Senin, 15 April 2013

HUKUMAN MATI DAN KONTROVERSINYA



Kehidupan adalah hak setiap manusia, juga kehidupan adalah hak mutlak, hak yang melekat dalam diri manusia, tidak bisa dicabut dan digugat dalam keadaan apapun dan kapanpun itu. Ketika hak yang sudah paten itu dicabut dan diambil secara paksa, maka bisa katakan terjadilah sebuah pelanggaran HAM yang berat, apalagi yang dihilangkan bukanlah satu nyawa, namun puluhan bahkan ribuan nyawa, pelanggaran HAM yang luar biasa berat tentunya.
Berbicara mengenai Vonis atau hukuman yang setimpal, hukuman mati bisa dikatakan adalah hukuman terberat yang harus dijalani seseorang, karena ia mesti kehilangan hak hidupnya. Untuk perbuatan pelanggaran HAM berat misalnya Genosida (pembantaian massal), hukuman mati bisa dianggap pantas untuk dijalani pelakunya, mengingat perbuatan tersebut menghilangkan nyawa manusia dalam jumlah yang massif. 
Namun setelah masa reformasi, genosida tidaklah lagi ada karena perlindungan terhadap hak hak manusia lebih ditingkatkan, terlebih bentuk pemerintahan yang otoriatarian dan sebagianya yang menjurus kediktatoran sudahlah langka, hingga menjatuhkan hukuman mati sudahlah menjadi hal tabu dengan alasan pembalasan yang setimpal dalam optik normatif.
Dalam kaitanya Vonis mati terhadap pelaku kejahatan, Majlis hakim adalah kunci dari hidup atau tidaknya pelaku tersebut. Hingga ada pameo mengatakan Hakim adalah entitas nomor dua setelah tuhan yang bisa menentukan hidup matinya seseorang, beda tipis dengan para resedivis, Cuma berbeda dengan punya hak kewenangan atau tidak.
Namun menjatuhkan hukuman mati oleh seorang hakim juga bukanlah perkara yang mudah, perlu pertimbangan yang matang dan fakta fakta yang kuat yang menunjukan pelaku memenuhi unsur untuk dijatuhi hukuman mati. Karena ini menyangkut mengenai hak dasarnya, jika status nya berubah menjadi meninggal, implikasinya segala kewenangan dan hak akan berubah atau berpindah ke ahli warisnya.
Hukuman mati menjadi bermasalah, ketika vonis itu telah dilaksanakan. Namun di kemudian hari ditemukan Novum atau bukti baru yang berpengaruh penting pada unsur unsur ditetapkanya pelaku divonis mati. Menjadi masalah karena tidak bisa menghidupkan orang yang mati, beda dengan vonis lainya misal penjara kurungan.
INKONSTITUSIONAL
Indonesia adalah negara hukum, segala kewenangan aparat pemerintah dalam hal ini adalah penegak hukum sekaligus warga masyarakat Indonesia haruslah sesuai dengan koridor hukum yang telah ditetapkan atau rechtstatt, bukan berdasarkan praktik kekuasaan belaka atau machstatt. Begitu juga dengan pemidanaan di Indonesia, harus ada koridor hukum dan dasar yang kuat untuk menjatuhkan pidana pada seseorang.
            Meski begitu, Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai nilai HAM dan kemanusiaan, mengenai masalah pemidanaan juga demikian. Para narapidana tentunya memiliki hak hak dasar sebagaimana manusia lainya, maka dari itu searah berkembangnya reformasi sistem pemidanaan Indonesia tidaklah lagi menekankan pada sistem yang sifatnya pembalasan (retributive),namun lebih pada pemidanaan yang sifatnya pembelajaran(edukatif) dan pencegahan pada tindakan pidana (preventif) sesuai dengan putusan MK nomor 013/PUU-I/2003.
            Mengenai HAK, dalam konstitusi kita bisa kita lihat macam macam Hak seorang warga negara dalam pasal 28 dan Sub-nya, mulai dari hak untuk hidup, hak mendapatkan perlakuan hukum yang sama, hak untuk bebas memeluk agama, hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat dan berbagai hak yang lainya.
            Mengenai hukuman mati itu sendiri, dianggap bertentangan dengan pasal 28 I ayat (1) UUD Negara Republik indonesia yang mengatur secara jelas penjaminan seorang warga Indonesia untuk dapat hidup dan punya hak untuk tidak disiksa, adapun bunyi pasalnya adalah sebagai beriktu,”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebgai pribadi di hadapan hukum,dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapt dikurangi dalam keadaan apapun,”.
            Dalam Frasa “tidak dapat dikurangi dalam keadaan suatu apapun” menjadi bukti bahwa Hak untuk hidup adalah kewenangan yang diberikan langsung oleh Konstitusi kita, hingga menjalankan dan melaksanakan keputusan hukuman mati adalah bertentangan dengan Konstitusi itu sendiri, dengan kata lain dalam pasal 28 I ini tegas menolak adanya hukuman mati, karena hukuman mati sendiri bertentangan dengan hak untuk hidup.
            Mengenai Sistem pemidanaan, UUNo 12 tahun 1995 menjelaskan sistem pemidanaan Indonesia, yaitu menggunakan sistem pemasyarakatan. Lalu apa yang dinamakan Sistem pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan ialah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
            Jelas sistem pidana demikianlah yang dikehendaki untuk menyesuaikan dengan masa reformasi, yaitu pemidanaan bersifat edukasi yang bertujuan selain menyadari perbuatanya juga agar pelaku sesudah keluar dari pemasyrakatan tidak melakukan tindak pidana lagi dan dalam pemayaraktan itu ia bisa lebih baik kemudian dengan harapan masyrakat bisa menerimanya lagi.
Dengan konsep seperti ini, banyak orang berpikir bahwa menjadi seorang narapidana sangatlah enak sekali karena tidak dapat mendapat hukuman yang setimpal, hanya dipenjara saja. Terlebih adanya remisi yang bisa mengurangi lamanya seseorang berada dalam Lembaga pemasyaraktan, dianggap oleh banyak masyarakat tidak bisa memberi efek jera terhadap pelaku.
Namun hal ini bisa dijelaskan,sebenarnya vonis yang diberikan pada pelaku adalah wujud dari pembalasan itu sendiri, mengenai banyaknya remisi terhadap para napi khususnya para koruptor, hal ini harus diapahami dalam konteks dikotomi antara proses pemidanaan dan menjalani pemidanaan. Ketika sesorang telah menerima vonis dari hakim, maka selesailah proses pidana itu dan vonis seorang hakim yang berupa penjara sekian waktu sebenarnya adalah wujud dari pemabalasan itu. Ketika ia sudah ada dalam LAPAS, maka hukum yang mengatur sudahlah berbeda dan pemberlakuan terhadap sesama Napi haruslah sama, entah itu karena ia Koruptor, maling ayam atau maling sandal sekalipun.
Hingga dapat kita simpulkan Hukuman mati bertentangan dengan sistem pemidanaan di Indonesia, atau dengan kata lain bisa kita katakan hukuman mati yang dijatuhkan adalah Inkonstitusional atau tidak sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
EFEK JERA
Melihat Sistem pemidanaan diatas bisa kita komparasikan. Vonis mati lebih cenderung ke sistem pembalasan dendam. Terlebih, dengan dijatuhkan vonis mati terhadap orang tersebut ia tidak lagi punya kesempatan memperbaiki diri seperti yang diharapkan. Dan hal ini sudahlah tidak dipakai pada sistem pemidanaan di Indonesia. Karena dipandang kuno oleh banyak negara yang menginginkan pidana lebih bersifat rehabilitasi dan edukasi.
Memang tujuan dari sistem ini adalah efek penjeraan bagi pelaku sekaligus prevensi bagi masyrakat agar tak mengulang perbuatan serupa, hal ini menjadi benar ketika kita lupa bahwa tidak selamanya kejahatan itu harus dihapus dengan menghilangkan pelakunya, bukti konkrit saja,dalam sebuah riset terhadap kasus pidana narkotika dan psikotropika yanh ancamanya adalah mati, setiap tahun pelakunya malah bertambah banyak.
Memang bisa kita asumsikan bahwa dengan bertambahnya jumlah penduduk maka bertambah pula pengedar dan produsen sekaligus pemakai narkoba. Namun juga haruslah dipahami kembali pada ancaman hukuman mati itu sendiri tidak bisa menimbulkan perubahan yang signifikan terhadap para pelaku bisnis haram ini.
            Tindak pidana teroris juga demikian,meski vonis matinya ramai diperbincangkan oleh media, hingga sudah jelas ancaman tindak pidana teroris kemungkinan terburuknya adalah mati, namun jumlahnya kian bertambah banyak, menjadi sebuah pertanyaan juga karena pada dasarnya para pelaku tindak pidana teroris tidaklah takut mati, karena mereka sudah yakin bin yakin dengan hilangnya nyawa mereka berbuah Surga yang dijanjikan akan didapatkan, hingga ancaman hukuman mati tidaklah mereka hiraukan.
            Terakhir, muncul juga wacana untuk eksekusi mati para koruptor denga harapan bisa mengakhiri kejahatan para pemakan uang rakyat itu, terinspirasi dengan kisah sukses perdana menteri china shu rong ji yang sukses memberantas korupsi dalam waktu yang relatif singkat dengan semboyan yang terkenal,”Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor, dan satu untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi.”
            Kita mungkin bisa mengikuti jejaknya dengan mengadakan revolusi besar besaran dalam birokrasi yang merupakan sumber korupsi, dengan menggunakan jasa orang non lokal yang dibayar mahal untuk bisa tegakkan keadilan dan kebenaran. Diyakini langkah ini mendapat dukungan banyak pihak, tentu tak masalah membayar mahal untuk suatu kebenaran.
            Namun, kita juga harus memperhatikan bahwa kejahatan tidak selalu muncul ketika ada niatan, ketika ada kesempatan pun kejahatan bisa terjadi. Hal ini berlaku juga untuk kejahatan korupsi, ketika rakyat bingung dengan pola regulasi yang berbelit, maka tidak ada jalan lain kecuali melakukan perbuatan yang terlarang. Dalam banyak kasus, misalnya kasus tilang di Polantas tak serta merta para lalat hijau menjadi kambing hitam, justru mereka yang ditilang lah yang biasanya mengajukan KUHP (Kasih Uang Habis Perkara), dan hal ini diikuti kualitas penegak hukum yang buruk hingga mereka tinggal menerima uang itu saja, masalah laporan toh bisa dimanipulasi.
            Hal yang logis dilakukan hanyalah dengan perubahan regulasi pada sektor sektor hijau dan potensial menghasilkan laba. Namun, perubahan regulasi ini hanya dilakukan oleh lembaga legislatif atau wakil rakyat yang merupakan representasi politik dan kepentingan seluruh negeri, hingga merubah regulasi itu juga haruslah melihat dari sisi kepentingan dan politik anggota parlemen sendiri. Tidak bermaksud bersuu’dzan mungkin juga para legislator itu juga menjadi bagian dari sektor hijaun nan potensial itu. Pertanyaanya, Apa wakil rakyat kita juga mau diganti dengan orang luar negeri ?
            Kembali ke efek penjeraan hukuman mati itu sendiri, mungkin juga hal ini bisa berlaku di negeri lain yang tingkat pemahamaan dan kedisiplinanya tinggi, untuk Indonesia sendiri. Hal ini masih sulit diterapakan, faktor kemiskinan akut yang membuat sesorang rela melakukan apapun menambah keraguan tentang efektifitas hukuman mati kedepanya, lagi dengan banyaknya warga Indonesia yang sesat terhadap regulasi yang berlaku, misal ancaman kematian menjadi diketahui ketika mereka sudah melakukan perbuatanya, membuat efek jera dari hukuman mati ini masih dipertanyakan efektifitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar