Kehidupan adalah
hak setiap manusia, juga kehidupan adalah hak mutlak, hak yang melekat dalam
diri manusia, tidak bisa dicabut dan digugat dalam keadaan apapun dan kapanpun
itu. Ketika hak yang sudah paten itu dicabut dan diambil secara paksa, maka
bisa katakan terjadilah sebuah pelanggaran HAM yang berat, apalagi yang
dihilangkan bukanlah satu nyawa, namun puluhan bahkan ribuan nyawa, pelanggaran
HAM yang luar biasa berat tentunya.
Berbicara mengenai
Vonis atau hukuman yang setimpal, hukuman mati bisa dikatakan adalah hukuman
terberat yang harus dijalani seseorang, karena ia mesti kehilangan hak
hidupnya. Untuk perbuatan pelanggaran HAM berat misalnya Genosida (pembantaian
massal), hukuman mati bisa dianggap pantas untuk dijalani pelakunya, mengingat
perbuatan tersebut menghilangkan nyawa manusia dalam jumlah yang massif.
Namun setelah masa
reformasi, genosida tidaklah lagi ada karena perlindungan terhadap hak hak
manusia lebih ditingkatkan, terlebih bentuk pemerintahan yang otoriatarian dan
sebagianya yang menjurus kediktatoran sudahlah langka, hingga menjatuhkan
hukuman mati sudahlah menjadi hal tabu dengan alasan pembalasan yang setimpal
dalam optik normatif.
Dalam kaitanya
Vonis mati terhadap pelaku kejahatan, Majlis hakim adalah kunci dari hidup atau
tidaknya pelaku tersebut. Hingga ada pameo mengatakan Hakim adalah entitas
nomor dua setelah tuhan yang bisa menentukan hidup matinya seseorang, beda
tipis dengan para resedivis, Cuma berbeda dengan punya hak kewenangan atau
tidak.
Namun menjatuhkan
hukuman mati oleh seorang hakim juga bukanlah perkara yang mudah, perlu
pertimbangan yang matang dan fakta fakta yang kuat yang menunjukan pelaku
memenuhi unsur untuk dijatuhi hukuman mati. Karena ini menyangkut mengenai hak
dasarnya, jika status nya berubah menjadi meninggal, implikasinya segala
kewenangan dan hak akan berubah atau berpindah ke ahli warisnya.
Hukuman mati
menjadi bermasalah, ketika vonis itu telah dilaksanakan. Namun di kemudian hari
ditemukan Novum atau bukti baru yang
berpengaruh penting pada unsur unsur ditetapkanya pelaku divonis mati. Menjadi
masalah karena tidak bisa menghidupkan orang yang mati, beda dengan vonis
lainya misal penjara kurungan.
INKONSTITUSIONAL
Indonesia adalah
negara hukum, segala kewenangan aparat pemerintah dalam hal ini adalah penegak
hukum sekaligus warga masyarakat Indonesia haruslah sesuai dengan koridor hukum
yang telah ditetapkan atau rechtstatt,
bukan berdasarkan praktik kekuasaan belaka atau machstatt. Begitu juga dengan pemidanaan di Indonesia, harus ada
koridor hukum dan dasar yang kuat untuk menjatuhkan pidana pada seseorang.
Meski
begitu, Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai nilai HAM dan
kemanusiaan, mengenai masalah pemidanaan juga demikian. Para narapidana tentunya
memiliki hak hak dasar sebagaimana manusia lainya, maka dari itu searah
berkembangnya reformasi sistem pemidanaan Indonesia tidaklah lagi menekankan
pada sistem yang sifatnya pembalasan (retributive),namun
lebih pada pemidanaan yang sifatnya pembelajaran(edukatif) dan pencegahan pada tindakan pidana (preventif) sesuai dengan putusan MK nomor 013/PUU-I/2003.
Mengenai
HAK, dalam konstitusi kita bisa kita lihat macam macam Hak seorang warga negara
dalam pasal 28 dan Sub-nya, mulai dari hak untuk hidup, hak mendapatkan
perlakuan hukum yang sama, hak untuk bebas memeluk agama, hak kebebasan
berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat dan berbagai hak yang lainya.
Mengenai
hukuman mati itu sendiri, dianggap bertentangan dengan pasal 28 I ayat (1) UUD Negara
Republik indonesia yang mengatur secara jelas penjaminan seorang warga
Indonesia untuk dapat hidup dan punya hak untuk tidak disiksa, adapun bunyi
pasalnya adalah sebagai beriktu,”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebgai pribadi di hadapan hukum,dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapt
dikurangi dalam keadaan apapun,”.
Dalam
Frasa “tidak dapat dikurangi dalam keadaan suatu apapun” menjadi bukti bahwa
Hak untuk hidup adalah kewenangan yang diberikan langsung oleh Konstitusi kita,
hingga menjalankan dan melaksanakan keputusan hukuman mati adalah bertentangan
dengan Konstitusi itu sendiri, dengan kata lain dalam pasal 28 I ini tegas
menolak adanya hukuman mati, karena hukuman mati sendiri bertentangan dengan
hak untuk hidup.
Mengenai
Sistem pemidanaan, UUNo 12 tahun 1995 menjelaskan sistem pemidanaan Indonesia,
yaitu menggunakan sistem pemasyarakatan. Lalu apa yang dinamakan Sistem
pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan ialah suatu tatanan mengenai arah dan
batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila
yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat
untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.
Jelas
sistem pidana demikianlah yang dikehendaki untuk menyesuaikan dengan masa
reformasi, yaitu pemidanaan bersifat edukasi yang bertujuan selain menyadari
perbuatanya juga agar pelaku sesudah keluar dari pemasyrakatan tidak melakukan
tindak pidana lagi dan dalam pemayaraktan itu ia bisa lebih baik kemudian
dengan harapan masyrakat bisa menerimanya lagi.
Dengan konsep
seperti ini, banyak orang berpikir bahwa menjadi seorang narapidana sangatlah
enak sekali karena tidak dapat mendapat hukuman yang setimpal, hanya dipenjara
saja. Terlebih adanya remisi yang bisa mengurangi lamanya seseorang berada
dalam Lembaga pemasyaraktan, dianggap oleh banyak masyarakat tidak bisa memberi
efek jera terhadap pelaku.
Namun hal ini bisa
dijelaskan,sebenarnya vonis yang diberikan pada pelaku adalah wujud dari
pembalasan itu sendiri, mengenai banyaknya remisi terhadap para napi khususnya
para koruptor, hal ini harus diapahami dalam konteks dikotomi antara proses
pemidanaan dan menjalani pemidanaan. Ketika sesorang telah menerima vonis dari
hakim, maka selesailah proses pidana itu dan vonis seorang hakim yang berupa
penjara sekian waktu sebenarnya adalah wujud dari pemabalasan itu. Ketika ia
sudah ada dalam LAPAS, maka hukum yang mengatur sudahlah berbeda dan
pemberlakuan terhadap sesama Napi haruslah sama, entah itu karena ia Koruptor,
maling ayam atau maling sandal sekalipun.
Hingga dapat kita
simpulkan Hukuman mati bertentangan dengan sistem pemidanaan di Indonesia, atau
dengan kata lain bisa kita katakan hukuman mati yang dijatuhkan adalah
Inkonstitusional atau tidak sesuai dengan hukum positif yang berlaku di
Indonesia.
EFEK JERA
Melihat Sistem
pemidanaan diatas bisa kita komparasikan. Vonis mati lebih cenderung ke sistem
pembalasan dendam. Terlebih, dengan dijatuhkan vonis mati terhadap orang
tersebut ia tidak lagi punya kesempatan memperbaiki diri seperti yang
diharapkan. Dan hal ini sudahlah tidak dipakai pada sistem pemidanaan di
Indonesia. Karena dipandang kuno oleh banyak negara yang menginginkan pidana
lebih bersifat rehabilitasi dan edukasi.
Memang tujuan dari
sistem ini adalah efek penjeraan bagi pelaku sekaligus prevensi bagi masyrakat
agar tak mengulang perbuatan serupa, hal ini menjadi benar ketika kita lupa
bahwa tidak selamanya kejahatan itu harus dihapus dengan menghilangkan
pelakunya, bukti konkrit saja,dalam sebuah riset terhadap kasus pidana
narkotika dan psikotropika yanh ancamanya adalah mati, setiap tahun pelakunya
malah bertambah banyak.
Memang bisa kita
asumsikan bahwa dengan bertambahnya jumlah penduduk maka bertambah pula
pengedar dan produsen sekaligus pemakai narkoba. Namun juga haruslah dipahami
kembali pada ancaman hukuman mati itu sendiri tidak bisa menimbulkan perubahan
yang signifikan terhadap para pelaku bisnis haram ini.
Tindak
pidana teroris juga demikian,meski vonis matinya ramai diperbincangkan oleh
media, hingga sudah jelas ancaman tindak pidana teroris kemungkinan terburuknya
adalah mati, namun jumlahnya kian bertambah banyak, menjadi sebuah pertanyaan
juga karena pada dasarnya para pelaku tindak pidana teroris tidaklah takut
mati, karena mereka sudah yakin bin yakin dengan hilangnya nyawa mereka berbuah
Surga yang dijanjikan akan didapatkan, hingga ancaman hukuman mati tidaklah
mereka hiraukan.
Terakhir,
muncul juga wacana untuk eksekusi mati para koruptor denga harapan bisa
mengakhiri kejahatan para pemakan uang rakyat itu, terinspirasi dengan kisah
sukses perdana menteri china shu rong ji yang sukses memberantas korupsi dalam
waktu yang relatif singkat dengan semboyan yang terkenal,”Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk mengubur para
koruptor, dan satu untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi.”
Kita mungkin bisa
mengikuti jejaknya dengan mengadakan revolusi besar besaran dalam birokrasi
yang merupakan sumber korupsi, dengan menggunakan jasa orang non lokal yang
dibayar mahal untuk bisa tegakkan keadilan dan kebenaran. Diyakini langkah ini
mendapat dukungan banyak pihak, tentu tak masalah membayar mahal untuk suatu
kebenaran.
Namun, kita juga harus
memperhatikan bahwa kejahatan tidak selalu muncul ketika ada niatan, ketika ada
kesempatan pun kejahatan bisa terjadi. Hal ini berlaku juga untuk kejahatan
korupsi, ketika rakyat bingung dengan pola regulasi yang berbelit, maka tidak
ada jalan lain kecuali melakukan perbuatan yang terlarang. Dalam banyak kasus,
misalnya kasus tilang di Polantas tak serta merta para lalat hijau menjadi
kambing hitam, justru mereka yang ditilang lah yang biasanya mengajukan KUHP
(Kasih Uang Habis Perkara), dan hal ini diikuti kualitas penegak hukum yang
buruk hingga mereka tinggal menerima uang itu saja, masalah laporan toh bisa
dimanipulasi.
Hal yang logis
dilakukan hanyalah dengan perubahan regulasi pada sektor sektor hijau dan
potensial menghasilkan laba. Namun, perubahan regulasi ini hanya dilakukan oleh
lembaga legislatif atau wakil rakyat yang merupakan representasi politik dan
kepentingan seluruh negeri, hingga merubah regulasi itu juga haruslah melihat
dari sisi kepentingan dan politik anggota parlemen sendiri. Tidak bermaksud bersuu’dzan mungkin juga para legislator
itu juga menjadi bagian dari sektor hijaun nan potensial itu. Pertanyaanya, Apa wakil rakyat kita juga mau diganti
dengan orang luar negeri ?
Kembali ke efek
penjeraan hukuman mati itu sendiri, mungkin juga hal ini bisa berlaku di negeri
lain yang tingkat pemahamaan dan kedisiplinanya tinggi, untuk Indonesia
sendiri. Hal ini masih sulit diterapakan, faktor kemiskinan akut yang membuat
sesorang rela melakukan apapun menambah keraguan tentang efektifitas hukuman
mati kedepanya, lagi dengan banyaknya warga Indonesia yang sesat terhadap
regulasi yang berlaku, misal ancaman kematian menjadi diketahui ketika mereka
sudah melakukan perbuatanya, membuat efek jera dari hukuman mati ini masih
dipertanyakan efektifitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar