Jumat, 27 Desember 2013

Membuat sejarah biru



Mundur satu tahun yang lalu, suatu pagi yang lumayan cerah. Pagi yang penuh rona dan kicau pipit pipit muda masih menggema bersahutan dengan bunyi syair syair syair Taqarrub pada sang Illahi. Dari timur, sang Surya kembali mengetuk para penghuni dunia fana. Diatasnya Horizon cakrawala aduhai paripurna bentuknya. Balutan segarnya embun pagi masih menggumpal diantara rerumputan mini yang tiada sebesar jempol, para biota pun tak kalah syukurnya dalam menikmati besarnya kuasa Ilahi bersama pagi.
Penat dan lelah akibat bercumbu dengan bangku bus dalam durasi delapan jam sudah berangsur hilang. Selimut biru multifungsi sebagai bantal kulipat rapi bersama sarung bantalnya. Kucuran mineral pagi basahi kerongkonganku, segarnya tak kalah dengan bunga perawan di dapur Indonesia. Alienasi di pagi ini semakin berasa dengan tak ada manusia dirumah  tua ini.
Tepat sudah sekitar tiga bulan aku menjadi anggota KAMMI, memang setelah kunilai, aku tidak begitu terkuras energinya bersama KAMMI. Aku masih menjadi mahasiswa Kupu Kupu, aku masih terbang dengan angan dan apatisku. Aku masih mabuk bunga kenikmatan dunia dan hedonis praktis nan pragmatis ala kaum jetset, rasa kritisku terkikis, rasa sosialku menepi, dan aku kembali sendiri disiram irama pagi.
Aku rindu sejoliku, dunia tulisan agar  kembali menyatu. Aku rindu itu, terkadang rasa rindu itu membuncah dengan sedikit goresan di layar maya. Layar hiperrealitas yang membentuk simulasi dan simulacra, layar palsu yang tampakan kebenaran dan tanda semu. Mungkin tiada panjang dan tiada sempurna, namun mengena dan meresap bagai makna dalam frasa.
Aku ingin dunia itu kembali, aku ingin memeluknya. Aku masih ingat ketika SMP aku dimarahi guruku, gara gara goresanku difitnah menjiplak. Ia apriori saja melihat tulisanku yang dianggap sebagai tulisan dengan nalar kaum dewasa. Aku bermaksud membela karyaku, namun ia selalu saja salah persepsi. Bagiku menjiplak adalah tabu, apalagi membangun opini. Sampai sekarang mungkin itu hal yang tidak dimaafkan, namun dari situ aku tahu potensiku, kuanggap aku mampu menangkap gejala diluar klasifikasiku.
Aku yakin tulisan adalah duniaku, aku yakin menulis bersamaku, dan aku yakin aku akan menulis diriku sendiri nanti. Tapi aku sudah keluar dari kesempatan bagus itu, aku sungguh menyesal tiada rampung yang tak kulupa sampai hari ini, melepas peluru satu persatu untuk target semu yang berhias ego. Aku merasa macan tak bertaring, gajah tanpa belalai, dan aku merasa malaikat penuh hal yang profan. Aku semakin sendiri dalam fanatisme ego, aku merasa ditarik lumpur masalah yang kian mendera.
***
Pagi itu, ponselku bergetar. Kulihat pesan dari Isro, karibku sejak semester satu meminta bantuan untuk menjaga stand sepakbola. Maklum tiga hari kedepan, universitas mengadakan program pengenalan akademik, dan salah satu agendanya adalah mengunjungi stand stand UKM yang telah disediakan. Tujuanya agar mahasiswa baru bisa mengenal UKM nya secara menyeluruh, dan bagi UKM ini kesempatan mereka untuk mempromosikan UKM mereka, sekaligus regenerasi terhadap anggota mereka.
Agenda tahunan ini tak pernah alpa dalam benakku, masih kuingat ketika masih menjadi mahasiswa baru aku menyaksikan UKM terlibat adu mulut dengan Fakultasku, memang fakultasku selain terkenal dengan HMI nya juga terkenal vokal diantara fakultas fakultas lain. Fakultas Hukum selalu berbicara sumbang dengan Bem Universitas, sampai tulisan ini jadi sekitar 3 tahun aku menimba ilmu di Fakultas Hukum tidak tahu apa yang menjadi motifnya. Aku tidak mau berspekulan tentang apa yang terjadi dan apa yang tidak kuketahui.
Aku mengiyakan saja ajakan isro menjaga stand, UKM sepakbola termasuk miskin pengurus, apa boleh jadi untuk sekalian regenerasi. Kupacu supra biruku menuju kampus satu tempat stand itu berada. Kami menjaga stand sembari cerita ngalor ngidul dengan bahasa ngapak ngapak, kekhasan percakapan kami mungkin diperhatikan orang lain, tapi sudahlah trade mark ini tidak akan kuhilangkan.
Saat itu tiba, stand kami diserbu puluhan mahasiswa. Ada yang bertanya, ada yang meninggalkan nomer hape untuk dihubungi, aku juga berkeliling berteriak, agar semua orang tertarik masuk standku. Lumayan capek juga, namun hal itu langsung diganti makan siang lauk ayam kremes yang kangsung memenuhi perutku.
Diantara banyak UKM, aku penasaran dengan satu UKM. Yaitu LPM Pabelan. Sedikit yang kutahu sebelum aku beranjak masuk ke Pabelan. Aku lebih dulu mengenal Pabelan lewat Justis, kala diklat ada seorang alumni dari Pabelan, namanya Ikrob Didik, ia berseloroh pengalaman memimpin pabelan dengan beberapa prestasi. Kemudian ada Arif Giyanto, dulu pernah berbagi Ilmu di Justis tentang media. Aku masih ingat ketika Justis mengelurakan koran edisi PPA empat hari berturut turut, seorang alumni Justiss pernah berkata, pabelan sekarang bisa sujud sama kita, kita dipuji mereka, karena bisa menyaingi mereka.
Dari secuil yang kutahu itu, aku menjadi berpikir ulang. Mungkin saja kesempatan mengembangkan kemampuanku ada disini, dan mungkin saja aku tahu pabelan adalah duniaku. Aku jadi nekat keluar dari kungkungan jurang kegalauanku, aku ingin satu, aku ingin maju, tidak hanya terdiam bisu dalam ketertawaan semu. Dan mulai saat itu, langkah raguku mulai mendekati pabelan.
***
Pabelan itu biru, sebiru langit, ia dijumpai manusia tiap masanya, terkadang pancarkan panas dengan suryanya, kadang mendung kelabu menggelayuti harinya , dan terkadang pula hujan hiasi birunya. Biru pabelanku tak sebiru lautku, yang dalamnya tak seorang jenius pun tahu.
Pondok Istiqomah

Sukoharjo, 10-09-2013

Senin, 09 Desember 2013

Surat dari kak diana- part 2


Meneropong masa lalu tak ubahnya berbicara tentang keluguan dan kecanggungan. Aku saat itu tak lepas dari keluguan dan kecanggungan, mungkin dewasa ini keluguan dan kecanggungan itu masih melekat, namun lebih apologis. Terutama masalah wanita dan percintaan, apa yang anda pikirkan, seorang anak berumur 10 tahun, beringus, giginya kuning, rambutnya ditata miring berbau lilas, ditanganya pensil sepanjang ibu jari, kemudian berbicara wanita dan cinta, dan mungkin diana.
Mungkin naif, ironis, atau mungkin banal mengingat era hegemoni moral terganti dengan budaya permisif yang menjangkau semua struktur dalam masyarakat. Bagi pegiat kultural, Arus globalisasi yang menjangkau setiap sudut kehidupan tempat di dunia ini, tak ubahnya menjadi tersangka utama dalam perkembangan semacam ini. Dengan topeng modernis, nihilisme moral selalu mengintai setiap saat, dengan bahasa pluralis dan modern, secara tak sadar kesakralan moral runtuh tertindih dinding sejarah.
Memang konteks pembicaraan adalah fenomena saat ini, namun anak kecil adalah manusia berhati jibril, bersih dari dosa dan dusta, jelasnya saat kecil aku ingat gosip percintaan saat SD, sebut saja H dan L, atau M dengan D, atau kisah sesama A. bagaimana dengan F, tuan penulis?, haha nama F tidak masuk dalam radar gosip, mungkin saja kurang laku untuk dijadikan bahan perbincangan. F masih hijau dan terlalu lugu menilai wanita. F acuh saja melalui masa lalunya, ia sibuk dengan bola temuanya dan ia fokus berenang agar esok lusa menjadi pasukan katak.
                Memang, omelan dan ocehan anak rumahan tak mengurangi minatku berenang, ya aku menjadi semacam singa dalam kandang di sisi gurun srengeti. Miris dan iri melihat satu persatu mereka bercengkrama dengan panasnya terik matahari, bercumbu dengan tetesan air  hujan, atau bersenggama dengan eloknya danau silating di pagi dan sore hari, sedang aku masih ninir dari atas honda astrea yang terparkir didekat danau.
                Dalam perjuangan meraih keakuan diri, aku sering dianggap gila, sinting, dan tak berkawan. Aku dulu bak kristal yang selalu diusap dengan sutra, agar selalu seelok zamrud dan sebening embun. Namun kristal itu  tidak mudah dalam berumur panjang, ia harus menyerah kepada ketidakhati hatian manusia. Ia mudah pecah dan jarang terjamah, ia hanya pantas untuk dilihat dan diakomodir nilai nilainya.
                Begitu juga aku, aku merasa menjadi semacam budak komoditas. Ditempa dalam disiplin sains dan moral, namun meninggalkan rongga dalam ruang sosial. Aku merasa menjadi semacam objek saja, tidak menjadi seorang pelaku. Tiap hari dan waktunya, aku harus bergelut dengan literasi dan selalu dijejali pidato pidato bahwa kelak aku harus berhasil. Puncaknya, aku harus mengeliminasi rasa sosial dan hampa pergaulan, utamanya dengan alam dan bocah bocah liar yang menurut juru pidatoku bocah tak bersekolah.
                Yah, aku selalu ditanami demikian oleh juru pidatoku, mereka yang menghabiskan waktunya dengan menari dengan udang dan berkhalwat dengan rimba ialah tak bersekolah, bodoh, tak punya masa depan yang cerah, dan sebagainya, hingga berkumpul dan bercengkrama dengan mereka bagaikan bergaul dengan pengidap kusta yang dikucilkan.
Namun, bukanlah narasi yang menarik ketika kenyataanya demikian. Aku butuh pengakuan, aku butuh masa kecil untuk cerita anak anakku nanti, aku harus tahu hijaunya rimba, aku harus tahu dalamnya telaga dengan menari bersama mujair mujair itu, aku harus menjinakan ular dan mengelus kepalanya seraya mencumbunya. Dan aku harus berontak dari kediktatoran ini.
Tak ayal, aku harus nekad meski aku harus biasa dengan tolakan halus dan cercaan apologis, aku harus sabar, otak kecilku belum mampu mengartikulasikan sifat orang jawa yang lemah lembut ramah tamah. Aku harus bisa menyesuaikan dengan bocah bocah yang menurut juru pidatoku tak punya masa depan, aku sekarang harus rasional pula, pidato macam apa itu, apakah juru pidatoku layaknya tuhan dalam aliran fatalisme, entahlah aku tidak bisa terus menerus dalam keadaan demikian.
Terkadang dalam tiupan angin dibawah pohon mangga, aku terseret fantasi liar. Ahh, entah seperti apa aku menggambarkan, terlalu naif untuk diceritakan, mereka yang tahu masa kecilku pasti tahu bagaimana aku saat kecil itu, mengayunkan tongkat dan berbicara dengan diam, seolah patriot dihadapan bayonet yang siap terhunus, layaknya gladiator dalam gelanggang colloseum. Demikian…..
                Ah, agaknya aku selalu lupa dengan surat diana, aku masih penasaran dengan apa yang ditulisnya. Agaknya, Tulisannya masih tersenyum menunggu bertemu tatapan mataku, aku masih bergulat dengan ambisi keliaran dan anti kemapaman, maaf diana aku ambil namamu untuk simbol literasiku. Namun tulisanmu masih terpojok diruang berdebu, tertumpuk bersama kertas kertas tua yang hampir diloakkan. Ia tergolek lesu saat hendak kutinggalkan bermain bola, sambil menenteng sepatu bolaku, aku bergumam lirih pada surat itu, tunggulah aku mencetak gol.

Sukoharjo, 10-12-2013

Minggu, 08 Desember 2013

Uchiha Itachi


“Itachi kau benar benar mengingatkanku pada diriku yang dulu…” ucap kabuto
“dan itulah kenapa kau akan kalah” ucap itachi
“Kau tahu aku bukan lagi orang yang melihat dari pojokan sekarang… tapi akulah tokoh utama dalam perang ini sekarang.. aku memanfaatkan akatsuki,bahkan berhadapan dengan uchiha bersaudara” ucap kabuto.
“Aku merasa kau itu sangat berbeda denganku” ucap itachi yang bangun perlahan
“tapi di waktu yang sama, aku bersimpati padamu…. Pada akhirnya kau adalah seorang mata-mata dan kau hidup dalam dunia kebohongan dimana seharusnya kau berada…sebenarnya aku juga tak bisa memahami siapa aku sebenarnya’’ ucap itachi.
“dan sekarang aku merasa, bisa mengetahui siapa aku sebenarnya mungkin ini merupakan kunci menuju jalan kesempurnaan…karena itu berarti aku akan mengetahui apa yang bisa dan apa yang tak bisa aku lakukan?”
“hah, itu adalah kata-kata yang dikatakan oleh seorang pecundang’’ ucap kabuto. “bukankah mencaritahu apa yang tak bisa kau lakukan adalah sama dengan menyerah” lanjutnya.
“tidak kau salah” ucap itachi.. “itu berarti  untuk memaafkan dirimu sendiri atas apa yang tak bisa kau lakukan” jelas itachi
“teman temanmu ada untuk mengisi apa yang tak bisa kau lakukan… dan untuk mencegah kau menolak apa yang padahal bisa kau lakukan’’ itachi teringat akan naruto
“kalau kau ingin tahu siapa dirimu yang sebenarnya, kau harus melihat dirimu sendiri dan mengetahui apa yang kau lihat .. itulah yang tak bisa aku lakukan .. aku berbohong pada orang lain dan bahkan pada diriku”ucap itachi.
“_” kabuto terdiam
“ dan seseorang yang tak bisa mengetahui dirinya sendiri berarti berarti orang yang gagal.. sama seperti aku dimasa lalu’’ ucap itachi
***
               
                Siapa yang tak kenal dengan Natsir muda, genteng, cerdas, halus retorikanya, dialah Yusril Ihza Mahaendra, satu diantara tokoh yang membuat SBY gentar dengan logika hukumnya. Pria kelahiran belitung ini begitu menginspirasi baik dalam pemikiran maupun retorika cerdasnya. Tak jarang, aku sering menjiplak gayanya dari segi pemikiran dan perkataan.
                Siapa pula yang tak kenal dengan Lionel Messi, pemuda kelahiran Rosario, Argentina 26 tahun yang lalu. La Pulga atau si kutu, begitu media menjulukinya telah mengangkangi eropa dengan tubuh 169 cmnya. Ia bagaikan david diantara puluhan Goliath yang kelelahan dipermainkanya. Permainan La Pulga tak jarang pula kujiplak dalam permainan lapangan hijau.
                Nusantara ini pula pernah punya Virgiawan Listanto, akrab disapa Iwan Fals. Karyanya tak lekang sepanjang masa, bahkan salah satu tembangnya diganjar majalah Rolling Stone sebagai lagu terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Dari bento, pesawat tempur, sampai dengan kemesraan begitu meresap dalam darah ini ketika kuputar tembangnya. Aku merasa bersama Sawung Jabo, Toto Tewel, atau Inoeng Noersaid saat berjingkrak menyanyikan tembangnya.
                Kadang, dalam sejenak waktu, aku sering terseret fantasi masa kecilku. Kadang, dalam sesaat, aku merasa berdiri diatas tebing curam. Aku merasa berbaju zirah dan berambut gondrong, tiba tiba kedua telapakku saling bercumbu, dan jemariku saling mengepal. Aku merapal sebuah mantra, tiba tiba potongan potongan kayu besar muncul dari tanah dan mengikat monster besar.
                Kadang, dalam sejenak masa aku merasa menjadi lelaki paruh baya bermata panda, dan begitu misterius, entah pembicaraan maupun perbuatanya. Siapa yang memandang mataku yang merah, seketika ia mematung dan masuk kedalam dunia ilusi. Mata saktiku juga kadang terlalu jahat bagi nyamuk nyamuk yang ingin menyambung hidupnya, ia kadang terbakar api hitamku yang tak mungkin padam.
                Dan terkadang aku masih mencari siapa faizal dan dimana faizal itu, yang kutahu ia masih dalam pengembaraan mencari karakter diri. Meski dalam pengembaraan, ujian terberatnya adalah dirinya sendiri, ia tak sungkan memungut ratusan karakter untuk bermanifestasi dalam dirinya, ia tak sadar menambah perca bukanlah jalan menuju paripurna. Menambah perca dalam pakaian karakternya adalah jalan yang semakin jauh dari pencarian karakter diri.
                Disaat yang lain sibuk memoles pakaian karakternya, dan merajut mutiara bersanding zamrud hijau disulam bersatu di pakaian kebesaranya. Ia memoles pakaianya dengan perca perca yang semakin menunjukan kedhaifanya, ia ingin dilihat sebagai kaum tertindas dengan pakaian tambal sulam percanya. Agar orang lain semakin simpatik terhadapnya.
                Namun sebenarnya Ia tahu jalan menuju karakter diri adalah membuang perca perca itu, dan pergi ke cermin kehidupan, yaitu syukur. Ia harus memandang diri betapa paripurnanya yang kuasa dalam membentuk diri, ia juga harus percaya, kekurangan yang sering ia anggap sebuah ketidakadilan adalah sebuah dikotomi peran dari tuhan untuk saling membentuk puzzle. Ia tahu semua hamba punya hak sama dimata tuhan, namun dalam dimensi sosial subjeksi ketidakadilan sering menutup kesadaran adanya dikotomi peran dari tuhan.
Kegalauan karakter ini ada dalam diri faizal bukanlah fenomena pada Sophie Amunsend, tokoh fiktif yang mencari entitas eksistensialnya. Ia bagai menafikan keberadaan tuhan dengan lontaran kritis tak berbobotnya. Faizal sendiri telah bersaksi bahwa penggerak yang tidak bergerak adalah yang maha kuasa, yang maha bijaksana, yang maha agung lagi perkasa, ialah Allah Azza wa Jalla.

***
“kalau kabuto mau menerima takdir dan tidak menjadi orang lain, maka ia akan mampu keluar dari izanami” ucap itachi lagi.
‘’kalau ia bisa lolos, kenapa kau menggunkanya padanya??” sasuke bertanya.
“dia memiliki banyak kesamaan dengan aku dimasa lalu.. dia selalu percaya kalau ia bisa melakukan segalanya dan berpikir kalau tak ada yang mustahil baginya, karena itulah dia takut akan gagal dan terus menerus mencobanya..”ucap itachi
“ aku salah karena tak pernah mempercayai kekuatan orang lain, kabuto salah karena menganggap kekuatan orang lain sebagai kekuatanya.. aku bisa mengerti perasaanya, kami berdua sama dipermanikan oleh dunia shinobi ini.. dan kami sama sama tidak bisa memaakan dan mengetahui diri  sendiri.. apa yang ia lakukan adalah salah.. tapi hanya menyalahkan dia juga adalah hal yang salah.. jadi aku ingin dia menyadari semua itu sebelum ia mati.. tak seperti aku…”
***
                Bagiku Membangun karakter diri tak ubahnya pencarian dan pengembaraan seorang ksatria mencari musuh abadinya, yang tak disangka ada dalam dirinya sendiri. Ia hunuskan pedang di lambung naga, ia penggal leher samurai, ia robek nadi raja yang dholimi rakyatnya, namun ia menuhankan syahwat, yang sebenarnya adalah musuhnya.
                Tak sadar dalam keseharian, diri ini kadang menjadi ruang simulakrum dari karakter orang lain. rekaan, rekayasa, dan tiruan ada dalam diri kita sendiri, baik oleh sebuah citra nyata maupun virtual. Alienasi modernitas ini membuat seorang menihilkan diirnya sendiri, dan memilih menjadi rekaan dan ruang bagi kreasi citra citra diluar dirinya.
                Proses menemukan jatidiri terbentur ribuan karakter yang hidup melalui tanda tanda yang ada, otak yang terhipnotis dan terbingkai tentang sebuah nilai, kemudian terhanyut dalam citraan karakter itu, jadilah otak tak segan menumbuhkan stimulan di level esoteris untuk kemudian menimbulkan kedhaifan yang berakibat inferioritas diri dihadapan citraan citraan itu. Naudzubillah
SOLO, 9 Desember 2013


Selasa, 03 Desember 2013

Surat dari kak diana - Part 1




                Seberapa kuat aku mengingat hari itu, aku tak mungkin sanggup menceritakan detailnya. Jelasnya, aku bukan pengingat yang handal, apalagi untuk mengingat wanita. Aku memulai kisah ini  ketika aku masih berseragam merah putih, tepatnya aku masih SD. Sekolahku tepat di pinggir jalan raya, kota kecil bernama Randudongkal. SD 02 Randudongkal menjadi bagian sejarah masa laluku, di masa itu terukir banyak kenangan akan hinaan, keberhasilan, sepakbola, pak rojikin, dan diana.
                Lebih tepatnya banyak variabel yang menjadi instrumen masa lalu ketika aku sempat berprestasi di SD yang dulu menjadi Favorit orang tua di kota kecil penghasil tahu dan tempe ini. Aku dimasa itu adalah aku yang tak mau sikat gigi, aku saat itu adalah aku yang jorok, bodoh, kemproh, dan aku saat itu adalah aku yang mengenal diana.
Aku sempat ingat prestasi terbaiku menempati rangking 5 di sekolah itu, aku sendiri dalam dimensi keakuan cukup pintar dalam menikmati pendidikan. Terutama Basic ibuku yang jowo tulen yang memandang pendidikan menjadi harga mati, membuatku ditempa habis habisan dalam tuntutan meraih kampiun.
                Memang kuakui, teman seangkatanku banyak yang berotak cemerlang bagaikan einstein. Tak kurang dari banyak temanku saat SD, sekarang beralmamater perguruan tinggi yang maju. Meski tidak bisa dijadikan acuan prestasi individu, aku melihat track record mereka saat merah putih sampai putih abu abu memang menunjukan sikap konsisten dan prestasi luar biasa.
                Sebagai anak yang biasa saja, tak ada hal yang cukup membanggakan ketika aku masih setinggi 1 m 20 cm. Prestasiku tertutup kecengenganku, benar, untuk ukuran anak SD aku cukup bongsor. Namun aku terlalu cengeng dalam keseharian. Bukan karena kakiku terkena paku, atau jatuh dari pohon kemudian mukaku memerah dan mataku mengeluarkan air mata, lalu merintih bersenggukan. Hal tersebut malah membuatku tidak menangis dan bertambah tegar.
                Yang bisa membuat aku demikian menangis, adalah ulah Azam. Aku masih ingat namanya, ia punya cukup banyak akal membuatku sesenggukan di kelas baik didalam maupun di luar pelajaran. Bagaimana dengan diana?, apakah ia sempat membuatmu menangis faizal ?. Retoris yang cukup bagus, namu aku cukup menjawab tidak.
                Azam, satu diantara banyak teman yang membuatku bisa menangis dalam tempo singkat. Cukup dengan memandang dengan tatapan tajamnya aku bisa terbuat tersedu sedu, entah fenomena macam apa itu saat aku kecil. Kuyakin inilah teman temanku menjuluki aku cengeng, bahkan sampai dewasa ini. Saat berjumpa dan berseloroh tentang masa lalu, terutama bercerita masa SD, tak ada yang luput dari pemabahasan cengeng. Azam yang kini menempuh pendidikan di IPB sempat sebangku denganku saat SD, hingga tak ada hari tanpa menangis.
                Menjadi terdepan bukan tanpa ada saingan, tetanggaku yaitu SDN 01 juga dipandang sebagai rival yang lumayan berat. Selain dalam kejuaraan adu tangkas kecerdikan dan kepintaran, lebih panas lagi persaingan kami di lapangan hijau, yaitu sepakbola. Sejak kecil, aku memang tidak gandrung sepakbola, aku begitu keranjingan ketika menemukan bola di penangkaran burung lawet milik orang cina yang dipasrahkan kepada kakekku.
                Kebetulan disamping penangkaran lawet yang dipagar tinggi itu, ada lapangan kecil bekas kantor  kawedanan yang dirobohkan, aku sempat merekam selain sepakbola, ada juga tawuran, pacaran, sampai mabuk-mabukan, aku juga teringat saat botol bekas mereka mabuk aku angkut dengan sepupuku dijual di tukang rongsokan. Sejak dibangun lapangan bulutangkis entah bagaimana kabar kawedanan itu sekarang. Yang jelas sejak menemukan bola itu aku gandrung terhadap sepakbola, meskipun tidak semahir sekarang.
                Kegemaran mengolah kulit bundar berlanjut ke sekolah, tak tahu kenapa aku suka menjadi kiper, entah badanku termasuk bongsor atau aku tak bisa menendang dengan benar. Namun kiper adalah posisi fantastik di alam keakuan seoarng Faizal kecil. Ia mampu terbang, alam ambisiku mengajak untuk menikmati lagi merealisasikan fantasi itu, jadilah sampai aku mengawal gawang SD 02 Randudingkal, sampai akhir hayat baju merah putih ini.
 Memang sejatinya aku lebih sering dibully teman temanku, sistem otoriter yang diterapkan ibuku cukup membuatku duduk manis didepan jendela dan merekam riak riak hujan yang berlalu bersama jejak langkah sahabat sahabatku. Aku lebih sering mengeja abjad dan menghitung teori disaat yang lain berlari di tepi rimba.
Maka dari itu aku lebih sering jadi kiper, diolok olok karena tidak bisa bersepakbola, mereka hanya tahu aku seonggok daging yang punya fantasi, entahlah mereka lebih percaya gawang mereka dijaga fantasiku daripada akalku. Namun ternyata fantasiku menobatkan aku menjadi kiper terbaik satu kelas, aku terpiih secara aklamasi karena tak ada yang mau segila diriku yang rela terbang dan jatuh bermandi debu dengan senang hati.
Namun ternyata dari sepakbola aku mengenal banyak teman, karibku dalam menendang bola ialah umam. Saat SD dan SMP ia menjadi kakak tingkatku, kebetulan ia satu RT dengan rumah nenekku, sampai SMA kami berpisah, ia pindah rumah ke Kota Pemalang, aku masih salah satu kakak umam yang bernama Fai mempunyai wajah yang mirip dengan Inzaghi, salah seorang pebola.
Umam bagai bintang lapangan bola, tubuhnya kecil larinya kencang, dan tendanganya bak geledek, apalagi dribbelnya, yahud dan mumpuni. Ia dielu elu bagai seorang Messi di Barcelona, beda denganku yang menjadi bulan bulanan ketika tim kalah. Umam selalu mengajakku main kiper kiperan, ia menendang bola dan aku menjadi kipernya. Aku merekam, gawang yang kami gunakan adalah pohon yang berjejer di depan rumah azam, dalang yang membuatku menangis.
Dari siang sepulang sekolah sampai jadwal madrasahku, kemudian berlanjut sepulang madrasah sampai maghrib. Kakiku tak lepas dari yang namanya Bola, terlebih mendekati sore sesudah ashar. Semua anak kecil bermani adu tangkas sepakbola, mulai dari rebutan kiper, kucing kucingan dan permainan yang lain.
Sampai aku lulus, aku lebih banyak mengenal sepakbola daripada olimpiade, Mipa, fisika, ataupun tentang otonomi daerah. Aku teringat cerita pria dikampungku, mereka bergabung dengan Persera 79 (Persatuan Sepakbola Randudongkal), sebuah klub lokal di daerahku. Tak ingin jagoan kecilnya menderita, ayahku segera ia belikan sepatu. Aku dibelikan sepatu seharga 75 ribu di toko Garuda Mas milik seorang China. Setelah itu, aku,Umam, dan Dani menuju lapangan untuk berlatih bersama Persera.
Dari tempaan di Persera itu, Sampai sekarang aku masih gandrung dalam mengolah kulit bundar, terlebih saat SMA tidak ada waktu tidak bermain bola. Dan benar saja, sepakbola kadang membuatku lupa segalanya, lupa kepada mama, lupa Mipa, lupa akan ibadah, dan lupa pada surat kak diana, aku terlalu fokus pada sepakbola, hingga surat itu masih tergeletak saat hendak kubaca, ahh.. entah apapun isinya, entah syair maupun elegi, kuyakin bukan tentang sepakbola.