Mundur
satu tahun yang lalu, suatu pagi yang lumayan cerah. Pagi yang penuh rona dan
kicau pipit pipit muda masih menggema bersahutan dengan bunyi syair syair syair
Taqarrub pada sang Illahi. Dari
timur, sang Surya kembali mengetuk para penghuni dunia fana. Diatasnya Horizon
cakrawala aduhai paripurna bentuknya. Balutan segarnya embun pagi masih
menggumpal diantara rerumputan mini yang tiada sebesar jempol, para biota pun
tak kalah syukurnya dalam menikmati besarnya kuasa Ilahi bersama pagi.
Penat
dan lelah akibat bercumbu dengan bangku bus dalam durasi delapan jam sudah
berangsur hilang. Selimut biru multifungsi sebagai bantal kulipat rapi bersama
sarung bantalnya. Kucuran mineral pagi basahi kerongkonganku, segarnya tak
kalah dengan bunga perawan di dapur Indonesia. Alienasi di pagi ini semakin
berasa dengan tak ada manusia dirumah
tua ini.
Tepat
sudah sekitar tiga bulan aku menjadi anggota KAMMI, memang setelah kunilai, aku
tidak begitu terkuras energinya bersama KAMMI. Aku masih menjadi mahasiswa Kupu
Kupu, aku masih terbang dengan angan dan apatisku. Aku masih mabuk bunga
kenikmatan dunia dan hedonis praktis nan pragmatis ala kaum jetset, rasa
kritisku terkikis, rasa sosialku menepi, dan aku kembali sendiri disiram irama
pagi.
Aku
rindu sejoliku, dunia tulisan agar
kembali menyatu. Aku rindu itu, terkadang rasa rindu itu membuncah
dengan sedikit goresan di layar maya. Layar hiperrealitas yang membentuk
simulasi dan simulacra, layar palsu yang tampakan kebenaran dan tanda semu. Mungkin
tiada panjang dan tiada sempurna, namun mengena dan meresap bagai makna dalam
frasa.
Aku
ingin dunia itu kembali, aku ingin memeluknya. Aku masih ingat ketika SMP aku
dimarahi guruku, gara gara goresanku difitnah menjiplak. Ia apriori saja
melihat tulisanku yang dianggap sebagai tulisan dengan nalar kaum dewasa. Aku
bermaksud membela karyaku, namun ia selalu saja salah persepsi. Bagiku
menjiplak adalah tabu, apalagi membangun opini. Sampai sekarang mungkin itu hal
yang tidak dimaafkan, namun dari situ aku tahu potensiku, kuanggap aku mampu
menangkap gejala diluar klasifikasiku.
Aku
yakin tulisan adalah duniaku, aku yakin menulis bersamaku, dan aku yakin aku
akan menulis diriku sendiri nanti. Tapi aku sudah keluar dari kesempatan bagus
itu, aku sungguh menyesal tiada rampung yang tak kulupa sampai hari ini,
melepas peluru satu persatu untuk target semu yang berhias ego. Aku merasa
macan tak bertaring, gajah tanpa belalai, dan aku merasa malaikat penuh hal
yang profan. Aku semakin sendiri dalam fanatisme ego, aku merasa ditarik lumpur
masalah yang kian mendera.
***
Pagi
itu, ponselku bergetar. Kulihat pesan dari Isro, karibku sejak semester satu
meminta bantuan untuk menjaga stand sepakbola. Maklum tiga hari kedepan,
universitas mengadakan program pengenalan akademik, dan salah satu agendanya
adalah mengunjungi stand stand UKM yang telah disediakan. Tujuanya agar
mahasiswa baru bisa mengenal UKM nya secara menyeluruh, dan bagi UKM ini
kesempatan mereka untuk mempromosikan UKM mereka, sekaligus regenerasi terhadap
anggota mereka.
Agenda
tahunan ini tak pernah alpa dalam benakku, masih kuingat ketika masih menjadi
mahasiswa baru aku menyaksikan UKM terlibat adu mulut dengan Fakultasku, memang
fakultasku selain terkenal dengan HMI nya juga terkenal vokal diantara fakultas
fakultas lain. Fakultas Hukum selalu berbicara sumbang dengan Bem Universitas,
sampai tulisan ini jadi sekitar 3 tahun aku menimba ilmu di Fakultas Hukum
tidak tahu apa yang menjadi motifnya. Aku tidak mau berspekulan tentang apa
yang terjadi dan apa yang tidak kuketahui.
Aku
mengiyakan saja ajakan isro menjaga stand, UKM sepakbola termasuk miskin
pengurus, apa boleh jadi untuk sekalian regenerasi. Kupacu supra biruku menuju
kampus satu tempat stand itu berada. Kami menjaga stand sembari cerita ngalor
ngidul dengan bahasa ngapak ngapak,
kekhasan percakapan kami mungkin diperhatikan orang lain, tapi sudahlah trade mark ini tidak akan kuhilangkan.
Saat
itu tiba, stand kami diserbu puluhan mahasiswa. Ada yang bertanya, ada yang
meninggalkan nomer hape untuk dihubungi, aku juga berkeliling berteriak, agar
semua orang tertarik masuk standku. Lumayan capek juga, namun hal itu langsung
diganti makan siang lauk ayam kremes yang kangsung memenuhi perutku.
Diantara
banyak UKM, aku penasaran dengan satu UKM. Yaitu LPM Pabelan. Sedikit yang
kutahu sebelum aku beranjak masuk ke Pabelan. Aku lebih dulu mengenal Pabelan
lewat Justis, kala diklat ada seorang alumni dari Pabelan, namanya Ikrob Didik,
ia berseloroh pengalaman memimpin pabelan dengan beberapa prestasi. Kemudian
ada Arif Giyanto, dulu pernah berbagi Ilmu di Justis tentang media. Aku masih
ingat ketika Justis mengelurakan koran edisi PPA empat hari berturut turut,
seorang alumni Justiss pernah berkata, pabelan sekarang bisa sujud sama kita,
kita dipuji mereka, karena bisa menyaingi mereka.
Dari
secuil yang kutahu itu, aku menjadi berpikir ulang. Mungkin saja kesempatan
mengembangkan kemampuanku ada disini, dan mungkin saja aku tahu pabelan adalah
duniaku. Aku jadi nekat keluar dari kungkungan jurang kegalauanku, aku ingin
satu, aku ingin maju, tidak hanya terdiam bisu dalam ketertawaan semu. Dan
mulai saat itu, langkah raguku mulai mendekati pabelan.
***
Pabelan
itu biru, sebiru langit, ia dijumpai manusia tiap masanya, terkadang pancarkan
panas dengan suryanya, kadang mendung kelabu menggelayuti harinya , dan
terkadang pula hujan hiasi birunya. Biru pabelanku tak sebiru lautku, yang
dalamnya tak seorang jenius pun tahu.
Pondok Istiqomah
Sukoharjo,
10-09-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar