Jumat, 27 Desember 2013

Membuat sejarah biru



Mundur satu tahun yang lalu, suatu pagi yang lumayan cerah. Pagi yang penuh rona dan kicau pipit pipit muda masih menggema bersahutan dengan bunyi syair syair syair Taqarrub pada sang Illahi. Dari timur, sang Surya kembali mengetuk para penghuni dunia fana. Diatasnya Horizon cakrawala aduhai paripurna bentuknya. Balutan segarnya embun pagi masih menggumpal diantara rerumputan mini yang tiada sebesar jempol, para biota pun tak kalah syukurnya dalam menikmati besarnya kuasa Ilahi bersama pagi.
Penat dan lelah akibat bercumbu dengan bangku bus dalam durasi delapan jam sudah berangsur hilang. Selimut biru multifungsi sebagai bantal kulipat rapi bersama sarung bantalnya. Kucuran mineral pagi basahi kerongkonganku, segarnya tak kalah dengan bunga perawan di dapur Indonesia. Alienasi di pagi ini semakin berasa dengan tak ada manusia dirumah  tua ini.
Tepat sudah sekitar tiga bulan aku menjadi anggota KAMMI, memang setelah kunilai, aku tidak begitu terkuras energinya bersama KAMMI. Aku masih menjadi mahasiswa Kupu Kupu, aku masih terbang dengan angan dan apatisku. Aku masih mabuk bunga kenikmatan dunia dan hedonis praktis nan pragmatis ala kaum jetset, rasa kritisku terkikis, rasa sosialku menepi, dan aku kembali sendiri disiram irama pagi.
Aku rindu sejoliku, dunia tulisan agar  kembali menyatu. Aku rindu itu, terkadang rasa rindu itu membuncah dengan sedikit goresan di layar maya. Layar hiperrealitas yang membentuk simulasi dan simulacra, layar palsu yang tampakan kebenaran dan tanda semu. Mungkin tiada panjang dan tiada sempurna, namun mengena dan meresap bagai makna dalam frasa.
Aku ingin dunia itu kembali, aku ingin memeluknya. Aku masih ingat ketika SMP aku dimarahi guruku, gara gara goresanku difitnah menjiplak. Ia apriori saja melihat tulisanku yang dianggap sebagai tulisan dengan nalar kaum dewasa. Aku bermaksud membela karyaku, namun ia selalu saja salah persepsi. Bagiku menjiplak adalah tabu, apalagi membangun opini. Sampai sekarang mungkin itu hal yang tidak dimaafkan, namun dari situ aku tahu potensiku, kuanggap aku mampu menangkap gejala diluar klasifikasiku.
Aku yakin tulisan adalah duniaku, aku yakin menulis bersamaku, dan aku yakin aku akan menulis diriku sendiri nanti. Tapi aku sudah keluar dari kesempatan bagus itu, aku sungguh menyesal tiada rampung yang tak kulupa sampai hari ini, melepas peluru satu persatu untuk target semu yang berhias ego. Aku merasa macan tak bertaring, gajah tanpa belalai, dan aku merasa malaikat penuh hal yang profan. Aku semakin sendiri dalam fanatisme ego, aku merasa ditarik lumpur masalah yang kian mendera.
***
Pagi itu, ponselku bergetar. Kulihat pesan dari Isro, karibku sejak semester satu meminta bantuan untuk menjaga stand sepakbola. Maklum tiga hari kedepan, universitas mengadakan program pengenalan akademik, dan salah satu agendanya adalah mengunjungi stand stand UKM yang telah disediakan. Tujuanya agar mahasiswa baru bisa mengenal UKM nya secara menyeluruh, dan bagi UKM ini kesempatan mereka untuk mempromosikan UKM mereka, sekaligus regenerasi terhadap anggota mereka.
Agenda tahunan ini tak pernah alpa dalam benakku, masih kuingat ketika masih menjadi mahasiswa baru aku menyaksikan UKM terlibat adu mulut dengan Fakultasku, memang fakultasku selain terkenal dengan HMI nya juga terkenal vokal diantara fakultas fakultas lain. Fakultas Hukum selalu berbicara sumbang dengan Bem Universitas, sampai tulisan ini jadi sekitar 3 tahun aku menimba ilmu di Fakultas Hukum tidak tahu apa yang menjadi motifnya. Aku tidak mau berspekulan tentang apa yang terjadi dan apa yang tidak kuketahui.
Aku mengiyakan saja ajakan isro menjaga stand, UKM sepakbola termasuk miskin pengurus, apa boleh jadi untuk sekalian regenerasi. Kupacu supra biruku menuju kampus satu tempat stand itu berada. Kami menjaga stand sembari cerita ngalor ngidul dengan bahasa ngapak ngapak, kekhasan percakapan kami mungkin diperhatikan orang lain, tapi sudahlah trade mark ini tidak akan kuhilangkan.
Saat itu tiba, stand kami diserbu puluhan mahasiswa. Ada yang bertanya, ada yang meninggalkan nomer hape untuk dihubungi, aku juga berkeliling berteriak, agar semua orang tertarik masuk standku. Lumayan capek juga, namun hal itu langsung diganti makan siang lauk ayam kremes yang kangsung memenuhi perutku.
Diantara banyak UKM, aku penasaran dengan satu UKM. Yaitu LPM Pabelan. Sedikit yang kutahu sebelum aku beranjak masuk ke Pabelan. Aku lebih dulu mengenal Pabelan lewat Justis, kala diklat ada seorang alumni dari Pabelan, namanya Ikrob Didik, ia berseloroh pengalaman memimpin pabelan dengan beberapa prestasi. Kemudian ada Arif Giyanto, dulu pernah berbagi Ilmu di Justis tentang media. Aku masih ingat ketika Justis mengelurakan koran edisi PPA empat hari berturut turut, seorang alumni Justiss pernah berkata, pabelan sekarang bisa sujud sama kita, kita dipuji mereka, karena bisa menyaingi mereka.
Dari secuil yang kutahu itu, aku menjadi berpikir ulang. Mungkin saja kesempatan mengembangkan kemampuanku ada disini, dan mungkin saja aku tahu pabelan adalah duniaku. Aku jadi nekat keluar dari kungkungan jurang kegalauanku, aku ingin satu, aku ingin maju, tidak hanya terdiam bisu dalam ketertawaan semu. Dan mulai saat itu, langkah raguku mulai mendekati pabelan.
***
Pabelan itu biru, sebiru langit, ia dijumpai manusia tiap masanya, terkadang pancarkan panas dengan suryanya, kadang mendung kelabu menggelayuti harinya , dan terkadang pula hujan hiasi birunya. Biru pabelanku tak sebiru lautku, yang dalamnya tak seorang jenius pun tahu.
Pondok Istiqomah

Sukoharjo, 10-09-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar