Senin, 19 Agustus 2013

TRANSFORMASI SYARIAH DALAM HUKUM POSITIF NASIONAL


Menjelang kemerdekaan, Dasar dan bentuk negara telah lama diperdebatkan, terutama sekuler dan Islam, antara Soekarno dan Natsir. Pandangan mereka tidak hanya dalam
bentuk bentuk dan segala macam administrasinya, tapi juga merambah ke ranah Hukum. Sekuler menghendaki hukum yang lebih responsif terhadap kepentingan sekuler, dan hukum Islam yang berasal dari ajaran islam.
                Dewasa ini, menggaunglah kembali tentang diterapkanya hukum Islam di indonesia, Faktor sosiologi masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, dan jengahnya mereka terhadap materi dan pelaksanaan hukum di Indonesia yang tidak kunjung benar, sehingga diperlukanlah alternatif dalam penegakan hukum itu, dan wacana wacana ini tidak sekali dua kali muncul, dan yang paling ekstrem adalah transformasi total syariah dalam bentuk negara khilafah.
***
Syariah berasal dari kata  al- syari’ah yang berarti ‘jalan ke sumber air’ atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan (Al-Fairuzabadiy, 1995: 659). Syariah disamakan dengan  jalan air mengingat bahwa barang siapa yang mengikuti syariah, ia akan mengalir dan bersih jiwanya (Amir Syarifuddin, 1999, I: 1). Berbeda pengertian, Ibnu Taimiyah mengartikan Syariat sebagai keseluruhan ajaran islam yang dianlogikan sebagai jalan yang lebar menuju Ridha Allah, berbeda dengan thariq dan thariqah yang dianalogikan sebagai jalan yang sempit dan berliku dan ditempuh para Sufi.
Bila membicarakan syari’at dalam arti hukum Islam, maka terjadi pemisahan bidang hukum sebagai disiplin ilmu hukum. Sesungguhnya hukum Islam tidak membedakan secara tegas antara wilayah hukum privat dan hukum publik, seperti yang dipahami dalam ilmu hukum barat karena dalam hukum privat terdapat segi-segi hukum publik; demikian pula sebaliknya dalam hukum publik terdapat pula segi-segi hukum privat. Ruang lingkup hukum Islam dalam arti fikih Islam meliputi : munakahat, warisan, muamalat dalam arti khusus, jinayah atau uqubat, al-ahkam as- sulthoniyah (khilafah), siyar, dan mukhasamat(M. Rosyidi :1971).
Norma norma demikian dapat ditemukan pada Alqur’an dan Alhadist. Ayat ayat dalam Al Qur’an yang mengandung norma hukum disebut ayat ayat hukum dan hadist hadist yang jumlahnya ribuan dan mengandung norma hukum disebut hadist hukum. Namun, jumlah ayat ayat hukum dalam Alqur’an tidaklah sebanyak ayat ayat yang membahas lainya, begitu pula dengan Hadist. Abdul Wahab Khallaf, menyebutkan hanya ada 3 persen dari keseluruhan Alqur’an yang mengandung ayat ayat hukum.
Demikian halnya dengan corak hukum dalam Alqur’an lebih bersifat global dan tidak rinci, singkat, dan tidak dirumuskan dengan sistematik. Maka dari itu meski Alqur’an mengandung norma hukum tidak serta merta Alqur’an dikatakan sebagai kitab hukum. Hanya ada dua hal yang diatur secara rinci dalam Alqur’an yaitu hukum nikah dan waris. Begitu pula Hadist yang tidak semuanya berisi norma hukum, karena berisi pula perkataan, perbuatan, dan diamnya Rasulullah ketika beliau masih hidup. Secara induktif bisa kita tarik kesimpulan Alqur’an dan Al Hadist bukanlah kitab hukum, karena berisi norma norma yang aturanya masih bersifat global, hal ini ditujukan karena dinamisasi manusia berkembang begitu pesatnya. Maka dari itu lebih pantaslah Alqur’an dan Al Hadist dikatakan sebagai sumber hukum, ialah sebagai tempat digalinya azas azas dan prinsip hukum.
Dan pada kemudian munculah sistem hukum islam yang dipakai ketika umat islam mendirikan kekhalifahan lengkap dengan sistem peradilnya. Sistem hukum islam bersumber pada norma norma syar’i yang berdasar Ayat ayat Alqur’an dan Alhadist. Maka dari itu  bisa dikatakan sistem hukum islam adalah agama islam itu sendiri, dan di dunia hanya tiga agama yang mempunyai sistem hukum selain islam, yaitu Yahudi dan Hindu. Namun seiring berjalanya waktu hanya sistem hukum islamlah yang mampu terus bertahan hingga kini mempertahankan syariatnya.
Terbukti, di Fakultas Hukum seluruh Dunia diajarkan sistem hukum Islam, tidak ada sistem hukum Hindu, Budha, Kristen, yahudi, maupun shinto. Dan juga prinsip prinsip syariah banyak diterapkan di negara asia dan eropa. Ambil contoh di Filipina, mereka mensahkan Republic Act on estabilistment of the islamic bank of phillipine yang berprinsip syariah, padahal jelas jelas,  dalam konstitusinya Filipina adalah negara sekuler. Bahkan, menurut Mochtar Kusumaatmadja, sumbangan terbesar Islam pada dunia Internasional adalah hukum damai dalam perang, prinsip perang romawi adalah menang dan kalah, tidak ada pilihan damai, bahkan Napoleon ketika berperang selalu membakar kapal anak buah buahnya agar mereka mati matian bertempur.
***
Di Indonesia sendiri, Sejak awal kehadiran Islam pada abad ke tujuh Masehi tata hukum Islam sudah dipraktikkan dan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat dan peradilan Islam. Hamka mengajukan fakta berbagai karya ahli Hukum Islam Indonesia. Misalnya Shirat al-Thullab, Shirat al-Mustaqim, Sabil al-Muhtadin, Kartagama, Syainat al-Hukm, dan lain-lain. Akan tetapi semua karya tulis tersebut masih bercorak pembahasan fiqih, masih bersifat doktrin hukum dan sistem fiqih Indonesia yang berorientasi kepada ajaran Imam Mazhab.( Hamka : 1974)
Pada era kekuasaan kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam peradilan agama sudah hadir secara formal. Ada yang bernama peradilan penghulu seperti di Jawa. Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Islam di Sumatera. Peradilan Qadi di Kesultanan Banjar dan Pontianak. Namun sangat disayangkan, walaupun pada masa Kesultanan telah berdiri secara formal peradilan Agama serta status ulama memegang peranan sebagai penasehat dan hakim, belum pernah disusun suatu buku hukum positif yang sistematik. Hukum yang diterapkan masih abstraksi yang ditarik dari kandungan doktrin fiqih
Baru pada tahun 1760, VOC mengeluarkan compendium freijer yang tujuanya mengatasi konflik konflik di kalangan umat islam yang dikuasai di daerahnya. Tidak berapa lama, Compendium Freijer tidak berlaku lagi, sebab VOC telah menyerahkan kekuasaan pada Pemerintah Belanda. Dan dari sini munculah Politik Hukum yang baru, dengan munculnya seorang Orientalis, yaitu Snouck Horgronje dan Van Vallenhoven. Ia dikenal dengan Teori receptie in complexu yang menyatakan bahwa Hukum Islam tidak akan berlaku jika bertentangan dengan hukum adat.
Puncaknya, ketika pemerintah belanda mengeluarkan Staatsblad 1937 Nomor 116 berkat Jasa Ter Haar. Dikeluarkanya Staatsblad ini makin memperciut upaya diberlakukanya hukum Islam di kalangan umat islam itu sendiri. Staatsblad ini memberlakukan hukum yang berbeda untuk tiap golongan, golongan eropah menggunakan hukum barat, dan pribumi menggunakan hukum adat. Dan hukum adat yang berlaku sudah dirasuki prinsip receptie yang menyatakan berlakunya hukum islam jika tidak bertentangan dengan hukum adat.
Mereka memberlakukan demikian, karena ketika umat Islam menggunakan hukum syariah persatuan dan kesatuan lebih mudah digalakan, dan hal ini mengancam pemerintah kolonial. Meski demikian, tidak semua diatur oleh pemerintah kolonial. Dalam bidang privat semacam perkimpoian dan waris, pemerintah tahu ini adalah hal yang cukup sensitif untuk disentuh, terbukti dalam sejarah perumusan hukum wakaf, rakyat keukeuh dalam koridor syariah dariapda penawaran dari pemerintah kolonial.
Setelah kemerdekaan, berdasar konsep aturan peralihan. Maka aturan aturan yang sebelumnya berlaku di pemerintah kolonial berlaku menjadi hukum positif nasional asal tidak bertentangan dengan UUD. Namun, beberapa peraturan yang menyimpan prinsip teori receptie Snouck Horgronje dihilangkan dan harus exit dari tata peraturan hukum Nasional. Karena aturan yang mengandung teori receptie ini bertentangan dengan jiwa UUD.
Menurut Ismail Sunny setelah Indonesia merdeka dan UUD 1945 berlaku sebagai dasar negara kendati tanpa memuat ketujuh kata dari Piagam Jakarta maka teori  receptie dinyatakan tidak berlaku lagi dan kehilangan dasar hukumnya. Selanjutnya hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam sesuai dengan pasal 29 UUD 1945. Era ini disebut Sunny sebagai Periode Penerimaan Hukum Islam sebagai sumber Persuasif  (Persuasive source).
***
Melihat perjuangan dan pergulatan syariah dalam eksistensinya terhadap berbagai macam hukum membuat kita bertanya, bisakah syariah diterapkan di Indonesia. Syariah seperti disebutkan diawal, ia adalah sumber hukum yaitu tempat digalinya prinsip prinsip dan azas azas hukum untuk ditransform sebagai Hukum yang berlaku.
Dan, perlu diketahui banyak aturan aturan yang ditransform menjadi UU yang lebih bersifat keperdataan, misalnya UU Perkawinan, UU Kepailitan, UU Pengelolaan Zakat, UU Penyelenggaran Haji, UU otonomi Aceh, Perpu tentang Terorrisme, dan masih banyak lagi. Ketika Jabatan Menteri Hukum dan Ham dipegang oleh Yusril Ihza Mahendra, ia dengan tegas menjadikan syariah sebagai sumber utama rujukan peraturan perundang undangan, konon ketika membahas status RUU pansus  Papua, ada satu pasal yang deadlock, yaitu warga papua enggan menerima KUHP Nasional jika terjadi bentrok, akhirnya sang Natsir Muda menawarkan Jinayah (Pidana Islam) kepada warga papua dalam penyelesain sengketa, ia menjelaskan bentuk Punisment dalam Jinayah bisa Qisas, bisa denda (diyat), bisa damai. Dan mereka menerima Hukum Islam saja yang dipakai jikalau terjadi konflik lagi yaitu dengan cara denda.
Sekali lagi posisi Syariah ialah sebagai sumber hukum, ketika nilai nilai dari Syariah sudah ditransform kedalam peraturan perundang undangan, maka yang berlaku adalah UU Republik Indonesia (Jika diberlakukan sebagai UU), bukan syariah lagi, karena bagaimanapun yang berlaku secara mengikat dan menyeluruh bagi rakyat Indonesia adalah Peraturan peraturan yang telah disahkan oleh anggota legislatif. Pada intinya syariah tetap saja bisa berlaku secara menyeluruh di Indonesia, tetapi dalam tanda kutip dia sudah di transform dalam bentuk Undang Undang.
Indonesia sendiri juga men-take over prinsip prinsip dari hukum adat, hukum eks kolonial atau konvensi konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh negara kita. Kita menerima beberapa peraturan Islam seperti yang disebutkan tadi, kita juga menerima hukum adat sebagai pertimbangan nilai dan norma dalam moral, Kita juga menerima konsep penjara ala eks kolonial Belanda yang tidak dikenal oleh hukum adat maupun islam. Lantas bagaimana bentuk negara jika syariah sudah ditransform dalam bentuk UU, ya tetap saja ia sebagai negara republik Indonesia, bukan negara islam. Apakah kemudian jika hukum adat yang sudah ditransform dan berlaku di Indonesia, Indonesia menjadi negara adat, KUHP saja yang berasal dari Codex Napoleon yang dibawa Belanda ke Indonesia saja masih berlaku, apakah negara kita menjadi negara Napoleon, tentu saja tidak. Negara ini tetap Negara Indonesia.
Sikasur, 15 Agustus 2013
SUMBER PUSTAKA
JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 16 APRIL 2009: 268 – 288
Kultwett Yusril Ihza Mahendra
Syariat Islam dan Hukum Positif di Indonesia, Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar