Senin, 15 April 2013

KAMPUS, PERANG DINGIN, DAN PARTAI POLITIK



                Berbicara 2014 memang terasa tabu. Namun ketika 2014 dilihat dalam optik politik, maka akan sangat terasa sebuah kompetisi prematur untuk memperebutkan sebuah gelar bernama RI 1. Berbagai cara telah ditempuh puluhan parpol untuk 2014 yang lebih baik bagi mereka, misalnya dengan bakti sosial ke berbagai perkampungan atau dengan mengadakan berbagai acara hiburan atau edukasi dengan menyelipkan berbagai wujud semiotika politik.
                Salah satu wujud usaha partai politik untuk memenangkan pemilu setahu mendatang adalah sosialisasi ke berbagai kampus. Entah sosialisasi itu dalam wujud sticker salah satu calon legislatif yang ditempelkan di berbagai sudut kampus, atau seminar dan diskusi yang sarat dengan kepentingan setahun mendatang, kurang lebihnya ialah mengenalkan agar publik terutama warga kampus yang memang secara usia mempunyai hak pilih di pemilu mendatang tidak asing dengan partai politik tersebut.
Di salah satu UKM di Universitas terkemuka, terpampanglah foto calon legislatif dari parpol tertentu, dan hal ini bukanlah satu dua kali penulis jumpai, namun di UKM atau tempat lain di kampus pun hal yang sama bisa didapati. Memang masih dalam wujud sticker, tapi jika dibiarkan bisa lebih dari itu, bisa jadi sebuah acara yang diselingi orasi orasi politik dengan kedok bertema kampus yang edukatif bisa terjadi dalam waktu dekat.
Yang dikhawatirkan adalah nantinya kampus tidak lagi menjadi sarana edukasi, namun lebih jadi sarana ajang panen kader partai politik, karena kita tahu mekanisme perekrutan kader parpol bisa dikatakan menghalalkan segala cara, apalagi sekarang mendekati even penting sebesar pemilu. Meski kampus sendiri menyediakan dimensi poltik untuk mahasiswa, namun sejauh ini, indikasinya memang merujuk kesana. Kita istilahkan saja dengan “perang dingin” ala Mahasiswa.
Coba tengok perang saudara Afganistan yang diboncengi Amerika di salah satu pihak dan Rusia di pihak yang lain. Bisa kita implementasikan dalam persaingan politik dalam kampus yang kadang sarat boncengan pihak luar, akibanya idelisme mahasiswa yang punya visi maju dan sarat pembelajaran harus tertutupi dengan nilai nilai politik non edukatif. Dan inilah wujud perang dingin partai politik di perkampusan.
Ada apakah sebenarnya, siapa yang harus disalahkan dalam hal ini. Memang dalam koridor partai politik hal ini tampak wajar, selagi tidak ada regulasi yang sifatnya restriktif terhadap langkah langkah politis mereka. Mahasiswa tidaklah pantas disalahkan, dalam pandangan umum mahasiswa selagi itu demi kebaikan masa depan dan sejalan dengan idealisme mereka tak apa, meski dengan sadar atau tidaknya dibelakangnya terdapat berbagai kepentingan.
MENUNGGU PERAN KAMPUS
                Univerisitas atau kampus ialah suatu entitas yang diamanahi negara untuk menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi, kaitanya dengan masalah diatas universitas juga punya kewenangan untuk mengatur dan menindak segala dinamisasi yang berkembang di kampus itu sendiri, termasuk juga menindak intervensi partai politik dalam kaitanya dengan pendidikan politik di kampus itu sendiri.
Namun sejauh mata memandang, pihak kampus seolah membiarkan hal itu terjadi, mungkin dengan alasan pendidikan politik secara langsung oleh parpol. Namun hal itu haruslah dipahami pihak kampus lagi, mereka punya wewenang untuk melakukan filterisasi terhadap berbagai kemungkinan pengaruh partai politik terhadap jalanya dinamisasi perpolitikan kampus. Namun sekali lagi, Pihak kampus seolah apatis terhadap hal ini, padahal akibatnya seperti yang diutarakan tadi, citra universitas bisa berubah dari wahana edukasi menjadi wahana politisasi yang sifatnya pragmatis.
Ada beberapa hal yang perlu dicermati,mengapa politik dewasa ini mudah direduksi aktivis aktivis di kampus kita. Salah satunya ialah kedekatan organ organ kampus seperti halnya dosen, dan karyawan dengan unsur unsur partai politik. Apa pasal kemudian berpolitik dilarang?, tidak.  Yang dilarang adalah ketidakprofesionallan dalam berpolitik, seharusnya organ kampus yang dekat dengan partai politik bisa berlaku professional, dualisme dan pertempuran hati selalu ada antara perintah jabatan dan kewajiban politisasi, namun hal itu bisa terhindarkan apabila para organ kampus itu bisa berbuat sesuai dengan koridornya.
Kemudian faktor yang tak kalah penting ialah, dari Pihak Parpol itu sendiri. Partai politik memandang mahasiswa ialah aset yang penting untuk memperjuangkan kepentingan mereka kedepanya, berbekal idealisme yang sedang membumbung tinggi dan juga bisa “disenggol” dengan sedikit rupiah, semakin yakinlah parpol bahwa mahasiswalah sebagian ujung tombak mereka di 2014. Semakin lapang jalanya ketika para alumni terjun ke partai politik. Sekali lagi kampus tak bisa lakukan apapun terhadap apa yang dilakukan partai politik itu.
Memang tak selamanya politik itu buruk, dan tak selamanya ia berjalan dengan baik. Namun mahasiswa adalah calon pembela kebenaran, ia tak boleh diajari oleh sebuah kesalahan. Kampus sebagai sebuah wahana edukasi untuk mahasiswa harus bisa memfilter segala apa yang partai politik lakukan, atau selamanya kampus adalah Afganistan kedua yang menjadi lahan untuk “Perang Dingin” ala mahasiswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar