Selasa, 16 Desember 2014

KAMMI dan Fatwa


“Dengan menyelami kematian,
Manusia bisa hidup dan mati dengan indah”
Komarudin Hidayat dalam Psikologi Kematian (2011)

            Agak ragu sebenarnya, menuliskan kisah lumayan jenaka ini. Keengganan ini berkaitan dengan relasi KAMMI dan sebut saja Jama’ah. Saya pribadi memandang wacana ini ila yaumil qiyamah, karena tidak pernah selesai, dan bosan untuk kembali lagi diperbincangkan. Web KAMMI Kultural sempat secara panjang melemparkan wacana ini ke publik, agar publik menilai KAMMI dengan bingkai yang objektif, dan tentunya memberi kritikan yang membangun bagi relasi kuat ini. Tiada satu tulisan (berkualitas) berbalas.
Namun melihat The death of sukardal (1986), essay pendek bertenaga milik Goenawan Muhamad rasa rasanya ingin segera mencatat dan menuliskan. Cerita dibawah tidak lebih campuran fakta dan fantasi. Fakta didapat perbincangan mereka yang terlibat langsung, dan fantasi hanya beberapa syarah pribadi yang dikontekstualisasikan. Kondisi KAMMI dalam cerita ini, kecil dan kalah. Seperti yang diungkapkan Goenawan dalam essaynya itu, Orang kecil adalah orang yang, pada akhirnya, terlalu sering kalah. Selamat membaca.
Minggu Sore, pembacaan kredo Kammi dalam pelantikan AB1 dalam suatu DM. “Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak”, dan seterusnya. Kredo dibacakan dengan suara cadas dan tegas. Panitia dalam jumlah besar dan sedikit Peserta tampak fokus mengikuti. Daurah ini lebih special dari sebelumnya, karena mencoba menerapkan Manhaj secara konsekuen (missal : Semua pemateri dari Instruktur, tidak melibatkan “ustadz”seperti biasanya).
Namun, makna itu akhirnya menguap dan tidak berlaku, ketika tempo hari serombongan ustadz membacakan surat keputusan bahwa Kammi sementara harus “istirahat”, demi kebaikan dakwah, kerana kammi tidak produktif, dan alasan ajaib lainya.
Sebelumnya memang, isu KAMMI “dibekukan” oleh Jama’ah santer terdengar di telinga beberapa kader. “mungkin rekrutan kita sedikit” ujar seorang kader, “mungkin gegara mereka tidak dilibatkan DM” ujar yang lainya, “setiap habis pemilu pasti kayak gini“ ujar seorang pengurus, “iya, tahun 2009 pun kondisinya sama”  ia menambahkan.
Pembacaan Fatwa ini berlangsung singkat, tanpa ada interupsi. Fatwa berujar KAMMI tidak lagi produktif dan harus dibekukan untuk waktu yang ditentukan. Aku menerima SK dengan senyum simpul, strukturnya “acak adul”. Pertama, Diksinya puitis dan progressif dari sebagaimana galibnya SK. Misal, Pilihan Kata “dibekukan”, berasal dari kata dasar beku yang ditambahi imbuhan “di-kan”, lebih merupakan proses perubahan benda cair kedalam padat. Produk Hukum Keputusan (Beschikking) menurut Jimly Ashidiqie (2011) haruslah bersifat individual dan kongkrit (individual and concrete), syarat konkrit ini kiranya cukup tepat untuk menghindarkan situasi yang multitafsir.
Kedua, Konsideran hanya berisi rapat dewan dakwah yang tidak menyebutkan rapat dengan KAMMDA, KAMWIL, maupun PP KAMMI yang menjadi garis instruksi resmi KAMMI UMS. Untuk sementara, tenaga kader difungsikan untuk wajihah dakwah yang lain. Artinya saya berani menyimpulkan SK itu Konstitusional.
Meski demikian. Tetap saja, Aktivisme KAMMI harus libur sampai waktu yang tidak ditentukan. Keputusan ini seolah mengingkari program kerja yang pertama kali diteken antara Kader KAMMI, yang tentunya tidak melibatkan kader yang lain. Aktivisme KAMMI disarankan untuk “numpang” di tetangga semacam IAIN atau kampus negeri yang lain. Atau memilih beraktifitas mandiri tanpa fasilitas dan restu dari jamaah
Selepas pembacaan Fatwa, digelar tanya jawab dan debat antara ustadz dan kader, antara Qiyadah dan Jundiyah, antara murabbi dan mutarabbi. Semua menampik, berkelit, maupun membenarkan argument masing masing. Para kader lupa, mereka sebenarnya dididik untuk taat dan anti pembangkangan, Namun kasus ini keluar dari prediksi awal. Ada dua pilihan, mengingkari SK atau Mentaati. “kalau sesuatu tidak produktif, lebih baik dibubarkan saja, termasuk KAMMI !!!” ungkap seorang ustadz dengan tegas. Semua terdiam, melamun, marah, tenang, menangis, bingung, kecewa, sedikit yang tersenyum, itupun senyum simpul seolah menyembunyikan misi yang terlaksana.
Istilah “tidak produktif” pada dasarnya multitafsir apabila dikontekstualisasikan. Istilah “Tidak produktif” dalam standar angka, tidak dilihat dari sulitnya mengais kader di lingkup kampus muhammadiyah, yang cenderung rawan bergesekan dengan gerakan lain yang cukup sentimental. Sebut saja IMM. Istilah rebutan kader, sudah  lazim dalam setiap pekan perekrutan.
Memang bisa dibilang pengkaderan tahun ini tidak mencapai angka 50, namun bisa dimaafkan melihat medan yang sulit dan resistensi yang kuat. Pengakaderan dengan orientasi massa yang subur, tanpa didukung SDM yang memadai, hanya mengarahkan kepada agenda demokrasi yang berbau politis. Terlebih ketika tidak produktif diartikan macet dalam memberi “setoran kader”.
Kisah KAMMI ini ada di lingkup kampus pergerakan.  Kampus yang mengklaim pusat pergerakan, yang terkenal dengan pertigaan jalan sebagai saksi orasi, umpatan, ban bakar, bahkan darah dari masa lalu. Kini mereka harus berduka, KAMMI sebagai gerakan fenomenal di kampus dan kawan perjuangan, sementara menyepi, KAMMI mendapat “wahyu” untuk refleksi dan menyadari dosa kepada tuanya.
Kebetulan Kammi itu bernama AL Fath yang dalam bahasa Alqur’an berarti kemenangan. What’s in a name?, ujar Shakespare, nama itu kini tiada penting. Kemenangan (Al Fath) adalah simbol dangkal ketika dipadukan dengan cerita ketundukan, ketaatan, tangis, dan pengkhianatan. Sangat jauh dengan makna Kemenangan yang penuh perjuangan, berani berduel, ngeyel, dan tidak pernah menyerah.
Di Akhir, para ustadz berjanji, berapologi mematikan kekhawatiran, bahwa KAMMI terancam kosong akan kegiatan. Kader Kammi dijanjikan diberdayakan, termasuk kader kritis dan cerewet yang doyan siyasi  “nanti akan kita rencanakan” ujar salah satu ustadz,  rupanya para ustadz itu cukup humanis. Mereka bisa tampil pemurah, marah, bercanda, tersenyum, dan (mungkin) ..….. kekuasaan.
Setelah pembacaan SK, perbincangan masih berlansung namun hanya antar kader KAMMI.”kita ikuti mereka dulu”, ujar seorang pengurus, “tidak, itu terlalu kompromis” ujar yang lain. “nanti bisa protes lagi” ujar sebuah tanggapan. Aku hanya mengubah apa yang dikatakan Nyai Ontosoroh pada Minke di ujung paragraf Bumi Manusia.”kita harus melawan, nak. Sebaik baiknya, sehormat-hormatnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar