“Dengan
menyelami kematian,
Manusia bisa
hidup dan mati dengan indah”
Komarudin
Hidayat dalam Psikologi Kematian (2011)
Agak ragu sebenarnya, menuliskan kisah lumayan jenaka
ini. Keengganan ini berkaitan dengan relasi KAMMI dan sebut saja Jama’ah. Saya pribadi
memandang wacana ini ila yaumil qiyamah,
karena tidak pernah selesai, dan bosan untuk kembali lagi diperbincangkan. Web
KAMMI Kultural sempat secara panjang melemparkan wacana ini ke publik, agar
publik menilai KAMMI dengan bingkai yang objektif, dan tentunya memberi
kritikan yang membangun bagi relasi kuat ini. Tiada satu tulisan (berkualitas)
berbalas.
Namun
melihat The death of sukardal (1986), essay pendek bertenaga milik Goenawan
Muhamad rasa rasanya ingin segera mencatat dan menuliskan. Cerita dibawah tidak
lebih campuran fakta dan fantasi. Fakta didapat perbincangan mereka yang
terlibat langsung, dan fantasi hanya beberapa syarah pribadi yang dikontekstualisasikan. Kondisi KAMMI dalam
cerita ini, kecil dan kalah. Seperti yang diungkapkan Goenawan dalam essaynya
itu, Orang kecil adalah orang yang, pada akhirnya, terlalu sering kalah. Selamat membaca.
Minggu
Sore, pembacaan kredo Kammi dalam pelantikan AB1 dalam suatu DM. “Kami adalah orang-orang yang berpikir
dan berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami
bertindak”, dan seterusnya. Kredo dibacakan dengan suara cadas dan
tegas. Panitia dalam jumlah besar dan sedikit Peserta tampak fokus mengikuti. Daurah
ini lebih special dari sebelumnya, karena mencoba menerapkan Manhaj secara
konsekuen (missal : Semua pemateri dari Instruktur, tidak melibatkan “ustadz”seperti
biasanya).
Namun,
makna itu akhirnya menguap dan tidak berlaku, ketika tempo hari serombongan
ustadz membacakan surat keputusan bahwa Kammi sementara harus “istirahat”, demi
kebaikan dakwah, kerana kammi tidak produktif, dan alasan ajaib lainya.
Sebelumnya
memang, isu KAMMI “dibekukan” oleh Jama’ah santer terdengar di telinga beberapa
kader. “mungkin rekrutan kita sedikit” ujar seorang kader, “mungkin gegara
mereka tidak dilibatkan DM” ujar yang lainya, “setiap habis pemilu pasti kayak
gini“ ujar seorang pengurus, “iya, tahun 2009 pun kondisinya sama” ia menambahkan.
Pembacaan
Fatwa ini berlangsung singkat, tanpa ada interupsi. Fatwa berujar KAMMI tidak
lagi produktif dan harus dibekukan untuk waktu yang ditentukan. Aku menerima SK
dengan senyum simpul, strukturnya “acak adul”. Pertama, Diksinya puitis dan progressif dari sebagaimana galibnya
SK. Misal, Pilihan Kata “dibekukan”, berasal dari kata dasar beku yang
ditambahi imbuhan “di-kan”, lebih merupakan proses perubahan benda cair kedalam
padat. Produk Hukum Keputusan (Beschikking)
menurut Jimly Ashidiqie (2011) haruslah bersifat individual dan kongkrit (individual and
concrete), syarat konkrit ini kiranya cukup tepat untuk menghindarkan
situasi yang multitafsir.
Kedua,
Konsideran hanya berisi rapat dewan dakwah yang tidak menyebutkan rapat dengan
KAMMDA, KAMWIL, maupun PP KAMMI yang menjadi garis instruksi resmi KAMMI UMS. Untuk
sementara, tenaga kader difungsikan untuk wajihah
dakwah yang lain. Artinya saya berani menyimpulkan SK itu Konstitusional.
Meski
demikian. Tetap saja, Aktivisme KAMMI harus libur sampai waktu yang tidak
ditentukan. Keputusan ini seolah mengingkari program kerja yang pertama kali
diteken antara Kader KAMMI, yang tentunya tidak melibatkan kader yang lain.
Aktivisme KAMMI disarankan untuk “numpang” di tetangga semacam IAIN atau kampus
negeri yang lain. Atau memilih beraktifitas mandiri tanpa fasilitas dan restu
dari jamaah
Selepas
pembacaan Fatwa, digelar tanya jawab dan debat antara ustadz dan kader, antara
Qiyadah dan Jundiyah, antara murabbi dan mutarabbi. Semua menampik, berkelit,
maupun membenarkan argument masing masing. Para kader lupa, mereka sebenarnya
dididik untuk taat dan anti pembangkangan, Namun kasus ini keluar dari prediksi
awal. Ada dua pilihan, mengingkari SK atau Mentaati. “kalau sesuatu tidak
produktif, lebih baik dibubarkan saja, termasuk KAMMI !!!” ungkap seorang
ustadz dengan tegas. Semua terdiam, melamun, marah, tenang, menangis, bingung,
kecewa, sedikit yang tersenyum, itupun senyum simpul seolah menyembunyikan misi
yang terlaksana.
Istilah
“tidak produktif” pada dasarnya multitafsir apabila dikontekstualisasikan. Istilah
“Tidak produktif” dalam standar angka, tidak dilihat dari sulitnya mengais
kader di lingkup kampus muhammadiyah, yang cenderung rawan bergesekan dengan
gerakan lain yang cukup sentimental. Sebut saja IMM. Istilah rebutan kader,
sudah lazim dalam setiap pekan
perekrutan.
Memang
bisa dibilang pengkaderan tahun ini tidak mencapai angka 50, namun bisa
dimaafkan melihat medan yang sulit dan resistensi yang kuat. Pengakaderan
dengan orientasi massa yang subur, tanpa didukung SDM yang memadai, hanya mengarahkan
kepada agenda demokrasi yang berbau politis. Terlebih ketika tidak produktif
diartikan macet dalam memberi “setoran kader”.
Kisah
KAMMI ini ada di lingkup kampus pergerakan.
Kampus yang mengklaim pusat pergerakan, yang terkenal dengan pertigaan
jalan sebagai saksi orasi, umpatan, ban bakar, bahkan darah dari masa lalu.
Kini mereka harus berduka, KAMMI sebagai gerakan fenomenal di kampus dan kawan
perjuangan, sementara menyepi, KAMMI mendapat “wahyu” untuk refleksi dan
menyadari dosa kepada tuanya.
Kebetulan
Kammi itu bernama AL Fath yang dalam bahasa Alqur’an berarti kemenangan. What’s in a name?, ujar Shakespare, nama
itu kini tiada penting. Kemenangan (Al Fath) adalah simbol dangkal ketika
dipadukan dengan cerita ketundukan, ketaatan, tangis, dan pengkhianatan. Sangat
jauh dengan makna Kemenangan yang penuh perjuangan, berani berduel, ngeyel, dan
tidak pernah menyerah.
Di
Akhir, para ustadz berjanji, berapologi mematikan kekhawatiran, bahwa KAMMI terancam
kosong akan kegiatan. Kader Kammi dijanjikan diberdayakan, termasuk kader
kritis dan cerewet yang doyan siyasi “nanti akan kita rencanakan” ujar salah satu
ustadz, rupanya para ustadz itu cukup
humanis. Mereka bisa tampil pemurah, marah, bercanda, tersenyum, dan (mungkin)
..….. kekuasaan.
Setelah
pembacaan SK, perbincangan masih berlansung namun hanya antar kader KAMMI.”kita
ikuti mereka dulu”, ujar seorang pengurus, “tidak, itu terlalu kompromis” ujar
yang lain. “nanti bisa protes lagi” ujar sebuah tanggapan. Aku hanya mengubah
apa yang dikatakan Nyai Ontosoroh pada Minke di ujung paragraf Bumi Manusia.”kita
harus melawan, nak. Sebaik baiknya, sehormat-hormatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar