Diam adalah jawaban, itukah
acuh, atau acuh adalah meniadakan, seperti hitler kala mengenoside ras semith. Terlalu satire memang, namun itulah acuh,
manusia perlu tahu dan mengerti bahwa dalam ketiadaan yang subjektif selalu ada
acuh. Acuh memang ada dalam manusia namun manusia menggunakan acuh untuk
meniadakan.
Acuh atau mengacuhkan bukanlah
pilihan yang mutlak, ada satu lagi yaitu tidak memilih kedua duanya.
Bebahagialah manusia yang tidak memilih diantara keduanya, acuh dan diacuhkan
adalah meniadakan, dan tidak memilih keduanya adalah antitesa dari meniadakan
yaitu membuat ada. Namun, tiada manusia sempurna, karena itu dalam suatu hal ia
pernah diacuhkan dan telah dicoba untuk ditiadakan. Mungkin hukum karma akan
berlaku juga, bahwa ketika manusia itu diacuhkan coba saja, ia akan mengacuhkan
yang lain.
Wanita adalah Pria yang
diacuhkan, ia berasal dari tuang pria yang diatiadakan atau diacuhkan. Terlalu
satire, namun itu realitasnya. Hukum karma berlaku lagi, wanita mengacuhkan
pria dan itulah hari hariku diacuhkan dan penuh dengan frasa acuh. Namun aku
bertanya lagi, dalam sisi lain. Kucoba tak pernah mengacuhkanya, namun tiada
hari tanpa mengacuhkanku, hingga karma adalah mitos.
Tak baik berlarut dalam
ketiadaan karena acuh, aku memang sedang ditiadakan dihadapanya. Namun pahlawan
tak akan disebut pahlawan ketika belum menentang. Untuk tidak diacuhkan manusia
harus berontak. Itulah yang kucoba kulakukan, namun wanita tak suka
pemberontakan, karena bagaimanapun pemberontak hidupnya di ujung bayonet. Dan
sekali lagi aku diacuhkan.
Namun pahlawan tidak akan mati,
pahlawan itu abadi. Hati dan semangat mereka masih ada untuk hidup, begitu juga
aku. Aku mencoba membuat hati dan semangat kehidupan ketika aku diacuhkan dan
ditiadakan. seberapa panas api semangat
kehidupan itu, namun acuh itu tidak kecil dan acuh itu tak pandang siapapun,
wanita lagi lagi mencampakkanku. Terlukakah, pasti, namun bagi seorang patriot
terluka dan mandi darah dalam laga adalah hal biasa. Yang tabu untuk pahlawan
adalah mandi air mata.
Aku hanya berpikir, apa kini aku
tiada penting, apa yang membuatku tiada penting. Toh aku pria yang tak ada
beda. Sepertinya kapitalis merambah dalam pikiran wanita yang mengacuhkanku, ia
membuang semua yang tak berguna, dan itulah kenapa donat adalah lambang
kapitalisme.
Bicara wanita tak akan ada habisnya, dari awal manusia hingga
yaumil qiyamah wanita adalah bahan yang menarik untuk dibicarakan. Namun sampai
di titik ini sepertinya cukup bicara wanita, ketika sampai pada kata acuh,
karena acuh adalah tiada, untuk apa ketiadaan itu dibicarakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar