Menjelang
kemerdekaan, Dasar dan bentuk negara telah lama diperdebatkan, terutama sekuler
dan Islam, antara Soekarno dan Natsir. Pandangan mereka tidak hanya dalam
bentuk bentuk dan segala macam administrasinya, tapi juga merambah ke ranah
Hukum. Sekuler menghendaki hukum yang lebih responsif terhadap kepentingan
sekuler, dan hukum Islam yang berasal dari ajaran islam.
Dewasa
ini, menggaunglah kembali tentang diterapkanya hukum Islam di indonesia, Faktor
sosiologi masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, dan jengahnya mereka
terhadap materi dan pelaksanaan hukum di Indonesia yang tidak kunjung benar,
sehingga diperlukanlah alternatif dalam penegakan hukum itu, dan wacana wacana
ini tidak sekali dua kali muncul, dan yang paling ekstrem adalah transformasi
total syariah dalam bentuk negara khilafah.
***
Syariah
berasal dari kata al- syari’ah yang
berarti ‘jalan ke sumber air’ atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke
arah sumber pokok bagi kehidupan (Al-Fairuzabadiy, 1995: 659). Syariah
disamakan dengan jalan air mengingat
bahwa barang siapa yang mengikuti syariah, ia akan mengalir dan bersih jiwanya
(Amir Syarifuddin, 1999, I: 1). Berbeda pengertian, Ibnu Taimiyah mengartikan
Syariat sebagai keseluruhan ajaran islam yang dianlogikan sebagai jalan yang
lebar menuju Ridha Allah, berbeda dengan thariq dan thariqah yang dianalogikan
sebagai jalan yang sempit dan berliku dan ditempuh para Sufi.
Bila
membicarakan syari’at dalam arti hukum Islam, maka terjadi pemisahan bidang
hukum sebagai disiplin ilmu hukum. Sesungguhnya hukum Islam tidak membedakan
secara tegas antara wilayah hukum privat dan hukum publik, seperti yang
dipahami dalam ilmu hukum barat karena dalam hukum privat terdapat segi-segi hukum
publik; demikian pula sebaliknya dalam hukum publik terdapat pula segi-segi
hukum privat. Ruang lingkup hukum Islam dalam arti fikih Islam meliputi :
munakahat, warisan, muamalat dalam arti khusus, jinayah atau uqubat, al-ahkam
as- sulthoniyah (khilafah), siyar, dan mukhasamat(M. Rosyidi :1971).
Norma norma
demikian dapat ditemukan pada Alqur’an dan Alhadist. Ayat ayat dalam Al Qur’an
yang mengandung norma hukum disebut ayat ayat hukum dan hadist hadist yang
jumlahnya ribuan dan mengandung norma hukum disebut hadist hukum. Namun, jumlah
ayat ayat hukum dalam Alqur’an tidaklah sebanyak ayat ayat yang membahas
lainya, begitu pula dengan Hadist. Abdul Wahab Khallaf, menyebutkan hanya ada 3
persen dari keseluruhan Alqur’an yang mengandung ayat ayat hukum.
Demikian
halnya dengan corak hukum dalam Alqur’an lebih bersifat global dan tidak rinci,
singkat, dan tidak dirumuskan dengan sistematik. Maka dari itu meski Alqur’an
mengandung norma hukum tidak serta merta Alqur’an dikatakan sebagai kitab
hukum. Hanya ada dua hal yang diatur secara rinci dalam Alqur’an yaitu hukum
nikah dan waris. Begitu pula Hadist yang tidak semuanya berisi norma hukum,
karena berisi pula perkataan, perbuatan, dan diamnya Rasulullah ketika beliau
masih hidup. Secara induktif bisa kita tarik kesimpulan Alqur’an dan Al Hadist
bukanlah kitab hukum, karena berisi norma norma yang aturanya masih bersifat
global, hal ini ditujukan karena dinamisasi manusia berkembang begitu pesatnya.
Maka dari itu lebih pantaslah Alqur’an dan Al Hadist dikatakan sebagai sumber
hukum, ialah sebagai tempat digalinya azas azas dan prinsip hukum.
Dan pada
kemudian munculah sistem hukum islam yang dipakai ketika umat islam mendirikan
kekhalifahan lengkap dengan sistem peradilnya. Sistem hukum islam bersumber
pada norma norma syar’i yang berdasar Ayat ayat Alqur’an dan Alhadist. Maka
dari itu bisa dikatakan sistem hukum
islam adalah agama islam itu sendiri, dan di dunia hanya tiga agama yang
mempunyai sistem hukum selain islam, yaitu Yahudi dan Hindu. Namun seiring
berjalanya waktu hanya sistem hukum islamlah yang mampu terus bertahan hingga
kini mempertahankan syariatnya.
Terbukti, di
Fakultas Hukum seluruh Dunia diajarkan sistem hukum Islam, tidak ada sistem
hukum Hindu, Budha, Kristen, yahudi, maupun shinto. Dan juga prinsip prinsip
syariah banyak diterapkan di negara asia dan eropa. Ambil contoh di Filipina,
mereka mensahkan Republic Act on
estabilistment of the islamic bank of phillipine yang berprinsip syariah,
padahal jelas jelas, dalam konstitusinya
Filipina adalah negara sekuler. Bahkan, menurut Mochtar Kusumaatmadja,
sumbangan terbesar Islam pada dunia Internasional adalah hukum damai dalam
perang, prinsip perang romawi adalah menang dan kalah, tidak ada pilihan damai,
bahkan Napoleon ketika berperang selalu membakar kapal anak buah buahnya agar
mereka mati matian bertempur.
***
Di Indonesia sendiri,
Sejak awal kehadiran Islam pada abad ke tujuh Masehi tata hukum Islam sudah
dipraktikkan dan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat dan peradilan Islam.
Hamka mengajukan fakta berbagai karya ahli Hukum Islam Indonesia. Misalnya
Shirat al-Thullab, Shirat al-Mustaqim, Sabil al-Muhtadin, Kartagama, Syainat
al-Hukm, dan lain-lain. Akan tetapi semua karya tulis tersebut masih bercorak
pembahasan fiqih, masih bersifat doktrin hukum dan sistem fiqih Indonesia yang
berorientasi kepada ajaran Imam Mazhab.( Hamka : 1974)
Pada era
kekuasaan kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam peradilan agama sudah hadir
secara formal. Ada yang bernama peradilan penghulu seperti di Jawa. Mahkamah
Syar’iyah di Kesultanan Islam di Sumatera. Peradilan Qadi di Kesultanan Banjar
dan Pontianak. Namun sangat disayangkan, walaupun pada masa Kesultanan telah
berdiri secara formal peradilan Agama serta status ulama memegang peranan
sebagai penasehat dan hakim, belum pernah disusun suatu buku hukum positif yang
sistematik. Hukum yang diterapkan masih abstraksi yang ditarik dari kandungan
doktrin fiqih
Baru pada
tahun 1760, VOC mengeluarkan compendium
freijer yang tujuanya mengatasi konflik konflik di kalangan umat islam yang
dikuasai di daerahnya. Tidak berapa lama, Compendium
Freijer tidak berlaku lagi, sebab VOC telah menyerahkan kekuasaan pada
Pemerintah Belanda. Dan dari sini munculah Politik Hukum yang baru, dengan
munculnya seorang Orientalis, yaitu Snouck Horgronje dan Van Vallenhoven. Ia
dikenal dengan Teori receptie in complexu
yang menyatakan bahwa Hukum Islam tidak akan berlaku jika bertentangan
dengan hukum adat.
Puncaknya,
ketika pemerintah belanda mengeluarkan Staatsblad 1937 Nomor 116 berkat Jasa
Ter Haar. Dikeluarkanya Staatsblad ini makin memperciut upaya diberlakukanya
hukum Islam di kalangan umat islam itu sendiri. Staatsblad ini memberlakukan
hukum yang berbeda untuk tiap golongan, golongan eropah menggunakan hukum
barat, dan pribumi menggunakan hukum adat. Dan hukum adat yang berlaku sudah
dirasuki prinsip receptie yang
menyatakan berlakunya hukum islam jika tidak bertentangan dengan hukum adat.
Mereka
memberlakukan demikian, karena ketika umat Islam menggunakan hukum syariah
persatuan dan kesatuan lebih mudah digalakan, dan hal ini mengancam pemerintah
kolonial. Meski demikian, tidak semua diatur oleh pemerintah kolonial. Dalam
bidang privat semacam perkimpoian dan waris, pemerintah tahu ini adalah hal
yang cukup sensitif untuk disentuh, terbukti dalam sejarah perumusan hukum
wakaf, rakyat keukeuh dalam koridor
syariah dariapda penawaran dari pemerintah kolonial.
Setelah
kemerdekaan, berdasar konsep aturan peralihan. Maka aturan aturan yang
sebelumnya berlaku di pemerintah kolonial berlaku menjadi hukum positif
nasional asal tidak bertentangan dengan UUD. Namun, beberapa peraturan yang
menyimpan prinsip teori receptie Snouck
Horgronje dihilangkan dan harus exit dari
tata peraturan hukum Nasional. Karena aturan yang mengandung teori receptie ini bertentangan dengan jiwa
UUD.
Menurut Ismail
Sunny setelah Indonesia merdeka dan UUD 1945 berlaku sebagai dasar negara
kendati tanpa memuat ketujuh kata dari Piagam Jakarta maka teori receptie dinyatakan tidak berlaku lagi dan
kehilangan dasar hukumnya. Selanjutnya hukum Islam berlaku bagi bangsa
Indonesia yang beragama Islam sesuai dengan pasal 29 UUD 1945. Era ini disebut
Sunny sebagai Periode Penerimaan Hukum Islam sebagai sumber Persuasif (Persuasive source).
***
Melihat
perjuangan dan pergulatan syariah dalam eksistensinya terhadap berbagai macam
hukum membuat kita bertanya, bisakah syariah diterapkan di Indonesia. Syariah
seperti disebutkan diawal, ia adalah sumber hukum yaitu tempat digalinya
prinsip prinsip dan azas azas hukum untuk ditransform sebagai Hukum yang
berlaku.
Dan, perlu
diketahui banyak aturan aturan yang ditransform menjadi UU yang lebih bersifat
keperdataan, misalnya UU Perkawinan, UU Kepailitan, UU Pengelolaan Zakat, UU
Penyelenggaran Haji, UU otonomi Aceh, Perpu tentang Terorrisme, dan masih
banyak lagi. Ketika Jabatan Menteri Hukum dan Ham dipegang oleh Yusril Ihza
Mahendra, ia dengan tegas menjadikan syariah sebagai sumber utama rujukan
peraturan perundang undangan, konon ketika membahas status RUU pansus Papua, ada satu pasal yang deadlock, yaitu warga papua enggan
menerima KUHP Nasional jika terjadi bentrok,
akhirnya sang Natsir Muda menawarkan Jinayah (Pidana Islam) kepada warga papua
dalam penyelesain sengketa, ia menjelaskan bentuk Punisment dalam Jinayah bisa Qisas, bisa denda (diyat), bisa damai.
Dan mereka menerima Hukum Islam saja yang dipakai jikalau terjadi konflik lagi
yaitu dengan cara denda.
Sekali lagi posisi
Syariah ialah sebagai sumber hukum, ketika nilai nilai dari Syariah sudah
ditransform kedalam peraturan perundang undangan, maka yang berlaku adalah UU
Republik Indonesia (Jika diberlakukan sebagai UU), bukan syariah lagi, karena
bagaimanapun yang berlaku secara mengikat dan menyeluruh bagi rakyat Indonesia
adalah Peraturan peraturan yang telah disahkan oleh anggota legislatif. Pada
intinya syariah tetap saja bisa berlaku secara menyeluruh di Indonesia, tetapi
dalam tanda kutip dia sudah di transform dalam
bentuk Undang Undang.
Indonesia
sendiri juga men-take over prinsip
prinsip dari hukum adat, hukum eks kolonial atau konvensi konvensi
Internasional yang telah diratifikasi oleh negara kita. Kita menerima beberapa
peraturan Islam seperti yang disebutkan tadi, kita juga menerima hukum adat
sebagai pertimbangan nilai dan norma dalam moral, Kita juga menerima konsep penjara
ala eks kolonial Belanda yang tidak dikenal oleh hukum adat maupun islam. Lantas
bagaimana bentuk negara jika syariah sudah ditransform dalam bentuk UU, ya
tetap saja ia sebagai negara republik Indonesia, bukan negara islam. Apakah
kemudian jika hukum adat yang sudah ditransform dan berlaku di Indonesia,
Indonesia menjadi negara adat, KUHP saja yang berasal dari Codex Napoleon yang
dibawa Belanda ke Indonesia saja masih berlaku, apakah negara kita menjadi
negara Napoleon, tentu saja tidak. Negara ini tetap Negara Indonesia.
Sikasur, 15
Agustus 2013
SUMBER
PUSTAKA
JURNAL HUKUM
NO. 2 VOL. 16 APRIL 2009: 268 – 288
Kultwett
Yusril Ihza Mahendra
Syariat Islam
dan Hukum Positif di Indonesia, Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar