Kamis, 21 April 2016

Anwar dan Kammi (Kammi sebagai gerakan Integralisme Ilmu)


            Heboh penemuan konsep dasar teknologi 4G, membuat semua orang menengok sosok Khoirul Anwar. Berawal dari keraguan dalam memperjuangkan temuanya, Putra Kediri ini tetap nekat meneruskan temuanya. Dengan kegigihan dan pantang menyerah, teknologi 4G berakhir dengan dengan puluhan penghargaan.
Ditelusuri lebih jauh, Pria yang pernah menempuh pendidikan di Nara Institute of Science and Technology (NAIST) Jepang ini, ternyata pernah berkecimpung di KAMMI, tepatnya saat ia berkuliah di ITB Bandung.     
            Serentak, linimasa Media Sosial riuh dengan selebrasi kader kader Kammi. “Ini baru kader kammi” ucap seorang kawan. “bangga saya dengan anda, bung” begitu juga tanggapan yang lain. “semoga bisa menginspirasi kader Kammi yang lain” harap seorang Kader. Memang tak ada kepantasan selain berharap ada prestasi serupa di masa mendatang, namun terselip sebuah pesan.
            Sudah saatnya Kammi bertransformasi menjadi gerakan kelimuan dan pengkaryaan. Energi kader sudah habis untuk memamerkan wakil ketua DPR sebagai seorang Alumni yang berprestasi, seolah kader Kammi diproyeksikan untuk mengisi kursi kursi di senayan. Sementara, stok kader Kammi yang bersinar dalam bidang Ilmu Pengetahuan bisa dibilang cukup minim. Hal ini yang menjadi semangat dalam tulisan Umar yang berjudul “Melupakan Fahri Hamzah”, Umar tidak hendak menghapus Fahri Hamzah dari ingatan kolektif Kader Kammi.
            Fahri Hamzah dalam bahasa Umar adalah simbol dari nalar gerakan politis ala broker dan koboy politik. Generasi demikian, sudah seharusnya dilupakan. Sudah seharusnya Kammi membangun budaya Ilmu dengan mulai menjadikan Anwar sebagai Simbol. Meskipun kita sama sama memahami, budaya ilmu adalah dunia yang sepi nan hampa dari riuhnya tepuk tangan.   
            Peralihan menuju Budaya Ilmu sebagai langgam perjuangan, bukan sekedar mencari pelampiasan atas ketidakpuasaan terhadap generasi Politis dalam tubuh Kammi. Namun pada dasarnya, terdapat Problematika dalam perkembangan Ilmu dewasa ini. Hingga kini, Barat yang disimbolkan kemajuan pengetahuan, justru menemukan kebuntuan (cul de sac) yang tidak bisa diselesaikan.
Problem Ilmu kontemporer
            Kelahiran Ilmu Kontemporer tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan ilmu dalam peradaban barat. Terutama sejak Comte mengkampanyekan gerakan Positivisme yang ditandai lahirnya era renaissance. Lewat Positivisme, pengetahuan hanyalah bisa didapat dari metode pengalaman, fisikal aktual dan harus bersifat objektif. Comte menghindari unsur unsur metafisis yang bersifat spekulan lagi subjektif. Metode Positivistik seringkali disebut metode saintifik ilmiah.
            Comte kemudian terkenal dengan pembagian tahap perekembangan ilmu pengetahuan. Ia membagi menjadi tiga tahap : 1. Tahap Teologi, tahap yang menggambarkan perolehan pengetahuan didapat dari suatu kekuatan adikodrati. 2. Tahap Metafisik, dalam tahap metafisik, manusia sudah bisa memahami kejadian di lingkungan dan alam semesta berdasar suatu kekuatan abstrak. 3. Tahap Positif, dalam tahap positif manusia memperoleh dan mengembangkan pengetahuan berdasar rasio dan akal pikiran.
            Tahap Positif inilah, yang disebut Comte, akan menjadi puncak peradaban manusia dengan kemajuan teknologi. Awalnya metode Positivisme dikembangkan dalam dunia sains, namun sejak diselenggarakan konferensi Wina 1928. Metode Saintifik Ilmiah disepakati sebagai metode baku dalam pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk penerapanya dalam Ilmu Ilmu Sosial.
            Hal ini tidak lepas keberhasilan Positivisme melahirkan ribuan teknologi mutakhir, yang ingin dijiplak dalam ilmu ilmu sosial. Positivisme pulalah, yang menjadi dasar gagasan kenetralan sains dari nilai nilai, entah nilai keilahian, etis, maupunn nilai nilai moralitas.  
            Positivisme merupakan anak kandung dari epistemologi Modern yang dirintis olehh Descartes-newton atau dikenal sebagai Cartesian Newtonian, nama ini dinisbatkan kepada dua ilmuwan terkenal abad pertengahan, Rene Descartes (1596-1650) dan Sir Isssac Newton ( 1642-1762).
            Rene Descartes terkenal dengan ungkapan Cogito Ergo Sum (aku berfikir maka aku ada). Ungkapan ini berimplikasi kepada pembedaan dikotomik antara res cogitans (pemikiran) yang merupakan substansi rasio, dan substansi tubuh adalah res exstensa (berkeluasan). Cogitans adalah bidang jiwa, dan exstensa adalah bidang materi.
            Konsep ini melahirkan paham dualisme. Dualisme pada akhrinya melahirkan pemikiran serba dikotomik dan logika oposisi binner. Semisal subjek dipisahkan dengan objek, profan dan sakral, kanan terpisah dengan kiri. Pemikiran ini kemudian berimplikasi kepada pemisahan Ilmu yang digolongkan domain publik, materiil, duniawi, dan profan. Ia diceraikan dengan agama yang bersifat privat, ukhrawi, dan sakral.
            Terlebih pada abad pertengahan, Ilmuwan sebagai golongan cendekiawan terlanjur terlibat permusuhan dengan gerejawan yang memonopoli sumber pengetahuan, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara sains. Mereka beranggapan, sudah saatnya Ilmu yang saintis lagi ilmiah, serta terbuka untuk dikritik dipisahkan dari agama yang bersifat ghaib,metafisis, nan dogmatis alias kaku.  
            Implikasi pemisahan secara dikotomik antara agama dan sains dalam perkembangan ilmu dan pendidikan, bukan saja terjadi pada tahap kurikulum, namun berpengaruh pula terhadp pola berfikir pelajar/mahasiswa, termasuk pula aktivis dakwah Kampus.
Terjadi fenomena split personality pada pribadi masing masing pelajar. Hal ini bisa dibuktikan dengan gagalnya integrasi materi perkuliahan dan materi dalam halaqah halaqah atau pengajian,-kecuali materi berjenis Akhlak yang berusaha membentuk etos pribadi muslim sebagai penuntut Ilmu, diluar itu keduanya berpisah secara tegas, dan berbeda secara tajam.
Rene Descartes terkenal pula dengan gagasanya mematematikasi Alam, pandangan ini menegaskan alam adalah sebuah benda mati, yang dilepaskan dari unsur unsur keilahian, ia dapat bergerak dikarenakan oleh hukum sebab akibat. Pendapat ini ditajamkan oleh Newton yang menganut prinsip kepastian pada teori gravitasi bumi.
Prinsip matematikasi alam ini kemudian berkembang dalam Ilmu Pengeatahuan yang menafsirkan alam sebagai benda mati semata, dan harus dimanfaatkan bagi kemajuan manusia. Alam bukan untuk dikelola sebagaimana tugas seorang Khalifah dalam Al Qur’an. Sehingga tidak mengherankan terciptanya teknologi dari Ilmu Pengetahuan Modern justru melahirkan semangat merusak alam, dan sikap angkuh tidak menghargai keberadaan Alam. 
Intelektual Profetik
Gerakan Integralisme antara Ilmu Pengetahuan dan Agama, bisa dilacak saat Rasul membentuk Ashab As Suffah. Ashab As Suffah merupakan forum kajian tentang isi kandungan AlQur’an dan Hadist Nabi. Dari sinilah, kemudian lahir Ulama Ulama dalam bidang Hadist, semcam Abu Hurairah, Abu Dzar al Giffari sampai Salman al Farisi
Proyek ini berjalan mulus sampai melahirkan ulama pada generasi berikutnya. Fondasi peradaban Islam justru dibangun dari Ilmu yang bersandarkan kepada Wahyu. Artinya wahyu atau nash dengan akal dan ilmu pengetahuan, bukan untuk diceraiberaikan, namun untuk diintegralkan.
Peradaban Islam klasik telah berhasil melahirkan budaya intelektual yang mempengaruhi Barat Kristen dalam tradisi keilmuan Universitas. Ia telah menyumbangkan faktor melahirkan ide universitas yaitu keilmuan, bersamaan ide kebebasan akademik. Selain itu, Pendidikan Tinggi Islam dalam sejarah klasiknya juga mempelopori penelitian ilmiah.
Strategi demikian seharusnya dipakai, untuk tidak lagi membenturkan antara aktifisme dakwah dengan aktifitas keilmuan di perkuliahan. Riset-riset sederhana untuk mensilaturahmikan kebutuhan dakwah dengan keilmuan yang dimiliki harus  mulai dilakukan. Wacana Integrasi Dakwah dan Kuliah tidak harus pada tataran yang falsafati, ia bisa dirumuskan untuk semua lini.
Sebagai bagian dari Gerakan Dakwah, Kammi pada dasarnya mendorong adanya integralisme antara Ilmu dan Wahyu. Paradigma Gerakan Kammi menyebutkan Point Intelelektual Profetik. Dalam salah satu tafsirnya gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan.
Penyematan kata “Profetik”, erat kaitanya dengan gagasan Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik yang sekandung gagasan untuk menyatukan Ilmu dan Wahyu (Nash). Kunto (sapaan akrabnya) menyebutkan wahyu merupakan unsur konstutif, yang harus bisa diinternalisasikan dalam kehendak pribadi setiap muslim.   
Usaha perjuangan perlawanan adalah bagian dari aktivitas sejarah ummat islam.  Kunto sendiri membagi tahapan perjuangan ummat islam di Indonesia, Pertama, Tahap Mistis, Ummat berjuang melawan kolonialisme dengan pola pikir mistik dan berharap kepada tuah seorang pemimpian, Kedua, tahap Ideologis, ummat bersatu dalam wadah Masyumi yang melawan struktur pemeritahan Orde Baru dan perang Ideologi terhadap PKI. Namun dalam Ketiga, yaitu tahap Ilmu, perjuangan ummat tidak melawan kekuatan politis manapun, pola perjuangan bukan dengan model vis a vis, namun perlawanan Ummat adalah melawan Realitas dan permasalahan objektif.  
Dengan realitas sejarah yang demikian, tentunya jejak perjuangan Kammi bukan lagi melawan rezim negara yang represif, namun musuh Kammi sekarang adalah  korupsi, kemiskinan, Kapitalisme, ketidakadilan, maupun sekularisme.
            Baik kemiskinan maupun Kapitalisme adalah masalah bersama tidak hanya menjadi masalah Ummat Islam. Hal ini sejalan dengan sifat Ilmu yang lintas kepercayaan dan Iman, karena Ilmu bersifat objektif. Sesuatu disebut Objektif bisa diterima bersama tanpa dipermasalahkan, apakah dihasilkan Umat Islam atau tidak.
            Tugas Ummat selanjutnya adalah mendorong adanya Objektivikasi, yaitu upaya Transformasi Wahyu yang merupakan bagian konstitutif dalam Ummat menjadi unsur unsur yang objektif. Namun proses Obvjektivikasi harus didahului dengan  internalisasi ajaran Islam ke dalam setiap pemeluk Islam. Tugas selanjutnya, adalah mengubahnya menjadi makna yang plural, sehingga bisa diterima oleh Ummat lain. Implikasinya adalah terwujudnya Islam rahmatan lil alamin.
            Sebagai contoh, Kuntowijoyo mentransformasikan Unsur amar ma’ruf menjadi Humanisasi. Istilah humanisasi bisa diterima oleh Ummat lintas iman, namun tetap dengan substansi amar ma’ruf yang yaitu menuntun manusia untuk diaksentuasikan kepada kebaikan.
Kammi sudah seharusnya mendorong Integrasi antara Ilmu dan Wahyu. Keduanya sudah berkembang baik dalam Kammi. Proses Internalisasi ajaran Islam terpantul dengan baik dalam Manhaj Kaderisasi Kammi dengan jenjang bertahap, dimulai dari tahap Syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islam) bagi kader AB1, kemudian syakhsiyah dai’yah muharrikah (kepribadian dai penggerak) bagi AB2, dan Syakhsiyah qiyadiyah siyasiyah (kepribadian pemimpin yang mengambil kebijakan) bagi jenjang Kader AB3.
            Disisi lain, prestasi kader Kammi dalam bidang akademik tidaklah mengecewakan, meski tidak bisa dibilang gemilang. Bagi Kammi mereka adalah aset, disamping kader Kammi yang cerewet dan doyan Siyasi.
            Proteksi terhadap aset ini adalah dengan melakukan pemberdayaan, salah satunya Fadalah membentuk simposium tentang problema Filsafat Ilmu dalam masing masing cabang Ilmu Pengetahuan. Langkah selanjutnya adalah merumuskan Ilmu Sosial Profetik sebagai epistemologi Integrasi Ilmu dan Wahyu dalam masing masing cabang.
Langkah terakhir adalah mentransformasikan nilai nilai internal Islami menjadi nilai nilai objektif, tentunya dalam ranah ilmu masing masing, baik dalam Sains dan Ilmu Ilmu Sosial. Langkah Kammi demikian, diharapkan menjadi langkah Ummat yang merepresentasikan Islam rahmatanlil’alamin.  
            Setidaknya, langkah ini bisa menjadi jembatan bagi permasalahan split personality dalam diri Mahasiswa. Sehingga materi dalam daurah daurah Kammi bisa terimplementasikan dalam kehidupan akademik kadernya. Bukan berjalan otonom bagi pribadi kader, namun terintegrasi dengan kajian akademik, wahyu sebagai prima kausa pembentuk Ilmu Pengetahuan.   
           Salah satu karya terbaik dalam Integrasi Ilmu, dituliskan oleh Saepul Rohman dalam skripsinya berjudul, “Paradigma Profetik, kritik terhadap asumsi asumsi paradigma non sistematik”. Selain mencoba meruntuhkan Ilmu Hukum yang dihasilkan dari bangunan Filsafat Modern plus Postmodernisme. Saepul mengembangkan Ilmu Hukum Profetik, yang dikembangkan dari Ilmu Sosial Profetik yang dikembangkan oleh Kuntowijoyo.    
            Meskipun bukan tercatat sebagai Kader Kammi, namun Saepul adalah bagian dari Ummat yang mencoba berkontribusi bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan. Hal ini tentunya harus bisa menjadi pelecut bagi Kader Kammi yang telah mengikuti jejak langkahnya.
            Sebagai catatan, kemajuan suatu bangsa ditentukan seberapa majunya peradaban yang dibangun oleh Ilmu Pengetahuan. Kehidupan bangsan Mongolia yang erat dengan tribalisme, meskipun sanggup mengalahkan Islam dan China dengan armada kuatnya, namun tidak terjadi tribalisme dalam peradaban keduanya, justru Mongolia sendiri yang bergeser membentuk suatu peradaban yang memiliki warna dari keduanya.
Pustaka
Absori dkk, 2015, Paradigma Profetik; kritik terhadap Paradigma Hukum Non-Sistematik, Yogyakarta: Genta Publishing.  
Heriyanto, Husein, 2003, Paradigma Holistik; Dialog Filsafat Sains dan kehidupan menurut Shadra dan Whitehead, Jakarta: Teraju,
Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo, 2001, Muslim Tanpa Masjid; Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik                            dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung: Mizan.
Wibowo, Arif, 2016, Dakwah Kampus dan Tantangan Rekonstruksi Peradaban Islam, makalah disampaikan dalam Seminar Peradaban Islam dan Islamisasi Ilmu Kontemporer, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 20 Maret 2016.

Selasa, 19 April 2016

Politik Islam Hindia Belanda



            Kebangkrutan VOC yang disebabkan korupsi para petingginya, dan kehabisan dana akibat membiayai beberapa pemberontakan lokal, membuat pemerintah Hindia Belanda mengambil alih VOC, dan melanjutkan Politik Imperalisme. Namun pemberontakan Lokal tetap berlangsung, tercatat beberapa pemberontakan, semacam pemberontakan Paderi (1821-1827), perang diponegoro (1825-1830), dan perang aceh (1873-193).
            Di satu sisi, mulai muncul kekhawatiran Belanda terhadap keberadaan geliat Ummat Islam. Pemberontakan di atas dikobarkan atas semangat jihad melawan Belanda yang terstigma sebagai Kristen. Terlebih awal abad 20 Gema Pan Islamisme mulai menguat. Pan Islamisme berhasil membuat Simpati Ummat Islam atas saudara seiman, yang masih dalam kondisi penjajahan.  Terlebih Islam, menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat Nusantara.
            Pergantian Sarikat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam, bukan hanya simbol pergantian sentiment ekonomi atas etnis Tionghoa. Sarekat Islam mulai bersuara atas penindasan Kolonialisme, pada akhirnya keberadaan Belanda atas tanah jajahan semakin goyah. Peluang untuk mempertahankan Status Quo mulai digoyahkan dengan kebangkitan Islam. Terlebih dengan geliat Radikal Kaum Muda PKI, yang melihat keberadaan Belanda di Indonesia sebagai lambang Kapitalisme yang harus segera dilenyapkan.
            Strategi Pemerintah Kolonial, bisa dilihat dengan melakukan anti propaganda dalam Masyarakat. Dimulai dari pendirian Kaantoor voor inlandsche zaken  atau dewan penasehat untuk urusan Pribumi, sampai pendirian Balai Pustaka pada 1917, yang berfungsi memberikan bacaan bahasa Melayu yang benar. Dalam catatan Hilmar Farid, Balai Pustaka sebenarnya didirikan untuk meredam sastra jalanan nan subversif ala Marco Kartodikromo.  
            Sebagai dewan penasehat, posisi Kaantoor voor inlandsche zaken cukup penting dalam mempertahankan status pemerintah Kolonial. Terutama dalam memberikan masukan atas kebijakan terhadap Pribumi, tercatat Kaantoor voor inlandsche zaken menjadi unsur penting, terutama dalam sikap pemerintah Kolonial terhadap Ummat Islam.
Sufi dan Haji
            Beberapa pemberotakan pada masa Kolonial, terkadang dikaitkan dengan keberadaan para Sufi dan Haji. Tercatat, pemberontakan Petani Banten 1888, yang ditulis oleh Profesor Sartono Kartodirjo, banyak diinisiasi oleh para sufi dari terekat Naqsyabandiyah, dan para Haji. Sebelumnya pemberontaka Petani Banten, tercatat pula pemberontakan di Banten yang dipimpin oleh haji wakiya.
            Haji, dalam setting masyarakat pada masa itu, bukan hanya orang yang telah menunaikan rukun islam kelima. Menunaikan hajat ke Mekkah adalah sebuah upaya menambah Ilmu Agama pula. Terlebih dengan ganasnya medan yang ditempuh, tidak jarang orang bertahun tahun dan betah di Mekkah, bahkan tidak jarang yang rela menunggu ajal di tanah suci.
            Sebagai catatan, upaya menambah ilmu agama, memperbesar kemungkinan mereka berjumpa dengan gerakan Wahabi yang bercorak puritan di Arab Saudi, hal ini berbeda dengan Pemahaman agama yang sebelumnya, bercorak sinkretis. Sehingga kadang menimbulkan semangat keagaaman baru di tengah masyarakat. Sehingga sering menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat lokal.
            Terlebih dengan bergeloranya semangat Pan Islamisme, tentunya aka memberi pengaruh besar kepada situasi masyrakat lokal, yang rawan akan pemberontakan. Strategi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, adalah melakukan pembatasan kepada jamaah haji.
            Lewat saran Kaantoor voor inlandsche zaken, Pemerintah Hindia Belanda membuat Undang Undang tentang peberangkatan haji. Kantor ini uga berusaha meyakinkan masyarakat untuk mentaati peraturan yang ada. Mereka juga bekerjasama dengan perusahaan pelayaran untuk membantu mengurusi jamaah haji. Puncaknya tahun 1917, Hindia Belanda membuat konsulat di Mekkah, dengan tujuan mengawasi kegiatan para Haji selama di Mekkah.
            Berbeda halnya, dengan para sufi, meskipun para sufi digambarkan lebih suka kehidupan asketis, dan tidak memiliki orientasi politis tertentu. Mengutip Dr Simuh, justru para sufi inilah yang berada di garda depan, memimpin gerakan pemberontakan, ketika terjadi sebuah ketidakberesan di masyarakat.
            Atas saran Snouck Horgronje, yang kala itu menjabat sebagai kepala Kaantoor voor inlandsche zaken, agar diperlakukan reduksi peran para sufi di kalangan pejabat. Snouck juga menyarankan pengawasan terhadap guru agama di Jawa, sensor terhadap buku dan guru, yang pro kepada gerakan tarekat, dilakukan pemerintah Hindia Belanda, untuk mengurangi peran para Sufi. 
Masjid dan Snouck
            Salah satu keberhasilan kebangkitan Ummat Islam adalah kebangkitan ekonomi. Pada masa lalu, kita mengenal Baitul Mal dan kecanggihan pengelolaanya, yang menjadi unsur penting dalam kemajuan Peradaban Islam. Sadar akan potensi strategis dari masjid ini, Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan Intervensi kepada Masjid dan pengelolaanya. Hal ini disisipkan pada wewenang Kaantoor voor inlandsche zaken.               
Dalam pembangunan masjid baru, Snouck berasumsi dari Pendapat Imam Syafi’i bahwa suatu daerah hanya boleh memiliki satu masjid. Kebetulan pula, mayoritas masyarakat Indonesia yang bermadzab Syafi’i. Sehingga, terbit kebijakan pembatasan pembangunan masjid,  adapun pembangunan suatu masjid haruslah memenuhi syarat syarat tertentu. Ketentuan pembatasan pembangunan masjid, digunakan untuk mengahalangi pembangunan masjid baru.
Dalam pendapat Syafi’i, suatu tempat hanya boleh dilakukan satu Sholat Jum’at.  Jarak antara kedua masjid, dipisahkans setidaknya. Ketentuan pembangunan masjid baru, adalah kedua masjid dipisahkan dalam sebuah jarak yang ditempuh jalan kaki selama tujuh jam, demikian jauhnya, sampai adzan masjid satu dengan yang lain, tidak saling bersahutan.
Di beberapa daerah, Snouck aktif dalam penentangan pembangunan masjid masjid baru. Dimulai dari Palembang, ketika terjadi perselisihan pembangunan masjid baru, yang digagas oleh Mas Agung Haji Abdul Hamid. Ketika pengadilan memenangkan Mas Agung, untuk pendirian masjid baru, Snouck justru menganggap keputusan dari Pengadilan tersebut tidaklah berdasar Hukum Islam yang berlaku.
Snouck kemudian aktif pula dalam penentangan pembuatan Masjid Masjid baru di Payakumbuh, Amuntai, Jakarta, dan Pekalongan. Setelah Snouck pergi meninggalkan Hindia Belanda pada 1906, mulai tumbuh Organisasi Islam, yang tidak lai terikat pada pendapat Madzab Syafi’i. pula para penganut Syafi’i berinisiatif mendirikan masjid baru, karena desakan dari Masyarakat.         
Islam dan Adat
            Tanpa bermaksud bersikap curiga, namun kita bisa berangkat dari asumsi bahwa segala kebijakan Kaum Kolonial Hindia Belanda harus dibaca dalam konteks mempertahankan penjajahan. Meskipun, beberapa keijakan yang dikeluarkan dianggap memberi dampak positif bagi kemajuan daerah jajahan.
            Snocuk kemudian menawarkan asosiasi kebudayaan, sebagai cara untuk membangun relasi antara Negara Kolonial dengan Negara jajahanya melalui Kebudayaan. Cara yang sama digunakan oleh Portugis dan Spanyol, dengan memaksakana penggunaan bahasa terhadap Negara jajahanya. Melalui saran Snouck, Pemerintah Hindia belanda, berbeda jalan dengan tetap memberi ruang kepada kebudayaan lokal.
            Hal ini menjadi salah satu Falsafah Kolonialisme, yang membawa misi weternisasi. Misi yang berupa penerapan kebudayaan barat kedalam Negara jajahan, isitlah mudahnya Modernisasi. Negara jajahan dianggap sebagai masyarakat yang harus diselematkan, kebudayaan timur adalah budaya kuno, bar bar, primordial, dan harus diganti dengan budaya barat yang lebih maju.
            Meski dengan jalan agaka berbeda, dengan tetap memberi ruang kepada masyarakat adat setempat, Snouck berharap timbul perasaan empati dan tumbuh loyalitas kepada pemerintah Hindia Belanda. Dengan menumbuhkan kebudayaan, Snouck berharap bisa menghadapkan adat dengan Islam, yang dipandang Snouck menjadi penghalang utama dalam melestarikan penjajahan.
            Strategi menciptakan relasi kebudayaan, membuat pemeluk Islam yang mayoritas bercorak sinkretis, di simpang jalan. Sebab, selama ini Islam dikenalkan oleh para Ulama dengan jalan, adalah melalui jalur kebudayaan, sehingga lebih mudah dicerna oleh masyarakat, yang masih berfikir sederhana, kini dihadapkan dengan budaya itu sendiri.
            Kebijakan Pemerintah Belanda, tergolong mempertahankan Konservatime Adat. Terlebih muncul organisasi modern Islam semacam Muhammadiyah, yang dipropagandakan Belanda sebagai ancaman terhadap Kebudayaan lokal yang bersifat konservatif.
            Adat dengan unsur Struktur Feodalnya, dianggap Belanda terancam oleh Islam yang lebih egaliter dan hidup di masyarakat bawah. Islam yang lebih menghargai Keilmuan, terutama terhadap Ulama, pelan pelan mereduksi karisma para Kepala Adat yang bercirikan Feodal dan amat hierarkis. Sehingga, dalam sejarahnya, terhadap konflik antara Islam dan Adat, Belanda selalu membela kepantingan Adat.
            Perbedaan secara tajam ini pada awalnya sudah bisa diselesaikan oleh Walisanga, terutama Sunan Kalijaga. Ia dengan cerdas membungkus Ajaran Islam dengan simbol simbol budaya, yang sudah tertanam kuat, semisal dengan wayang kulit. Perdamaian ini bisa dipotret di Minangkabau yang bisa menjadikan Islam sebagai sumber otoritatif dari adat, disana terkenal Slogan, “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” yang kurang lebih, berarti Adat bersendikan atas syariat, dan syariat bersenikan ajaran Kitabullah (AL Qur’an).