Heboh
penemuan konsep dasar teknologi 4G, membuat semua orang menengok sosok Khoirul
Anwar. Berawal dari keraguan dalam memperjuangkan temuanya, Putra Kediri ini
tetap nekat meneruskan temuanya. Dengan kegigihan
dan pantang menyerah, teknologi 4G berakhir dengan dengan puluhan penghargaan.
Ditelusuri lebih jauh, Pria yang pernah menempuh pendidikan di Nara Institute of Science and Technology
(NAIST) Jepang ini, ternyata pernah berkecimpung di KAMMI, tepatnya saat
ia berkuliah di ITB Bandung.
Serentak,
linimasa Media Sosial riuh dengan selebrasi kader kader Kammi. “Ini baru kader kammi” ucap
seorang kawan. “bangga saya dengan anda, bung” begitu juga tanggapan yang lain.
“semoga bisa menginspirasi kader Kammi yang lain” harap seorang Kader. Memang
tak ada kepantasan selain berharap ada prestasi serupa di masa mendatang, namun
terselip sebuah pesan.
Sudah
saatnya Kammi bertransformasi menjadi gerakan kelimuan dan pengkaryaan. Energi
kader sudah habis untuk memamerkan wakil ketua DPR sebagai seorang Alumni yang
berprestasi, seolah kader Kammi diproyeksikan untuk mengisi kursi kursi di
senayan. Sementara, stok kader Kammi yang bersinar dalam bidang Ilmu Pengetahuan bisa dibilang cukup minim. Hal ini yang menjadi semangat dalam tulisan Umar yang
berjudul “Melupakan Fahri Hamzah”, Umar tidak hendak menghapus Fahri Hamzah dari ingatan kolektif
Kader Kammi.
Fahri Hamzah dalam bahasa Umar adalah simbol dari nalar gerakan politis ala broker
dan koboy politik. Generasi demikian, sudah
seharusnya dilupakan. Sudah seharusnya Kammi membangun budaya Ilmu dengan mulai menjadikan Anwar
sebagai Simbol. Meskipun kita sama sama memahami, budaya ilmu adalah dunia yang
sepi nan hampa dari riuhnya
tepuk tangan.
Peralihan
menuju Budaya Ilmu sebagai langgam perjuangan, bukan sekedar mencari pelampiasan
atas ketidakpuasaan terhadap generasi Politis dalam tubuh Kammi. Namun pada
dasarnya, terdapat Problematika dalam perkembangan Ilmu dewasa ini. Hingga
kini, Barat yang disimbolkan kemajuan pengetahuan, justru menemukan kebuntuan (cul de sac) yang tidak bisa
diselesaikan.
Problem Ilmu
kontemporer
Kelahiran Ilmu Kontemporer tidak bisa
dilepaskan dari sejarah perkembangan ilmu dalam peradaban barat. Terutama sejak
Comte mengkampanyekan gerakan Positivisme yang ditandai lahirnya era renaissance. Lewat Positivisme,
pengetahuan hanyalah bisa didapat dari metode pengalaman, fisikal aktual dan
harus bersifat objektif. Comte menghindari unsur unsur metafisis yang bersifat
spekulan lagi subjektif. Metode Positivistik seringkali disebut metode
saintifik ilmiah.
Comte
kemudian terkenal dengan pembagian tahap perekembangan ilmu pengetahuan. Ia
membagi menjadi tiga tahap : 1. Tahap Teologi, tahap yang menggambarkan
perolehan pengetahuan didapat dari suatu kekuatan adikodrati. 2. Tahap
Metafisik, dalam tahap metafisik, manusia sudah bisa memahami kejadian di
lingkungan dan alam semesta berdasar suatu kekuatan abstrak. 3. Tahap Positif,
dalam tahap positif manusia memperoleh dan mengembangkan pengetahuan berdasar
rasio dan akal pikiran.
Tahap
Positif inilah, yang disebut Comte, akan menjadi puncak peradaban manusia
dengan kemajuan teknologi. Awalnya metode Positivisme dikembangkan dalam dunia
sains, namun sejak diselenggarakan konferensi Wina 1928. Metode Saintifik
Ilmiah disepakati sebagai metode baku dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
termasuk penerapanya dalam Ilmu Ilmu Sosial.
Hal ini
tidak lepas keberhasilan Positivisme melahirkan ribuan teknologi mutakhir, yang
ingin dijiplak dalam ilmu ilmu sosial. Positivisme pulalah, yang menjadi dasar
gagasan kenetralan sains dari nilai nilai, entah nilai keilahian, etis, maupunn
nilai nilai moralitas.
Positivisme merupakan anak kandung dari epistemologi Modern yang
dirintis olehh Descartes-newton atau dikenal sebagai Cartesian Newtonian, nama
ini dinisbatkan kepada dua ilmuwan terkenal abad pertengahan, Rene Descartes
(1596-1650) dan Sir Isssac Newton ( 1642-1762).
Rene
Descartes terkenal dengan ungkapan Cogito
Ergo Sum (aku berfikir maka aku ada). Ungkapan ini berimplikasi kepada
pembedaan dikotomik antara res cogitans
(pemikiran) yang merupakan substansi rasio, dan substansi tubuh adalah res exstensa (berkeluasan). Cogitans
adalah bidang jiwa, dan exstensa adalah bidang materi.
Konsep
ini melahirkan paham dualisme. Dualisme
pada akhrinya melahirkan pemikiran serba dikotomik dan logika oposisi binner.
Semisal subjek dipisahkan dengan objek, profan dan sakral, kanan terpisah
dengan kiri. Pemikiran ini kemudian berimplikasi kepada pemisahan Ilmu yang
digolongkan domain publik, materiil, duniawi, dan profan. Ia diceraikan dengan
agama yang bersifat privat, ukhrawi, dan sakral.
Terlebih
pada abad pertengahan, Ilmuwan sebagai golongan cendekiawan terlanjur terlibat
permusuhan dengan gerejawan yang memonopoli sumber pengetahuan, yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara sains. Mereka beranggapan, sudah saatnya Ilmu yang
saintis lagi ilmiah, serta terbuka untuk dikritik dipisahkan dari agama yang bersifat
ghaib,metafisis, nan dogmatis alias kaku.
Implikasi
pemisahan secara dikotomik antara agama dan sains dalam perkembangan ilmu dan
pendidikan, bukan saja terjadi pada tahap kurikulum, namun berpengaruh pula
terhadp pola berfikir pelajar/mahasiswa, termasuk pula aktivis dakwah Kampus.
Terjadi fenomena split personality pada pribadi masing masing pelajar. Hal ini bisa
dibuktikan dengan gagalnya integrasi materi perkuliahan dan materi dalam halaqah
halaqah atau pengajian,-kecuali materi berjenis Akhlak yang berusaha membentuk
etos pribadi muslim sebagai penuntut Ilmu, diluar itu keduanya berpisah secara
tegas, dan berbeda secara tajam.
Rene Descartes terkenal pula dengan gagasanya
mematematikasi Alam, pandangan ini menegaskan alam adalah sebuah benda mati,
yang dilepaskan dari unsur unsur keilahian, ia dapat bergerak dikarenakan oleh hukum
sebab akibat. Pendapat ini ditajamkan oleh Newton yang menganut prinsip
kepastian pada teori gravitasi bumi.
Prinsip matematikasi alam ini kemudian
berkembang dalam Ilmu Pengeatahuan yang menafsirkan alam sebagai benda mati
semata, dan harus dimanfaatkan bagi kemajuan manusia. Alam bukan untuk dikelola
sebagaimana tugas seorang Khalifah dalam Al Qur’an. Sehingga tidak mengherankan
terciptanya teknologi dari Ilmu Pengetahuan Modern justru melahirkan semangat
merusak alam, dan sikap angkuh tidak menghargai keberadaan Alam.
Intelektual Profetik
Gerakan Integralisme antara Ilmu Pengetahuan
dan Agama, bisa dilacak saat Rasul membentuk Ashab
As Suffah. Ashab As Suffah merupakan forum kajian tentang isi kandungan AlQur’an dan Hadist Nabi. Dari
sinilah, kemudian lahir Ulama Ulama dalam bidang Hadist, semcam Abu Hurairah,
Abu Dzar al Giffari sampai Salman al Farisi
Proyek ini berjalan mulus sampai melahirkan
ulama pada generasi berikutnya. Fondasi peradaban Islam justru dibangun dari
Ilmu yang bersandarkan kepada Wahyu. Artinya wahyu atau nash dengan akal dan
ilmu pengetahuan, bukan untuk diceraiberaikan, namun untuk diintegralkan.
Peradaban Islam klasik
telah berhasil
melahirkan budaya intelektual yang mempengaruhi
Barat Kristen dalam tradisi keilmuan Universitas. Ia telah menyumbangkan faktor
melahirkan ide universitas yaitu keilmuan, bersamaan ide kebebasan akademik. Selain
itu, Pendidikan Tinggi Islam dalam sejarah klasiknya juga mempelopori
penelitian ilmiah.
Strategi demikian seharusnya dipakai, untuk tidak lagi membenturkan antara aktifisme dakwah dengan aktifitas
keilmuan di perkuliahan. Riset-riset sederhana untuk mensilaturahmikan
kebutuhan dakwah dengan keilmuan yang dimiliki harus mulai dilakukan. Wacana Integrasi Dakwah dan
Kuliah tidak harus pada tataran yang falsafati, ia bisa dirumuskan untuk semua
lini.
Sebagai bagian dari Gerakan Dakwah, Kammi
pada dasarnya mendorong adanya integralisme antara Ilmu dan Wahyu. Paradigma
Gerakan Kammi menyebutkan Point Intelelektual Profetik. Dalam
salah satu tafsirnya gerakan Intelektual Profetik
adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha
perjuangan perlawanan.
Penyematan kata “Profetik”, erat kaitanya
dengan gagasan Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik yang sekandung gagasan
untuk menyatukan Ilmu dan Wahyu (Nash). Kunto (sapaan akrabnya) menyebutkan wahyu
merupakan unsur konstutif, yang harus bisa
diinternalisasikan dalam kehendak pribadi setiap muslim.
Usaha perjuangan perlawanan adalah bagian
dari aktivitas sejarah ummat islam. Kunto
sendiri membagi tahapan perjuangan ummat islam di Indonesia, Pertama, Tahap
Mistis, Ummat berjuang melawan kolonialisme dengan pola pikir mistik dan
berharap kepada tuah seorang pemimpian, Kedua, tahap Ideologis, ummat
bersatu dalam wadah Masyumi yang melawan struktur pemeritahan Orde Baru dan
perang Ideologi terhadap PKI. Namun dalam Ketiga, yaitu tahap Ilmu,
perjuangan ummat tidak melawan kekuatan politis manapun, pola perjuangan bukan
dengan model vis a vis, namun perlawanan Ummat adalah melawan Realitas
dan permasalahan objektif.
Dengan realitas sejarah yang demikian,
tentunya jejak perjuangan Kammi bukan lagi melawan rezim negara yang represif,
namun musuh Kammi sekarang adalah
korupsi, kemiskinan, Kapitalisme, ketidakadilan, maupun sekularisme.
Baik
kemiskinan maupun Kapitalisme adalah masalah bersama tidak hanya menjadi
masalah Ummat Islam. Hal ini sejalan dengan sifat Ilmu yang lintas kepercayaan
dan Iman, karena Ilmu bersifat objektif. Sesuatu disebut Objektif bisa diterima
bersama tanpa dipermasalahkan, apakah dihasilkan Umat Islam atau tidak.
Tugas
Ummat selanjutnya adalah mendorong adanya Objektivikasi, yaitu upaya
Transformasi Wahyu yang merupakan bagian konstitutif dalam Ummat menjadi unsur
unsur yang objektif. Namun proses Obvjektivikasi harus didahului dengan internalisasi ajaran Islam ke dalam setiap
pemeluk Islam. Tugas selanjutnya, adalah mengubahnya menjadi makna yang plural,
sehingga bisa diterima oleh Ummat lain. Implikasinya adalah terwujudnya Islam
rahmatan lil alamin.
Sebagai
contoh, Kuntowijoyo mentransformasikan Unsur amar ma’ruf menjadi
Humanisasi. Istilah humanisasi bisa diterima oleh Ummat lintas iman, namun
tetap dengan substansi amar ma’ruf yang yaitu menuntun manusia untuk
diaksentuasikan kepada kebaikan.
Kammi sudah seharusnya mendorong Integrasi
antara Ilmu dan Wahyu. Keduanya sudah berkembang baik dalam Kammi. Proses
Internalisasi ajaran Islam terpantul dengan baik dalam Manhaj Kaderisasi Kammi
dengan jenjang bertahap, dimulai dari tahap Syakhsiyah Islamiyah
(kepribadian Islam) bagi kader AB1, kemudian syakhsiyah dai’yah muharrikah
(kepribadian dai penggerak) bagi AB2, dan Syakhsiyah qiyadiyah siyasiyah (kepribadian
pemimpin yang mengambil kebijakan) bagi jenjang Kader AB3.
Disisi
lain, prestasi kader Kammi dalam bidang akademik tidaklah mengecewakan, meski
tidak bisa dibilang gemilang. Bagi Kammi mereka adalah aset, disamping kader Kammi yang cerewet
dan doyan Siyasi.
Proteksi terhadap aset ini adalah
dengan melakukan pemberdayaan, salah satunya Fadalah membentuk simposium tentang
problema Filsafat Ilmu dalam masing masing cabang Ilmu Pengetahuan. Langkah
selanjutnya adalah merumuskan Ilmu Sosial Profetik sebagai epistemologi
Integrasi Ilmu dan Wahyu dalam masing masing cabang.
Langkah terakhir adalah mentransformasikan nilai nilai
internal Islami menjadi nilai nilai objektif, tentunya
dalam ranah ilmu masing masing, baik dalam Sains dan Ilmu Ilmu Sosial. Langkah Kammi
demikian, diharapkan menjadi langkah Ummat yang merepresentasikan Islam rahmatanlil’alamin.
Setidaknya, langkah ini bisa menjadi jembatan bagi permasalahan split personality dalam
diri Mahasiswa. Sehingga materi dalam daurah daurah Kammi bisa
terimplementasikan dalam kehidupan akademik kadernya. Bukan berjalan otonom bagi pribadi kader, namun terintegrasi dengan kajian akademik, wahyu sebagai prima kausa pembentuk Ilmu
Pengetahuan.
Salah satu
karya terbaik dalam Integrasi Ilmu, dituliskan oleh Saepul Rohman dalam
skripsinya berjudul, “Paradigma Profetik, kritik terhadap asumsi asumsi
paradigma non sistematik”. Selain mencoba meruntuhkan Ilmu Hukum yang
dihasilkan dari bangunan Filsafat Modern plus Postmodernisme. Saepul
mengembangkan Ilmu Hukum Profetik, yang dikembangkan dari Ilmu Sosial Profetik
yang dikembangkan oleh Kuntowijoyo.
Meskipun
bukan tercatat sebagai Kader Kammi, namun Saepul adalah bagian dari Ummat yang
mencoba berkontribusi bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan. Hal ini tentunya
harus bisa menjadi pelecut bagi Kader Kammi yang telah mengikuti jejak langkahnya.
Sebagai
catatan, kemajuan suatu bangsa ditentukan seberapa majunya peradaban yang
dibangun oleh Ilmu Pengetahuan. Kehidupan bangsan Mongolia yang erat dengan
tribalisme, meskipun sanggup mengalahkan Islam dan China dengan armada kuatnya,
namun tidak terjadi tribalisme dalam peradaban keduanya, justru Mongolia
sendiri yang bergeser membentuk suatu peradaban yang memiliki warna dari
keduanya.
Pustaka
Absori dkk, 2015, Paradigma
Profetik; kritik terhadap Paradigma Hukum Non-Sistematik, Yogyakarta: Genta
Publishing.
Heriyanto, Husein,
2003, Paradigma Holistik; Dialog Filsafat Sains dan kehidupan menurut Shadra
dan Whitehead, Jakarta: Teraju,
Kuntowijoyo, 1997, Identitas
Politik Umat Islam, Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo, 2001, Muslim
Tanpa Masjid; Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental,
Bandung: Mizan.
Wibowo, Arif, 2016,
Dakwah Kampus dan Tantangan Rekonstruksi Peradaban Islam, makalah disampaikan dalam Seminar Peradaban Islam dan
Islamisasi Ilmu Kontemporer, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 20 Maret 2016.