam pasal 33 UUD disebutkan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Penjabaran dari kewenangan “dikuasai” disini bisa diartikan sebagai berikut :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan dan pemeliharan bumi, air dan ruang angkasa;
2. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3. Mengatur hubungan hukum antara orang dengan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa;
4. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai tersebut dipergunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur;
5. Hak menguasai tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan pada daerah swatantra atau masyarakat hukum adat, asal tidak bertentangan dengan kepentingan nasional;
6. Demi untuk kepentingan umum, bangsa dan negara, pemerintah dapat melakukan pencabutan hak atas tanah dan benda-benda di atasnya dengan pembayaran ganti rugi yang layak[1].
            Dari beberapa wewenang negara terhadap tanah yang ditake over dari frasa “dikuasai” mengartikan negara mendapat amanah dari rakyat untuk mengelola tanah baik melalui pengaturan, penyediaan, ataupun pemeliharaan, dengan maksud untuk kesejahteraan rakyat pada umumnya. Namun frasa “dikuasai” ini tidak boleh diartika negara dan rakyat dalam vertikal biner, dengan kata lain kedudukan rakyat dan negara dalam hal penguasaan tanah adalah sejajar, negara tidak bisa mengklain dirinya punya kekuasaan lebih untuk tanah, karena frasa “dikuasai negara” pada prinsipnya adalah amanah dari rakyat untuk digunakan sebagai kesejahteraan rakyat. Dengan demikian maka segala perbuatan negara, dalam hal ini Pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan kepada masyarakat[2].
            Tanah disamping sebagai dimensi ruang kehidupan manusia juga punya potensi nilai ekonomis, dikaitkan dengan rencana pembangunan sebagai salah satu agenda besar pemerintah. Pengadaan tanah untuk hal tersebut paling tidak harus memperhatikan peran tanah dan prinsip prinsip tanah dan hak hak atas tanah.
            Selain itu, tanah menurut  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Fungsi sosial disini diartikan selain sebagai kepemilikan secara pribadi dan sebagai nilai ekonomis tentunya. Tanah juga berfungsi untuk kepentingan umum yang harus mengesampingkan kepentingan pribadi.
            Wacana tentang tanah sebagai fungsi sosial dalam masyarakat, telah timbul sejak wacana pembangunan jalan tol dari anyer sampai banyuwangi. Awal 1980 an waacan ini harus disimpan karena krisis moneter, estafet pembangunan juga berlanjut ke Megawati sampai Presiden Beye, namun hanya di tangan Pak Beye realisasi ini baru bisa mengemuka. Namun, pembangunan ini menyimpan sebuah paradoks, artinya jika benar terealisasi  Jalan tol Trans-Jawa akan mengkonversi 655.400 hektar lahan pertanian. Hal ini tentunya akan mengancam ketahanan pangan nasional mengingat peranan pulau Jawa yang memasok 53 persen kebutuhan pangan nasional, mengingat jawa sebagai lumbung padi[3].
            Faktor lain yang menyebabkan sulitnya pembangunan yang berkaitan dengan tanah, karena faktor tanah meerupakan keniscayaan bagi instruktur pembangunan. Adalah masalah pembebasan tanah yang sering menundang konflik. Terkadang kepetingan umum dan pribadi berada dalam garis oposisi binner, lain halnya konflik horizontal antara pemilik tanah sebagai pemrakarsa pembangunan. Artinya sulit mencapai titik temu antara kepentingan pembangunan dan hak hak kepemilikan tanah,dan negara dalam mencapai tuntutan pembangunan memang diharuskan melakukan percepatan, mau tidak mau pembebasan tanah harus dilakukan secepatnya.  Terlebih, di belahan dunia manapun tidak ada negara yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil tanah untuk kepentingan pembangunan[4].
            Namun, dalam menciptakan solusi masih ada celah untuk menghindarkan konflik diantaranya melalui dua pendekatan yaitu Pertama, dengan meningkatkan keberpihakan dan penghormatan terhadap pemilik hak atas tanah. Pendekatan ini dilakukan dengan mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih komprehensif[5].
            Dengan pendekatan demikian, tentu hak hak pemilik tanah lebih dihargai oleh pemerintah jika bertindak sebagai pemrakarsa, karena kaitanya dengan pembangunan nasional. Memang harus diakui respon pemerintah terhadap hak hak pemilik tanah masih dianggap rendah, pembebasan tanah kebanyakan melihat tanah hanya berupa hak tanah, bangunan diatasnya, dan barang barang yang ada diatasnya. Padahal konsep agraria dalam pembangunan keberlanjutan adalah tidak sebatas tanah dan bangunan di atasnya melainkan pembangunan juga memperhatikan aspek aspek dalam masyarakat itu sendiri.
Pendekatan demikian juga mengacu pada anggaran yang disediakan untuk pembebasan tanah yang digunakan untuk tujuan pembangunan. Pendekatan yang mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih komprehensif memiliki konsekuensi pada ketersediaan anggaran. Pemberian kompensasi secara komprehensif membutuhkan dana yang besar. Dengan demikian, penetapan kebijakan terhadap komponen apa saja yang akan diperhitungkan dan bagaimana metode perhitungannya harus memperhatikan kemampuan keuangan negara[6].
Kedua adalah dengan memperkuat kewenangan negara untuk mengambil tanah pada harga yang ditetapkan walaupun tanpa kerelaan pemilik tanah. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan kewenangan yang diberikan undang-undang. Namun pendekatan ini bukanya tanpa cela, pemerintah dan aparaturnya harus memiliki sisi integrasi dan reputasi yang baik di mata masyrakat. Yang berbahaya ketika pemerintah melalui aparaturnya yang mendapat mandat secara sah sudah mendapatkan common sense yang tidak baik untuk masyarakat malah yang timbul adalah resistensi dari masyarakat.



[1] Septia Putri Riko,2010, PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (Studi pada Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa di Kabupaten Tegal), Tesis, Undip, tanpa hlm
[2] Maria SW Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep penguasaan tanah oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru besar pada Fakultas Hukum UGM (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998) dalam Septia Putri Riko, Op Cit
[3] Lihat Septia Putri Riko, Op Cit
[4] RINGKASAN HASIL PENELITIAN DAN REKOMENDASI,tanpa tahun, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Paramadina Public Policy Institute,hlm 2
[5] Ibid,
[6] Ibid

Minggu, 22 September 2013

Landrefrorm, konsepsi dan perkembangan kedepan


                Dalam tataran normatif kita menyebut negara kita adalah negara hukum, hal ini menagcu pada UUD Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan negara kita adalah negara hukum. Negara hukum adalah negara dengan pemerintahan berdasar hukum, semua perbuatan pemerintah berdasar hukum, bukan dasar kekuasaan belaka.
Wikipedia.org
                Namun untuk menjalankan hukum tentu kita akan bertanya kembali. Hukum apa yang diinginkan untuk negeri ini, hukum apa yang harus dijalani oleh warga negara Indonesia. Tentu hal ini kembali pada UUD yang menjadi dasar dan tujuan negara ini dibangun dan dibentuk. Misal saja memajukan kesejahteraan umum dan  mencerdaskan kehidupan bangsa adalah sepenggal tujuan akhir bangsa ini dalam mencapai kemerdekaanya.
                Bicara tentang prinsip negara dalam mencapai tujuanya, kita tidak akan lepas dari bentuk negara yang tiap masanya mengalami cerita tersendiri. Diawali dengan Political State yang diusung pada abad pertengahan. Bentuk negara dengan pemerintahan dan wewenang tunggal ditangan monarch (raja) memasung kebebasan rakyat, prinsipnya the king do not can’t wrong , sehingga kekuasaan raja semakin otoriter, ada juga yang raja memerintah berdasar perintah tuhan, bentuk negaranya dinamai teokrasi.
                Beralih ke awal abad 19, ketika zaman pencerahan (aufklarung) mulai datang dan ilmu berkembang semakin pesat. Bentuk negara yang berkembang adalah legal state atau negara hukum formal. Berbeda dengan bentuk negara Monarchi yang mengkultuskan raja dan bergantung hidupnya dari raja, Legal State malah membebaskan rakyatnya untuk mencapai kesejahteraan sendiri. Negara bahkan tidak bisa ikut campur dalam proses pensejahteraan sendiri oleh rakyat, kecuali dalam hal hal tertentu, seperti urusan luar negeri. Sehingga bentuk negara ini kerap dinamakan Nachwaterstaat atau negara penjaga malam. Bentuk negara ini dinamakan negara liberal.
                Setelah runtuhnya zaman Industri dan lunturnya era ideologis. Konsep negara baru muncul, diawali dengan pemikiran John Maynard Keynes terhadap liberalisasi yang mengalami krisis, Keynes mencoba kritis terhadap fungsi negara kembali dalam konsep penyejahteraan rakyat. Gagasan Keynes diterima banyak pihak, hingga munculah bentuk negara Welfare State (negara kesejahteraan), ketika negara berfungsi sebagai faktor penting dalam hal menyejahterakan rakyatnya kembali.
                Selaras dengan Konsep negara hukum, melalui instrumen hukum, negara harus bisa menciptakan materi, pelaksanaan, dan penegakan hukum yang kiranya progressif dengan kepentingan rakyat. Melalui materi, pelaksanaan, dan penegakan hukum yang sesuai dengan prinsip dan semangat tujuan UUD 1945 Negara Indonesia paling tidak bisa menciptakan sebuah kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
                Termasuk dengan merevisi dan merekonsruksi beberapa materi dan sistem hukum yang tidak selaras dengan semanga UUD 1945, dan tentu hal ini malah tidak membuat rakyat sejahtera malah rakyat semakin menderita. Negara tentu harus melaksanakan ini, kembali ke prinsip dasar Welfare State yang mewajibkan negara untuk ikut bersama mensejahterakan rakyatnya
***
Pembaruan agraria dalam artian yang luas sangat beragam konsepnya. Hal ini tidak jauh dari pengaruh kondisi sosial politik suatu daerah, dan juga kondisi geografis yang menggambarkan arti agraria tersebut baik dalam artian luas maupun sempit antar satu daerah dengan yang lain tentu berbeda. Pembaruan konsep agraria kebanyakan berputar pada aspek Landreform saja, namun yang dalam pembaruan agraria  juga ditekankan pada produksi produksi yang dihasilkan dari tanah itu sendiri.           Menurut Elias H. Tuma (Soetarto dan Shobuddin, 2004; 13), konsep operasional antara landreform dan pembaruan agraria sama saja, yaitu mencakup lima bentuk pembaruan yaitu :
a.       Pembaruan diarahkan pada struktur pemilikan tanah dan ketentuan ketentuan penguasaan
b.      Redistribusi kepemilikan tanah dari individu kepada kelompok /komunitas yang lebih besar, atau suatu kelompok kepada individu individu
c.       Penataan skala usaha pertanian dengan cara memperbesar atau memperkecil skala operasinya
d.      Perbaikan pola budi daya pertanian dari segi teknis untuk mempengaruhi produktivitasnya secara langsung
e.      Perbaikan pada aspek di luar wilayah pertanian, seperti kredit, pemasaran, dan pendidikan.
Namun aspek pembaruan yang terdiri dari upaya restrukturisasi, redistribusi secara lebih adil kepada rakyat yang didengungkan dan diinginkan haruslah selaras dengan aspek aspek negara kesejahteraan (welfare state), dimana negara ikut berperan dalam mensejahterakan rakyatnya. 
Dalam upaya pembaruan, landreform bisa dikupas dengan pendekatan normatif dari segi pembangunan hukum. Pembangunan  memang telah menimbulkan persepsi yang nirkeadilan di era kini, pembangunan diwujudkan dengan pertumbuhan, akibatnya hal ini merugikan kualitas dan kuantitas tanah dan sumber agraria yang lain.
Terdapat fakta empiris berkenaan dengan eksploitasi secara belebihan terhadap sumber daya agraria yang hanya difokuskan pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek, serta pemanfaatnanya yang hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat. Kebijakan agraria pada masa orde baru yang sangat propertumbuhan ekonomi juga berakibat pada perubahan fungsi sumber daya agraria terutama tanah yang hanya dinilai dari sisi ekonomi dengan mengabaikan nilai-nlai non ekonomi, serta globalisasi mengakibatkan semakin langkanya tanah dan semakin turunya kualitas tanah. Hal ini didukung dengan perubahan kebijakan pertanahan dari prorakyat menjadi prokapital yang terbukti semakin menjauh dari perwujudan pemerataan hasil pembangunan, yang pada akhirnya menyulitkan perwujudan keadilan sosial.
Terlebih persepsi pembangunan yang diartikan pertumbuhan haruslah dihilangkan, karena konsepsi pertumbuhan dalam pembangunan muncul dari negara negara industri maju tetapi secara agraris lemah karena faktor alam. Kita harus menyadari ribuan tahun yang lalu negara kita maju dan kuat karena sumber agrarisnya, namun yang harus dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana membangun sebuah negara agraris yang kuat.
Memang kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan globalisasi yang tampak paradoks dalam kenyataanya. Meski disisi lain ia membawa kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi, namun globalisasi membawa virus kapitalis yang membawa kedok ekspansi ekonomi yang pada dasarnya adalah kesemuan dalam imperalis.  Namun untuk masuk ke dalam era globalisasi, kiranya indonesia tetap dapat berada dalam pola negara agraris dan menjadikanya pembaruan agraris sebagai konsep dasar pembangunanya. Berikut adalah konsep yang perlu diperhatikan:
a.       Setiap kegiatan pembangunan memerlukan tanah sebagai sarananya.
b.      Indonesia memiliki sumber daya agraria/alam yang belum dimanfaatkan secara optimal dan tepat sasaran, terutama dalam upaya menyejahterakan rakytanya.
***
                Menjelang berakhrinya era orde baru sebagai salah satu era terkelam dalam sejarah bangsa, Indonesia diterpa krisis yang mendera perekonomian. Tidak hanya itu, Krisis dalam bidang pemerintahan yang menyebabkan instabilitas bagi keadaan politik, hukum, dan keadaan sosial. Keadaan semakin memburuk dengan upaya mahasiswa dalam mengkudeta Soeharto, yang mereka anggap sebagai sumber kesengsaraan rakyat, terlebih KKN sedang gencar gencarnya saat itu, membuat rakyat semakin jengah dalam keadaan.
                Hukum yang berperan sebagai nilai yang objektif tidak lagi berfungsi, karena Politik lebih determinan terhadap hukum itu sendiri. Akibatnya ketertiban dan kepastian hukum dalam mewujudkan keadilan tidak terwujud. Banyak konflik yang terjadi dalam hal kepemilikan, penggunan, pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria yang lainya. Dari konflik horizontal maupun vertikal membawa dampak dishamonisasidan disintegrasi bagi bangsa ini. berkaitan dengan itu diperlukan upaya restrukturisasi penguasaan, kepemilikan, dan penggunaan, sekaligus pemanfaatan tanah. Hukum yang berperan sebagai tool of social engineriing atau sebagai sarana pembaruan dalam masyarakat harus kembali berfungsi sebagaimana idealnya.
                Untuk merealisasikanya, paling tidak diperlukan pengaturan yang bertujuan untuk :
a.       Menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi di masa lalu secara tuntas.
b.      Menata ulang struktur penguasaan, pemilikan, pengunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainya, agar tercipta suatu kontrak sosial baru yang lebih berkeadilan
c.       Mengatur masalah pengelolaan tanah dan sumber daya agraria lainya untuk masa datang berdasar dua kebijakan sebelumnya.
Maka dari situ lahirlah ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam. Dikutip dari pasal 4, Ketetapan ini mengandung dua belas prinsip dalam cita citanya sebagai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yaitu :
a.       Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara kesatuan republik Indonesia
b.      Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia
c.       Menghormati supremasi hukum denganmengakomodasikan keanekaragaman dalam unifikasi hukum
d.      Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia
e.      Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan optimalisasi partisipasi rakyat.
f.        Mewujudkan keadilan termasuk kesetraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam.
g.       Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkunagan.
h.      Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesui dengan kondisi sosial budaya setempat.
i.         Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antardaerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
j.        Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan kaeanekaragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.
k.       Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah(pusat,daerah, provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat) masyarakat, dan individu.
l.         Melaksanakan desentralisasi berupa kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam.
Namun pada intinya dari dua belas prinsip pembaruan agraria yang terdapa dalam Tap MPR No. IX/MPR/2001 itu, jika diringkas akan berpangkal pada tiga prinsip utama, yaitu :
a.       Prinsip Demokratis, dalam dimensi kesetaraan antara pemerintahan dengan rakyat, pemberdayaan masyrakat dan pengembangan good governance dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria
b.      Prinsip Keadilan, dalam dimensi filosofis baik keadilan intergenerasi maupun keadilan antargenerasi dalam upaya mengakses sumber daya agraria.
c.       Prinsip Keberlanjutan, dalam dimensi kelestarian fungsi dan manfaat yang berdaya guna dan berhasil guna.
Ketiga prinsip diatas adalah satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan dari artian pembangunan dan pembaruan agraria pada sebenarnya. Karena konsep Demokrasi minus Keadilan akan menjelma menjadi otoritarian, dan demokrasi serta keadilan minus keberlanjutan hanya akan menjadi niali idiil tanpa tahu tujuan yang jelas dan konkrit.
Dari ketiga prinsip tersebut bisa kita mengartikan prinsip demokrasi sebagai sarana dalam upaya pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Artinya prinsip demokrasi membuka ruang kepada rakyat untuk bisa ikut dalam konsep pembaruan agraria ini. Prinsip keadilan memberi arti substansif dari pembaruan ini. prinsip keadilan memberi ruh bagi prinsip lain, keadilan yang diwujudkan haruslah dalam bentuk kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sedangkan prinsip keberlanjutan akan menjadi tujuan dari prinsip prinsip tersebut.
SUMBER
Nurlinda, Ida, 2009. Prinsip-prinsip pembaruan agraria perspektif hukum. Jakarta : Raja Grafindo.

Wahyudi, rico, 2011. Pembaruan Hukum Agraria melalui Prolegnas. UI Press.