Berbicara
2014 memang terasa tabu. Namun ketika 2014 dilihat dalam optik politik, maka
akan sangat terasa sebuah kompetisi prematur untuk memperebutkan sebuah gelar bernama
RI 1. Berbagai cara telah ditempuh puluhan parpol untuk 2014 yang lebih baik
bagi mereka, misalnya dengan bakti sosial ke berbagai perkampungan atau dengan mengadakan
berbagai acara hiburan atau edukasi dengan menyelipkan berbagai wujud semiotika
politik.
Salah
satu wujud usaha partai politik untuk memenangkan pemilu setahu mendatang
adalah sosialisasi ke berbagai kampus. Entah sosialisasi itu dalam wujud
sticker salah satu calon legislatif yang ditempelkan di berbagai sudut kampus,
atau seminar dan diskusi yang sarat dengan kepentingan setahun mendatang,
kurang lebihnya ialah mengenalkan agar publik terutama warga kampus yang memang
secara usia mempunyai hak pilih di pemilu mendatang tidak asing dengan partai
politik tersebut.
Di salah satu
UKM di Universitas terkemuka, terpampanglah foto calon legislatif dari parpol
tertentu, dan hal ini bukanlah satu dua kali penulis jumpai, namun di UKM atau
tempat lain di kampus pun hal yang sama bisa didapati. Memang masih dalam wujud
sticker, tapi jika dibiarkan bisa lebih dari itu, bisa jadi sebuah acara yang
diselingi orasi orasi politik dengan kedok bertema kampus yang edukatif bisa terjadi
dalam waktu dekat.
Yang
dikhawatirkan adalah nantinya kampus tidak lagi menjadi sarana edukasi, namun
lebih jadi sarana ajang panen kader partai politik, karena kita tahu mekanisme
perekrutan kader parpol bisa dikatakan menghalalkan segala cara, apalagi
sekarang mendekati even penting sebesar pemilu. Meski kampus sendiri
menyediakan dimensi poltik untuk mahasiswa, namun sejauh ini, indikasinya
memang merujuk kesana. Kita istilahkan saja dengan “perang dingin” ala
Mahasiswa.
Coba tengok
perang saudara Afganistan yang diboncengi Amerika di salah satu pihak dan Rusia
di pihak yang lain. Bisa kita implementasikan dalam persaingan politik dalam
kampus yang kadang sarat boncengan pihak luar, akibanya idelisme mahasiswa yang
punya visi maju dan sarat pembelajaran harus tertutupi dengan nilai nilai
politik non edukatif. Dan inilah wujud perang dingin partai politik di
perkampusan.
Ada apakah
sebenarnya, siapa yang harus disalahkan dalam hal ini. Memang dalam koridor
partai politik hal ini tampak wajar, selagi tidak ada regulasi yang sifatnya
restriktif terhadap langkah langkah politis mereka. Mahasiswa tidaklah pantas
disalahkan, dalam pandangan umum mahasiswa selagi itu demi kebaikan masa depan
dan sejalan dengan idealisme mereka tak apa, meski dengan sadar atau tidaknya
dibelakangnya terdapat berbagai kepentingan.
MENUNGGU PERAN KAMPUS
Univerisitas
atau kampus ialah suatu entitas yang diamanahi negara untuk menyelenggarakan
pendidikan tingkat tinggi, kaitanya dengan masalah diatas universitas juga
punya kewenangan untuk mengatur dan menindak segala dinamisasi yang berkembang
di kampus itu sendiri, termasuk juga menindak intervensi partai politik dalam
kaitanya dengan pendidikan politik di kampus itu sendiri.
Namun
sejauh mata memandang, pihak kampus seolah membiarkan hal itu terjadi, mungkin
dengan alasan pendidikan politik secara langsung oleh parpol. Namun hal itu
haruslah dipahami pihak kampus lagi, mereka punya wewenang untuk melakukan
filterisasi terhadap berbagai kemungkinan pengaruh partai politik terhadap
jalanya dinamisasi perpolitikan kampus. Namun sekali lagi, Pihak kampus seolah
apatis terhadap hal ini, padahal akibatnya seperti yang diutarakan tadi, citra
universitas bisa berubah dari wahana edukasi menjadi wahana politisasi yang
sifatnya pragmatis.
Ada
beberapa hal yang perlu dicermati,mengapa politik dewasa ini mudah direduksi
aktivis aktivis di kampus kita. Salah satunya ialah kedekatan organ organ
kampus seperti halnya dosen, dan karyawan dengan unsur unsur partai politik.
Apa pasal kemudian berpolitik dilarang?, tidak.
Yang dilarang adalah ketidakprofesionallan dalam berpolitik, seharusnya
organ kampus yang dekat dengan partai politik bisa berlaku professional,
dualisme dan pertempuran hati selalu ada antara perintah jabatan dan kewajiban
politisasi, namun hal itu bisa terhindarkan apabila para organ kampus itu bisa
berbuat sesuai dengan koridornya.
Kemudian
faktor yang tak kalah penting ialah, dari Pihak Parpol itu sendiri. Partai
politik memandang mahasiswa ialah aset yang penting untuk memperjuangkan
kepentingan mereka kedepanya, berbekal idealisme yang sedang membumbung tinggi
dan juga bisa “disenggol” dengan sedikit rupiah, semakin yakinlah parpol bahwa
mahasiswalah sebagian ujung tombak mereka di 2014. Semakin lapang jalanya
ketika para alumni terjun ke partai politik. Sekali lagi kampus tak bisa
lakukan apapun terhadap apa yang dilakukan partai politik itu.
Memang
tak selamanya politik itu buruk, dan tak selamanya ia berjalan dengan baik.
Namun mahasiswa adalah calon pembela kebenaran, ia tak boleh diajari oleh
sebuah kesalahan. Kampus sebagai sebuah wahana edukasi untuk mahasiswa harus
bisa memfilter segala apa yang partai politik lakukan, atau selamanya kampus
adalah Afganistan kedua yang menjadi lahan untuk “Perang Dingin” ala mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar