Kamis, 21 April 2016

Anwar dan Kammi (Kammi sebagai gerakan Integralisme Ilmu)


            Heboh penemuan konsep dasar teknologi 4G, membuat semua orang menengok sosok Khoirul Anwar. Berawal dari keraguan dalam memperjuangkan temuanya, Putra Kediri ini tetap nekat meneruskan temuanya. Dengan kegigihan dan pantang menyerah, teknologi 4G berakhir dengan dengan puluhan penghargaan.
Ditelusuri lebih jauh, Pria yang pernah menempuh pendidikan di Nara Institute of Science and Technology (NAIST) Jepang ini, ternyata pernah berkecimpung di KAMMI, tepatnya saat ia berkuliah di ITB Bandung.     
            Serentak, linimasa Media Sosial riuh dengan selebrasi kader kader Kammi. “Ini baru kader kammi” ucap seorang kawan. “bangga saya dengan anda, bung” begitu juga tanggapan yang lain. “semoga bisa menginspirasi kader Kammi yang lain” harap seorang Kader. Memang tak ada kepantasan selain berharap ada prestasi serupa di masa mendatang, namun terselip sebuah pesan.
            Sudah saatnya Kammi bertransformasi menjadi gerakan kelimuan dan pengkaryaan. Energi kader sudah habis untuk memamerkan wakil ketua DPR sebagai seorang Alumni yang berprestasi, seolah kader Kammi diproyeksikan untuk mengisi kursi kursi di senayan. Sementara, stok kader Kammi yang bersinar dalam bidang Ilmu Pengetahuan bisa dibilang cukup minim. Hal ini yang menjadi semangat dalam tulisan Umar yang berjudul “Melupakan Fahri Hamzah”, Umar tidak hendak menghapus Fahri Hamzah dari ingatan kolektif Kader Kammi.
            Fahri Hamzah dalam bahasa Umar adalah simbol dari nalar gerakan politis ala broker dan koboy politik. Generasi demikian, sudah seharusnya dilupakan. Sudah seharusnya Kammi membangun budaya Ilmu dengan mulai menjadikan Anwar sebagai Simbol. Meskipun kita sama sama memahami, budaya ilmu adalah dunia yang sepi nan hampa dari riuhnya tepuk tangan.   
            Peralihan menuju Budaya Ilmu sebagai langgam perjuangan, bukan sekedar mencari pelampiasan atas ketidakpuasaan terhadap generasi Politis dalam tubuh Kammi. Namun pada dasarnya, terdapat Problematika dalam perkembangan Ilmu dewasa ini. Hingga kini, Barat yang disimbolkan kemajuan pengetahuan, justru menemukan kebuntuan (cul de sac) yang tidak bisa diselesaikan.
Problem Ilmu kontemporer
            Kelahiran Ilmu Kontemporer tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan ilmu dalam peradaban barat. Terutama sejak Comte mengkampanyekan gerakan Positivisme yang ditandai lahirnya era renaissance. Lewat Positivisme, pengetahuan hanyalah bisa didapat dari metode pengalaman, fisikal aktual dan harus bersifat objektif. Comte menghindari unsur unsur metafisis yang bersifat spekulan lagi subjektif. Metode Positivistik seringkali disebut metode saintifik ilmiah.
            Comte kemudian terkenal dengan pembagian tahap perekembangan ilmu pengetahuan. Ia membagi menjadi tiga tahap : 1. Tahap Teologi, tahap yang menggambarkan perolehan pengetahuan didapat dari suatu kekuatan adikodrati. 2. Tahap Metafisik, dalam tahap metafisik, manusia sudah bisa memahami kejadian di lingkungan dan alam semesta berdasar suatu kekuatan abstrak. 3. Tahap Positif, dalam tahap positif manusia memperoleh dan mengembangkan pengetahuan berdasar rasio dan akal pikiran.
            Tahap Positif inilah, yang disebut Comte, akan menjadi puncak peradaban manusia dengan kemajuan teknologi. Awalnya metode Positivisme dikembangkan dalam dunia sains, namun sejak diselenggarakan konferensi Wina 1928. Metode Saintifik Ilmiah disepakati sebagai metode baku dalam pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk penerapanya dalam Ilmu Ilmu Sosial.
            Hal ini tidak lepas keberhasilan Positivisme melahirkan ribuan teknologi mutakhir, yang ingin dijiplak dalam ilmu ilmu sosial. Positivisme pulalah, yang menjadi dasar gagasan kenetralan sains dari nilai nilai, entah nilai keilahian, etis, maupunn nilai nilai moralitas.  
            Positivisme merupakan anak kandung dari epistemologi Modern yang dirintis olehh Descartes-newton atau dikenal sebagai Cartesian Newtonian, nama ini dinisbatkan kepada dua ilmuwan terkenal abad pertengahan, Rene Descartes (1596-1650) dan Sir Isssac Newton ( 1642-1762).
            Rene Descartes terkenal dengan ungkapan Cogito Ergo Sum (aku berfikir maka aku ada). Ungkapan ini berimplikasi kepada pembedaan dikotomik antara res cogitans (pemikiran) yang merupakan substansi rasio, dan substansi tubuh adalah res exstensa (berkeluasan). Cogitans adalah bidang jiwa, dan exstensa adalah bidang materi.
            Konsep ini melahirkan paham dualisme. Dualisme pada akhrinya melahirkan pemikiran serba dikotomik dan logika oposisi binner. Semisal subjek dipisahkan dengan objek, profan dan sakral, kanan terpisah dengan kiri. Pemikiran ini kemudian berimplikasi kepada pemisahan Ilmu yang digolongkan domain publik, materiil, duniawi, dan profan. Ia diceraikan dengan agama yang bersifat privat, ukhrawi, dan sakral.
            Terlebih pada abad pertengahan, Ilmuwan sebagai golongan cendekiawan terlanjur terlibat permusuhan dengan gerejawan yang memonopoli sumber pengetahuan, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara sains. Mereka beranggapan, sudah saatnya Ilmu yang saintis lagi ilmiah, serta terbuka untuk dikritik dipisahkan dari agama yang bersifat ghaib,metafisis, nan dogmatis alias kaku.  
            Implikasi pemisahan secara dikotomik antara agama dan sains dalam perkembangan ilmu dan pendidikan, bukan saja terjadi pada tahap kurikulum, namun berpengaruh pula terhadp pola berfikir pelajar/mahasiswa, termasuk pula aktivis dakwah Kampus.
Terjadi fenomena split personality pada pribadi masing masing pelajar. Hal ini bisa dibuktikan dengan gagalnya integrasi materi perkuliahan dan materi dalam halaqah halaqah atau pengajian,-kecuali materi berjenis Akhlak yang berusaha membentuk etos pribadi muslim sebagai penuntut Ilmu, diluar itu keduanya berpisah secara tegas, dan berbeda secara tajam.
Rene Descartes terkenal pula dengan gagasanya mematematikasi Alam, pandangan ini menegaskan alam adalah sebuah benda mati, yang dilepaskan dari unsur unsur keilahian, ia dapat bergerak dikarenakan oleh hukum sebab akibat. Pendapat ini ditajamkan oleh Newton yang menganut prinsip kepastian pada teori gravitasi bumi.
Prinsip matematikasi alam ini kemudian berkembang dalam Ilmu Pengeatahuan yang menafsirkan alam sebagai benda mati semata, dan harus dimanfaatkan bagi kemajuan manusia. Alam bukan untuk dikelola sebagaimana tugas seorang Khalifah dalam Al Qur’an. Sehingga tidak mengherankan terciptanya teknologi dari Ilmu Pengetahuan Modern justru melahirkan semangat merusak alam, dan sikap angkuh tidak menghargai keberadaan Alam. 
Intelektual Profetik
Gerakan Integralisme antara Ilmu Pengetahuan dan Agama, bisa dilacak saat Rasul membentuk Ashab As Suffah. Ashab As Suffah merupakan forum kajian tentang isi kandungan AlQur’an dan Hadist Nabi. Dari sinilah, kemudian lahir Ulama Ulama dalam bidang Hadist, semcam Abu Hurairah, Abu Dzar al Giffari sampai Salman al Farisi
Proyek ini berjalan mulus sampai melahirkan ulama pada generasi berikutnya. Fondasi peradaban Islam justru dibangun dari Ilmu yang bersandarkan kepada Wahyu. Artinya wahyu atau nash dengan akal dan ilmu pengetahuan, bukan untuk diceraiberaikan, namun untuk diintegralkan.
Peradaban Islam klasik telah berhasil melahirkan budaya intelektual yang mempengaruhi Barat Kristen dalam tradisi keilmuan Universitas. Ia telah menyumbangkan faktor melahirkan ide universitas yaitu keilmuan, bersamaan ide kebebasan akademik. Selain itu, Pendidikan Tinggi Islam dalam sejarah klasiknya juga mempelopori penelitian ilmiah.
Strategi demikian seharusnya dipakai, untuk tidak lagi membenturkan antara aktifisme dakwah dengan aktifitas keilmuan di perkuliahan. Riset-riset sederhana untuk mensilaturahmikan kebutuhan dakwah dengan keilmuan yang dimiliki harus  mulai dilakukan. Wacana Integrasi Dakwah dan Kuliah tidak harus pada tataran yang falsafati, ia bisa dirumuskan untuk semua lini.
Sebagai bagian dari Gerakan Dakwah, Kammi pada dasarnya mendorong adanya integralisme antara Ilmu dan Wahyu. Paradigma Gerakan Kammi menyebutkan Point Intelelektual Profetik. Dalam salah satu tafsirnya gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan.
Penyematan kata “Profetik”, erat kaitanya dengan gagasan Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik yang sekandung gagasan untuk menyatukan Ilmu dan Wahyu (Nash). Kunto (sapaan akrabnya) menyebutkan wahyu merupakan unsur konstutif, yang harus bisa diinternalisasikan dalam kehendak pribadi setiap muslim.   
Usaha perjuangan perlawanan adalah bagian dari aktivitas sejarah ummat islam.  Kunto sendiri membagi tahapan perjuangan ummat islam di Indonesia, Pertama, Tahap Mistis, Ummat berjuang melawan kolonialisme dengan pola pikir mistik dan berharap kepada tuah seorang pemimpian, Kedua, tahap Ideologis, ummat bersatu dalam wadah Masyumi yang melawan struktur pemeritahan Orde Baru dan perang Ideologi terhadap PKI. Namun dalam Ketiga, yaitu tahap Ilmu, perjuangan ummat tidak melawan kekuatan politis manapun, pola perjuangan bukan dengan model vis a vis, namun perlawanan Ummat adalah melawan Realitas dan permasalahan objektif.  
Dengan realitas sejarah yang demikian, tentunya jejak perjuangan Kammi bukan lagi melawan rezim negara yang represif, namun musuh Kammi sekarang adalah  korupsi, kemiskinan, Kapitalisme, ketidakadilan, maupun sekularisme.
            Baik kemiskinan maupun Kapitalisme adalah masalah bersama tidak hanya menjadi masalah Ummat Islam. Hal ini sejalan dengan sifat Ilmu yang lintas kepercayaan dan Iman, karena Ilmu bersifat objektif. Sesuatu disebut Objektif bisa diterima bersama tanpa dipermasalahkan, apakah dihasilkan Umat Islam atau tidak.
            Tugas Ummat selanjutnya adalah mendorong adanya Objektivikasi, yaitu upaya Transformasi Wahyu yang merupakan bagian konstitutif dalam Ummat menjadi unsur unsur yang objektif. Namun proses Obvjektivikasi harus didahului dengan  internalisasi ajaran Islam ke dalam setiap pemeluk Islam. Tugas selanjutnya, adalah mengubahnya menjadi makna yang plural, sehingga bisa diterima oleh Ummat lain. Implikasinya adalah terwujudnya Islam rahmatan lil alamin.
            Sebagai contoh, Kuntowijoyo mentransformasikan Unsur amar ma’ruf menjadi Humanisasi. Istilah humanisasi bisa diterima oleh Ummat lintas iman, namun tetap dengan substansi amar ma’ruf yang yaitu menuntun manusia untuk diaksentuasikan kepada kebaikan.
Kammi sudah seharusnya mendorong Integrasi antara Ilmu dan Wahyu. Keduanya sudah berkembang baik dalam Kammi. Proses Internalisasi ajaran Islam terpantul dengan baik dalam Manhaj Kaderisasi Kammi dengan jenjang bertahap, dimulai dari tahap Syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islam) bagi kader AB1, kemudian syakhsiyah dai’yah muharrikah (kepribadian dai penggerak) bagi AB2, dan Syakhsiyah qiyadiyah siyasiyah (kepribadian pemimpin yang mengambil kebijakan) bagi jenjang Kader AB3.
            Disisi lain, prestasi kader Kammi dalam bidang akademik tidaklah mengecewakan, meski tidak bisa dibilang gemilang. Bagi Kammi mereka adalah aset, disamping kader Kammi yang cerewet dan doyan Siyasi.
            Proteksi terhadap aset ini adalah dengan melakukan pemberdayaan, salah satunya Fadalah membentuk simposium tentang problema Filsafat Ilmu dalam masing masing cabang Ilmu Pengetahuan. Langkah selanjutnya adalah merumuskan Ilmu Sosial Profetik sebagai epistemologi Integrasi Ilmu dan Wahyu dalam masing masing cabang.
Langkah terakhir adalah mentransformasikan nilai nilai internal Islami menjadi nilai nilai objektif, tentunya dalam ranah ilmu masing masing, baik dalam Sains dan Ilmu Ilmu Sosial. Langkah Kammi demikian, diharapkan menjadi langkah Ummat yang merepresentasikan Islam rahmatanlil’alamin.  
            Setidaknya, langkah ini bisa menjadi jembatan bagi permasalahan split personality dalam diri Mahasiswa. Sehingga materi dalam daurah daurah Kammi bisa terimplementasikan dalam kehidupan akademik kadernya. Bukan berjalan otonom bagi pribadi kader, namun terintegrasi dengan kajian akademik, wahyu sebagai prima kausa pembentuk Ilmu Pengetahuan.   
           Salah satu karya terbaik dalam Integrasi Ilmu, dituliskan oleh Saepul Rohman dalam skripsinya berjudul, “Paradigma Profetik, kritik terhadap asumsi asumsi paradigma non sistematik”. Selain mencoba meruntuhkan Ilmu Hukum yang dihasilkan dari bangunan Filsafat Modern plus Postmodernisme. Saepul mengembangkan Ilmu Hukum Profetik, yang dikembangkan dari Ilmu Sosial Profetik yang dikembangkan oleh Kuntowijoyo.    
            Meskipun bukan tercatat sebagai Kader Kammi, namun Saepul adalah bagian dari Ummat yang mencoba berkontribusi bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan. Hal ini tentunya harus bisa menjadi pelecut bagi Kader Kammi yang telah mengikuti jejak langkahnya.
            Sebagai catatan, kemajuan suatu bangsa ditentukan seberapa majunya peradaban yang dibangun oleh Ilmu Pengetahuan. Kehidupan bangsan Mongolia yang erat dengan tribalisme, meskipun sanggup mengalahkan Islam dan China dengan armada kuatnya, namun tidak terjadi tribalisme dalam peradaban keduanya, justru Mongolia sendiri yang bergeser membentuk suatu peradaban yang memiliki warna dari keduanya.
Pustaka
Absori dkk, 2015, Paradigma Profetik; kritik terhadap Paradigma Hukum Non-Sistematik, Yogyakarta: Genta Publishing.  
Heriyanto, Husein, 2003, Paradigma Holistik; Dialog Filsafat Sains dan kehidupan menurut Shadra dan Whitehead, Jakarta: Teraju,
Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo, 2001, Muslim Tanpa Masjid; Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik                            dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung: Mizan.
Wibowo, Arif, 2016, Dakwah Kampus dan Tantangan Rekonstruksi Peradaban Islam, makalah disampaikan dalam Seminar Peradaban Islam dan Islamisasi Ilmu Kontemporer, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 20 Maret 2016.

1 komentar:

  1. Bismillahir Rahmanir Rahim

    Salam dan selawat

    Kepada:

    Mahasiswa
    Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Indonesia.

    Pertanyaan mahasiswa: Adakah kalian bersetuju semua sahabat itu sesat kecuali 3 orang: Miqdad bin Aswad, Abu Dzar dan Salman al-Farisi menurut sumber Syiah?

    Jawapan 1.

    Al-Qur'an sebagai asas agama Islam

    Sesat atau kafirnya seorang muslim termasuk sahabat, adalah terletak kepada sejauh mana mereka percaya dan menghayati ajaran al-Qur'an dalam kehidupan mereka.

    Jawapan 2

    Sunnah Nabi saw sebagai asas agama Islam selepas al- Qur'an.

    2. Sejauh mana mereka percaya dan menghayati Sunnah Nabi saw dalam kehidupan mereka.

    Jawapan 3

    3.Justeru, ia bukan soal kalian bersetuju atau pun tidak dengan seorang itu sesat atau kafir kerana ia berkait rapat dengan sistem nilai yang diakui oleh Allah dan Rasul-Nya.

    Jawapan 4

    4. Sumber Sunni tentang kesesatan atau kekafiran majoriti para sahabat Nabi saw selepas kewafatan Nabi saw kerana mereka telah mengubah Sunnah Nabi saw, boleh didapati dalam Sahih al- Bukhari, Kitab al-Riqaq, bab al- Haudh, hadis no.584, 585,586, dan 587.
    Hadis no. 587 menyatakan bahawa mereka (sahabat) telah murtad ke belakang. Justeru, aku tidak melihat mereka (sahabat) terselamat melainkan segelintir daripada mereka (bilangan yang sedikit) seperti unta yang tersesat atau terbiar daripada pengembalanya (mithlu humali nna'am).

    Jawapan 5

    5. Sahih Muslim, bab Ithbat Haudhi Nabiyyi-na menyatakan bahawa hanya sedikit sahaja sahabat yang selamat kerana mereka telah mengubah Sunnah Nabi saw. Lihat, hadis no. 26, (2290), (2291), no. 27 (2293), 28, (2294), 32 (2297), 40 (2304).

    Hadis no. 29 (2295) " Sesungguhnya aku akan mendahului kamu di Haudh. Tidak ada seorang pun daripada kamu (para sahabatku) akan mendatangiku sehingga dia akan dihalau atau diusir daripadaku sebagaimana dihalau atau diusir unta yang sesat (bilangan yang sedikit).
    Aku bersabda: Apa salahnya? Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka. Jauh! Dari rahamat Tuhan (suhqan).

    Jawapan 6

    Al-Qur'an

    6. Hanya sedikit sahaja di kalangan orang Islam yang mengikut al-Qur'an 100% sebagaimana Firman-Nya Surah al-Saba' (34): 13 " dan sedikit sahaja di kalangan hamba-hamba-Ku yang berterima kasih". Ini bererti kebanyakan orang-orang Islam sama ada sahabat atau bukan sahabat sedikit sahaja yang berterima kasih. Justeru, mereka disiksa oleh Allah swt kerana tidak berterima kasih.

    Jawapan 7

    7. Sila baca teks Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim tentang kekafiran majoriti para sahabat kerana mereka telah mengubah Sunnah Nabi saw. Justeru, ia menyalahi akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah yang percaya semua sahabat adalah adil.

    Jawapan 8

    8. Kekafiran majoriti para sahabat selepas kewafatan Nabi saw sengaja disembunyikan oleh para ulama Ahli Sunnah Wal-Jamaah dan Wahabi di Nusantara. Mereka meninggalkan penerjemahan bab al- Haudh dari Sahih Bukhari dan Sahih Muslim ke dalam bahasa ibunda. Justeru, umat Islam di Nusantara tidak mengetahuinya, lalu mereka menuduh Syiah mengkafirkan para sahabat Nabi saw pula. Pada hakikatnya, Nabi saw sendiri yang telah mengkafirkan majoriti para sahabatnya kerana mereka telah menguban Sunnahnya menurut Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.

    Jawapan 9

    9. Sila lihat, renungan 92. "Pengubahan al-Qur'an (Tahrif al-Qur'an) dalam buku-buku Sunni, Pengubahan Sunnah Rasulullah saw, penghinaan terhadap Rasulullah saw oleh para sahabat dan kekafiran majoriti para sahabat oleh Rasulullah saw sendiri" sila layari: al-mawaddah. info






    BalasHapus